Chapter - 1

Permulaan

Tidak banyak kata untuk melukiskannya. Wajahnya yang bagai dewa itu selalu menyihirku sekalipun aku sudah melihatnya begitu sering. Dia merengkuhku, begitu lama, lalu melepaskanku. Kemudian dia berjalan mundur, mundur, begitu perlahan, lalu lenyap ditelan gelap.

Aku ingin berlari mengejarnya, tapi tubuhku terkunci.

Aku hanya bisa menjerit, menjerit sekerasnya . . .

***

Aku membuka mataku, shock. Napasku terengah-engah. Dan di sampingku sudah ada Charlie, wajah lelahnya terlihat khawatir.

"Kau tak apa Bells? Tenanglah . . ." Charlie berusaha menenangkanku.

Aku diam saja, kelewat kalut. Wajah Edward terus membayangiku, dan lubang di hatiku semakin terasa.

***

Daripada kau bermuram durja Bells, pergilah. Bermainlah bersama teman-temanmu. Atau kau bisa menemui Jacob . . .

Kira-kira itulah inti omongan Charlie. Jadi kukendarai Chevyku menuju La Push. Mungkin sekali-kali aku harus menyenangkan hati Charlie.

Belum juga kuberhentikan trukku, sesosok laki-laki berambut gondrong menghampiriku. Senyumnya hangat dengan tatapan bersahabat. Tampaknya dia senang.

"Bella!" pekiknya.

Aku turun dari trukku, berusaha tersenyum juga. Dan betapa terkejutnya aku bisa tersenyum dengan begitu rileksnya. Akhir-akhir ini sulit bagiku untuk tersenyum secara lepas.

"Hai juga Ja . . ." belum sempat kuselesaikan ucapanku, dia sudah memelukku erat dan mengayuna-ayunkanku. Dan herannya aku merasa senang.

"Wow Jake, kau bertumbuh cepat. Makan apa kau?" tanyaku, tercengang akan tubuhnya yang lebih besar dari sebelumnya.

"Tak penting apa yang kumakan, sekarang apa agenda kita?" tanyanya bersemangat. Sepertinya dia sudah ditelepon Charlie akan kehadiranku.

"Melihat mobilmu?" tanyaku. "Apa sudah selesai?"

"Tentu saja!" katanya senang. "Dan akan semakin lengkap dengan adanya dirimu!"

Kami pun berjalan menuju garasi Jacob. Tempat yang menyenangkan sepertinya. Dan di dalamnya benar-benar membuatku takjub. Berantakan tapi berkharisma. Dan tepat di tengah, sebuah mobil berdiri diam, hebatnya aku menyukainya, seperti aku menyukai Chevyku.

"Wow, keren," kataku jujur.

"Aku sudah mengujinya kemarin, dan sepertinya aman untuk berjalan-jalan," katanya bersemangat. "Keluarlah sebentar Bells."

Aku pun keluar garasi, menunggu. Sementara Jacob menghidupkan mesinnya dan emlajukan mobil itu perlahan keluar garasi. Volkswagen Rabbit itu berhenti tepat di sampingku. Jacob keluar dan membuka pintu khusus penumpang.

"Silakan masuk nona," katanya.

Aku tersenyum, dan segera masuk. Jacob mengajakku jalan-jalan berkeliling La Push dengan mobilnya.

Dan aku bisa merasakan kebahagiaan, walau hanya sedikit.

***

Aku sering menghabiskan waktuku bersama Jacob sekarang. Itu membuat Charlie senang. Kembalinya rasa bahagia dan senangku sepertinya juga membuat sifat bersosialisasiku tumbuh. Entah bagaimana mudah saja sekarang untuk mengobrol dengan Jessica, Mike, Angela, Ben dan Eric.

Sekarang aku sering melewatkan waktu bersama Jacob. Katanya Volkswagennya belum sempurna karena tidak bisa ngebut, dan dia ingin memodifikasinya. Aku menontonnya, tapi tidak membosankan. Rasanya menyenangkan melihat tangan-tangannya yang kekar bekerja.

Selain itu kami sering ke berjalan-jalan di pantai, atau pergi dengan trukku menuju tempat-tempat lainnya, kadang sampai ke luar La Push. Kukenalkan Jacob pada teman-temanku, begitu juga sebaliknya. Mike tampak agak tidak senang, tapi yang lainnya menerima Jacob dengan hangat. Senang rasanya mereka semua bisa cocok. Kami menonton bioskop dan maka bersama.

Bukan berarti lukaku sudah sembuh. Aku masih sering bermimpi buruk, dan kadangkala bila aku berhadapan dengan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan keluarga Cullen atau vampire dan sejenisnya, lubang di hatiku semakin menganga. Tapi Jacob bisa mengalihkan sakitnya. Dia obatku, penawar racunku. Sahabat yang tak tergantikan.

Tapi akhir-akhir ini Jacob aneh. Dia sulit ditemui di rumahnya. Tak bisa ditelepon, dan Billy tidak mau mengatakan apa-apa. Aku pernah nekat menunggunya sampai malam, tapi dia tak pernah pulang.

Tentu saja Bells, kita kan sahabat. Aku takkan meninggalkanmu, kita bisa bermain terus.

Itu ucapannya sehari sebelum menghilang.

Hujan turun, dan aku tahu lubang ini semakin melebar, dan bertambah banyak. Sakitnya luar biasa. Dan aku menangis pedih.

***

Belakangan aku tahu kalau Jacob lebih sering bersama Sam dan 'anak buahnya'. Aku takut kalau Sam sudah member pengaruh buruk.

Aku melihat mereka, di tebing. Dan bisa kurasakan desisan geram dari sela-sela gigiku. Aku tidak peduli, kuparkir Chevyku dan berusaha secepat mungkin ke tebing.

Jacob menyadari kehadiranku. Wajahnya terkejut, tapi aku tak bisa mendapatkan wajah bahagia seperti ketika aku menemuinya.

Aku memandang sedih ke arah Jacob, lalu memandang garang kepada Sam.

"Penjahat, beraninya . . . " geramku.

"Bella, tenanglah," kata Jacob.

Aku membalikkan badan ke arah Jacob, menatapnya garang juga. Kukeluarkan emosiku semuanya. "Jadi gara-gara dia hahh kau pergi!!" pekikku.

"Sam tidak seperti pikiranmu," kata Jacob berusaha menenangkanku. Suaranya tetap tenang seperti biasa, tapi aku bisa merasakn kegetiran di dalamnya.

"Jangan menipuku," desisku, lalu beralih ke Sam. "Aku harap kau membayar perbuatanmu! Tak cukupkah kau membuat anak-anak di reservasi ini aneh?!" kuarahkan tatapanku ke arah Paul, Jared, dan Embry.

"Dan kuharap kau memikirkan kata-katamu itu, young lady," desis Paul kepadaku.

Aku menatap Paul garang. "Dan orang sepertimu jelas tak berhak mengguruiku. Lebih baik kau pergi neraka!"

Paul mencengkram bahuku, geramannya semakin jelas. Dan aku meludah ke wajahnya, kelawat marah.

"Oh tidak!" Jacob berteriak.

"Mundur Paul!" perintah Sam.

Sosok Paul menghilang, berubah menjadi sesosok besar berbulu. Makhluk itu menyeringai, menampilkan gigi-ginya.

Jacob hendak meraihku, membawaku pergi. Tapi terlambat. Aku yang terkejut tidak sadar mundur terlalu jauh, dan jatuh ke dalam tebing.

Dan entah bagaimana aku menikmati sensasi itu. Tubuhku jatuh, terjun bebas. Kubiarkan mataku terbuka sedikit, dan bisa kulihat bayangan Edward turut terjun bersamaku. Aku ingin meraihnya, tapi bayangan itu lenyap.

Sebuah lengan merengkuhku tepat sebelum tubuhku jatuh ke air. Lengan itu hangat, hangat yang kubutuhkan akhir-akhir ini.

Air yang dingin terasa kontras dengan lengan Jacob. Dan sebelum aku pingsan, aku tahu ini baru permulaan.

Wajah Edward masih membayangiku sebelum aku menutup mata.