Kereta berlari menantang mimpi. Keramaian melupai riuh sebagai identitas, ketika suara-suara berhenti mengganggu sekitar. Fokus pada ponsel atau terpejam menikmati AC menjadi cerita familier di zaman ini. Satu-satunya yang cukup baik sehingga menaruh atensi pada jendela, adalah sepasang mata kakao yang menontoni pemandangan kota semenjak roda meninggalkan stasiun.
Dalam kondisi terjaga pemuda itu tidak lelah, mengantuk atau mengeluh walau berdiri sejam lebih. Kekuatannya bukanlah pemberian dari hijau perbukitan atau biru laut Yokohama–melainkan caranya menatap hanya seakan-akan menontoni jendela, karena ia terfokus pada objek di bawah sini–seorang gadis yang satu seragam dengannya, dan terpejam menggenggam buku berkebun.
Begitu cantik, misterius dan konyolnya, membangkitkan euforia dari negeri antah-berantah.
"Heyyy~ Halooo ...?" Tangan kirinya dilambaikan iseng pada wajah gadis itu. Ia masih bergeming dengan dengkuran halus yang menenangkan.
"Kita sudah mau sampai, lho. Bangunlah."
Pegangannya dilepas dari handle grip untuk menepuk bahu sang gadis. Pemuda itu sengaja berjongkok, dan kereta berguncang membuat keseimbangannya lepas. Spontan tubuh mungil tersebut diraih akibat refleks. Gestur berpelukan mereka dibiarkan seperti itu olehnya, yang diam-diam menikmati ketidaksengajaan ini.
"Hangat," batin si pemuda turut memejamkan mata. Punggung gadis itu bahkan dielusnya, sembari menyenandungkan pengantar tidur yang ia hafal.
"Sebenarnya aku jatuh cinta padamu dari seminggu lalu. Lalu saat mengakuinya hari ini, aku mendadak lupa siapa diriku. Benar-benar konyol, bukan?" Namun kelewat nyata membuat peluknya mengerat. Ia takut memendam walau menceritakannya jauh lebih mengerikan.
Memang terlampau konyol sampai pemuda itu terbatuk, dan memuntahkan krisan putih bercampur merah darah dari kerongkongannya.
Meaningless Garden
Rate: T
Disclaimer: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.
Warning: OOC, typo, gaje, ga feel, alur kecepetan, kacau, gaje, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, serta diikutkan pada event bulanan di Fanfiction Addict dengan tema "hanahaki".
Nama tubuhnya ini Dazai Osamu–begitulah yang wali kelasnya beritahukan di tahun ajaran pertama. Ia memiliki sobat bernama Akutagawa Ryuunosuke dan Nakajima Atsushi. Mereka sekelas, mengobrol, dan Dazai familier dengan kepura-puraannya dalam senyum maupun tawa. Namun, segelas es jeruk menjadi kesalahan fatal ketika Atsushi mengajak bersulang. Kalimatnya ambigu ditambah Akutagawa membungkam si bocah perak.
"Untuk merayakan kembalinya Dazai-san dari–"
Akutagawa pasti menyembunyikan rahasia yang menerus Dazai pikirkan. Entah kereta ini berlari, melangkah atau merangkak di rel besi, kesadarannya tidak memedulikan karena mimpi bukan lagi apa yang ia genggam melainkan cari, sewaktu menemui sosok gadis serupa terduduk di posisi awal.
"Boleh aku duduk di sini?" Anggukan diberi sebagai persetujuan. Dazai memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki membuat gadis itu menjauh.
"Kamu suka berkebun?" tanya Dazai berbasa-basi. Kecanggungan ini betul-betul ia benci.
"Ya." Jawaban singkat dilontarkan acuh tak acuh. Mereka kembali diam setelahnya.
"Berarti kamu punya bunga favorit?"
"Hn."
"Apa itu sakura?" Pandangannya teralihkan dari buku berkebun. Biru laut sang gadis menemui seulas senyum Dazai yang tidak disangka-sangka begitu menawan.
"Kau stalker jangan-jangan."
"Pembatas bukumu bunga sakura soalnya. Aku tahu dari situ."
"Biar kutebak. Kau adalah murid pintar di kelasmu yang selalu mendapat rangking satu. Teman-temanku saja tidak tahu, dan mereka salah menebak di kesempatan pertama."
"Sayangnya aku amnesia sehingga tidak tahu apa pun. Jawabanmu kuanggap salah, dan beritahukan namamu sebagai gantinya." Uluran tangan Dazai disambut dengan ekspresi jutek. Mereka berjabat sejenak yang diputus sepihak oleh sang gadis.
"Nakahara ... Chuuya. Itu namaku."
"Kamu tidak bertanya siapa namaku?"
"Besok saja. Aku mau turun di sini." Tanpa salam perpisahan Chuuya beranjak dari bangku. Dazai buru-buru mengejarnya sebelum tertinggal jauh.
"Kebetulan aku turun di sini. Kamu tinggal di–"
Hilang. Sosok itu lenyap sewaktu Dazai ingin meraih bahunya. Ia terkejut walau segera membiasakan diri. Berjalan tanpa arah karena selain nama, langkahnya melupai rumah untuk beristirahat.
Senja tambah matang ketika Dazai menjumpai kompleks perumahan 'Stray Dogs'. Sembarangan masuk tanpa memikirkan apa pun, selain mematahkan kebingungannya yang menjadi-jadi. Ia memasuki blok M di mana ibu-ibu asyik joging. Samar-samar meyakini sesuatu, ketika mendapati rumah berlantai dua dengan sepeda merah di halaman depannya.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Permisi! Ada orang di dalam?"
Jangan tanyakan pada kakinya yang mematung. Etika bahkan terlupa dengan rasa penasaran di puncak akal. Pintu didorong pelan yang ternyata tidak terkunci. Dazai menginjak lantai kayu lapuk tanpa melepas sepatu. Menelusuri ruang demi ruang dengan campur baur rasa yang berpecahan, usai mendapati pintu jati berhiaskan origami bunga.
CKLEK!
Kenop ruangan diputar cepat. Wajah kamar itu adalah bunga-bungaan musim panas dengan kuning cerah, dan hijau teduh yang terangkai dari pylox.
BRUKKK!
"UHUK ... UHUK ..." Rasa menggigil itu datang melemahkan kaki. Dazai jatuh berlutut dengan tangan menutupi mulut, di mana segaris sungai merah tercipta dari muntahannya.
Batuknya mendadak keras. Darah membasahi kelopak sakura kering, sementara yang baru berguguran memperindah 'kebun' tersebut–'kebun' di mana para bunga menenggelamkan debu-debu pada lantai usang laminate. Berdiri menjadi pelik dengan lunglai kakinya. Dazai gemetar di sekujur tubuh, dan menabrak nakas sewaktu menghampiri ranjang. Kalender di samping kakinya ia pungut tanpa memikirkan rasionalisme.
1 April 2019
April Mop
Tanggal tersebut dilingkari spidol merah. Apa pun niatnya Dazai yakin, bahwa si pelaku hendak merencanakan sesuatu.
"Merencanakan sesuatu, ya ... terdengar me–!"
BRAK!
Kalender tergeletak begitu saja. Ngiang mengosongkan pikiran begitupun arah pandang. Kedua tangan Dazai refleks menutup telinga, agar dengung tersebut berhenti mengganggu kestabilannya.
"April mop, idiot perban sialan. Lucu juga melihatmu mengkhawatirkanku."
"Aku kena ... april mop ...?"
Seminggu lalu di kamar ini, kah? Siluet itu seakan-akan hadir meniduri ranjang ini–seorang gadis yang seolah-olah mengobrol dengannya, meskipun Dazai tidak mengetahui parasnya yang tertutup bayangan hitam.
"... tidak akan meninggalkanku, kan?"
"Jelas tidak! Aku hanya mengumpulkan sakura di halaman rumah, dan membawanya kemari."
Jendela di samping ranjang menjadi arah pandang selanjutnya. Sakura dipeluk kemesraan jingga yang kontras dengan warna merah jambu. Berguguran dan menyatu bersama hijau rumput yang ujungnya bergoyang mengikuti angin.
"Mana ada penyakit bernama hanahaki? Seharusnya kau pakai otak jeniusmu di saat-saat begini."
"Ha-na-ha-ki?"
Mengingat istilah itu, pegangannya di tepi jendela gemetar sebelum Dazai jatuh pingsan.
Pagi kembali membentuk waktu. Napas membaca lagi tanda-tanda kehidupan yang berputar menarikan udara. Dazai terlonjak dari tidurnya akibat lirikan nakal matahari. Mendadak pening dengan hujan ingatan yang memenuhi kekosongannya. Mata kecokelatan itu kini tahu di mana ia berada–adalah kamarnya sendiri, yang jauh berbeda dibandingkan rumah kosong kemarin. Tidak ada sakura, kalender, lukisan bunga atau lantai usang laminate.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Selamat pagi, Dazai-nii! Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" Bocah perempuan usia delapan tahun menghampirinya dengan menghujani pelukan. Dazai tersenyum tipis sembari mengelus rambut pirangnya.
"Pagi, Elise-chan~ Tidurku sangat nyenyak sampai memimpikanmu dimakan monster." Bercanda jelas. Menggoda adiknya dan mencubit pipi gembil itu hanyalah hobi Dazai sejak mereka kecil.
"Jahat! Padahal aku susah payah menarik Dazai-nii ke rumah."
"Memangnya apa yang terjadi selama kakak pingsan?"
"Nanti kuceritakan saat sarapan. Ayah menunggu kita di ruang makan."
Jika peradaban menamai fenomena ganjil ini dengan 'keajaiban', mungkin itulah yang tengah Dazai rasai. Kemarin boleh jadi dia amnesia, tetapi sekarang ingatannya hafal mengenai sebentuk ikatan, dan segala masa lalu kecuali rumah kosong itu. Elise adalah adik perempuannya, sedangkan Mori merupakan nama sang ayah. Ibu meninggal sepuluh tahun lalu. Akutagawa pun Atsushi tidak berbohong soal persahabatan mereka.
Sementara rahasia di kedai ramen, adalah perihal Dazai yang kecelakaan tiga bulan lalu. Ingatannya memang pernah terkikis, walau seminggu sebelum mengaku jatuh cinta balik dengan lengkap.
"Dazai-nii sakit?" Kekhawatiran Elise dibalas dengan senyum seadanya. Menelan jadi sulit, karena bunga-bunga ini berdesakan untuk memekarkan diri.
"Hanya sedikit tidak enak badan. Nanti juga sembuh."
"Nak Dazai istirahat saja. Semalam batukmu benar-benar parah."
"Sayangnya aku ingin menemui seseorang di kereta~ Dia sangat cantik membuatku langsung jatuh cinta." Mereka mendadak heboh lantas cuma-cuma melambaikan tangan. Semringah benar seakan Dazai tidak laku-laku sampai ditakutkan, menjadi perjaka tua.
"Semangat, Dazai-nii! Kami mendukungmu."
"Akhirnya anakku bisa move on. Ayah terharu."
Move on? Jalannya mendadak terhenti mendengar keasingan itu. Namun, bagaimanapun Dazai memutar akal atau menjungkirbalikkan otak, caranya kehabisan ide untuk merangkaikan penjelasan terbaik. Maka, ia memilih abai daripada terpuruk sewaktu menjemput kereta. Menceritakan senyum terbaiknya pada sang gadis yang duduk di bangku semula–Dazai sengaja berangkat cepat biar kebagian tempat.
"Pagi~ Aku kira kamu bakal ketiduran hari ini." Wajar untuk Dazai bila terabaikan. Earphone di kuping si gadis menghalangi ejekannya yang lewat begitu saja.
"Heyyy~ Masa kamu tega mengacangi orang tampan sepertiku?" Tanpa permisi sebelah earphone-nya Dazai lepas. April mop yang dilingkari spidol merah memberinya ide brilian.
"Perhatian, perhatian ... penumpang diharap tenang meskipun terjadi gempa bumi. Harap berlindung ke–", "GEMPA BUMI?!" Wajah syoknya sukses membangkitkan tawa Dazai. Kini giliran cemberut yang menyapa keisengan si maniak perban.
"Kalau pun sungguhan gempa bumi, aku pasti melindungimu."
"Cih! Gombalmu benar-benar parah, ya. Sayangnya aku tidak akan terpengaruh semudah itu." Sebelum earphone terpasang kembali, Dazai menghentikannya lebih dulu dan memasangkannya di telinga. Teriakan-teriakan berbaur dalam kehebohan dengan suara serak yang memekakkan telinga.
"Ternyata kamu suka lagu rock."
"Kenapa? Mau protes? Akan kuhajar kau jika benar-benar melakukannya."
"Tidak, tidak. Aku hanya terkejut karena para gadis biasanya suka lagu mellow. Kamu memang unik, ya." Sekali lagi Dazai mengulurkan tangan. Mengulang perkenalan mereka yang tertunda di hari kemarin.
"Perkenalkan, namaku ..."
DEG!
"Namaku ... siapa, ya?" Memangnya aku punya? Pertanyaan itu memberantakkan senyum paling berwarnanya. Tatapan Dazai ambruk dalam hampa yang pucat, ketika mengejakan rasa yang kabur aksara.
"Sekarang kau berniat melawak dengan wajah bingungmu? Sayangnya sangat garing."
"Panggil saja Tuan Amnesia. Ingatanku kacau balau gara-gara ... entahlah." Mimpi buruk pagi lalu kembali menemukannya yang diombang-ambing bimbang. Kejanggalan ini terlampau nyata menampar Dazai sebegitu kencangnya.
"Berarti aku tidak perlu memberitahukan namaku." Jabat tangan mereka dilepas sepihak. Nakahara Chuuya menghela napas menontoni keanehan si pemuda jangkung.
"Heee~ Ternyata kamu sebegitu takut dilupakan olehku. Romantis sekali."
"Hah?! Jangan sembarangan mengambil kesimpulan! Namaku Nakahara Chuuya, Tuan Amnesia. Kau tidak perlu mengingatnya, karena aku takut kau sakit kepala."
"Nama yang bagus. Sayang sekali kamu tidak punya pacar, tetapi calonnya ada satu." Kedipan genit dilemparkan pada Chuuya yang menebasnya. Dazai pura-pura mengambek yang seribu sayang, diperlakukan abai seperti sebelumnya.
"Kalau begitu coba panggil namaku.""Ditolak~ Kamu tidak lihat gadis-gadis di depan kita cemburu? Mereka sampai bisik-bisik dengan wajah sinis."
"Kamu lihat cowok itu? Dia ganteng tetapi ..."
"Sayang sekali. Tetapi aku mau jadi ... nya."
"Kau gila, ya? Banyak cowok yang lebih ... untuk dijadikan ..."
"Nanti ... di depan umum supaya dia ..."
"Mereka membicarakan kejelakanmu, idiot! Kenapa kau harus berpura-pura seperti itu?" Sekencang apa pun hatinya membela pemuda ini, gadis-gadis itu tidaklah gentar melainkan menjadi-jadi. Bagaimanapun Chuuya marah, menggertakkan gigi atau melotot, semua memang sia-sia sejak awal.
"Hoiii~ Aku benci diabaikan lagi olehmu. Masa kamu mengambek gara-gara aku tidak mau memanggil nama?"
"Mulai sekarang pikirkan saja dirimu sendiri. Berhenti menggangguku." Earphone di telinga Dazai ia tarik kasar. Penumpang berbondong-bondong keluar di hadapan mereka yang saling bertatapan, tanpa memedulikan pertengkaran konyol itu.
"Ingatanku hilang setiap naik kereta. Rasanya seperti dikutuk saja. Masa kamu tidak mau menolongku?"
"Bagaimana jika kau benar-benar dikutuk oleh salah satu penumpang? Misalnya aku. Berarti kau tidak lagi punya alasan untuk minta tolong." Tatapan mereka berjumpa di satu titik. Keseriusan yang Chuuya gurat kian memperparah kehancuran di sepasang mata Dazai.
"Mengutukku agar jatuh cinta padamu maksudnya?"
Laju kereta kembali terhenti untuk melabuh pada stasiun. Perkataan yang lolos mengambang di langit-langit kereta, dan membeku bersama pekat udara yang sesak. Chuuya mendorong punggung Dazai supaya berdiri. Menendang kaki jangkung itu agar pemiliknya meninggalkan tempat ini. Sepenggal kalimat Dazai titipkan sebelum pintu menutup–sepaket dengan seulas senyum yang memperindah resahnya tanpa Chuuya bisa redam, selain dibalas oleh rasa sejenis.
Sore kita bertemu lagi.
"Kau selalu sekacau itu, ya, Dazai Osamu?"
Kaca di seberang Chuuya memerangkap muramnya yang gagal terpahami. Kereta lantas melaju, dan menggilas percakapan mereka di rel besi untuk diantarkan pada masa lalu.
Perkenalan serupa diulang tanpa bosan. Wali kelasnya–Odasaku Sakunosuke memberitahu lagi bahwa namanya Dazai Osamu–pemuda tujuh belas tahun yang hobi bunuh diri, berkeinginan mati bersama wanita cantik dengan sekujur perban sebagai identitas mutlak. Namun, penjelasan sesederhana itu menjadi rumit karena pemahamannya terasa salah–umpama raga dan jiwa ini sekadar boneka palsu tanpa kesungguhan eksistensi.
'Kamu sakit, Dazai.'
'Saya hanya batuk biasa. Nanti juga sembuh.'
'Penyakit itu memakan jiwamu. Ingatanmu pergi karena kamu tidak pernah menginginkannya.'
Sebentuk percakapan itu memenuhi napasnya. Mulai meluruh ketika Dazai balik menjadi abai, saat kereta menjemput para pencari jejak. Pintu yang tertutup mempertemukannya dengan Nakahara Chuuya tanpa mengubah tempat, buku atau earphone abu-abu itu. Dazai langsung mendudukkan diri menghadap senja. Membiarkan jarak memisahkan mereka, karena semua berlalu canggung.
"Ternyata kau serius," ujar Chuuya memulai obrolan. Sepasang biru laut itu bahkan berinisiatif menemui kakao Dazai yang balas menatap.
"Jalan pulangku lewat sini. Kita pasti bertemu bagaimanapun caranya."
"Padahal bisa naik bus."
"Asal kamu ikut naik bus maka tidak masalah."
"Soal perkataanmu tadi pagi, kau serius?" Arah pembicaraan ini bisa Dazai tebak. Hanya batuknya yang sulit dikendalikan, sehingga ia memuntahkan bunga di hadapan Chuuya.
"Ya. Begini-begini aku serius, lho. Kamu pasti terkejut."
"Kenapa?"
"Kalau ditanya kenapa ... aku juga tidak tahu."
"Terus kau mau bilang 'cinta tidak perlu alasan'?" Jawaban klasik yang jelas membosankan. Meski apa pun jawaban Dazai, Chuuya memantapkan hati untuk tidak bersimpati.
"Cinta perlu alasan. Alasannya adalah kamu, karena jika bukan kamu aku tidak bisa jatuh cinta."
"Tetapi bukankah terlalu tiba-tiba?"
"Orang jatuh di mana-mana juga mendadak. Kalau batunya bilang mau menyandung kamu terus dituruti, bukan jatuh lagi melainkan sengaja."
"Dan seharusnya kamu tahu, jatuh itu tidak pernah disengaja. Menyalahkanku bukan cara yang bijak~" lanjut Dazai sembari menggidikkan bahu. Kepalan tangan Chuuya mengerat tanpa ia sadari, karena pandangannya terpejam menikmati siraman senja.
"Curang sekali."
"Eh? Apanya yang curang? Orang amnesia begini masih juga dituduh berbohong. Terserah, sih, mau percaya atau tidak."
"Selalu membuatku luluh setiap kau mulai bicara. Curang sekali. Karena itu aku membencimu dari dulu."
DEG!
"Matimu juga pura-pura, kan?"
"April mop sudah berakhir. Masa kamu tega ingin melihatku menangis?"
"Bangun ... aku ingin melihat kebun yang sesungguhnya."
Sepasang jemari Dazai gemulai menangkap parau udara. Hendak memastikan kekeliruan itu berdusta, dengan meraih wajah yang sendu pahat menggunakan sisa-sisa dari luka yang terlambat diikhlaskan. Uluran tersebut ditepis Chuuya yang memanggil denting pelangi. Menggoreskan air mata untuk menjelaskan sesal terakhir, ketika waktu terlanjur rontok di masa lalu yang menggarisbawahi kehilangan.
Entah penyesalan karena memahitkan cinta pada negeri cokelat itu, melukainya tanpa jaminan tersembuhkan, atau disebabkan pertemuan mereka yang murni kecelakaan–tangisan Chuuya meminta maaf untuk segalanya hingga Dazai menghadirkan kerelaan.
"Bagaimanapun perasaanmu, lupakan aku. Ini demi kebaikanmu." Peringatan Chuuya adalah pukulan telak yang betul-betul menghentikannya. Pintu kereta lantas terbuka mendatangkan alunan sedu yang mengiris pandang.
Kepergian menjemput keinginan berpulang yang sosok itu panjatkan. Lenyap di hadapan Dazai tanpa ulurannya berhasil meraih bahu Chuuya. Suka atau benci, ia terpaksa pulang ke satu-satunya rumah yang terkenang. Menidurkan lelah di seprai putih berbau apek, dan memanjakan batuknya agar para krisan putih berlari bebas.
Ini adalah 'meaningless garden', Dazai. Kebun yang sebenarnya tidak mau kutunjukkan padamu.
Kebun ini tak lagi berarti, karena aku menciptakannya dari rasa tak berbalas.
Setelahnya Dazai terpejam tanpa ia tahu, apakah esok akan kembali atau tidak.
-ll-
Hari berulang monoton. Peristiwa memperbaharui makna. Beribu pasang mata terkesiap oleh kejutan cinta dari mentari pagi. Dazai terbangun usai dikejutkan keburukan mimpi–tak ketinggalan memaknai dejavu sejenis, di mana ia terbangun dalam kamar sendiri. Napasnya berjeda, sementara peluh mendinginkan raga yang gemetar hebat. Entah baik, sial maupun sia-sia, langkahnya tergesa-gesa hendak menjemput kereta pagi.
Mencari kepastian untuk menyembuhkan ketidakpahamannya yang memohon dimengerti.
"Pergi tanpa berpamitan itu tidak baik, Dazai-kun. Setidaknya makanlah sarapanmu. Elise-chan sudah bersusah payah, lho." Nasihat ayah belumlah mampu mematahkan kepala batunya. Dazai nyaris beranjak, jika Elise terlambat memeluk pinggang kakaknya.
"Dazai-nii mau kemana?"
"Sekolah seperti Elise-chan~ Tetapi, hari ini aku ada piket sehingga buru-buru."
PLAKKK!
Ulurannya dijauhkan dengan cara sejenis. Wajah Chuuya berpendar-pendar bersama seulas tangis yang menggantikan paras sang adik.
"Bohong! Dazai-nii bohong padaku!" Penghiburan karangannya hancur oleh luka itu–goresan seperti yang Chuuya perlihatkan kemarin senja, dan bisa-bisanya Elise meniru dengan cermat seakan menyaksikan langsung.
"Kenapa Elise-chan berpikir begitu?"
"Kemarin malam Dazai-nii melupakanku dan ayah. Aku benar-benar takut, karena kamu terlihat serius saat mengakuinya."
"Tetapi sekarang aku ingat. Jadi–", "Karena itu Dazai-nii tidak boleh ke sana! Nanti ... nanti kamu melupakan kami lagi." Sekarang apa? Haruskah Dazai menjanjikan dusta, kalimat sok bijak atau dramatisasi memuakkan? Tindakannya kini meragu sampai ke batas yang merusakkan waras.
"Ingatanku tidak membantuku dalam bernapas."
"Memangnya kau mau hidup setengah-setengah seperti itu?! BERTANGGUNG JAWABLAH ATAS APA YANG KAU PERBUAT!"
Dua bulan lalu setelah keluar dari rumah sakit, seseorang pernah menghajarnya sekaligus menceramahi. Suara misterius itu terngiang, seakan mengingatkan Dazai agar berhenti mempersulit diri. Toh, kesempatan bukan keberuntungan melainkan pemberian. Jelas sayang jika terlewatkan begitu saja.
"Kalau aku lupa Elise-chan dan ayah harus mengingatkanku. Soalnya, hidup dengan ingatan setengah-setengah sama saja tidak bertanggung jawab."
Rambut pirang Elise dielus sebagai salam perpisahan. Keegoisan putrinya dicegat Mori yang menggeleng lemah–meminta supaya Dazai dibiarkan mengejar. Usai dua puluh menit pertama dihabiskan dengan menaiki bus, stasiun mulai tampak sewaktu Dazai berlari memasuki kereta. Pintu lantas tertutup begitupun ingatannya, ketika mendapati Chuuya sibuk menuliskan sesuatu.
"Dewi fortuna benar-benar menyayangiku ternyata~ Giliranmu kapan?" goda Dazai mengintip pekerjaan Chuuya. Ia langsung menyamping agar si idiot berhenti mengganggu.
"Diamlah. Aku sibuk."
"Kalau tebakanku benar kamu harus menemaniku mengobrol."
"Sombong sekali. Jika kau salah keluarlah dari kereta ini!"
"Pasti surat cinta. Dari ekspresimu kelihatan jelas." Terlebih wajah Chuuya memerah akibat pencidukan Dazai. Senyum sang pemuda kian usil, ditambah curi-curi mencolek bahu Chuuya.
"ARGHHH ...! Kau ini iblis, ya?!"
"Jika aku iblis seharusnya mudah untuk membuatmu jatuh cinta padaku. Lagi pula kamu tinggal bilang langsung kalau memang buatku."
"Terserah! Memang apa yang mau kau obrolkan?"
"Santai saja~ Sambil menulis juga boleh. Kamu benar-benar tidak mau dibantu? Begini-begini aku ahli dalam urusan surat cinta."
"Tidak. Kau pasti mengacaukan rencanaku."
"Sebenarnya aku ingin membicarakan yang ringan-ringan. Misalnya seperti apa kamu suka naik kereta, pemandangan favoritmu atau tentang pelajaran juga boleh, tetapi ..."
"Aku malah kepikiran soal meaningless garden, kebun yang katanya tidak lagi berarti karena tercipta dari perasaan tak berbalas. Seseorang pernah mengatakannya padaku di masa lalu, sepertinya gadis seusiaku." Entah penjelasan itu milik siapa. Tiba-tiba terlintas sehingga Dazai spontan mengatakan.
"Terus? Jangan bilang aku harus menuliskan kalimatmu di surat cintaku."
"Kira-kira apa maksudnya?"
"Mana ku tahu co–!", "Rasa kesakitanmu setiap kita mengobrol bisa mengetahuinya, bukan?" Karena tatapan mereka tahu, hanya Dazai yang tidak memaklumi apa pun di sini.
Amarah menguap dari bibir yang terkancing. Kereta mengisi pertemuan hening mereka dengan suara napasnya yang memburu kelalaian. Chuuya tertunduk dan perasaannya melepas berat yang memecah lantai menjadi tandus -kering kerontang oleh kalimat tak beralamat, usai luka mengusik persembunyian air matanya. Namun, diam gadis itu adalah sajak tunggal yang menjelma ambigu tanpa meloloskan sedan–sempurna mengurung segala pemahaman dari berbagai sisi.
Meski bukan diamnya itu yang ingin Dazai sapa, melainkan garis mendung yang merajut paras Chuuya oleh benang kegetiran–kepahitan yang mau Dazai mengerti dan dibagi dengannya, walau ia gagal menjadi pengertian.
"Benar. Sebaiknya kau melupakan dia."
GREP!
"Tunggu! Aku tidak turun di sini!"
Genggaman Chuuya memedihkan pergelangan tangan Dazai. Tanpa niat menjelaskan lebih-lebih bersimpati, tubuh Dazai dilempar membentur peron. Kepalanya berdarah dengan pandangan berkunang-kunang, namun bersusah payah meraih kereta yang berlari meninggalkan. Pandangan Chuuya tampak menggelap oleh kesalahannya–ketidakpahamannya yang terlalu memaksakan ego sehingga melalaikan titik terpenting;
Mustahil bagi Dazai untuk mengerti luka–dalam hal ini adalah Chuuya yang bahkan tidak diingatnya barang sejengkal.
Jingga berkunjung di pukul empat menandakan waktu telah sore. Puas mengigau di bangku tunggu, Dazai terbangun sambil terbatuk keras. Kelopak krisan putih membanjiri pahanya yang susah payah menapak peron. Lunglai memasuki kereta untuk menemui Chuuya yang memangku surat cintanya penuh kekosongan.
"Kepalamu tidak pecah ternyata." Pembukaan mengerikan itu Dazai balas dengan menggidikkan bahu. Kali ini, ia sebatas bersandar di tiang untuk bersantai.
"Entahlah. Rasanya aku sering mengalami hal seperti itu, tetapi masih hidup." Sesuai dugaan, ingatan Dazai belum kembali. Palingan besok jika ia masih tahu cara tersenyum atau diizinkan mengetahuinya.
"Nyawamu seperti kucing. Mungkin kau akan mati karena hal tak terduga."
"Misalnya seperti?"
"Kebun bunga di paru-parumu. Kau terkena hanahaki, bukan?" Lirikan tajam dilayangkan Chuuya yang bangkit berdiri. Kereta terlalu sunyi membuat suaranya menggema begitu kencang.
"Hanahaki? Itu nama kutukan yang kamu beri padaku? Bagus juga."
"Nama penyakit yang membuatmu muntah bunga adalah hanahaki. Kau ingat pernah bilang jatuh cinta padaku?"
"Untuk yang satu itu aku ingat entah kenapa. Aneh sekali~"
"Penyakit itu bisa sembuh jika perasaanmu terbalas. Namun sayangnya, aku tidak berniat begitu." Kaki Chuuya maju selangkah. Dazai mendadak mundur akibat kaget sekaligus menjaga jarak–matanya belum siap untuk menghampiri sepasang laut yang terbakar amarah.
"Bagaimana jika kau menganggapnya sebagai karma?" Satu langkah kembali dibuat oleh Chuuya. Peduli setan mau Dazai terpojok atau apa pun, kalau bisa sekalian jatuh saja dan tergilas.
"Karma apa? Kamu memang tahu sesuatu, ya. Ucapanmu aneh sejak kemarin." Baik soal kecurangan, memikirkan diri sendiri maupun hanahaki, semua terlalu janggal jika mereka asing sejak awal–terlebih cara Chuuya memberitahunya begitu enteng tanpa memikirkan apa pun.
"Semenjak kau menanyakan hal itu ingatanku langsung balik. Percaya atau tidak, kau pernah 'membunuh' seseorang secara tidak langsung dengan hanahaki." Dada Dazai ditekan oleh telunjuk Chuuya. Berkali-kali membuat penghakiman tersebut lebih melukainya yang mendadak merasa bersalah.
"Lengkapnya bagaimana?"
"Izumi Kyouka menyukaimu, tetapi kau tidak membalas perasaannya sehingga dia terkena hanahaki. Kyouka bisa sembuh dengan operasi, namun dia menolak karena enggan melupakanmu."
"Kemarin pagi kau bilang aku mengutukmu. Namun sebenarnya ..."
Kepalanya mendongak memperlihatkan sepasang laut yang melebar. Sesak bertumpahan dari sana membuat kata-kata remuk menjadi remah pelangi yang wujudnya, bukan warna-warni melainkan kelabu–luka milik Chuuya tak lagi bermakna, setelah ia membuang kenyataan untuk Dazai saksikan.
"Bukankah kau yang mengutuk dirimu sendiri karena menolak kematianku?"
"Kematian ... mu ...?"
Perlahan Dazai mengangkat tangan. Bergantian menatap hamburan sakura di genggamannya, dan pada sosok Nakahara Chuuya yang jantungnya dipenuhi bunga sejenis. Musim semi bagaikan mekar dalam tubuhnya yang diselimuti kembang merah jambu itu. Merambat dari wajah, menyentuh tangan hingga kaki dengan kelambatan yang Dazai harap, waktu ingkar sekali saja sehingga jam berhenti berdetak.
Mereka tidak harus berpisah dengan cara sebodoh ini, bukan? Pasti ada jalan keluarnya karena Dazai yakin, ia sedang bermimpi seperti kemarin malam. Hanya april mop yang dibuat seorang gadis sombong, namun tak peka mengenai perasaannya.
"Jujur. Aku tidak mau memintamu menerima ini." Surat itu diserahkan walau Dazai sempat menolak. Mengangkat kepala pun tidak akibat takhta hatinya diduduki kekeliruan mendalam.
"Tidak ..."
"Kesempatan ini hanya datang sekali. Aku tidak menyesal, sih, karena gagal memberitahu. Jika sudah berjuang tetapi gagal, apa boleh buat."
"Katakan ..." Semua ini bohong. Hanya April mop di tanggal berbeda.
"Kyouka itu sahabat baikku. Bisa-bisanya dia jatuh cinta padamu yang selalu main-main. Bagiku, kematiannya adalah karenamu. Meski Kyouka bilang 'ini bukan salah siapa pun'." Maka ketidaksengajaan ini adalah kehendak takdir. Karma dari Nakahara Chuuya yang keterlaluan dalam membohongi Dazai Osamu.
"Hanya saja aku penasaran. Jika kau tidak pernah ada tragedi ini pasti hanya dongeng. Kyouka tidak perlu menderita karenamu yang membuat semuanya jadi kacau."
"Jangan bicara lagi."
"Ada apa ini? Kau melupakan dosamu sehingga mau tidak mau, aku harus memberitahumu. Mau kabur lagi seperti pecundang, huh? Memang cocok untukmu, kok."
"Aku tidak mau kamu menghilang. Jadi, jangan bicara lagi." Semakin pelukan Dazai menginginkannya, kian sulit untuk Chuuya mempertemukan akhir di tengah mereka. Memutus benang yang bagaimanapun mencari merah di warna-warni takdir, tetap saja putih oleh perasaan tak berujung jumpa.
"Nakahara Chuuya telah menghilang dari seminggu lalu. April mop-ku benar-benar keterlaluan, ya, sampai kau menolak kematianku dan mengutuk dirimu sendiri."
"Sudah kubilang jangan bicara lagi."
"Asal kau tahu, aku hanya tidak ingin me–"
Ciuman Dazai mendesakkan egoisme sepihaknya pada bibir Chuuya. Caranya merengkuh pun semakin melupai diri, karena menegaskan kehadiran peluk yang lebih tahu betapa berharganya untuk tidak melepaskan. Ikatan semu itu patah oleh dorongan Chuuya yang lesu. Mereka sudah impas dalam melukai, walau berakhir ampas pada ketidakrelaan yang berlainan tuju.
"Dua kali."
"Apanya yang dua kali?"
"Dua kali kau membuatku menangis. Benar-benar rekor yang hebat, Dazai Osamu."
Bertepatan ketika namanya dipanggil, Chuuya menyentuh kening Dazai sebelum tubuhnya terurai dalam parade sakura. Meluruh lantas menghamburkan aroma musim semi, di mana kelopak merah jambunya berlarian diterbangkan angin–amat harum melelehkan air mata yang bernapas tersengal-sengal–tergugu-gugu meningkahi 'selamat tinggal' di bisunya rahasia.
Sewaktu Dazai membalik amplop, kereta di seberang mata datang meruntuhkan sisa langkahnya. Jendela jingga lantas membingkai pemandangan itu dengan jernih seelok luka–adalah senja di mana Nakahara Chuuya mencium Akutagawa Ryuunosuke yang baru Dazai ingat, karena memori itu absen usai kemuramannya gagal berbahasa.
Mereka berciuman di akhir Maret pada kereta yang berlawanan arah dengan jalan pulang Dazai. Krisan putih pun gugur untuk kali pertamanya, yang menyadarkan pemuda itu bahwa ia jatuh cinta pada Nakahara Chuuya.
"Salah ... Chuuya ... uhuk ... uhuk ..."
BRUKKK!
Lelah. Dazai terlalu payah untuk berdiri. Pandangannya mengabur tanpa ia harap, akan terbuka untuk mengenang tragedi mereka seorang diri.
"Kebun di kamarmu ... bukan meaningless garden." Tangan berperbannya meraih krisan putih yang baru dimuntahkan. Dazai tahu itu kelopak terakhir. Kisah ini akan segera menyudahi bab-nya dengan membunuh diri sendiri.
"Chuuya ... sudah mencintai Akutagawa-kun ... dengan ... baik ..."
"Itu ... itu lebih penting ... dibandingkan ... ter-ba-las ..." Hanya air mata yang bertahan untuk menunjukkan eksistensinya. Baik pandangan maupun suara, 'mereka' mulai larut dalam kegelapan.
Apa dengan begini Dazai telah menjemput ajal? Degup jantungnya bahkan tidak lagi muram, melainkan menyerupai 'meaningless garden' dalam arti sesungguhnya.
Tak lagi berarti, karena suara kehidupan di kebun bunganya berhenti meneriakkan Nakahara Chuuya.
Tamat.
A/N: Hasilnya mengecewakan ya ternyata. aku ngerjain fic ini dari ide dadakan, dan sempet kena WB tapi maksa lanjut. mungkin karena WB juga hasilnya enggak sesuai ekspektasiku karena menurutku, ini alurnya kecepetan deh (?). terus entah kenapa juga nyari ide buat hanahaki soukoku sulit banget. entah gara2 aku jenuh sama pairing ini atau gimana, tapi mungkin aku emang jenuh sehingga akhir2 ini memilih buat bikin pair lain. mungkin aku bakal libur bikin pair ini, mungkin juga enggak karena di tema bulan mei ini aku kepikiran buat sesuatu tentang mereka (dan kuharap enggak sekacau ini)
Oke thx buat yang udah baca, review, fav/follow atau sekedar lewat. aku menghargai apa pun yang kalian berikan padaku, terus mohon kritik sarannya juga biar fic soukoku buatanku berhenti kacau HAHAHA. buat yang mau gabung grup fanfiction addict bisa kirim no wa nya lewat PM~
