"VESSEL"

Nisca31tm-emerald

Disclaimer : Inazuma Eleven bukanlah milik saya. Saya hanyalah author yang meminjam chara yang ada di Inazuma Eleven untuk membuat fic ini. :3

Warning : AU. Banyak typo (s) dan kekurangan lainnya. Alur mungkin tidak jelas. Masih ragu apakah ini akan jadi YAOI ato enggak. Ada saran? Ceritanya mungkin dari chptr ke chptr akan semakin ghaje. Saya sudah memperingatkan anda.

Don't like don't read

Rate : T

Happy Reading~~~


Angin bertiup dengan tidak biasa di malam bulan purnama tersebut. Suara gemelutuk ranting-meranting membuat dedaunan saling bergesekan menambah suara berisik pada malam tersebut, suara petir kadang terdengar dan terlihat tusukan kilat membelah awan hitam yang menggantung. Cuaca cerah, tidak ada tanda-tanda akan hujan, namun entah kenapa awan hitam mulai berarak-arak di atas sana. Tapi bulan purnama tetap tak terkalahkan, tetap bersinar dengan angkuhnya. Kendatipun demikian, berarak-arak burung gagak beterbangan, suara 'Kaa!' dari burung-burung gagak tersebut memecah heningnya malam yang lalu disambut dengan badai ringan.

Pada sebuah mansion di tengah hutan, seorang anak kecil berumur kira-kira tujuh tahun menatap pemandangan tersebut dengan iris mata onyxnya yang dingin. Wajahnya datar, sungguh ekspresi yang tidak terduga dari seorang anak kecil seperti dirinya. Bibir anak kecil tersebut terkatup, tangan kanannya memegang kaca sedangkan tangan kirinya tak bergerak di samping tubuhnya. Sekejab kilat berwarna perak dengan cabang-cabangnya muncul dan membelah awan hitam untuk kesekian kalinya, suara gemuruh petir terdengar pada indera pendengaran sang anak. Pelan tapi pasti anak tersebut menyunggingkan senyuman penuh karismatik, iris matanya yang semula menatap dingin kini berubah lebih bersinar, seakan-akan dia terhibur. Wajah datarnya juga berubah lebih ekspresif dari sebelumnya.

"Sayang, apa yang sedang kau lihat?" Suara feminim terdengar dari belakang sang anak sebelum sebuah lengan ramping memeluk anak tersebut dari belakang dengan penuh kasih.

"Alam tengah meraung, Mom. Apakah 'mereka' sudah mendekat?" Tanya sang anak. Dia memandang ke belakang, tepat sang ibu yang tengah menatapnya dengan lembut.

"Tidak tahu, Sayang… Jika 'mereka' memang mendekat, takdirmu juga mendekat…" Sang ibu menjawab dengan raut wajah sedih walaupun di bibirnya tersungging sebuah senyuman yang ditarik secara terpaksa.

"Jika 'mereka' mencariku, apakah Mom akan menyerahkanku?" Tanya sang anak dengan nada lirih. Dia menunduk, tak memandang sedikitpun kepada sang ibu.

"Oh, Shuuya anakku…" Sang ibu memeluk sang anak dengan sangat erat, menumpahkan air mata yang sejak awal sudah dia bendung. Apapun yang terjadi, walau nyawa yang harus dia serahkan dan walaupun dia harus bersekutu dengan kegelapan, dia tidak akan pernah menyerahkan anaknya tersebut, harta satu-satunya yang masih dia miliki.

"Yang Mulia! Ada pengacau yang menyerang sisi belakang mansion!" Seorang penjaga mendobrak tempat ibu dan anak tersebut berada untuk memberingatkan sang majikan.

"Mereka datang. Ini terlalu cepat. Shuuya! Masuklah ke ruang bawah tanah. Ajak Kido bersamamu! Dia akan melindungimu dengan nyawanya. Keluarlah lewat saluran air. Kau akan aman Shuuya." Perintah sang ibu dengan tegas.

Bergetar. Tubuh Shuuya bergetar dengan hebat saat sang ibu melepaskan pelukannya. Sang ibu bergerak dengan tergesa-gesa menuju lemari besar yang terbuat dari kayu berdaun dua dengan ukiran yang sang unik pada bagian pintu dan arsitektur sampingnya. Selang beberapa detik, sang ibu mengeluarkan sebuah busur panah yang sangat indah, besar yang berkilau. Panah tersebut seakan terbuat dari kaca terbaik sedunia, pada bagian masing-masing busur tersebut berdapat berlian putih yang sangat indah, gagang busur tersebut sangat indah dan terlihat lembut berwarna putih susu. Tanpa membuang waktu, sang ibu kembali ketempat Shuuya yang masih terdiam. Kini di tangannya tidak hanya ada sebuah busur, melainkan ada sebuah buku bersampul hitam transparan dan di dasarnya berwarna coklat malam. Buku tersebut terlihat terkutuk dengan aura yang tidak mengenakkan. Buku terlarang dengan sihir terlarang, kekuatan kegelapan yang pekat.

"Bawa ini bersamamu, Shuuya!" Ucap sang ibu dengan cepat.

Shuuya mengangguk, dia berlari mengambil tas kecil dan memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya, dia menyandang busur panah yang kelewat besar untuk ukuran punggungnya. Iris matanya memancarkan ketakutan dan kecemasan, namun perilakunya tidak berubah, tetap tenang dan dingin berbeda dengan beberapa saat yang lalu ketika tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak boleh mundur, tidak boleh takut. Ini takdirnya, cepat atau lambat memang dia pasti akan mengalami ini. Dirinya tidak boleh tertangkap oleh kegelapan. Tidak sampai dia siap menanggung segala yang akan terjadi.

"Yuuto!" Panggil Shuuya dengan keras, tak berapa lama muncul seorang anak yang kira-kira seumuran dengannya. Anak tersebut memakai jubah berwarna hitam dengan iris mata yang tertutup goggles. Rambut anak tersebut panjang dengan model yang aneh.

"Ayo pergi, Yuuto."

"Iya, Danna-sama." Ucap Yuuto dengan tegas. Dia mengikuti langkah kaki Shuuya yang mulai berlari di depannya. Mereka berjalan turun menuju ruang bawah tanah.

Kini sang ibu hanya tinggal sendirian di ruangan tersebut, dengan iris mata penuh tekat, wanita anggun tersebut mengambil sebuah pedang yang berpajang di dinding kamar tersebut. Langkah kakinya yang mulai teratur beranjak pergi dari kamar tersebut menuju luar mansion, mencoba mengulur waktu hingga anaknya bisa keluar dengan selamat. Dia tahu, dia tidak akan selamat, namun pengorbanan itu perlu, bukan?

Wanita tersebut menatap nanar sekelilingnya. Darah, organ manusia dan tubuh yang bergelimpangan dan rata-rata adalah penjaga mansionnya, prajurit setianya. Langkahnya tidak berhenti meski dia berjalan di genangan darah sekalipun. Wajahnya berubah datar saat melihat seekor makhluk yang tidak jelas bentuknya tengah menggigit salah satu prajuritnya diikuti oleh sekelompok makhluk yang identik sama. Menggeromboli tubuh prajuritnya yang sudah tidak bernyawa. Pemandangan yang sangat menjijikkan.

"Aqualina…" Suara berat, serak dan bertengar mengintimidasi terdengar dari indera pendengaran wanita tersebut. Aqualina, ibu Shuuya.

"Aku tidak menyangka bertemu denganmu lagi, Lucifer." Aqualina menyahut dengan tenang. Pedang dia acungkan pada sosok pria berambut hitam dengan iris mata sehitam malam yang muncul dari sudut mati yang ada di sana. Sosok tersebut menyeringai dengan sangat sadis.

"Aku kemari untuk mengambil sesuatu yang seharusnya memang untukku, Aqualina. Serahkan Vessel itu sekarang juga! Di mana dia!?"

Angin kencang dan setajam pisau keluar dari tubuh Lucifer dan langsung menerjang tubuh Aqualina. Namun sebelum itu mengenai tubuhnya, Aqualina membuat perisai dengan pedangnya sendiri. Dia kembali menghindar saat serangan-serangan dari pria di depannya tidak berhenti juga.

'Larilah, Shuuya! Lari sejauh yang kau bisa…'

# # #

"Hm?"

Langkah Shuuya terhenti, dia memandang ke lorong yang ada di belakangnya. Saat ini dirinya dan Yuuto sedang berlari beriringan di saluran air yang akan membawa mereka keluar mansion.

"Ada apa, Danna-sama?" Ucap Yuuto. Dia menatap tuan mudanya dengan cemas, sedikit suara saja yang tercipta membuat anak muda tersebut waspada. Dia harus melindungi tuan mudanya, apapun yang terjadi.

"Tidak, ayo jalan, Yuuto." Ucap Shuuya. Dia berbalik dan kembali berlari.

'Kuharap kau selamat, Ibu…'

Saluran air tersebut pengap dan dingin. Untunglah sekarang sedang musim kemarau sehingga saluran air tersebut tidak terendam oleh air. Sesekali Yuuto memandang ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Saluran air ini memang rahasia, bahkan prajurit saja banyak yang tidak tahu. Yuuto memandang tuan mudanya yang berlari satu langkah di depannya dalam diam. Dia tahu, tuan mudanya ini pasti sangat ingin kembali dan menyelamatkan ibu serta prajurit yang berada di mansion, namun demi menjunjung tinggi keinginan ibunya yang mengharapkan agar dirinya hidup, makanya tuan mudanya ini menulikan telinga, membutakan matanya serta membangun dinding tebal di hatinya agar dirinya terus dapat melangkah maju. Demi memegang sebuah janji dan mencari tahu takdir diri sendiri.

'Pasti berat, Danna-sama.' Ucap Yuuto dalam hatinya sambil memandang punggung sang tuan muda.

Dalam hati Yuuto bersumpah akan melindungi tuan mudanya ini walau dengan taruhan nyawa. Yuuto akan setia berada di sisi tuan mudanya ini walau kelak mereka harus terisap oleh kegelapan. Walau nanti jalan yang dilalui tuan mudanya ini terjal, berduri, dan sangat sulit untuk dijalani, Yuuto akan setia membantu dan melindungi sang tuan muda. Sumpah setia adalah janji yang sudah dia ikrarkan tidak akan pernah dia khianati.

Cahaya bulan yang memancar di ujung lorong membuat langkah Shuuya dan Yuuto semakin cepat. Mereka harus bergegas sebelum keberadaan mereka ketahuan oleh musuh. Para pengacau itu adalah budak kegelapan, dan mereka mengincar Shuuya. Mereka harus terus berlari meski tempat yang aman di atas bumi ini hampir tidak ada.

Ujung dari saluran air adalah sebuah gua yang berada tepat di depan hutan yang sangat gelap. Shuuya dan Yuuto kini berhenti menginjak tanah dan bebatuan yang lembab dan dingin, berganti oleh rerumputan yang berada di depan gua tersebut. Shuuya memandang mansionnya yang berada di atas bukit yang terlihat kecil tersebut dengan pandangan sendu, rupanya mereka berlari begitu jauh. Dia tetap memasang wajah sendu namun datar ketika melihat sedikit demi sedikit asap dan api menyelubungi mansionnya tersebut. Rupanya sudah tidak ada yang tersisa lagi untuk dia kenang. Dia mengabaikan Yuuto yang memandangnya penuh kecemasan, dia hanya ingin melihat detik-detik terakhir dari mansionnya tersebut.

"Danna-"

"Yuuto…" Shuuya memotong ucapan Yuuto.

"Danna-sama?"

"Yuuto… Kau bukan pengawalku lagi. Kau bebas sekarang. Pergilah kemanapun engkau ingin dan lakukan apa yang engkau mau." Ucap Shuuya, dia mulai melangkah menjauhi Yuuto dan akan masuk ke dalam hutan, tempat teraman yang bisa dia capai sekarang.

"Tidak, Danna-sama. Tempat yang paling saya ingin pergi adalah tempat di mana Anda berada. Hal yang saya mau adalah terus berada di sisi Anda sampai kapanpun juga. Saya tidak akan bosan, Danna-sama. Saya akan melindungi Anda dengan nyawa saya sebagai taruhannya. Nyawa saya, diri saya dan kemampuan saya adalah milik Anda, Danna-sama." Ucap Yuuto, dia berlutut di belakang Shuuya, meminta pertimbangan dan menunjukkan kesungguhannya kepada sang tuan muda. Walau umurnya masih tujuh tahun, namun Yuuto memiliki tekat yang kuat. Darah keluarga Kido mengalir dengan kental di nadinya.

"Yuuto…Apa kau percaya padaku?" Tanya Shuuya. Dia memandang Yuuto dengan intens.

"Ya, Danna-sama. Apapun yang Anda katakan, apapun yang Anda lakukan, saya akan selalu percaya pada Anda." Walau itu sebuah kebohongan sekalipun. Tambah Yuuto dalam hatinya.

"Kalau begitu, ayo kita pergi, Yuuto!"

"Baik, Danna-sama."

Kedua sosok anak kecil tersebut hilang ditelan hutan yang teramat gelap dari luar, bahkan sinar bulanpun tidak dapat menembus kedalam hutam tersebut. Tersembunyi, terlupakan, ditakuti dan terasingkan adalah sebutan untuk hutan gelap tersebut. Hutan larangan.

# # #

BRAKK! PRANG!

Suara benda dipukul dengan keras diikuti oleh pecahnya sesuatu yang berbuat dari kaca atau keramik memenuhi ruangan tersebut. Sang pelaku tengah menggeram kesal kepada bawahannya yang tengah menunduk dengan tubuh yang bergetar. Dia benci jika apa yang dia ingini tidak bisa dimiliki. Dia benci saat anak buahnya tidak bisa mengabulkan apa yang dia kehendaki. Sebaiknya mati saja jika tidak berguna baginya. Dan itulah yang dia lakukan. Membunuh anak buah sendiri tanpa bekas sedikitpun.

"Hiroto." Panggil Lucifer kepada seseorang yang sedang bersandar di sudut ruangan tersebut, seorang anak berambut merah dengan iris mata berwarna emerald yang sangat indah. Namun wajah anak tersebut datar, tidak memiliki emosi, sama seperti boneka porselin indah yang tidak bisa disentuh dengan sembarang.

"Ya, Tuan?" Ucap Hiroto. Dia dengan sekejap sudah berlutut di hadapan Lucifer. Menunduk dalam menunggu perintah dari tuannya.

"Kau tahu apa yang menjadi buruanku, Hiroto?" Tanya Lucifer dengan angkuh. Bibirnya menyunggingkan sebuah seringaian.

"Tidak, Tuan."

"Buruanku adalah sebuah Vessel. Vessel yang bisa membelengguku selamanya jika dia sudah siap. Dan aku tidak mau itu terjadi. Vessel itu tidak boleh jatuh ke tangan para pembelot. Prajurit cahaya tidak boleh mendapatkannya terlebih dahulu. Kau mengerti maksudku, kan? Hiroto?"

"Saya mengerti, Tuan."

"Apakah kau ingin bertanya lebih lanjut?"

"Tidak, Tuan. Menjalankan perintah adalah tugas saya. Mendengarkan penjelasan Anda adalah kehormatan saya. Dan ketidaktahuan akan membuat saya fokus menjalankan perintah Anda. Saya yakin apa yang Anda katakan sudah cukup bagi saya." Sahut Hiroto dengan dingin. Dia memang bagai boneka, boneka abadi milik Lucifer.

"Itulah kenapa aku sangat mempercayaimu, Hiroto. Tapi aku tidak ingin kau turun tangan sekarang, karena Vessel itu belum matang. Dia masih belum bisa menentang kita. Biarkan prajurit yang mencarinya sampai saat itu tiba."

"Baik, Tuan…"

"Jangan pernah mengkhianatiku, Anakku Hiroto."

"Ya, Ayah." Sahut Hiroto. Iris matanya berkilat tajam seakan baru saja tertarik pada sesuatu hal.

# # #

Di sebuah ruangan serba putih, elegan dan indah tengah berkumpul banyak orang berpakaian bangsawan berwarna putih, mereka seperti tengah rapat dan membahas sesuatu yang penting. Yang menjadi pimpinan rapat tersebut adalah seorang gadis muda berambut coklat muda dengan iris mata kemerahan. Dia menatap kumpulan orang yang lebih tua darinya dengan intens, meminta mereka untuk bersuara. Namun tak ada sedikitpun suara, membuat gadis tersebut menghela nafas dan dia memandang seorang paruh baya yang memiliki rambut putih, jenggot dan kumisnya berwarna putih hampir menutupi lehernya. Dia memakai kacamata bundar berwarna hitam sehingga tidak terlihat seperti apa pandangan matanya saat ini.

"Tuan Hibiki. Bagaimana pendapat Anda?" Tanya gadis tersebut.

"Lucifer sangat keterlalun. Dia menyerang mansion milik Aqualina Schiller, padahal setahu saya Aqualina adalah golongan netral yang tidak memihak antara prajurit cahaya atau Lucifer." Sahut pri paruh baya tersebut. Seigou Hibiki.

"Jadi apa yang diincar Lucifer? Apa yang dimilik Aqualina?" Tanya gadis itu lagi.

"Ada desas desus yang mengatakan jika yang diincar oleh Lucifer adalah Vessel. Namun sepertinya, Lucifer masih belum bisa menemukan Vessel tersebut. Kali ini seorang pria yang memiliki rambut berwarna ungu gelap dengan sebelah poni yang menutupi salah satu iris matanya yang berwarna hitam. Michiya Kudou.

"Vessel? Jadi itu benar-benar ada?"

"Kepastiannya adalah abu-abu." Sahut Michiya Kudou dengan tangan terlipat di dada dan mata terpejam.

Kini ruangan tersebut sunyi, semua pasang mata kini memandang gadis berambut coklat yang memimpin rapat tersebut. Meminta pendapat sekaligus keputusan dan langkah apa yang akan mereka ambil. Gadis muda tersebut memejamkan matanya seakan berpikir sebelum dia kembali menampilkan iris mata kemerahan miliknya yang memandang semua yang ada di ruangan tersebut.

"Jika memang Vessel itu benar-benar ada. Kita harus mencarinya. Jangan sampai Lucifer menemukannya lebih dulu. Mungkin saja itu adalah cara satu-satunya yang kita miliki. Sepertinya kita harus bergantung pada ramalan lagi kali ini." Sahut gadis muda tersebut dengan senyuman di bibirnya.

"Kau tau, Natsumi. Kadang aku benci ramalan, karena itu tidak pernah membuat hidupku tenang…" Sahut seseorang gadis yang mungkin umurnya tidak berpaut jauh dengan gadis beriris mata kemerahan.

"Aphrodi, ramalan kali ini sepertinya akan lebih membuat hidupmu lebih tidak tenang." Sahut Gadis beriris mata kemerahan. Natsumi Raimon.

"Tapi jika itu untuk mengalahkan Lucifer, maka aku akan melakukannya."

"Memang itulah yang juga aku pikirkan. Baiklah semuanya! Rapat kali ini kita sudahi sampai di sini. Cari informasi tentang Vessel itu dan temukan. Jangan sampai kita kedahuluan oleh Lucifer lagi." Tegas dan penuh wibawa. Walau umurnya memang sangat muda, Natsumi memiliki kemampuan dalam memimpin untuk menggantikan ayahnya yang berada di balik layar.

TBC


Read and Review ya … :3

Lanjur or delete?