Bleach : Tite Kubo
"Trust Me"
.
.
.
.
僕はついてゆけるだろうか 君のいない世界のスピードに
Boku wa tsuite yukerudarou ka kimi no inai sekai no supīdo ni
Can I really keep up with the speed of the world where you're not in here (the world without you) - Kurosaki Ichigo Bleach Vol. 49
Kuchiki Rukia tersenyum melihat sang kekasih berlari kecil menggiring bola basket di tangan kanannya, melewati beberapa orang yang menghadangnya, dan berhasil dengan sukses menembakkan bola itu masuk ke dalam ring. Kurosaki Ichigo tersenyum lebar dan melompat kegirangan, rambut orange jabriknya terlihat kusut dan wajah tampannya yang bermandikan keringat membuat rona merah samar-samar terlihat di wajah putih Rukia.
"Rangiku-san, kemarin aku dan Ishida-kun mencoba legenda di perempatan Shibuya itu dan kami berhasil bertemu di tengah-tengah saat ribuan orang menyeberang," jelas seorang anak perempuan berambut panjang dengan wajah senang seperti menerima warisan yang tak terhingga jumlahnya.
"Wah itu bagus Orihime. Itu tandanya kalian berjodoh. Untung saja kau tak seperti Nell dan Ashido. Kudengar mereka putus setelah gagal bertemu di tengah-tengah perempatan."
Buru-buru Rukia mengalihkan pandangannya dari kaca jendela yang masih menampakkan sang kekasih kembali menggiring bola basket dengan lincahnya. Sejujurnya ia bukan tipe orang yang suka menguping pembicaraan orang lain. Namun kali ini lain, ia ingin memastikan apakah tadi indra pendengarannya tidak salah menangkap sumber suara yang mengatakan Nell dan Ashido putus?
Dilangkahkannya sepasang kaki mungil itu menjauh dari jendela di sisi kiri kelas dan melangkah kecil mendekati meja Inoue dan Rangiku. "Rangiku-san apa benar yang kau katakan tadi?"
"Eh Rukia-chan, kau mendengar apa yang tadi kami bicarakan?"
Rukia mengangguk malu. Siapapun pasti akan mendengar percakapan mereka yang lumayan keras, di kelas yang sepi, saat semuanya sedang istirahat seperti sekarang ini bukan?
"Berita yang kudengar begitu. Pasangan yang selalu mengumbar kemesraan, dan membuat iri setiap orang yang melihatnya itu baru saja putus kemarin. Aku tidak tahu kenapa, tapi yang jelas mereka putus setelah mencoba legenda di perempatan Shibuya yang terkenal itu."
"Legenda perempatan Shibuya?" tanya Rukia dengan dahi berkerut. Seingatnya tidak ada hal yang menarik di perempatan Shibuya, kecuali saat musim hujan-dimana kau bisa melihat lautan payung berwarna-warni di tengah-tengah perempatan.
"Hee? Kau benar-benar tidak tahu Kuchiki-san?" tanya Inoue dengan mimik muka kaget melihat wajah polos Rukia. "Padahal berita itu sedang hangat dibicarakan semua orang di sekolah ini, ralat mungkin dibicarakan oleh remaja diseluruh Jepang. Bila kau dan kekasihmu berjalan berseberangan jalan-tanpa berkomunikasi dan kalian bertemu di tengah-tengah perempatan saat ribuan orang menyeberang, itu tandanya kalian berjodoh," ungkapnya dengan mata berbinar-binar.
"Tapi bila tidak..."lanjut Rangiku dengan muka menakutkan-mungkin bila ini di sebuah film anime, di belakang Rangiku akan berlatar hitam dengan beberapa hantu putih bergentayangan dan sanggup membuat dua orang gadis dihadapannya menahan nafas. "Kalian akan putus seperti Nell dan Ashido. Kau mau mencoba legenda ini tidak Rukia-chan?"
.
.
.
.
Kuchiki Rukia berdiri bersandar pada salah satu pintu gerbang sekolah yang terbuat dari batu bata dan dicat dengan warna abu-abu gelap. Ia mengeram kesal dan sesekali melirik jam berwarna seputih salju yang melingkar manis di tangan kirinya. "Terlambat lima menit lagi, akan kutinggal kau Kurosaki Ichigo!"
"Siapa yang akan kau tinggal bodoh?"
Sebuah suara yang begitu ia kenal, tentu saja karena suara inilah yang selalu menemaninya beberapa bulan terakhir. Rukia menoleh dan menatap tajam sepasang mata amber yang balik menatapnya lembut. Mata itu seolah bisa menghangatkannya dan melindunginya dari dinginnya angin kelabu yang kapan saja bisa menusuk pori-pori kulit. "Kenapa kau terlambat Kurosaki? Bukankah tadi kau bilang sebentar? Aku sudah menunggumu disini sela-"
Tangan besar dan hangat milik sosok berambut orange itu langsung membungkam bibir mungil milik Rukia, mencegahnya untuk berteriak lebih keras dan memarahinya. Bukan karena ia tak suka melihat wajah lucu kekasihnya saat marah. Bukan juga karena malu menjadi tontonan gratis setiap orang yang lewat. Hanya saja ia tak suka mendengar kata 'Kurosaki' meluncur dari bibir mungil kekasihnya. "Bukankah kau tahu, aku tidak suka dipanggil Kurosaki, Rukia-chan?" tanya Ichigo sambil mendekatkan wajahnya hingga kening mereka bersentuhan.
"Awww!" Ichigo mengerang dan terpaksa melepas bungkaman tanggannya pada Rukia, saat ia merasakan saraf di kaki kirinya mendadak mengirimkan gelombang menyakitkan dan membuat mata amber itu melotot kepada gadis mungil di depannya -yang baru saja dengan sekuat tenaga menginjak kaki kirinya.
Rukia tersenyum penuh kemenangan. "Rasakan itu Ichigo-kun," ucapnya seraya berlari meninggalkan Ichigo yang masih sibuk memegang kaki kirinya, berlari sejauh mungkin sebelum Ichigo sempat membalas kelakuannya.
"RUKIAAA!" Ichigo segera berbalik dan berlari mengejar kekasihnya yang telah hilang di ujung belokan. Jujur, ia sendiri tak menyangka kekasih mungilnya itu memiliki 'kekuatan' luar biasa yang sanggup membuatnya meringis ataupun berteriak kesakitan. Baru tahap pacaran saja sudah 'disiksa' seperti ini, bagaimana kalau menikah nanti? Ichigo hanya bisa menggelengkan kepalanya, tanda ia tak mampu berpikir lagi.
.
.
.
.
Tokyo tidak seperti ibukota negara lain yang memiliki banyak gedung pencakar langit. Walaupun Tokyo merupakan daerah terpadat di Jepang serta daerah metropolitan terbesar di dunia, kota ini rawan akan gempa, oleh sebab itu jumlah gedung pencakar langit di Tokyo lebih sedikit bila dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Jepang. Bangunan di Tokyo kebanyakan terdiri dari apartemen tingkat rendah (6 hingga 10 lantai).
Tokyo juga merupakan lokasi sistem, transportasi massal paling kompleks di dunia, dan terkenal akan jam-jam sibuknya yang padat, tak terkecuali Shibuya-yang masih termasuk dari 23 distrik istimewa kota Tokyo. Shibuya dianggap sebagai pusat budaya remaja Jepang, distrik ini mempunyai salah satu penyeberangan umum tersibuk di dunia, di depan pintu keluar Hachiko.
Kuchiki Rukia menghentikan larinya begitu ia melihat perempatan Shibuya yang seakan menyindirnya dan menatapnya dengan angkuh. Perkataan Inoue dan Rangiku terus berputar bagai sebuah film di memori otaknya. Kristal violet itu terlihat ragu, saat melihat ribuan orang dari berbagai ras menunggu lampu berwarna hijau untuk menyeberang perempatan yang cukup lebar itu. Berbagai pertanyaan mucul memenuhi pikirannya, salah satunya adalah benarkah legenda perempatan Shibuya itu? Rukia menelan ludah, tangan mungilnya bergetar. Ia tersentak saat sebuah tangan besar dan hangat menyentuh dan meremas pelan jemari mungilnya. "Ichigo?"
Ichigo tersenyum. "Larimu cepat juga midget," sindirnya. Rukia terdiam, ia sama sekali tak berniat melawan ataupun membalas ejekan Ichigo, seperti yang ia lakukan setiap harinya. Sepasang hazel milik Ichigo hanya menatap sepasang amethys yang balik menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang tengah dipikirkan gadis itu melalui sorot matanya.
Menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan kekasih mungilnya, Ichigo menggenggam tangan mungil Rukia lebih erat. Tangan kanannya beralir pada leher kekasihnya dan membenarkan letak syal putih bermotif chappy yang terlihat berantakan. "Kau kenapa? Apa ada masalah? Atau jangan-jangan kau sakit?" tanya Ichigo lembut. Tangan kanannya beralih memegang kening Rukia.
Gadis itu menggeleng pelan dan meraih tangan Ichigo yang masih menempel pada keningnya, meremasnya kuat."Ichi, aku ingin mencoba legenda perempatan Shibuya itu. Kau mau kan?"
Ichigo tersentak. Legenda perempatan Shibuya? Legenda konyol itu? Akhir-akhir ini ia memang mendengar desas desus legenda itu dari teman-temannya. Dan yang lebih membuatnya terkejut Nell dan Ashido putus hanya karena legenda konyol itu? Ia sendiri sampai heran mendengarnya. Sekarang Rukia, Ichigo tak menyangka kekasih mungilnya yang biasanya tak pernah percaya dengan namanya ramalan atau apapun itu, tergoda juga untuk mencoba? Oh Kami-sama, apa sebenarnya yang sedang terjadi?
"Ichi, kau mau tidak?" Pertanyaan Rukia membuatnya terlempar kembali ke alam kenyataan. Sang hazel menatap kristal violet itu dalam-dalam. Hatinya tak kuasa menolak permintaan bidadari mungilnya. Ichigo menghela nafas berat. "Baiklah."
.
.
.
.
Rukia melihat beberapa orang -dari ribuan orang disekelilingnya yang memadati dan menunggu lampu perempatan Shibuya berubah warna menjadi hijau sedang sibuk membenarkan syal rajutan mereka. Ramalan cuaca yang disiarkan di saluran televisi swasta maupun pemerintah di Jepang memang selalu benar. Hawa dingin mulai menusuk, apalagi di puncak musim dingin seperti bulan Februari ini. Namun anehnya, Rukia tidak merasakan dingin. Hawa disekelilingnya mendadak terasa panas. Mungkinkah ini efek dari kegugupannya untuk mencoba legenda itu? Ataukah dirinya yang belum siap untuk kehilangan Ichigo?
Rukia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia harus berpikiran positif dan yakin. Bukankah sewaktu dirinya menyuruh Ichigo untuk menyeberang di sisi yang lain, ia melihat pemuda itu tampak tenang? Sepertinya Ichigo yakin kalau mereka akan bertemu di tengah-tengah perempatan. Seharusnya Rukia mampu bersikap seperti itu, tetapi entah kenapa hatinya berkata lain. Mungkinkah ini sebuah firasat buruk?
.
.
.
.
Kurosaki Ichigo menghela nafas berat saat melihat lampu penyeberangan telah berganti warna, sejujurnya ia malas mencoba legenda yang menurutnya konyol dan aneh itu. Kalau bukan karena permintaan Rukia-yang tak mungkin ia tolak, ia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah untuk tidur siang-meskipun hari sudah sore.
Kristal coklat musim gugur itu membulat tatkala ia melihat seseorang yang begitu dikenalnya sebagai adik sepupunya dari Kyoto, Senna, sedang jatuh terduduk di jalanan Shibuya yang dingin -tentu saja karena salju masih terlihat menumpuk tebal di beberapa ruas jalan. Sepertinya Senna baru saja melakukan kesalahan fatal, ia tak mengikuti kecepatan berjalan orang-orang disekitarnya sehingga dalam beberapa detik saja, orang-orang langsung menubruknya dari segala arah. Kurosaki Ichigo terkikik geli, menyadari kebodohan sepupunya. Namun ia segera menghentikan tawanya begitu ia ingat, bukankah kota Kyoto tak sebesar dan seramai kota Tokyo?. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera berbalik arah dan menghampiri Senna untuk membantunya berdiri ataupun sekedar untuk menyapa karena mereka sudah lama tak bertemu.
Dan sepertinya kali ini, Ichigo benar-benar melupakan satu hal penting dan mungkin akan merubah kehidupannya dalam beberapa hari ke depan.
.
.
.
.
Sepasang kaki mungil milik Rukia mulai melangkah ragu, berjalan dengan cepat untuk segera melewati perempatan yang menurutnya menyebalkan dan tentu saja berdoa agar dapat bertemu dengan Ichigo. Namun sepertinya takdir ingin terlebih dahulu memainkan melodi nasib sepasang insan tersebut. Sepasang mata amethys milik Rukia, menangkap sesosok yang tentu tak asing baginya tengah memeluk seorang gadis berambut ungu-yang menurut Rukia, bila disandingkan dengannya ia akan merasa seperti itik buruk rupa dengan baju yang salah.
Saat itu juga, entah bagaimana bisa, udara bebas yang dianugerahkan oleh Tuhan tiba-tiba saja terasa kosong dan membuat Rukia kesulitan untuk bernafas. Pandangan disekelilingnya menjadi kabur yang diakibatkan butiran air mulai keluar dari pelupuk mata. Berbagai pikiran mulai berkecamuk membenarkan legenda itu dan membuat kepalanya pusing. Kaki mungilnya mengambil seribu langkah untuk berlari menjauh, meninggalkan Ichigo yang masih tidak sadar akan kehadirannya dan juga meninggalkan perempatan Shibuya yang kini seolah menyindirnya dan tersenyum penuh kemenangan.
"Berhenti! Berhenti," teriak Rukia. Kamar bernuansa putih dengan berbagai pernak pernik Chappy itu terlihat berantakan, semua barang telah berhasil dilemparkan oleh sang pemilik kamar. "Kubilang berhenti!" teriak Rukia lalu melempar sebuah guling yang tak berdosa itu ke lantai kamar yang dingin. Air matanya tak bisa berhenti, memori Ichigo yang tengah memeluk gadis itu terlintas berulang kali dibenaknya. Ia lelah, sungguh ia lelah berteriak dan menangis seperti orang gila.
Drrt...Drrt...Drrt
Getar handphone di tepi tempat tidur mengeluarkan suara bersisik hingga membuat emosi Rukia kembali memuncak, dengan kasar ia meraih handphone itu dan melemparnya tepat mengenai pintu masuk. "Kau pembohong Kurosaki Ichigo!". Dan setelahnya, Rukia memilih meringkuk di tempat tidur, membenarkan legenda yang awalnya dianggap konyol dan sepertinya dia harus berusaha keras untuk mengucapkan kata putus, sebelum 'kekasihnya' terlebih dahulu mengucapkan kata-kata itu untuknya.
.
.
.
.
Sinar yang terpantul dari sepasang mata hazel milik Ichigo terlihat lelah dan redup. Wajah tampannya terlihat kusut yang mungkin disebabkan karena ia tidak tidur semalam, memikirkan Rukia tentu saja. Si rambut orange bingung kenapa tiba-tiba saja kekasihnya itu menghilang di tengah-tengah perempatan. Apa mungkin perawakan Rukia yang 'mungil', membuatnya tidak terlihat karena tertutup dengan ribuan orang yang lalu lalang menyeberang? Sepersekian detik kemudian, Ichigo dengan cepat membuang jauh-jauh pikiran konyol itu dari otaknya. Apa pemuda jeruk itu tak berusaha mencari gadisnya? Oho, kemarin ia dan Senna sudah tujuh kali menyeberang perempatan Shibuya untuk mencari Rukia, namun hasilnya nol besar. Setelahnya ia berusaha menghubungi gadis mungil itu tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Ichigo cemas, tentu saja.
Dan sekarang, pemuda berambut orange itu berdiri di depan pintu kelas 2-3, menunggu kekasihnya persis seperti seorang security dengan kerutan permanen khas yang terlihat menyeramkan bagi kebanyakan siswa yang melihatnya. Bel masuk hampir berbunyi, namun rupa-rupanya batang hidung Rukia sama sekali belum terlihat.
Ichigo hampir putus asa, namun sedetik kemudian ia tersenyum lebar-bagai seorang anak kecil yang baru saja menerima hadiah dari ibunya. Kristal coklat tua itu melihat Rukia-beberapa meter jauhnya darinya sedang tersenyum membalas sapaan orang-orang yang mungkin mengenalnya, namun saat pandangan mereka bertemu, Rukia melengos dan membuang muka. Ia melangkah pasti menuju ruang kelas tanpa memperdulikan Ichigo dan menganggapnya hanya sebagai pajangan yang layak untuk diacuhkan.
"Aku ingin bicara," kata Ichigo dan langsung menarik tangan Rukia, menjauh dari pintu kelas 2-3. Si Mungil protes dan berteriak, hingga beberapa orang yang melihat mereka mengernyitkan dahi. Tetapi sepertinya Si Orange tidak peduli dan tetap melanjutkan langkahnya menuju atap sekolah. Ia butuh alasan kenapa Rukia bersikap seperti itu padanya. Sepertinya Ichigo belum menyadari kesalahannya kemarin.
Atap tidak seperti biasanya, sekarang di sudut-sudut bertumpuk salju tidak hanya di sudut tapi juga menutupi seluruh atap. Tinggi salju di atas mata kaki dan membuat sepatu hitam Rukia agak tertimbun. Rukia menghentakkan tangan Ichigo dengan kasar dan melepas sepatu kanannya lalu menggoyang-goyangkannya agar salju yang masuk ke dalam sepatunya keluar. Ia tidak menyadari Ichigo mendekatinya karena terlalu fokus mengeluarkan salju yang ada di dalam sepatunya.
Saat dirasa semua salju yang ada di sepatunya keluar Rukia memasang sepatunya lagi tapi tangan kekar Ichigo menahannya dan menempelkan tangannya ke tembok. Rukia berusaha berkelit. "Kau ini kenapa?" teriak Rukia.
"Hei, itu pertanyaanku. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Kenapa kau kemarin pergi meninggalkanku begitu saja di perempatan Shibuya? Tidak menjawab ataupun membalas pesan dariku, lalu sekarang kau berusaha menghindariku. Aku salah apa Rukia? Jangan membuatku bingung seperti ini!" bentak Ichigo keras.
Rukia tersenyum sinis. "Kau tahu apa salahmu Kurosaki-sama? KAU MELUPAKAN KESEPAKATAN KITA UNTUK BERTEMU DI TENGAH-TENGAH PEREMPATAN SHIBUYA! DAN PARAHNYA LAGI, KAU MELUPAKAN ITU, MELUPAKANKU, HANYA UNTUK MEMELUK SEORANG WANITA DI TEPI PEREMPATAN. KAU PAHAM?" teriak Rukia.
Ichigo mengerjapkan kedua matanya, menyadari apa yang membuat gadis mungilnya begitu marah. Si Orange tersenyum kecil, ia senang tentu saja. Baru kali ini, pemuda itu melihat Rukia cemburu dan menurutnya wajah kekasihnya saat sedang cemburu menjadi semakin imut. "Hei, kau sa-"
"Legenda itu benar dan sekarang kita putus. Apapun yang terjadi aku tidak peduli lagi padamu dan jangan pernah menggangguku!" seru Rukia memotong kata-kata Ichigo, lalu menarik tangannya dan berlari ke pintu keluar, meninggalkan Ichigo yang masih diam mematung dengan tanda tanya besar di atas kepala. Otaknya berusaha mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat. Rukia minta putus? Gara-gara legenda konyol dan salah paham? Apa tadi ia tak salah dengar?
Dengan cepat Ichigo berbalik arah dan berlari mengejar Rukia. Ia mengeram kesal, saat mengetahui Urahara-sensei telah memasuki ruang kelas 2-3. Tak mungkin Ichigo mengikuti pelajaran dengan kondisi pikiran kacau seperti ini, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke atap untuk membolos, terduduk di bawah lalu berbaring sambil melihat langit luas. Udara dingin tak dipedulikannya, ia sempat berfikir apakah ini hukuman Kami-sama karena dulu ia menertawakan Ashido yang putus dengan Nell gara-gara legenda itu?
.
.
.
.
Berita tentang putusnya hubungan Ichigo dan Rukia karena 'legenda' itu, menyebar dengan sangat cepat-mungkin bisa saja melebihi kecepatan shinkansen yang setiap hari tanpa lelah mengantar ribuan orang dari satu tempat ke tempat lainnya. Berita itu cukup disambut baik oleh fans fanatik Ichigo, kesempatan emas untuk meraih pemuda impian mereka akan terbuka sangat lebar.
"Hei, apa berita itu benar?" tanya Ashido berdiri bersandar pada pintu atap dan mengamati sahabat baiknya tengah terlentang menatap langit biru.
"Menurutmu?" Ichigo bertanya balik, dengan nada ketus tak seperti biasanya.
"Menurutku? Sepertinya berita itu benar, karena tadi aku melihat Rukia menerima ajakan Grimmjow untuk makan siang besama."
"APAAA?" Ichigo langsung terduduk, sepersekian detik kemudian jantungnya seakan berhenti berdetak dan cukup untuk membuat otaknya mendidih menahan amarah.
"Kau bodoh! Seharusnya kau segera minta maaf dan menjelaskan semuanya pada Rukia. Kau mau Grimmjow bertindak cepat dan merebutnya darimu?"
Ichigo menggeleng dengan cepat. "Tentu saja tidak. Aku tidak akan membiarkan makhluk aneh berambut biru itu mendekati Rukia. Oh iya, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, apa kau percaya pada legenda itu?"
"Hubunganku dengan Nell memang agak kurang membaik beberapa hari belakangan, dan ketika mendengar soal legenda itu, kami memutuskan untuk mencoba. Kau tahu kenapa? Ya, kami ingin mengetahui apakah takdir masih berpihak pada kami untuk terus melanjutkan hubungan atau tidak."
Kerutan di dahi Ichigo bertambah. "Maksudmu?"
Ashido meghela nafas berat. "Kau ini benar-benar bebal ya Ichigo. Kadang aku malu mempunyai teman sepertimu," ucap Ashido yang berhasil mendapat tatapan membunuh khas Kurosaki Ichigo. "Jika aku dan Nell memang ditakdirkan untuk bersama maka takdir itu juga akan menuntun kami untuk bertemu di tengah-tengah perempatan."
.
.
.
.
Cukup sulit untuk mendekati Rukia dan meminta maaf karena mendadak Grimmjow berubah layaknya seorang pengawal yang harus melindungi tuan putrinya dari serangan makhluk aneh berkepala orange. Kali ini, Ichigo lebih memilih menunggu di depan gerbang sekolah, berharap saat pulang makhluk berambut biru menyebalkan itu tidak lagi berada di samping gadis mungilnya.
Oh tetapi sepertinya harapan itu tinggal harapan dan kemudian menghilang terbawa angin musim dingin yang mulai menusuk, karena sedetik kemudian lipatan di dahi Ichigo bertambah. Dari kejauhan sang pemilik mata hazel menangkap makhluk berambut biru langit itu tengah berbicara dengan Rukia sambil memainkan ponselnya layaknya bintang terkenal. Cih, itu membuat Ichigo muak.
Drrt...Drrt...
Getar handphone di saku celananya membuat Ichigo sedikit kaget, dengan kesal dia mengambil handphone itu dan membaca sebuah pesan masuk. Tangan Ichigo terkepal kuat, dan setelahnya ia segera berlari meninggalkan sekolah. Tanpa menyadari sepasang mata ungu milik Rukia menatapnya dengan cemas. Ya, gadis mungil itu merasa ada sesuatu yang buruk akan menimpa mantan kekasihnya itu. Sedetik kemudian, ia menggelengkan kepalanya, bukankah ia sudah bertekad untuk melupakan Ichigo dan tidak akan peduli lagi dengannya? Lalu kenapa sekarang hatinya ragu?
.
.
.
.
Kurosaki Ichigo bersiap di atas jok motornya. Suara motornya meraung-raung, bersama suara motor Grimmjow yang juga bersiap di garis start. Ichigo menoleh ke arah pemuda berambut biru itu yang kini menatapnya dengan senyum meremehkan seperti biasa. Ichigo ingat betul pesan dari Grimmjow yang diterimanya tadi saat pulang sekolah. Kalau ia berhasil mengalahkannya dalam balap motor liar ini, Grimmjow berjanji tidak akan mendekati Rukia. Dan Ichigo harus menang, tentu saja.
"Jalanan aman!" teriak seorang pemuda berambut kuning yang Ichigo kenal sebagai Kira Izuru. Mendengar teriakan itu Ichigo dan Grimmjow segera berkonsentrasi.
"Tiga...dua...satu...GO!"
Ichigo segera melesat meninggalkan garis start. Kali ini ia tidak akan memberi kesempatan pada pemuda berambut biru itu. Sejak awal Ichigo berusaha menutup jalan balap Grimmjow. Tujuannya tentu saja, agar di tikungan nanti Grimmjow tidak optimal mengeluarkan jurus slidding-nya.
Takdir kata itu bersifat mutlak, absolut dan tak bisa dirubah. Bagaimanapun seseorang berusaha mnegubahnya itu akan sia-sia.
Di sekitar jalan Akihabara, pemuda berambut orange itu merasakan sesuatu hal yang aneh. Seharusnya tengah malam begini, jalan Akihabara sepi, namun sekarang yang Ichigo lihat, jalan ini nampak ramai. Sepersekian detik kemudian, ia baru sadar. Ichigo segera membelokkan motornya ke jalan kecil di dekatnya. Sementara itu dari arah berlawanan, puluhan petugas polisi, sebagaian diantaranya memakai motor, menuju ke arahnya. Mereka menyebar dan memblokade setiap jalan yang diperkirakan menjadi tempat kaburnya target mereka. Pemuda berambut orange itu memacu motornya melewati jalan-jalan alternatif di sekitar kawasan Akihabara. Beruntung, saat ini untuk sementara, Ichigo berhasil lolos. Polisi yang mengejarnya belum tampak. Mungkin karena banyak cabang jalan di daerah Akihabara. Namun, ketika ia melihat perempatan di ujung jalan yang telah di blokir polisi, Ichigo sedikit panik dan langsung membelokkan motornya ke kiri. Kristal coklat itu sama sekali tidak melihat hamparan salju di sebagian badan jalan yang membuat motornya licin dan tergelincir dalam kecepatan tinggi.
To be Continued
