WARNING: BL/Slash. Dan pembaca juga sudah melihat ratingnya, bukan? Itu saja sudah menjelaskan semuanya : Menggunakan sudut pandang orang ketiga dan saya minta maaf apabila nanti Anda menemukan typo.

NOTE: Ini salah satu fanfiksi yang—menurut anggapan saya—penuh dengan fatalisme. Lalu, seperti yang sudah-sudah: don't like, don't read!


Utopia

.

By: DeBeilschmidt

.

Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi
I'm not making any profit from this fanfiction.


i.

Ciuman itu sudah mengatakan segalanya. Perasaan Kise dan jawaban Aomine—tak ada kata-kata yang dapat mendeskripsikan dengan eksak mengenai hati mereka berdua. Tidak ada, bahkan tidak dengan kata 'suka' maupun 'cinta'. Di dunia modern yang penuh dengan distorsi, seringkali tak ada hati yang harus bersatu tatkala dua tubuh bertaut, sehingga tidak—hanya ciuman ini yang dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi serta menjadi penanggung jawab dari asal muasal air mata yang mengalir di wajah Kise.

Hanya satu sore di musim gugur, tempat biasa di depan stasiun dengan suara pantul bola oranye yang mulai kehilangan momentum dan suara engah napas saling susul-menyusul. Adrenalin, gairah, dan yang terpenting: impuls. Campurkan semuanya dan hal itu membuat Aomine berada dalam delusi. Mendadak saja wajah sang adam di hadapannya terlihat begitu indah tatkala ditimpa cahaya mentari sore—membutakan, katakanlah; begitu membuatnya terpana seolah tengah melihat lukisan Michelangelo di Sistine. Ia tidak tahu apa yang mempengaruhinya, sehingga ia maju dan memanggil nama Kise dalam napas yang tertahan, menyentuh ujung dagunya, dan…

—Kini ia tahu segalanya.

(Yang memberinya tanda peringatan, namun dihiraukannya karena impuls sudah mempengaruhi otaknya hingga nyaris gila.)

Dia.

Kise.

Kise—

(Suara basah ini membuatnya tidak tahan. Begitu pula dengan pasokan oksigen dalam alveolus yang tak kunjung bertukar dengan karbondioksida. Panas membakar, dalam dirinya.)

Jangan bilang, saat ciuman ini berakhir…

(Ciuman yang mendadak bercampur air mata membuatnya bingung. Ada yang salah, namun seorang Daiki Aomine hanya bisa menurut pada nafsu hewaninya.)

Kise, kau tidak suka padaku, 'kan?

Namun pertanyaan itu hanyalah sesuatu yang tersimpan dalam hati, tak akan pernah diutarakan selamanya. Bukan karena tidak bisa, melainkan karena semuanya sudah terjawab dengan begitu lugas. Denotatif tanpa keambiguan dalam setiap bulir air mata milik Kise.

"Aominecchi… Aku…."

Lalu tangis itu tak berhenti hingga sekitar mereka sudah berubah gelap.

"Kau itu cowok, Kise," kata Aomine tanpa ada sarkasme di sana. Ia menyentuh pundak Kise, namun sebelum ia bisa mencegah, sang pirang telah merenggut kemejanya yang basah oleh keringat, kemudian tersedu di sana. "…Jangan menangis."

Yang terakhir itu ia ucapkan dengan tenggorokan tercekat

ii.

Satu pertanyaan yang terus mengganjal dalam benaknya adalah: "Sejak kapan?"

Ia terus memikirkan hal ini, bahkan ketika hanya ada atap semen penuh retak sebagai alas dan langit biru cerah sebagai naungan untuk sosoknya yang telentang, pertanyaan itu terus menghantui pikirannya bagai parasit. Ia tahu bahwa lamunan tak akan menjawab, namun rasa penasaran itu seperti parasit—mereka terus menggerogoti hingga kau menemukan jawab. Bak penyakit, tetapi yang menjadi korban di sini adalah perasaan.

Aomine menghembuskan napas pelan. Mencoba menenangkan pikiran, sebelum ia mendengar dengan telinganya bahwa seseorang tengah membuka pintu. Ia memutar mata, tak acuh dengan suara langkah kaki ringan yang terdengar (sudah cukup, asal orang itu tak mengganggunya), tetapi kefamiliaran dalam frasa yang terucap membuat Aomine…

sakit?

"Aomine-kun, kau dicari oleh Akashi-kun. Sepertinya ada hal penting."

"Baiklah," jawabnya dengan nada cuek. Bagai hirau, walau sesungguhnya dalam hati melarau. Dia bangkit duduk, memaksakan ada senyum miring yang biasa terpampang di wajah. "Sepulang sekolah aku ke sana, Tetsu."

(Dalam iris nilakandi Aomine, sosok Kuroko yang tengah mengangguk membuatnya merasa dipermalukan rasa bersalah.)

"Baiklah, jangan lama-lama, atau kalau tidak, nanti kau dihukum oleh Akashi-kun."

"Mm-hm."

Secuil harap ada dalam hati, hanya bisa berangan-angan bahwa sosok berkulit pucat itu segera lenyap dari pandang sebelum kesakitan yang ada dalam hati berubah menjadi sesuatu yang faktual. Tetapi, alih-alih pergi setelah jawaban dingin dari Aomine, Kuroko diam di sana. Ekspresinya tidak terbaca walau sudah jelas tengah menyelidiki. Aomine bungkam, karena ia tahu bahwa kata-kata baginya adalah pedang bermata dua—sekali berujar, maka segalanya akan tamat.

Nanti dia tahu.

"…Kau tidak apa-apa, Aomine-kun?"

Mungkin—ia hanya bisa menebak, tapi—pemuda di hadapannya ini adalah seorang cenayang. Atau mungkin, kebiasaan mengamati orangnya begitu hebat. Entah yang mana, Aomine tidak tahu. Yang jelas, dia hanya bisa merasakan kepanikan saat Kuroko berkata seperti itu padanya. Tawanya payah karena terbata, detak jantungnya bahkan berdetak lebih kencang dari derap kuda. "A-Apa maksudmu?" tanya menyelidik keluar, "Aku baik-baik saja, tahu! Memangnya kenapa aku harus 'tidak apa-apa'?"

Aomine mengerti bahwa usaha itu menyedihkan. Semua usahanya bak senjata makan tuan. Ia berkata hanya untuk mengarahkan semua silabel kembali padanya, membuka perasaan yang seharusnya tertutup rapat apabila ia bungkam. Deg deg deg—seolah hanya suara itu yang sampai ke telinganya. Senyumnya juga payah, tetapi… orang ini belum berucap apapun.

(Dia masih bisa berharap, bukan?)

"…Baiklah. Terima kasih, Aomine-kun."

Hanya satu kalimat penuh pengertian sebelum ia melihat rambut biru muda milik Kuroko telah lenyap dari pandangannya, menghilang di balik pintu.

Sekali lagi, yang tersisa hanyalah dia, semen yang kelabu, dan atap biru yang nampak mengejek dengan sinarnya yang terang.

Sendirian.

Tenggelam dalam lamunan.

iii.

Kelegaan dan rasa bersalah ini membakarnya dari dalam. Belum lagi rasa penasaran yang menggerogoti.

Perlahan Aomine merosot dengan punggung menyandar dinding, terus ke bawah dan bawah sampai ada suara 'duk' lemah dan rasa sakit yang menandakan bahwa ia tak bisa lebih jauh lagi. Biru kelam bertemu biru cerah, pertanyaan bertemu infiniti. Ia dipermainkan takdir—sebegitu senangnya takdir mempermainkan dirinya, hingga dunia seolah membuat skenario supaya Aomine melihat sumber rasa bersalahnya.

Tanpa sadar jemari Aomine menyentuh tempat itu. Yang kemarin menyentuh bibir Kise, hingga suara basah membuatnya gila dan lepas kendali. Telunjuknya kemudian meraba lidah yang ada di dalam mulut, tempat di mana papil bertebaran—yang memacu gairahnya tatkala tanpa ampun mengeksplorasi mulut Kise. Seperti dua orang baru dimabuk cinta, seperti pecandu bertemu dengan ekstasi. Aomine adalah pecandu, ciuman plus Kise adalah candu, dan testosteron adalah sang pengantar.

Kemudian, ia berhenti. Tangan itu; kini sudah berada di atas dadanya, tepat di mana jantung berada.

(Hatinya.)

"…."

Tak ada kata terucap. Bagi seorang Aomine, ini adalah hari yang begitu minim kata-kata. Dia diam, meresapi perasaannya yang penuh nestapa. Sakit yang limun ini sungguh membuatnya merasa tak nyaman. Ingin menangis, tetapi hanya hampa yang sanggup ia keluarkan.

(Mereka bilang, penyesalan selalu datang terlambat.)

iv.

Seharusnya solusi atas semua ini sudah jelas—sejelas langit cerah di bulan Agustus. Namun, Aomine merasakan tangannya yang bertaut dengan tangan Kise. Hangat, menenangkan, menyenangkan, walau dilakukan di kamar tanpa dilihat siapapun. Ia mengerti bahwa banyak kelakuan Kise yang membuatnya tersenyum, membuatnya tertawa karena gemas, membuatnya melupakan duka untuk sesaat untuk digantikan oleh gembira di saat yang sama.

Ia menikmati.

Semua ciuman yang kembali mereka lakukan.

Dengan es krim rasa vanilla dingin yang terasa di lidah.

Aomine tidak ingin berhenti. Tubuhnya ingin disentuh, lagi dan lagi. Hatinya belum berubah, namun tubuh itu menyukai pengkhianatan ini. Tangannya yang kecoklatan menyentuh Kise, meraba dada yang masih tertutup kemeja, kemudian bermain-main dengan tubuh Kise dan tak akan puas sebelum mendengar erang dari sang pemuda berambut pirang.

"Aominecchi—hen-hentikan…," desah Kise, menginginkan pasokan oksigen yang lebih lagi. Tetapi Aomine sudah gila. Dia tidak peduli, karena oksigen nampak lebih berkawan dengannya ketimbang karbondioksida, sedangkan hormonnya kini terasa meluap. Protes Kise sama sekali tak meyakinkan di mata Aomine.

(Penolakan Aomine untuk berhenti nampak di wajahnya yang tengah tersenyum miring. Nakal.)

Terus.

Bahkan berahinya kini memerintah. Tangannya bergerak liar meraih kancing kemeja Kise, melepasnya satu persatu hanya demi merasakan kehangatan yang dipisahkan oleh katun tipis biru. Dia liar—seperti hewan liar yang dilepas ke koloseum. Sepanjang desah, suara basah membuatnya menjadi sosok irasional yang menyerah pada impuls; untuk sekali lagi.

Pada akhirnya, satu gagasan terlintas dalam benaknya.

.

.

Semua ini sempurna, apabila ia tak mengatakan apapun.

.

.

("Jangan bilang apa-apa. Lanjutkan saja.")

(Tetapi kebahagiaan yang Kise rasakan ini begitu meluap. Ia tidak tahan—harus ia ucapkan sebelum ia menelan pemikiran itu dalam erangnya.)

"—Suka."

"….Aku tahu."

-bersambung-


Afterwords: …Saya wajar kalau Anda merasa bingung. Hanya sekedar fanfiksi eksperimental karena saya sedang dalam masa pengobatan writer's block. Hehe. Maaf kalau terasa jelek dan masih mengambang. Apakah Aomine akan menyerah pada nafsunya dan memilih Kise, atau dia akan memilih Kuroko? Yah—tunggu saja. B-) Dan omong-omong, saya tidak akan memprioritaskan mengetik ini, fokus saya saat ini adalah fanfiksi lain di fandom ini yang berjudul "A Heart That Fix Everything" #promosi Dan sebenarnya, ini dibuat hanya sebagai ancang-ancang sebelum menulis lanjutan fanfiksi tersebut. Saya tidak bisa menjamin, tetapi harapan saya sudah selesai sebelum September. Doakan saja. :)

Terakhir… ummm… review? Mungkin kalau Anda review, updatenya akan lebih cepat. Haha. #lol

P. S. RIP Cory Monteith. Our beloved Finn Hudson. Glee will never be the same without you, even if they replace the cast with someone else T_T So sad that I have this idea on this day. #sobs

071413—rdb