DISCLAIMER: I don't own Kuroshitsuji or its characters, but I'm glad if Ciel Phantomhive said "I'm yours" to me!

...um, it belongs to Yana Toboso btw.

AN: This fanfic is ACTUALLY made for Ciel Phantomhive's birthday but I end up haven't finished it on 14, so yeah, Ciel's birthday isn't on 17, it's on 14 December, just for you to know. Oh, and this is a little AU, because it's based on a fanmade theory (which you'll know in the end of the story). And it's supposed, SUPPOSED to be oneshot but, oh-you-know-me, I made it in chapters, probably 2 or 3. That's all from me. Happy reading!


"...Kembalikan..."

Aku menoleh ke arah kegelapan yang menyelubungiku. "S─siapa?"

Sesosok remaja seumuranku muncul di asal suara. Tangan-tangannya yang putih pucat terulur ke arahku. Aku membeku.

"...Itu bukan milikmu... kembalikan... kalau tidak, aku... aku akan..." kedua tangannya yang dingin sekarang meraih leherku, yang tak kuasa melawan.

Seluruh tubuhku mati rasa, sementara tangan itu menggenggam leherku makin kuat. Sakit... Hentikan... Pikiranku semakin kalut. Aku tidak mau mati. Aku tidak mau mati disini. Hentikan. Hentikan. Hentikan! Sosok di dalam kegelapan itu tersenyum.

"Dengan begini, kau akan mengembalikannya... padaku..."

Aku mengeluarkan suara berdeguk kecil, kehabisan napas. Aku tidak mau mati. Aku... sebelum aku... dia... mungkinkah...

Akhirnya, aku berhasil mendapatkan suaraku kembali.

"HENTIKAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA AAAANNNNNNN!" aku menjerit, melawan takdir yang seharusnya milikku.

Kau tidak dapat membohongi takdir.


"─da, Tuan Muda!" panggil sebuah suara yang familier.

"Uhn..." aku perlahan membuka mata, menatap sosok berbaju hitam di hadapanku.

Sosok butler itu tersenyum kecil. Sayangnya, senyum itu lebih berupa senyum sinis di mataku. Ia menegakkan tubuhnya yang dibalut kostum butler sehari-harinya, kemeja putih, celana panjang hitam, vest, dasi, dan twin tail tuxedo hitam.

"Anda bermimpi buruk," ucapnya seraya menata ulang susunan tea tray di belakangnya.

Anda bermimpi buruk. Sambutan pagi terbaik yang pernah ada, Sebastian, terimakasih. Kenapa tidak bilang, 'Anda baru saja bermimpi tentang kuda-kuda poni cantik berwarna pelangi dengan ratusan Lizzie diatasnya?'

"Benarkah?" balasku tanpa rasa tertarik.

Ia mengangguk kecil. "Anda baru saja menjerit dalam tidur."

...

Sial.

"Morning tea hari ini..." aku mengendus udara sesaat, mencium aroma buah dan bunga-bungaan teh dalam poci di depanku, "Keemun?"

Sebastian ternyata cukup cerdas untuk tidak mengembalikan topik pembicaraan kami dan menjawab, "Ya, karena dalam waktu dekat kemungkinan besar turun salju yang akan merentankan kesehatan, saya memutuskan untuk membuat teh ini." Aku mengangkat alis.

"Bukankah Keemun lebih baik untuk musim semi atau musim gugur?"

"Keemun memang banyak diproduksi di musim tersebut, namun secara teknis teh ini baik disajikan untuk musim dingin. Selanjutnya, rich fruit loaf bread kalori rendah yang cocok dipadu dengan teh ini," butler berambut hitam itu menyuguhkan cangkir teh ke hadapanku, yang kuteguk perlahan. Campuran rasa buah-buahan yang beraroma menerpa lidahku.

Seperti biasa, aku meraih koran pagi yang selalu disiapkan Sebastian di sebelah nampan morning tea-ku. Mataku segera menyapu headline koran tersebut. Pendirian Foundling Hospital di London... Membosankan. Aku melompati halaman-halaman yang kuanggap tidak menarik dan memfokuskan dirikupada halaman-halaman yang menyangkut politik, ekonomi, dan kriminalitas. Akhirnya, sesuatu menarik perhatianku.

PENCULIKAN YATIM PIATU TERULANG KEMBALI

Penculikan yatim piatu ini tidak henti-hentinya melanda daerah-daerah London dan sekitarnya sejak satu bulan lalu. Penculikan ini biasanya terjadi di panti-panti asuhan yang terkenal dan didanai oleh sang Ratu. Kasus ini kembali terulang kemarin, (12/12) di daerah utara London, tepatnya di Kings Cross, Panti Asuhan Johannes. Seorang anak yatim piatu bernama Cane Paddington (12) dilaporkan hilang setelah ia mengaku dipanggil sesosok pemuda diluar pekarangan panti asuhan pada pukul 5 sore. Batterson (32) mengaku melihat si korban dua jam kemudian di dekat Waterloo, sedang bercakap-cakap riang dengan si penculik, yang mungkin saja si anak duga sebagai ayahnya. "Anak itu terus berjalan bersama pemuda tersebut sampai ke suatu gang. Setelah itu, saya tidak melihatnya lagi," aku Batterson saat diwawancarai. Polisi menduga, rentetan kasus penculikan ini dilakukan oleh pelaku yang sama, namun masih dibantah oleh saksi-saksi mata, yang selalu menyebutkan ciri-ciri yang berbeda pada pelaku penculikan. Sementara ini, Cane Paddington belum dapat ditemukan. Bagi orang yang menemukan anak laki-laki dengan ciri-ciri rambut lurus berwarna coklat gelap, mata biru terang, postur tubuh kecil, dan mengenakan kemeja putih dengan celana panjang coklat, diharapkan melapor ke Panti Asuhan Johannes atau ke kantor polisi terdekat.

Aku tertegun sesudah membaca seluruh isi berita. Ini adalah kasus kesembilan sejak kasus ini bermula bulan lalu. Aku yakin pelakunya orang yang sama, karena metode, sasaran, dan gerak-gerik pelaku kurang lebih sama. Namun, yang menarik perhatianku adalah...

"Anda tertarik pada kasus itu, Tuan Muda?" tanya Sebastian yang melihat perubahan ekspresiku.

Aku hanya menggumam pelan sambil mengunyah roti yang diberikan butlerku itu. Kurasa aku tidak perlu menjelaskan kenapa aku begitu tertarik pada kasus itu, aku cukup yakin tidak perlu menjadi iblis untuk tahu alasannya.

"Agenda khusus hari ini?"

Sebastian terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak banyak. Seperti biasa, hari ini ada les violin dengan Mrs. Bright dua jam setelah sarapan, setelah itu anda akan bertemu Ms. Hopkins untuk pengukuran baju musim dingin dan untuk besok. Setelah makan siang, saya akan memberi anda sesi privat melukis dan pelajaran-pelajaran lainnya, dan setelah itu anda akan bertemu dengan Lord Bellefort untuk membahas kooperasi Funtom Company. Malam hari, Lady Elizabeth dan Madam Red akan berkunjung kemari."

Aku menahan diri untuk tidak menguap selama ia menjelaskan.

Tidak banyak.

Hm.

Kenapa kalimat itu membuatku geli?

Aku memutar ulang kata-kata Sebastian di benakku. Violin... baju... besok... tunggu, besok?

"Memangnya besok ada apa?" tanyaku.

Sebastian memiringkan kepalanya ke samping. "Tuan Muda... tidak tahu besok hari apa?"

"Um, Jumat?" tebakku yang kehabisan ide.

Butler itu menghela napas. "Tuan Muda, besok itu─"

DUAAAAAAAARRRRRRRRRR!

Aku tersentak kaget ketika mendengar suara keras yang datang dari luar kamar. Butuh dua detik penuh untuk menenangkan diriku yang nyaris menggigit lidahku sendiri. Sesaat itu, aku dan Sebastian hanya diam dan saling menatap canggung. Akhirnya, aku memutuskan untuk memecah kebekuan di antara kami.

"Yang tadi itu... ledakan... kan?" tanyaku pelan.

Lelaki dewasa itu mengangguk, "...begitulah. Saya rasa begitu."

Kami berdua kembali bertatapan, kemudian serentak mengangguk, "Bard."

"Sebaiknya kau urus dia sebelum dia meledakkan seluruh isi mansion. Aku bisa mengurus diriku sendiri kalau hanya untuk pergi ke kamar mandi," putusku akhirnya. Alis pemuda itu bertautan.

"Tapi... bukankah itu berarti anda harus membasuh diri anda sendirian?" tanyanya dengan nada khawatir yang tidak dibuat-buat.

Aku memutar bola mata. "Aku bukan anak kecil, Sebastian. Lagipula, Maylene sudah menyiapkan air mandinya. Siapapun bisa mandi sendiri kalau begitu. Memangnya apa yang terjadi kalau aku mandi sendiri, sesosok banshee keluar dari bath tub dan menenggelamkanku hingga tewas?" tanyaku sarkastis.

Sebastian menatapku seakan itu akan benar-benar terjadi padaku kalau aku mandi sendiri.

"He─hentikan tatapanmu itu! Kau membuatku takut!" seruku setengah kesal. Dengan berat hati, Sebastian menyerahkan handuk putihku padaku.

"Anda tahu yang mana─"

"Aku bisa membedakan shampoo dengan sabun, Sebastian, terimakasih."

"Jangan mencuci rambut de─"

"AKU TAHU YANG MANA OBAT ANTI KUTU! JANGAN MENGEJEKKU!" bentakku sebal. Sebastian hanya mendesah kemudian meminta izin untuk keluar dari ruangan, yang dengan segera kupersilahkan.

Aku melangkah gusar ke arah kamar mandi yang masih merupakan bagian dari kamarku. Untuk ukuran seorang Earl, bahkan kamarku bisa dibilang mewah. Aku tidak pernah peduli dengan desainnya selama kamar itu membuatku nyaman dan tidak bermasalah, tetapi terkadang pada malam-malam disaat aku tidak bisa tidur, aku memerhatikan setiap sudut ruangan itu. Kamar tidurku dilengkapi wallpaper bermotif polos yang dibuat dari kulit, lantai keramik yang diimpor dari China, tempat tidur yang bahkan kebesaran untukku, lengkap dengan penutupnya (yang padahal tidak pernah kugunakan, tetapi Sebastian bersikeras memasangnya) yang terbuat dari beludru dan sutra, lampu-lampu kamar yang bagian logamnya dipoles dengan perak, dan furnitur-furnitur mewah lainnya.

Bukannya aku peduli kamarku mewah atau tidak, catat itu.

Aku memasuki kamar mandiku yang luasnya setengah kamarku (kamarku sangat luas, jadi yang kumaksud setengah kamarku adalah sangat-luas-sampai-kau-bisa-main-petak-umpet-di-dalamnya-dan-butuh-500-tahun-untuk-ditemukan. Bercanda, deh. Kau tahulah, hiperbola) dan menaruh handuk lembut di tanganku pada tempatnya. Aku menanggalkan piyamaku dan merendam tubuhku ke air hangat dalam bath tub. Aku mendesah nyaman. Di musim dingin seperti ini, mandi air hangat itu rasanya seperti surga. Uap air mengepul sementara aku mulai mandi dan keramas. Aku akan membuat Sebastian melihat kalau aku juga bisa mandi sendiri! Maksudku, seburuk apa sih, hari dimana aku mandi tanpa bantuan orang lain?


Oke, biar aku memasukkan kata ini di dalam ensiklopedia atau kamus.

Finnian: tukang kebun Phantomhive Household. Dapat juga didefinisikan sebagai mesin penghancur mematikan. Contoh penggunaan dalam kalimat: 'Gedung itu telah di-Finnian-kan.' Frasa yang merujuk pada makna yang sama: Maylene

Nah, sekarang kau dapat gambarannya saat melihat keadaan ruang makanku. Peralatan makan berserakan dimana-mana. Meja makan yang terbuat dari kayu pohon cedar itu sekarang patah sampai tidak berbentuk. Sarapan pagiku sekarang berceceran di lantai, jauh melewati batas 'tidak layak dimakan.' Disana, kudapati Maylene dan Finnian sedang memohon maaf sampai sujud ke tanah di depan Sebastian, Sebastian yang terlihat sangat kesal, Bard yang hanya melongo, dan Tanaka yang sedang minum teh dengan gaya 'Hohoho' terkenalnya.

Singkatnya, aku baru saja melewati saat-saat dimana ruang makanku di-Finnian-kan.

Sebastian tampak sadar akan kehadiranku dan berbalik. "Tuan Muda..."

"Apa yang baru saja terja... tunggu, jangan dijawab. Kurasa aku tahu."

"Sa, sama sekali tidak seperti itu Tuan Muda! Barusan, saya memutuskan untuk membantu Maylene untuk menaruh nampan di meja karena dia kelihatan kerepotan, tapi ternyata mejanya terlalu rapuh dan..." mata tukang kebun berambut pirang pucat itu berkaca-kaca.

"Bukan salah Finny! Dia hanya membantu saya saat saya tanpa sengaja menjatuhkan─"

"Aku mengerti," putusku sebelum mendesah dan melihat jam, "kalian punya waktu 15 menit kalau begitu. Aku mau mencari sesuatu di perpustakaan."

Mata Sebastian yang sewarna darah tampak menatapku penasaran sebelum mengalihkan perhatiannya kepada pelayan-pelayan lain yang ada disana. Hal terakhir yang kudengar adalah Sebastian yang mengatakan sesuatu sebelum aku berjalan menjauh ke arah koridor selatan mansion.


Aku membaca satu persatu koran-koran yang memuat berita tentang penculikan anak yatim piatu yang muncul sejak bulan lalu. Refleks, aku meraih pena dan mencatat nama-nama korban serta informasi-informasi tentang mereka.

1. Cliff Patterson, 11th, L, 11/11/97, sore, Westminster

2. Christina Pea, 10th, P, 16/11/97, siang, Blackfriars

3. Patrick Crossfield, 13th, L, 24/11/97, malam, Mayfair

4. Clark Plenton, 12th, L, 26/11/97, sore, South Kensington

5. Penelope Clay, 11th, P, 29/11/97, waktu tidak dipastikan, Knights Bridge

6. Constantine Pieters, 11th, L, 2/12/97, siang, Camberwell

7. Candace Puller, 10th, P, 6/12/97, pagi/siang, Bermondsey

8. Cyan Phillips, 13th, L, 7/12/97, sore, Walworth

9. Cane Paddington, 12th, L, 12/12/97, sore, Kings Cross

Seusai mencatat, aku mengetuk-ngetukkan ujung penaku dan merenung.

Semua ciri-ciri, bahkan secara penampilan, semua korban mirip dengan yang lain. Rambut gelap, mata biru, postur tidak terlalu tinggi. Si pembunuh seakan sedang mencari seseorang... tetapi tidak menemukan orang yang tepat dan mencari lagi. Tapi... kenapa?

Terdengar suara ketukan ringan di pintu perpustakaan. Aku merapikan tumpukan koran di hadapanku dan memasukkan catatan yang baru kubuat di kantong bajuku. Aku berdeham sejenak.

"Masuk."

Butler berpakaian hitam legam itu membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ia menatap tumpukan koran yang kutaruh di meja dan mengangkat alis. Aku menatapnya balik dengan tatapan 'Jangan-berkomentar' terbaikku. Akhirnya, Sebastian hanya tersenyum.

"Sarapan anda sudah siap."


"Ciiiiiiiii~eeeeeeeeeellllllllll~" sepasang tangan meraihku ke dalam pelukan.

Gadis berambut pirang twin tail itu memelukku erat sampai aku tak dapat bernapas. Aku meronta, berusaha melepaskan diriku sebelum aku mengalami deprivasi oksigen dan kematian yang pelan dan menyakitkan.

Yang dari namanya saja bukan sesuatu yang menyenangkan.

"E, Elizabeth! Sakit! Lepas... lepaskan!" pintaku pada tunangan sekaligus sepupuku itu. Dengan satu sentakan cepat, gadis itu melepaskanku. Ia merengut.

"Sudah kubilang, panggil aku Lizzie! Dan lagi, apa boleh buat! Ciel imut, sih! Ngomong-ngomong, dimana Bibi Angelina?" tanya Elizabeth yang mengalihkan pandangan ke sekitar, mencari tanda-tanda kehadiran wanita yang selalu berpakaian merah itu.

"Madam Red tampaknya belum datang, mungkin sebentar lagi akan ti─" perkataan butlerku itu terputus oleh suara panggilan yang nyaring.

"Ciiiiieeeeeeelllll! Liiiiiizzzziiiiiiieeeeee! Lama tidak jumpa, kalian berdua!" seru sesosok wanita yang menerjang mendekat.

Oh tidak.

Oh tidak.

Oh tidak.

SEBASTIAN! SELAMATKAN AK─UKH!

Cewek-cewek tukang peluk sadis VS Ciel Phantomhive yang maso─eh, berwibawa: 2-0

Aku dapat melihat Sebastian sedang bersusah payan menahan tawanya. Sebelum ia berhasil tertawa, aku menatapnya dengan tatapan, mati kau iblis busuk.

"Nah, nona-nona, bagaimana kalau kalian berdua masuk dulu?" tanya Sebastian pada kedua lady itu, senyum lebar masih menghiasi wajahnya. Aku bersumpah akan menghajarnya untuk itu.

"Mmm... ngomong-ngomong, kenapa kau dan bibi berkunjung kemari, Elizabeth? Aku cuma penasaran saja..." tanyaku pada tunanganku yang berambut pirang itu. Mata birunya melebar.

"...Kau benar-benar lupa?"

Orang-orang benar-benar harus berhenti sok merahasiakan sesuatu padaku sebelum mereka membuatku gila.

Melihat ekspresiku, Elizabeth hanya tersenyum kecil dan menjawab, "Rahasia kalau begitu."

Terserah, lah.

Setelah kedua lady itu masuk ke dalam mansion, aku menepuk Sebastian.

"Ya, Tuan muda?"

"Aku mau bicara denganmu setelah makan malam."

.

.

.

"Murder is always a mistake - one should never do anything one cannot talk about after dinner."

- Oscar Wilde -

.

.

.


AN: Well, that's it for chapter one, guys. Whaccha think? :D

I'll be updating the next chapter in a short period of time, don't worry~

By the way, I don't mind flames, as long as it's reasonable, just for you to know. I mean, flame itself actually means critical reviews, right? As long it's not "Hy slut, I fuckin' heit dis worth nothing but shit storie. U suckz." or something like that, that's okay. Reasonable, folks.

V (WRITE YOUR OPINION ON THE COLUMN BELOW, YEAH, YOU KNOW WHAT I MEAN) V