First fict in this fandom.

Naruto © Masashi Kishimoto

Shounen-ai, OOC, Aneh, Gaje, Typo, EYD berantakan, etc.

SasuNaru / T / Romance, Mystery

A/N : Di flashback si pirang umurnya 10 tahun, sedangkan si raven 12 tahun. Di sini Sasuke juga punya kembaran, namanya… Ya nanti juga tau sendiri, haha.


Chap 1


- Flashback -

Malam itu—pukul setengah delapan malam—seorang anak laki-laki berambut pirang sedang berjalan-jalan di sebuah hutan yang gelap. Berjalan-jalan? Ah, bukan, lebih tepatnya tersesat. Dia terus mencari jalan keluar, bahaya hari sudah semakin malam.

Dia takut, akhirnya dia memutuskan untuk duduk bersandar di salah satu pohon yang ada di sana. Bocah itu menenggelamkan kepalanya sambil memeluk kedua lututnya, ia hamper saja menangis kalau saja tidak ada tangan yang menyentuhnya.

"Hei," kata sosok tersebut.

Anak berambut pirang itu mengadahkan kepalanya, dan mendapati sosok seorang anak laki-laki berambut raven dengan kulit putih—yang mungkin lebih tua darinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya anak laki-laki berambut raven itu.

"A-Aku tersesat… Hiks…" jawab bocah pirang itu setengah menangis.

"Oh, ayo kuantar kau keluar dari sini."

Mendengar itu, anak laki-laki berambut pirang itu tersenyum riang, "Benarkah?"

"Ya, ayo."

Anak laki-laki berambut pirang itu segera menggandeng tangan milik anak laki-laki yang hendak mengantarnya ini, mereka berjalan beriringan sambil terus fokus mencari jalan keluar.

"Hm… Kakak sedang apa di sini?" Anak berambut pirang itu memulai pembicaraan.

"Hahaha, bagaimana kau bisa memanggilku dengan sebutan 'kakak' sedangkan kita tidak tau umur satu sama lain?"

"Eh? I-Itu… Hanya asal tebak kalau kakak lebih tua dariku, lagipula kakak juga lebih tinggi."

"Baiklah, kalau begitu perkenalkan dirimu."

"Aku Naruto, Namikaze Naruto. Umurku sepuluh tahun, kakak?"

"Hm, berarti tebakanmu benar, Naru. Aku memang lebih tua darimu, tapi cuma berbeda sedikit, umurku dua belas tahun, jadi kau tidak usah memanggilku dengan sebutan 'kakak' dan namaku… Sasuke, Uchiha Sasuke."

"Kak—Eh, Sasuke ya…"

"Ya."

"Ngomong-ngomong Sasuke belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Hn? Yang mana?"

"Apa yang kau lakukan di sini?" Sepertinya bocah pirang ini sudah bisa membiasakan diri untuk tidak 'berlaku sopan' dengan lawan bicaranya ini.

"Itu… Aku sedang mencari udara segar saja dan tanpa sengaja masuk ke dalam hutan ini."

"Oh… Apa kau tau jalan keluar dari hutan ini?"

"Tentu saja."

"Lalu tembus kemana jalan yang kita lewati ini?"

"Rumah sakit."

"Rumah sakit? Ya! Tadi aku juga sedang berada di rumah sakit bersama orang tuaku."

"Bagus bukan kalau begitu?"

"Ng," Bocah pirang itu mengangguk sambil tersenyum.

"Lihat! Itu jalan keluarnya."

Bocah pirang itu teralih dengan apa yang dibilang lawan bicaranya, dia menoleh ke arah depan dan dilihatnya secercah cahaya, "Ah, iya!" serunya bersemangat sambil tersenyum.

Sedangkan anak berambut raven itu terpaku melihat senyum bocah pirang di sebelahnya.

"Ng… Kenapa?" tanya si bocah pirang heran karena temannya ini terus menatapnya.

"Ah… Tidak. Kau manis kalau tersenyum."

"Eh…?" Wajah anak berambut pirang itu tanpa sengaja bersemu mendengar tanggapan anak berambut raven itu.

"Hahaha, kau tambah manis kalau begitu."

Naruto tidak merespon tanggapan yang diberikan anak berambut raven itu karena mukanya yang semakin memerah.

Tanpa sadar ternyata mereka sudah keluar dari hutan, dan terdengarlah suara memanggil yang lumayan keras dengan nada khawatir di dalamnya, "Naruuuu,"

Anak yang dipanggil itu segera menoleh ke asal suara dan mendapati kedua orang tuanya di seberang sana.

"Itu orang tuamu sudah menunggu," kata anak berambut raven.

"Ya," Bocah pirang itu hendak berlari ke arah orangtuanya, namun gerakannya terhenti dan dia menoleh ke belakang, "Apa kita bisa bertemu lagi?" tanyanya.

"Eh…? Ya, kita bisa bertemu lagi. Aku tunggu kau di sini tiga tahun lagi saat musim semi," jawab bocah raven itu sambil sedikit tersenyum.

"Baiklah!" balas si pirang sambil tersenyum juga, "Sampai jumpa, Sasuke."

Anak laki-laki bernama Naruto itu pun berlari ke arah orangtuanya.

- Tiga Tahun Kemudian -

Sebagaimana janjinya dengan si raven, anak berbola mata biru langit yang dulunya berumur sepuluh tahun itu mendatangi hutan tempat dimana dia dengan si raven pertama kali bertemu, sementara orang tuanya ada urusan di rumah sakit.

Dia terus menunggu dan menunggu, namun anak berambut raven itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya, sampai akhirnya si pirang memutuskan untuk kembali ke rumah sakit karena sudah lelah menunggu selama dua jam.

Semenjak itu Naruto tidak pernah lagi mengunjungi hutan rumah sakit itu.

- End of Flashback -


- Dua Tahun Kemudian—Naruto's Pov -


Sekarang aku sudah berumur lima belas tahun, tepat hari ini aku diterima di Konoha Gakuen, akademi populer yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas lengkap. Aku sendiri kini duduk di bangku SMA. Kuperhatikan seluruh seluk-beluk akademi yang nanti akan menjadi sekolahku ini.

Sampai akhirnya mata biru langitku menemukan objek yang tidak asing. Rambut raven, kulit putih, mata onix. Dia… Dia Uchiha Sasuke, bukan?! Ya!—Orang yang selama ini selalu kutunggu dan selalu memenuhi pikiranku semenjak hari itu. Hari dimana dia tidak menepati janjinya sendiri untuk datang ke hutan rumah sakit.

Apa dia juga bersekolah di sini?

Aku berlari ke arahnya tanpa menggubris suara teman-teman yang memanggilku.

"Sasuke!"

Orang yang kupanggil menoleh ke asal suara, tanpa pikir panjang aku langsung menerjangnya hingga dia jatuh terduduk, "Sasuke! Kau Sasuke kan? Kau ingat aku? Ini aku Naruto!" seruku bersemangat.

Pemuda di depanku masih saja menatapku bingung sampai akhirnya dia angkat bicara, "Maaf, bisakah kau menyingkir dari pangkuanku dan berhenti memelukku seperti ini?"

"Eh? I-Iya," Aku sedikit salah tingkah dan segera berdiri diikuti olehnya.

"Dan… Siapa kau ini? Aku tidak mengenalmu."

"Hah? Kau tidak mengingatku? Ini aku Naruto, Namikaze Naruto."

"Aku tidak ingat."

"Ayolah, Sasuke! Apa kau benar-benar tidak ingat padaku? Jangan bercanda!"

"Tidak, dan satu lagi, jangan sok akrab dan memanggil namaku sembarangan."

Dia berbalik dan meninggalkanku.

'Cih, sombongnya.'

Kalau kuperhatikan… Ada yang hilang darinya. Apa ya…?

Ah, aku ingat! Ya, senyum itu. Senyuman yang membuat dadaku berdebar… Senyuman yang membuat hatiku damai.

Kemana perginya senyuman itu? Dan… wajah tadi, wajah itu seperti bukan milik Sasuke yang kukenal dulu, wajah itu dingin. Apa dia sudah berubah? Kemana semua hal yang kusuka darinya? Dan bagaimana bisa dia tidak mengingatku?

Ugh, baiklah! Aku tidak akan berpikir negatif dulu, akan kubuat dia mengingatku lagi. Itu pasti!

"Naruto!"

Lamunanku buyar saat aku mendengar salah satu temanku memanggil. Aku pun menoleh ke belakang.

"Kiba?"

"Tadi aku mendengar percakapanmu."

"Bagaimana bisa? Jarak kita kan…"

"Itu karena suaramu yang terlalu keras."

"Hhh… Lalu kenapa?"

"Naruto, lebih baik kau tidak usah sok kenal dengan senior kita yang satu itu."

"Apa katamu? Sok kenal? Aku bukan sok kenal, tapi aku memang mengenalnya!"

"Hhh, baiklah, baiklah. Tidak usah emosi begitu, lalu kalau kau memang mengenalnya kenapa dia tidak mengenalmu?"

"Itu…"

"Kiba benar, ditambah lagi kau tidak sopan."

"Ga-Gaara, sejak kapan kau… Ah, sudahlah! Tidak penting! Apanya yang tidak sopan dariku?"

"Kau tidak memanggilnya dengan sebutan 'senpai', apa kau tidak sadar kalau dia itu senior kita?"

"Sadar! Aku tidak memanggilnya dengan sebutan 'senpai' karena…"

"Karena?" ucap kedua temanku bersamaan.

"Ah, itu tidak penting!"

"Lagi-lagi…" gumam mereka berdua.

"Lalu? Apa remcanamu temanku?" tanya Kiba seraya merangkul pundakku.

"Aku akan membuatnya mengingatku kembali."

"Hm… Baiklah kalau begitu, semoga berhasil," sahut Gaara.

"Gaara… Ucapanmu itu seperti mengejek sekaligus merendahkan," ucapku.

"Benarkah? Aku hanya menyemangatimu."

"Hhh… Terserahlah."

.

.

.

.

- Normal's Pov -

Sudah sebulan Naruto bersekolah di sini, dan sudah sebulan pula dia selalu menempel dengan seniornya yang bernama Sasuke itu, tapi dia selalu mendapat perlakuan yang sama—dicueki, ditatap dingin, atau kadang-kadang diomeli. Akhirnya karena sudah tidak tahan diperlakukan seperti itu, remaja berambut pirang itu memutuskan untuk mengajak bicara sang senior.

"Sasuke!"

"Dobe, sudah kubilang jangan memanggil namaku sembarangan."

"Makanya dengarkan aku dulu!"

"Tidak ada yang perlu didengarkan," Pemuda raven itu berjalan meninggalkan si pirang.

"Ugh! Hei! Sasu-teme!"

Pemuda raven itu menghentikan langkahnya dan menoleh pada orang yang memanggilnya, "Jangan memanggilku 'Sasu', karena itu bukan namaku. Namaku Sasuke," katanya dengan tatapan yang lebih dingin.

Pemuda pirang itu tidak bergidik sama sekali, dia sudah terbiasa menghadapi tatapan dingin orang di depannya ini, "Karena itu dengarkan aku!" katanya lagi.

"Baik, apa maumu?"

"Aku ingin bicara denganmu."

"Bicaralah."

"Tidak di tempat ini, di sini terlalu ramai."

"Lalu?"

"Dimana tempat yang sepi?"

"Bodoh. Kukira kau sudah tau tempatnya."

"Berhenti mengataiku bodoh, Teme!"

"Aku akan berhenti mengataimu kalau kau juga berhenti memanggilku dengan sebutan aneh itu. Sudahlah, lebih baik kau segera bicara, aku tau dimana tempat yang cocok."

Naruto mengikuti Sasuke dari belakang, tak lama akhirnya mereka sampai ditempat tujuan.

"Hu-hutan?" heran pemuda pirang itu.

"Ya, ini hutan sekolah. Tidak usah banyak tanya lagi, kau mau bicara apa?"

"Dengar! Kutanya sekali lagi, apa kau benar-benar tidak ingat padaku?"

"Tidak," jawabnya datar.

Naruto menghela nafas, "Kau ingat pertama kali kita bertemu?"

"Kita tidak pernah bertemu, Dobe."

"Pernah! Waktu itu kita bertemu di hutan!"

"Hutan?"

"Ya! Dan waktu itu kau yang menolongku keluar dari hutan itu, karena waktu itu aku tersesat."

"Maaf, Dobe. Aku benar-benar tidak ingat."

"Ugh! Kenapa kau melupakannya begitu saja? Kenapa kau tidak ingat semuanya? Bahkan kau melupakan janji kita yang akan bertemu lagi di hutan rumah sakit dua tahun lalu!"

"Janji? Apa lagi itu, Dobe?"

"Ingat-ingatlah, Teme! Dan kau tau kenapa aku tidak memanggilmu dengan sebutan 'senpai'?"

"Kenapa?"

"Itu karena kau yang suruh! Aku ingat saat itu, waktu kita bertemu di hutan kau menyuruhku untuk tidak memanggilmu dengan sebutan 'kakak' atau semacamnya."

"Dobe, kumohon jangan bicara hal-hal yang tidak kumengerti. Lebih baik aku pergi dari sini," Pemilik mata onix itu berjalan meninggalkan juniornya.

Namun sang junior tidak tinggal diam, dia menarik lengan baju orang yang dirindukannya itu dan mengecup bibirnya singkat, "Aku merindukanmu, bodoh!"

- Sasuke's Pov -

Anak ini menciumku? Dan dia bilang dia merindukanku? Tidakkah dia tau bahwa hal yang dilakukannya ini bisa membuatku hilang kendali? Kalau kalian berpikir bahwa aku menyukainya, mungkin itu memang benar. Selama sebulan ini tanpa sadar aku mulai menyukainya, menyukai wajahnya, sifatnya, bahkan kelakuannya yang bodoh itu. Walaupun selama ini aku masih tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

Perlahan aku mendorongnya hingga tubuhnya terhimpit antara diriku dan salah satu pohon, aku meniadakan jarak antara wajahku dengan wajahnya.

"Te-Teme."

"Jangan membuat diriku semakin menyukaimu."

"A-Apa?"

Bodoh. Kali ini aku tidak akan tanggung-tanggung, aku mencium balik bibir lembut yang hanya tinggal beberapa cm saja dari bibirku, aku sedikit melumatnya. Kurasakan dia juga membalas lumatan ini, tangannya mulai memeluk diriku agar lebih dekat dengannya.

"Onii-chan," Sesaat aku mendengar sebuah suara yang entah memanggil siapa, aku tidak terlalu menggubrisnya, kuanggap itu hanya halusinasi saja. Aku masih terus menikmati bibir lembut yang menempel di bibirku ini.

"Onii-chan," Sampai akhirnya aku mendengar suara itu untuk yang kedua kalinya, reflek aku melepaskan lumatanku dan memperhatikan sekeliling.

"Teme? Ada apa?" tanyanya khawatir.

"Tidak, hanya saja… Apa kau mendengar suara?"

"Suara? Tidak, aku tidak mendengar suara apapun. Memangnya kenapa?"

"Tidak, lebih baik kita kembali ke kelas sekarang."

Aku menarik tangannya menuju gedung sekolah, perasaanku sedikit tidak enak. Ada apa ini?


- Beberapa Bulan Kemudian—Sasuke's Pov -


Semenjak aku mendengar suara itu aku mulai mengalami hal-hal aneh, seolah-olah suara itu terus mengikutiku, sampai sekarang pun—kadang-kadang—aku masih suka mendengar suara panggilan itu, suara yang mengumandangkan kata 'onii-chan'. Bahkan sampai ke dalam mimpi.

Jujur, di telingaku suara itu begitu familiar, seperti aku sudah sering mendengarnya, dan juga suara itu mengingatkanku pada… Tapi itu tidak mungkin.

Tunggu, suara itu… dan Naruto yang seolah-olah sudah mengenalku, mungkinkah?

Aku segera berlari ke arah kelas Naruto, membuka pintunya dengan sedikit kasar.

GREK!

"Dobe!"

Suasana kelas ini begitu tenang, mungkin karena masih pagi?

"Teme?" Dia berada di bangku paling belakang pojok bersama dua orang temannya.

"Aku ingin bicara."

"Eh? Tumben, baiklah."

Aku mengajaknya ke taman akademi dan duduk di salah satu bangkunya.

"Apa yang mau kau bicarakan?" tanyanya.

"Mengenai masalah bahwa kau sudah pernah bertemu dan mengenalku sedangkan aku tidak mengingatmu sama sekali. Sebelum itu aku ingin bertanya, apa kau yakin aku pernah melakukan atau mengatakan hal-hal yang pernah kau katakan padaku?"

"Tentu saja, Teme!"

"Kalau begitu, mungkin yang kau temui waktu itu bukan aku, melainkan kembaranku."

"Ke-Kembaran?"

"Ya, aku punya kembaran."

"Ja-Jadi aku salah…"

"Kau telat, Dobe."

"Ok, jadi? Dimana dia sekarang?"

"Dia meninggal."

- Naruto's Pov -

"A-Apa?" Aku terkejut mendengarnya, "Bagaimana bisa?"

"Kau ingat saat kau bilang bahwa kau mempunyai janji denganku di hutan rumah sakit dua tahun lalu? Seperti yang kau tau, bukan aku yang mempunyai janji denganmu. Waktu itu sebenarnya kembaranku hendak memenuhi janjinya denganmu, tapi saat perjalanan ke rumah sakit… Dia mengalami kecelakaan."

Aku terhenyak mendengar pernyataan itu, ternyata orang yang selama ini kurindukan telah meninggal dua tahun lalu? Jadi waktu itu dia tidak datang karena…

"…Kecelakaan apa?"

"Tertabrak mobil saat menyebrang."

Begitu ya… Aneh, walau aku sudah tau yang sebenarnya kenapa aku tidak merasa sedih? Baiklah, aku sedih, tetapi rasa sedih ini tidak seperti sedih saat kau ditinggalkan orang yang kau sayangi. Aku hanya merasa… Sedikit kaget saja.

"Menurutmu… Dia bagaimana?"

"Hn? Menurutku? Berhubung aku kembarannya, jadi menurutku dia biasa saja. Lagipula tidak ada perbedaan spesifik yang membedakan kami, bahkan orang tua kami saja suka terbalik-balik memanggil nama kami, termasuk Aniki."

"Aniki?"

"Ya, kami punya satu orang kakak lagi."

Hening…

"Tapi menurutku ada sesuatu yang membedakan antara aku dengan kembaranku itu."

"Apa itu?"

"Sifat dan kelakuan. Aku cuek, dingin, pendiam atau sejenisnya. Sedangkan dia selalu ceria, suka tersenyum, dan baik. Kalau boleh dibilang, walau kami kembar tapi sifat kami bertolak belakang."

"Ya! Menurutku juga begitu. Pantas saja saat aku bertemu denganmu, aku merasa kau bukan Sasuke yang kukenal dulu, banyak yang hilang dari dirimu. Kalau boleh tau, siapa nama asli kembaranmu itu?"

"Namanya Sasu, Uchiha Sasu."

"Sasu? Ja-Jadi karena ini waktu itu kau marah saat ku panggil… Errr…"

"Bukannya marah, aku hanya tidak mau mengingatnya lagi, mengingat saat-saat dia…"

"Baiklah, baiklah! Tidak usah diteruskan, kalau begitu apa aku boleh tau lebih banyak lagi tentang kembaranmu itu?"

"Tentu, tapi tidak ada yang spesial darinya. Begini, ini menurutku saja, tapi semenjak dia bertemu denganmu, dia jadi lebih ceria dari biasanya dan juga sering melamun di jendela kamar kami, entah memikirkan apa, mungkin memikirkan dirimu."

"Eh? A-Aku?" Aku jadi sedikit memerah dibuatnya.

"Jangan memerah begitu, kau membuatku ingin tertawa."

"Teme! Sudahlah! Aku mau tanya, apa dia tidak menceritakan tentang diriku padamu?"

"Tidak."

"Huft, pantas kau benar-benar tidak tau aku."

"Mungkin… Karena dia tidak ingin ada yang memiliki dirimu."

"Sampai seperti itu?"

"Sepertinya karena kau orang pertama yang disukainya."

"O-Orang pertama?" Lagi-lagi aku dibuat memerah karenanya—Akh, "Apa ada lagi sesuatu tentang dirinya yang belum kutau?"

Sasuke menghela nafas, "Ada. Dia… Mengidap kanker, jangan tanya kanker apa itu, sebenarnya saat kau bertemu dengannya di hutan rumah sakit, hari itu kami sekeluarga sedang mengecek kondisi kankernya, namun tertunda karena tiba-tiba dia menghilang."

"Hhh… Dia itu."

"Dan satu lagi, semenjak dia bertemu denganmu, dia selalu berharap masih bisa hidup tiga tahun kemudian, dan untungnya itu terkabul, tapi kau tau sendiri apa yang terjadi padanya saat—"

"Sudah! Sudah! Tidak usah bicara yang itu, kita beralih ke yang lain saja! Oh ya, menurutmu apa ada hal menarik dalam dirinya?"

"Hn? Kau benar-benar ingin tau lebih banyak tentang dirinya ya. Baiklah, seperti yang kubilang tadi, tidak ada yang spesial di dalam dirinya, tapi ada satu hal yang membuatku tertarik,"

"Apa itu?"

"Kebiasaannya, mungkin tidak bisa disebut kebiasaan juga tetapi dia selalu memanggilku dengan sebutan 'kakak'. Padahal sudah kubilang tidak usah memanggilku dengan sebutan itu, tapi dia tidak mau menurut."

"Anak yang unik," Aku sedikit tersenyum.

"Kau tidak merasa kaget atau sedih setelah mendengar ini?"

"Eh? Ba-Bagaimana ya, Teme? Ha-Habisnya pikiranku…"

"Dipenuhi olehku?"

"Bu-Bukan!" Si-sial, kuharap wajahku tidak memerah.

- Sasuke's Pov -

Bodoh. Pikiranmu mudah ditebak, Dobe. Aku menghela nafas, rasa-rasanya setelah aku menceritakan ini semua, aku jadi semakin yakin bahwa suara yang selama ini menghantuiku adalah suara'nya', tapi apa mungkin orang yang sudah meninggal…?

"…Mungkin kau benar, Teme. Pikiranku sudah penuh denganmu."

Lamunanku terbuyar saat aku mendengar suara orang yang ada di sebelahku, aku tidak menanggapinya melainkan tersenyum simpul.

"Aku juga, Dobe. Penuh denganmu," Aku menarik wajahnya mendekat, dan menawan bibir itu. Ia membalas dengan memelukku.

"Onii-chan."

Lagi-lagi suara itu terdengar.

Sebenarnya ada satu hal yang belum aku beritahu, suara itu lebih sering terdengar di saat aku bersama Naruto seperti ini. Tidak salah lagi, suara itu memang milik'nya', tapi apa mungkin? Buat apa suara itu menghantuiku terus? Apa pemilik suara itu ada di sini sekarang? Kenapa dia tidak menampakkan dirinya?

Jujur saja, aku tidak terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistis, tapi kalau sudah sampai sejauh ini mau tidak mau aku harus mempercayainya.


- 04.30 a.m, Sasuke's Room—Normal's Pov -


Pemuda raven itu masih tertidur pulas sampai akhirnya ia merasa sedikit tidak nyaman, ia merasa seperti ada yang menimpanya. Awalnya ia tetap berusaha fokus untuk tidur, namun semakin lama beban itu semakin terasa berat.

"Akh…" Tanpa sadar ia memekik, kali ini ia merasa ada yang mencengkram lehernya, nafasnya sedikit tercekat.

Perlahan mata oniks pemuda ini terbuka, dan ia terkejut saat melihat sosok yang begitu familiar sedang berada di atas tubuhnya. Tatapan sosok itu kosong, kelam, tidak ada ekspresi—secercah darah mengalir dari sudut bibirnya.

"Sa-Sasu—Akh!" Cekikan di lehernya menguat.

"Onii-chan."

"Apa yang kau—"

"Tak akan kubiarkan…"

"A-Apa?"

"Tak akan kubiarkan kau memilikinya, dia milikku!"

"Akh, lepaskan tanganmu…"

Sosok itu tidak memperdulikan perintah yang diberikan kepadanya, membuat pemuda raven di bawahnya geram saja.

"Hentikan, Sasu!" Pemuda raven itu menepis tubuh sosok tersebut, namun sosok itu segera menghilang.

Ia kehabisan nafas, lalu membangunkan diri dan duduk di kasur, mengatur nafasnya pelan-pelan sambil menenangkan diri.

'Apa itu tadi? Apa tadi itu cuma khayalanku?'

Sasuke masih belum terlalu mencerna hal yang baru saja dialaminya, nafasnya pun belum teratur.

Tak sengaja matanya melirik ke arah kaca, oniks itu terbelalak begitu melihat sesuatu yang ada di sana—sekumpulan cairan kental berwarna merah basah yang membentuk sebuah kalimat berbunyi 'Tak akan kuserahkan'.

Sial, sepertinya yang dialaminya tadi bukan khayalan.

Ia segera beranjak dari kasur dan keluar kamar, berlari menuju kamar si pirang.

Begitu sampai, ia langsung mengetuk—menggedor-gedor—pintunya. Lama juga si pirang itu membuka pintunya, membuat pemuda raven ini semakin khawatir saja, bisa saja kembarannya itu mengincar si pirang setelah ini. Ia terus menggedor-gedor pintu di depannya seraya memanggil nama orang yang menghuninya.

Tak lama kemudian akhirnya pintu itu terbuka juga dan menampakkan sosok remaja berambut pirang yang sedang mengucek-ngucek matanya, "Ng… Ada apa, Teme? Ini masih terlalu pagi," ujarnya dengan malas-malasan.

Sasuke tidak menjawab, ia langsung memeluk Naruto, menutup pintu kamar itu dengan punggungnya dan bersender di sana.

"Ada apa, Teme?" tanya pemuda pirang itu yang sudah mulai terbangun sepenuhnya.

"Tidak apa, biarkan aku di sini."

"Ng? Baiklah."

Naruto mulai melemaskan badannya dan bersender di dada Sasuke.

"Onii-chan."

Sial, suara itu lagi. Apa maumu, Sasu?


- TBC -


Thanks for read. :) Mind to review?