FANFICTION

Believe or Leave

Zixyalous 2018

All characters are JK. Rowling's (except OC) The story's purely mine

Rate : T (Parents Guidance 15)

Chapter 1

Strawberry Jam Terror

"Aku tidak mau."

Gusar, kecewa, dan amarah seharusnya bisa membuatku bisa berteriak lantang. Tapi, suara yang keluar hanyalah ratapan yang membuat hatiku goyah. Kepalan tanganku menguat diatas noda lumpur pada celanaku. Buku-buku jariku memutih dan aku mulai menggigil oleh tiupan angin yang mengencang.

"Aku tidak mau sepertimu."

Suara riuh rendah mengelilingiku. Aku memejamkan mata, aku menulikan telinga. Untuk sejenak saja, bisakah semesta membiarkanku bernapas lega? Aku menarik seikat bunga krisan dari saku jaketku dan meletakannya di depan nisan. Ini seperti ironi. Aku membencinya, lebih-lebih tempat ini, aku benci sekali. Tapi aku tetap selalu datang kesini. Dan meskipun semua yang kukatakan jauh dari ungkapan sayang, tapi aku tetap selalu mengusahakan untuk meletakkan bunga di atas pusaranya. Bunga apapun yang mampu kutemukan; mawar, krisan, kamboja, atau bahkan bunga-bunga liar tak bernama yang tumbuh di tepian jalan. Dia tidak suka bunga, jadi dia tidak akan peduli. Tapi aku ingin pusaranya memiliki warna, karena hidupnya tidak pernah seperti itu.

Karena biar bagaimanapun dia adalah ayahku.

"Sudah waktunya bagimu untuk pulang. Sepertinya sebentar lagi hujan." Sebuah suara lembut datang dari balik punggungku. Suaranya begitu halus dan menenangkan, sampai-sampai pertama kali aku mendengarnya aku melupakan fakta bahwa aku bisa saja tertipu. Dan aku memang tertipu. Tapi aku tetap menoleh dan menatap mata putihnya, putih bersih tanpa bola mata dan pipi kirinya yang berlubang..

"Aku tidak takut hujan." Bisikku.

Dia tertawa, tulang pipinya tergoyang, dan aku bisa merasakan bulu kudukku meremang.

"Tentu saja." Ujarnya disela tawanya, suaranya melengking naik, "Mana mungkin seorang gadis yang berani menatap mataku, tidak berani menerabas hujan?" Sepasang kaki jenjangnya meluncur turun dari balik gaun putih gadingnya kemudian ia beringsut mendekat hingga jaraknya hanya beberapa centi dariku, "Tapi baju keringmu hanya tinggal yang kau pakai sekarang."

Aku mencibir, "Aku tidak peduli apa masalahmu, Nona. Tapi berhentilah mengikutiku karena meskipun aku bisa berkomunikasi denganmu, aku tidak bisa membantumu."

Dia tersenyum dan rekahan merah di pipinya justru makin lebar saja. Aku mengalihkan pandanganku dan melihat sekitar selusin 'temannya' menatap interaksi kami berdua. Tiga diantara mereka sudah mengikutiku satu setengah bulan ini.

"Kau bukannya tidak bisa, tapi tidak mau."

Aku menoleh lagi padanya--berusaha fokus pada dahinya yang mulus dan menyeringai, "Ah, ya. Aku tidak mau. Sudah cukup kalian mengacaukan hidupku."

Suara gemuruh memenuhi langit. Aku menepuk-nepuk celanaku dan beranjak berdiri. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada batu nisannya. Ia menatapku dengan ekspresi marah. Aku melambaikan tanganku dan berlalu pergi.

*

"Shit."

Kuyup sudah bajuku saat aku sampai di apartemen. Aku melemparkan jaketku ke sudut ruangan dan duduk di kursi kayu di depan meja. Tetesan air memenuhi lantai dan aku mulai kedinginan. Tidak ada penghangat ruangan apalagi perapian disini. Jadi aku hanya duduk meringkuk memeluk lutut seperti anak kucing. Meskipun ini tidak banyak membantu karena teknisnya sekujur tubuhku sudah basah, tapi aku nyaman dengan posisi ini dan aku ingin tetap begini selama beberapa saat.

"Dor!"

Aku terlonjak dan hampir saja terjengkang bersama kursiku saat Ginny tiba-tiba muncul dari balik dinding di depanku. Dia terkikik dan melayang-layang di depanku.

"Sial.. kau.. sudah berapa kali kubilang? Jangan mengagetkanku atau pergi darisini!" Teriakku.

"Enak saja. Aku lebih dulu menempati tempat ini daripada kau." Cibirnya.

Ia melayang pergi lalu sedetik kemudian ia membawa sebuah baju yang terbungkus plastik, "Lihat ini. Sweater berbulu yang sangat hangat. Warnanya juga.." Ginny menilai baju di tangannya lalu memperhatikanku, "Dengan kulitmu, akan sangat cocok sekali."

"Kalau kau sebegitu sukanya dengan sweater itu, kenapa tidak kau saja yang pakai?" Ujarku galak.

Ginny merengut, "Hei, gadis senewen. Kalau aku bisa berganti pakaian, tentunya sudah kupakai semua baju barumu itu. Apalagi rok merah marun yang dikirim minggu lalu. Astaga, sepertinya itu limited edition." Dia melayang kesana kemari dan mulai bergumam dengan gumaman yang kudengar setidaknya lima kali sehari, "Aku penasaran apa yang ada di kepalaku hingga memakai baju konyol ini di hari terakhir hidupku.."

"Ngomong-ngomong, kekuatanmu sudah kembali, eh?" Tanyaku, meluruskan kaki. Ada banyak jenis hantu yang kutemui selama ini; ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan menyentuh benda di alam ini, ada yang bisa, dan ada yang seperti Ginny. Dia seperti mainan yang kalau habis dayanya, dia kehilangan kemampuan untuk menyentuh dan memindahkan benda. Hantu semacam ini memiliki banyak cara untuk mengisi ulang kekuatan mereka, tergantung dari penyebab kematian dan dendam yang masih tersisa saat hidup di dunia.

"Tentu saja." Ginny meluncur turun dari atas plafon dan melayang naik ke atas, ke kamar tidurku dan duduk di pagar pembatas, "Aku membuat dua pasangan bertengkar hebat pagi ini. Konyol sekali, yang terakhir laki-lakinya terlalu posesif, dia mirip seperti..."

Sementara Ginny terus berceloteh, aku beranjak berdiri dan memungut sweater hitam itu kemudian melipat dan memasukkannya kembali ke dalam kardus bersama sekitar sepuluh stel baju yang lain. Hujan sudah mereda, namun hawa dingin masih begitu menyisa di udara. Aku membuka jendela dan menarik salah satu kaos lengan panjang dan celanaku. Aku akan menyetrikanya dan pergi ke minimarket untuk membeli makanan.

"Awww... astaga, enyah kau darisini!" Suara jeritan Ginny yang entah dari ruangan mana itu lagi-lagi mengejutkanku. Entah kapan aku akan terbiasa dengan suaranya, meskipun sudah hampir empat tahun aku dan dia 'tinggal seatap'.

"Hei, Granger!" Hardiknya, tiba-tiba sudah ada di depanku, "Sebenarnya kemana saja kau pergi? Kenapa setiap pulang selalu membawa hantu aneh dan gila seperti ini?!"

Sesosok laki-laki paruh baya dengan rambut afro dan mata membelalak lebar ada di belakangnya dan mulai menarik-narik ujung rambutnya. Laki-laki itu hanya memiliki satu tangan. Dan tampaknya sangat berminat terhadap Ginny, sepertinya dia hantu yang biasa duduk-duduk di luar area makam.

"Well, aku tidak mengajak mereka, mereka yang mengikutiku." sahutku santai, menggelar kain sebagai alas menyetrika. Laki-laki paruh baya, atau maksudku hantu laki-laki paruh baya itu terus berusaha menarik-narik ujung rambut merah Ginny yang ikal dengan obsesif sementara Ginny melayang heboh kesana kemari dengan suara yang makin melengking-lengking,"Setidaknya kau bisa berkeliaran di tempat dimana para hantu tampan berkumpul, Mione! Aku akan sangat menghargai itu."

"Oh, maafkan aku, Ginny, kalaupun aku bersedia melakukan itu untukmu, aku tidak tahu seperti apa standardisasi ketampanan di kalangan kalian, karena kalian semua sama saja; terlihat mengerikan."

Aku menyusuri jalanan dengan cepat menuju minimarket. Lambungku sudah mulai tidak mau berkompromi terhadap jam makan yang berantakan. Sepertinya kali ini aku tidak bisa memakan fast food. Akhirnya kuputuskan untuk membeli bahan-bahan sandwich. Roti, mentega,.. ah tidak, roti dengan selai saja. Aku harus berhemat.

"Kau sebaiknya memilih selai rasa almond, itu keluaran terbaru. Dengar-dengar enak."

Sebuah suara rendah dan persuasif terdengar tepat dari balik punggungku saat aku tengah memilih-milih selai. Sebenarnya aku tidak peduli rasanya apa, yang aku cari adalah yang ukurannya besar dan harganya lebih rendah.

"Diamlah. Kalian tau apa tentang pilihan rasa selai?" Bisikku dengan jengkel. Hantu di minimarket ini terkadang bisa menjadi sangat menyebalkan.

"Apa maksudmu?" Tanyanya lagi.

Aku meraih sebotol selai strawberry berukuran sedang bermerk tak terkenal dan segera berbalik untuk menghadapi hantu sok tahu ini. Mungkin ia memiliki bekas cakar harimau di pipinya atau mata yang berdarah-darah.

Dan rasanya detak jantungku mau berhenti. Tanpa sadar tanganku yang bebas mencengkeram ujung kemeja yang kukenakan kuat-kuat. Selebihnya, semua anggota tubuhku membeku. Karena bukan pipi penuh cakaran, atau bahkan mata berdarah-darah yang kulihat.

Lebih dari itu, yang kulihat adalah sepasang mata coklat yang memukau. Dan kukenal.

"Draco Malfoy."

Tahun keduaku bisa melihat hantu; segalanya masih terlihat sangat mengerikan. Tapi, hantu yang kulihat siang itu di koridor saat tengah menuju kelas Biologi bersama Parvati Patil adalah hantu pertama yang begitu mengerikan hingga rasanya aku ingin muntah lalu pingsan melihatnya. Kemudian aku memekik begitu keras hingga Parvati terlonjak kaget dan segera beringsut menjauh dariku sambil menyumpah-nyumpah. Sudah lama ia mengeluh harus satu kelompok praktikum denganku; gadis gila yang sering tiba-tiba berteriak histeris.

Hantu itu perempuan, blus putihnya penuh bercak darah dan kakinya memiliki nanah yang menyebabkan dia berjalan terseok-seok. Rambut ikal panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang rusak seperti terkena penyakit kulit. Dan hantu ini mengikuti Draco Malfoy.

Draco Malfoy satu tingkat di atasku. Dia punya reputasi bagus di sekolah (dan kurasa dimanapun dia berada). Dia tampan dan merupakan anak dokter terkenal di kota ini, Lucius. Dan yang paling penting dia tidak pernah mengejek atau menggangguku. Bahkan dia selalu diam saat yang lain membicarakan aku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya tentang aku, tapi lebih baik diam daripada bicara tapi menyakitkan.

Malfoy berjalan menuju ke arahku, otomatis hantu bernanah itu juga. Aku tahu hantu itu tahu aku memiliki koneksi ke dunianya. Maka dia terus menatapku dan itu hanya membuatku semakin ketakutan.

"Hei." Aku mengalihkan fokusku dari tatapan menusuk si hantu pada sosok di hadapanku. Malfoy, dia berdiri tepat di depanku. Berbicara denganku. Untuk pertama kalinya. Bahkan, dia menatap langsung mataku. Saat itu aku langsung menyadari, betapa coklat warna bola matanya.

"Apa yang terjadi?" Tanyanya dengan nada rendah dan.. sedikit gemetar. Mungkin dia bisa merasakan ketakutanku atau dia takut padaku?

Aku memandang matanya sekali lagi dan mencoba bicara dengan tersendat, "Aku.. aku.."

Aku bisa melihat hantu, dan saat ini ada hantu yang sangat mengerikan tepat di belakangmu.

"Kau pucat sekali." Ujar Malfoy lagi.

Tapi, aku sudah kehilangan fokusku karena hantu itu mulai mengeluarkan suara. Ia ber-sss seperti ular dan tiap dia melakukan itu percikan darah busuk keluar menetes netes dari mulutnya dan tetesan itu menembus bahu Malfoy. Aku bisa melihat Malfoy menggerakkan tangannya, kupikir dia merasa gatal atau bagaimana, tapi ternyata tangan Malfoy bergerak untuk menyentuh pipiku.

Tapi sebelum dia melakukannya, hantu itu tiba-tiba menjerit dan bisa kau bayangkan betapa mengerikannya darah yang tumpah ruah dari mulutnya.

Telapak tangan Malfoy sudah tinggal secenti dari pipiku saat semuanya mendadak gelap. Aku tak sadarkan diri setelah menjerit jerit histeris tepat di depan orang yang kuyakini sebagai cinta pertamaku.

"Draco Malfoy." Bisikku pada diri sendiri.

Malfoy menatapku dengan tatapan bingung, kemudian tatapannya turun ke tanganku yang membawa sebotol selai lalu dia menatap mataku lagi dan tatapan bingungnya berganti menjadi takjub, "Wow. Tidak menyangka bisa bertemu denganmu disini, Hermione Granger."

Dan caranya menyebut namaku membawaku kembali ke realitas. Bahwa aku tak seharusnya memiliki semua bentuk rasa picisan ini. Dia tidak menyebut namaku dengan penuh rasa jijik seperti kebanyakan orang di sekolah kami dulu. Hanya saja, caranya menyebut namaku adalah seperti semua orang pasti tahu aku. Karena aku berbeda, karena aku aneh.

Dan aku merasa marah. Aku merasa malu atas kejadian beberapa tahun silam. Lagi-lagi pertanyaan menyakitkan itu memenuhi dan menyesakkan rongga dadaku; kenapa harus aku? Kenapa aku harus bisa melihat hantu? Aku tidak menginginkannya! Tidak ada satupun orang di dunia ini yang menginginkannya..

Maka aku langsung menerabas Malfoy dan berjalan cepat menuju kasir. Setelah membayar dua item yang kubeli aku langsung keluar dari minimarket itu, menahan keinginan kuat untuk menoleh ke belakang.

Hidupku sudah kacau. Dan aku tidak perlu menambah kekacauan itu dengan menginginkan kembali sesuatu yang tidak akan pernah bisa kumiliki, atau bahkan kusentuh. Aku sudah belajar tentang satu hal, bahwa untuk bisa hidup tenang di tengah kekacauan adalah dengan tidak berharap; pada apapun dan siapapun.

"Tunggu! Tunggu sebentar!" Malfoy berteriak dan.. dia mengejarku?

Langkahku terhenti secara mendadak. Tapi bukan karena Malfoy dan bukan hanya aku yang menghentikan langkahnya; tapi semua orang di trotoar ini.

Tepat di depan mataku, sebuah truk baru saja menabrak seorang wanita. Wanita itu tergeletak sekitar tujuh meter dariku. Kepalanya remuk.

"Oh, tidak!" aku memekik tertahan, tanganku sudah membekap mulut. Penampakan orang yang baru saja meninggal apalagi dengan cara seperti ini adalah yang terburuk.

Seluruh tubuhku menggigil dan seperti terpaku pada tempatnya. Hantu itu bisa saja langsung memburuku sepanjang malam ini kalau tahu aku bisa berkomunikasi dengannya. Dan aku tahu, dia pasti tahu.

Kebekuan selama beberapa sekon langsung mencair dengan cepat. Orang-orang mulai menjerit, sebagian besar mendekati korban dan menelepon pihak berwajib. Semua terjadi dengan sangat cepat, namun aku masih berdiri disini menanti detik-detik kemunculan mengerikannya. Suara dalam kepalaku menyuruhku untuk lari tapi aku punya perasaan kalau hantu ini akan menemukanku di jalan nanti.

Udara dingin yang ganjil meraba tengkukku. Aku menguatkan batin. Kurasakan tepukan di bahuku, ya, aku tahu ini akan terjadi. Aku harus berpura-pura tegar dan berani agar dia tidak menjajahku.

"Hermione!"

Malfoy? Aku hampir lupa dia disini.

Malfoy masih memegang sebelah bahuku saat dia memposisikan dirinya di hadapanku. Dan mataku mengikuti gerakannya. Mukanya kini terlihat sedikit pucat dan gelisah. Lagi-lagi ia menatapku dan berujar, "Astaga. Apakah kau ketakutan?"

Pertanyaannya terdengar lucu di telingaku. Pertanyaanya adalah retorika. Dan lebih ironi lagi karena dia sendiri juga terlihat sedikit ketakutan. Ya, kecelakaan barusan pastilah membuat siapapun syok.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, Malfoy menarikku ke dalam pelukannya. Aku terbelalak kaget saat merasakan tangannya menepuk punggungku; menenangkanku. Seperti yang dilakukan Ayah dulu. Dan aku lebih terkejut lagi saat kulihat arwah wanita korban tabrakan barusan itu sudah berdiri satu setengah meter di depanku. Dalam keadaan tanpa cela. Tidak ada satupun bagian tubuhnya yang remuk ataupun berdarah. Sebaliknya, ia terlihat cantik. Bahkan bibirnya masih berselimut lipstik matte berwarna merah gelap. Ia terlihat seperti akan berangkat jamuan makan malam. Dia menatapku selama dua detik lalu menghilang entah kemana.

Aku memberanikan diri menatap sekeliling. Menatap tong sampah di dekat bangku tempat seorang hantu berusia lima tahun yang buntung kakinya dan darah selalu mengalir di pelipisnya. Ia kini terlihat lucu dan sedang bermain dengan mobil mainan. Wajahnya bersih dan tampan. Ya Tuhan.. apa ini? Kenapa Malfoy bisa memberiku pengaruh seperti ini dengan pelukannya?

Jantungku berdegup sangat cepat dan otakku mulai kehilangan kerasionalitasannya. Oh, tapi apakah kau bahkan selama ini hidup dalam kehidupan yang rasional, Hermione?

"Apa kau setakut itu, Hermione?" Tanya Malfoy, ia melonggarkan pelukannya tapi tidak melepasnya.

Tidak. Jangan. Tapi.. dia Draco Malfoy yang bersinar. Dan kau, Hermione Granger. Si gadis kacau. Selamanya akan tetap begitu. Jadi, jangan berharap. Jangan berharap. Sekali-kali jangan. Apalagi sampai bergantung..

"Lepaskan aku!" Aku mendorong Malfoy yang segera mundur beberapa langkah dariku. Aku menundukkan kepalaku dan tidak berani menatapnya dan menatap dunia di hadapanku yang pasti sudah kembali mengerikan lagi. Ini sungguh menyakitkan. Ini tidak adil.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Aku berlari sekuat tenaga kembali ke apartemenku. Pipiku terasa basah oleh air mata. Aku merasa begitu lemah dan lelah saat ini, aku ingin berhenti.

*

Kembali ke dalam apartemen dalam keadaan terengah-engah. Aku duduk di kursi depan meja yang biasa kududuki dalam keadaan antara sadar dan tidak. Hantu hantu melayang di depanku dalam berbagai rupa yang tiada seindah yang kulihat setengah jam yang lalu.

Aku meletakkan kepalaku di atas meja. Berusaha memahami maksud dari semua ini. Sisa debar jantung yang menggila itu masih terasa. Tapi aku tak akan tertipu. Jika aku mengikuti perasaan semacam ini, aku hanya akan semakin sakit dan kacau.

"Apartemenmu aman." Ginny datang dari balik pintu, ia melayang rendah kesana kemari lalu tiba di depanku.

"Err.." erangnya, "Aku tahu pasti akan begini."

"Jadi kau melihatnya, eh?" Tanyanya.

Aku mengangkat kepalaku dan bertanya dengan malas, "Siapa?"

"Wanita itu. Kecelakaan di depan minimarket. Kau ada disana kan?" Terang Ginny.

Aku merasakan dorongan untuk menceritakan yang sebenarnya barusan terjadi pada Ginny, tapi aku sadar itu tidak akan ada artinya. Jadi aku memutuskan untuk diam saja.

Tapi, ada satu pertanyaan yang mengusik hatiku. "Umm.. Ginny, apa kau tadi ada disana juga?"

Ginny memberengut jengkel, "Kau ini, selalu saja menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

Tapi pada akhirnya ia berkata, "Tidak, tapi berita itu sudah menyebar di geng sosialita kami. Kupikir karena kau ada disana, si 'anak baru' itu akan ada disini. Untung saja tidak. Apakah dia tidak melihatmu?"

"Memangnya kenapa kalau dia ada disini?" Pancingku.

"Oh, Merlin! Lagi-lagi pertanyaan dijawab pertanyaan!" Gerutunya. Ia memainkan ujung rambutnya dengan cara memuntir-muntirnya dengan cepat lalu menjelaskan, "Masak kau tidak tahu, 'anak baru' biasanya memiliki emosi yang sensitif dan labil. Aku hanya sedang malas menghadapi hal-hal seperti itu."

Aku mengangguk lalu mengeluarkan pertanyaan pamungkasnya, "Bagaimana dengan penampilannya? Apakah mengerikan di matamu?"

Gerakan tangan Ginny berhenti dan dia menatapku datar, "Hmm.. seperti yang selalu kau katakan, kami semua mengerikan. Kecuali aku, tentu saja."

"Aku serius!" Hardikku sambil melotot. Siapa bilang Ginny tidak terlihat mengerikan? Ia memang tidak menderita cacat fisik atau apa karena dia meninggal gara-gara serangan jantung, tapi kulitnya benar-benar putih seputih kertas dan urat-urat nadinya menonjol. Tapi, dia sangat tenar di kalangan para hantu laki-laki. Itu kalau dia tidak membual.

"Oh, baiklah." Ginny duduk di meja di depanku dan mulai menerangkan, "Nona, ini yang pernah kudengar; makhluk seperti kami pada dasarnya terprogram untuk menyerang dan menakuti, jadi dalam diri kami sudah tidak ada lagi rasa takut terhadap hal-hal seperti tampang yang mengerikan atau semacamnya. Sama sepertimu yang tidak bisa menentukan cantik atau tampannya kami, kami juga tidak bisa menentukan mengerikan atau tidaknya satu sama lain. Kau mengerti?"

Aku terdiam karena merasa takjub akan penjelasan Ginny dan karena menyadari ini kali pertamanya kami terlibat dalam sesuatu yang bolehlah disebut sebagai 'diskusi', bahwa ini adalah obrolan terpanjang kami selama ini dan betapa anehnya hari ini karena mengubah beberapa hal.

Ginny menatapku heran selama beberapa detik seraya menggerak-gerakkan kakinya dengan tidak sabaran.

"Hentikan itu, Ginny. Aku sangat paham, terimakasih." Ujarku.

Ginny menyeringai, "Ucapan terimakasih dari Hermione Granger untuk hantu. Langka sekali."

Aku mencibir dan mulai merasakan perih di lambungku yang menyadarkan aku untuk segera mengisinya. Aku meraih belanjaan di sampingku sementara Ginny sudah melenggang pergi menembus pintu. Aku mengolesi empat buah roti dengan selai strawberry dan membawanya ke atas, ke kamar tidurku. Aku akan langsung tidur setelah makan dan membiarkan hari yang aneh ini berlalu begitu saja.

*

Tuk.

Tuk.

Tuk.

Suara ketukan di kaca jendela dapur membuatku terjaga pada pukul tiga pagi. Pada awalnya, aku ingin mengacuhkannya karena memang biasanya seperti itu. Hantu-hantu sering iseng menggangguku dengan cara seperti itu. Namun, lama kelamaan suara ketukan menjadi semakin keras dan udara menjadi lembab dan dingin.

Aku bangun dan duduk di atas tempat tidur dengan jengkel. Ginny tidak ada disini, hanya hantu-hantu biasa yang anteng dan tidak pernah menggangguku; mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak terpengaruh terhadap perubahan atmosfer di sekeliling mereka.

Aku harus menyelesaikan deadline tulisanku besok siang. Dan besok juga aku harus memulai shift pagi. Jadi aku benar-benar harus tidur sekarang. Persetan dengan semua ini, aku menarik selimut dan kembali tidur dengan bantal di atas telinga.

Prangg!

Baru saja mataku terpejam, sebuah suara benda pecah terdengar begitu nyaring. Aku bangun lagi dengan kaget dan jantung berdegup kencang. Dengan gemetar aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuruni anak tangga. Dalam keremangan aku melihat pecahan piring di dekat meja.

Siapa yang berani menggangguku sampai separah ini? Aku tidak pernah merasa telah mengganggu mereka!

Pandanganku tertuju pada jendela dapur yang tertutup rapat. Menguatkan batin lagi, aku melangkah pasti menuju jendela itu untuk memastikan siapa yang berbuat semua ini.

Sret.

Sebuah garpu melesat tepat di di depan mataku dan jatuh setelah menabrak dinding. Aku memekik tanpa suara. Jari-jari kedua tanganku saling bertautan saat aku menoleh ke arah terbangnya garpu tadi.

Dia berdiri di depan wastafel dengan kedua tangan terlipat di dada. Bibirnya terkatup rapat dan mata putihnya terasa menghunus dan membekukan aliran darahku.

Kepalaku berputar lagi ke arah dinding yang dikenai garpu tadi, disana, terdapat tulisan berwarna merah beraroma strawberry,

BANTU AKU ATAU DRACO MALFOY MATI.

Bersambung.

Author Note : for u who've been read my 1st fic Wake Up Alone, maaf sekali karena sepertinya nggak akan dilanjut karena waktu itu cuma asal nulis. Tapi untuk fic ini, akan dilanjut sampai end karena idenya lebih matang dan saat publish ini, aku udah nulis chapter 3 nya. So, tungguin terus ya!xoxo