Disclaimer : Yoichi Takahashi-sensei
Pair : Tsubasa & Sanae
Genre : Romance, Family
A/N: disarankan untuk membaca Fic Pregnant terlebih dahulu, karena ini adalah sequel dari fic tersebut.
.
My Family
.
Tsubasa menatap pantulan dirinya di depan cermin, kemeja merah motif kotak-kotak panjang yang ia kenakan mempertampan penampilan yang menunjukkan garis tegas miliknya. Lengan sepanjang pergelangan tangan ia gelung hingga siku, kancing bagian atas ia buka, memberikan kesan fresh anak muda di usianya yang tidak muda lagi. Ia melihat pantulan dirinya sekali lagi, dirasa sudah cukup dan puas dengan penampilannya, Tsubasa melangkahkan kakinya menuju lantai bawah, ke ruang makan.
Dilihatnya istri yang sudah dinikahi enam tahun ini mengenakan dress selutut bewarna merah senada dengan kemeja miliknya mencicipi masakan yang berada di atas kompor. Apron merah muda dengan motif bunga sakura melingkar pas pada tubuh kecilnya yang masih sama seperti saat pertama ia meminang gadi itu.
Bibirnya menyunggingkan senyum melihat Sanae yang dengan santai mengiris daun bawang yang akan menjadi campuran pada masakannya yang sudah setengah jadi. Perlahan, Tsubasa mendekatkan tubuhnya kearahnya, melingkarkan tangan kokohnya mengelilingi pinggang isrinya yang selalu ia kagumi karena bentuk tubuhnya yang masih stabil.
"Harum…" ucap Sanae menolehkan kepalanya sedikit kebelakang, guna mencium aroma tubuh suaminya yang sangat ia sukai.
Tsubasa mengeratkan plukannya, semakin merapatkan tubuhnya pada Sanae. Wajahnya ia dekatkan pada perpotongan leher istrinya, menghirup dalam-dalam aroma vanilla yang menguar dari kulit putihnya. "Kau juga." Balasnya.
Sanae terkekeh. Lalu membalikkan tubuhnya menghadap Tsubasa untuk melihat wajahnya. "Sayangku, mengapa kau sangat tampan." Ucap Sanae menatap mata setajam elang yang membuatnya berkali-kali terjatuh, merasakan jatuh cinta.
Tsubasa menyatukan kening mereka, tangannya masih melingkari pinggang istrinya. "Kau sangat cantik, cintaku." Ucapnya membalas perkataan Sanae, lalu mendekatkan bibirnya menuju bibir istrinya. Menawannya dalam rasa manis yang dalam. Tsubasa melumat lembut bibir bawah istrinya, lalu mencium pipinya sebelum menggigit pelan.
"Mengapa kau selalu menggigit pipiku?" Sanae mendengus pelan, lalu menautkan alisnya menuntut jawaban.
Tsubasa tertawa. "Seperti dango." Ucapnya kemudian, Sanae mendelik. Sejak masih kecil Sanae memang sangat sebal jika seseorang mengatakan bahwa pipinya seperti dango. Ia pernah diejek oleh teman-teman sebayanya, membuatnya pernah merasakan sendirian. Oleh karenanya ia sangat tidak menyukai pipinya yang gembil.
"Duduk sana, aku akan menyelesaikan masakkanku." Ucapnya membalikkan tubuhnya.
Tsubasa memposisikan dirinya senyaman mungkin di meja makan milik keluarganya. Menatap punggung istrinya yang kembali berkutat dengan urusan dapur yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Tsubasa sangat menyukai masakan Sanae, rasanya sangat khas hingga membuatnya berpikir dua kali jika ingin melewatkan waku makan di rumah. Kadangkala, Sanae membuatkan masakan dengan resep yang dia peroleh dari ibunya, membuatnya jatuh cinta berkali-kali pada istrinya.
Ini adalah tahun kedua keluarganya tinggal di Italy. Tidak jarang ia membawa keluarganya berpindah-pindah karena pekerjaannya yang membuatnya terpaksa melakukan. Beberapa kali ia dipindahkan menjadi bagian dari tim kesebelasan dari berbagai negara, sehingga membuatnya menetap untuk mengikuti segala bentuk kegiatan yang telah disediakan oeh manager dan pelatih untuk berkompetisi.
Sebenarnya tidak harus membawa keluarganya ikut serta, hanya saja, ia tidak mau berpisah jauh dari keluarganya dalam jangka waktu yang lama. Saat ini ia akan berlibur mengunjungi rumah kedua orang tuanya di Jepang, mengenang masa kecil, masa-masa terindah awal mula cikal-bakal ia menjadi pemain sepak bole professional.
"Ayah... apa aku boleh membawa bola?" seorang anak laki-laki bersurai coklat seperti Sanae menatap ayahnya dari atas tangga.
Tsubasa tersenyum seraya menganggukan kepalanya, "Bawa saja." Mendengar perkataan ayahnya, anak laki-laki itu turun mendekatkan diri pada ayahnya seraya bermain bola.
"Daibu. Berapa kali mama bilang jangan memainkan bola ditangga." Ucap Sanae meletakkan tangannnya kesisi kiri dan kanan pinggulnya.
Mendengar itu, Daibu segera menghentikan permainannya dan membiarkan benda bulat putih hitam itu menggelinding ke bawah. "Iya mama maafkan Daibu." Sanae menghela napas melihat kelakuan salah satu anaknya.
Daibu membiarkan bola itu menggelinding, lalu berlari kecil mendekati Tsubasa di meja makan. Tsubasa yang melihat itu merentangkan tangannya, lalu mengangkat tinggi-tinggi saat sudah berada dalam genggamannya. Daibu tertawa girang. Lalu duduk nyaman dalam pangkuan Tsubasa.
"Jagoan ayah sudah wangi." Ucap Tsubasa mengecup pipi Daibu.
Daibu terkekeh. "Iya dong, Daibu kan sudah mandi." Ucapnya.
Tsubasa mengalihkan pandangannya ke atas tangga, tidak tampak salah seorang anak pertamanya yang memiliki surai sama sepertinya. "Hayate kemana?"
"Dia masih di kamar. Katanya mau mencari mainan dinosaurus dulu."
Tidak lama, Hayate turun dengan tergesa. "Mamaaaa…" ucapnya merengak.
"Pelan-pelan sayang, nanti jatuh." Sanae menasihati.
"Ayah… apa kau melihat dinosaurus tirex?" ucapnya dengan bola mata coklat yang membulat lucu.
"Makan dulu, nanti mama carikan." Sanae menata makanannya diatas meja, beberapa makanan yang sudah ia masak dari pagi mengepul membuat atensi ketiga laki-laki disana fokus pada masakan yang ia hidangkan. Menyadari itu, Sanae tertawa pelan dan menyuruh kedua anaknya untuk mencuci tangannya pada wastafel yang berada di dapur.
Sup tomat, ikan bakar, udon, dan beberapa nori potong berjejer rapi menunggu untuk disantap. Sanae melepaskan apron yang ia kenakan, lalu kembali ke dapur untuk meletakkan apron dan mencuci tangan.
"Selamat makan.."
.
Setelah melewati perjalaan udara yang tidak sebentar, Tsubasa menelpon Ishizaki untuk menjemputnya di bandara Narita. Memang sudah sehari sebelum ia berangkat, ia mengaakan rencana pulang ke Jepangnya pada Ishizaki. Tentu sebagai teman yang sudah menemani masa tumbuh kembangnya, Ishizaki menanggapi kepulangannya dengan suka cita.
Kondisi bandara pada pagi hari ini terlihat sangat senggang, mungkin karena saat ini bukan musim libur seperti yang seharusnya. Biasanya musim libur akan diadakan pada saat musim panas, namun saat ini Tsubasa kembali selama musim semi. Pelatihnya memberinya istirahat selama dua minggu sebagai reward karena sudah memasukan dua gol pada pertandingan Italian melawan Belanda. Terkadang terdapat sekelompok pramugari dan pilot yang masuk untuk bertugas, mengantarkan para penumpang ketempat tujuan dengan selamat.
Seseorang yang berdiri mengerutkan alisnya kala melihat Tsubasa yang saat ini duduk di ruang tunggu di luar ruangan bersama Sanae dan kedua anaknya. Dengan langlah pasti, laki-laki itu mendekati Tsubasa dan menyapanya akrab. "Tsubasa!"
Tsubasa menolehkan kepalanya, lalu tersenyum kala mengenai siapa pemilik suara berat itu. "Hyuga." Ucapnya seraya berdiri, lalu menjabat tagan Hyuga. Sanae yang berada di sampingnya ikut menegakkan tubunya namun tidak berdiri, karena terdapat Daibu yang tertidur dalam pangkuannya dan Hayate yang menyandar pada pinggangnya.
"Kenapa tidak mengatakan kalau kau akan kembali ke Jepang?" tanyanya.
Tsubasa tertawa. "Apa sudah menjadi kejutan untukmu?"
"Sangat mengejutkan." Ucapnya membalas tawa. "Setidaknya jika kau memberitahu kami, mungkin akan ada pesta kedatanganmu. Ngomong-ngomong anakmu sudah sebesar ini." Lanjutnya seraya menatap kedua anak Tsubasa yang tertidur.
"Mungkin lain kali. Aku menetap disini selama dua minggu, masih ada banyak waktu untuk membuat pesta."
"Ya kau benar." Tertawa. "Ngomong-ngomong, selamat atas dua tendangan luarbuasa ke gawang Belanda. Kau tahu, aku sangat terkesan saat melihatmu dari televsi." Hyuga berkata.
"Ah iya terimakasih. Apa yang kau lakukan disini?"
Hyuga berdeham pelan, "Menjemput calon istriku." Lanjutnya tak bisa menyembunyikan rona merah yang ada di pipi coklatmya.
"Wahh… aku menunggu undangannya. Aku pasti datang, akan kupastikan itu."
"Kau ini bisa saja, sudah ya, aku akan mencarinya lagi. Dah Tsubasa, Sanae…" Lanjutnya lalu menepuk pundak Tsubasa sebelum berlalu pergi dari hadapan Tsubasa yang menatapnya dengan bibir yang masih tersenyum.
"Hati-hati Hyuga,"
Seperti biasa, keadaan kota di Jepang memang selalu pdat dengan lalu Lalang kendaraan dan orang yang aka memulai aktivitas pada pagi hari yang cerah. Tsubasa menatap kondisi jalan-jalan yang sangat ia rindukan dengan pandangan lembut, seperti daun sakura yang mekar dengan indah menghiasi setiap jalan kota. Ditolehkan kepalanya ke belakang, tempat dimana Sanae dan kedua anaknya berada.
"Mereka masih tidur?" Tsubasa bertanya. Sanae menatap kedua anaknya yang bersandar di sisi kanan dan kirinya.
"Seperti yang kau lihat." Gumamnya, "Mereka terlalu lelah dengan perjalanannya." Lanjutnya seraya tersenyum. Tidak heran kedua anaknya lelah, selama di dalam pesawat mereka selalu menanyakan segala hal yang bersangkutan dengan pesawat. Lalu setelah sampai di bandara, mereka tidak bisa diam menjelajah karena penasaran. Lalu setelahnya mereka letih sendiri dan tertidur dari di bandara hingga saat ini tanpa terbangun sedikitpun.
"Daibu dan Hayate memang benar-benar replika dirimu Tsubasa." Ishizaki menyahut.
"Kau benar Ishizaki." Tsubasa menyahut. Pikirannya melayang pada wajah kedua anaknya yang memang sangat mirip dengan dirinya. Rambut yang anaknya miliki sama mencuat dengan yang ia punya, hidung, bibir, bentuk mata. Mungkin jika sifat anaknya pendiam sepertinya, mungkin sebenarnya itu adalah dirinya, hanya saja kedua anaknya memiliki sifat ceria seperti ibunya. Sanae, istri yag sangat ia cintai.
"Musim dingin tahun depan akan ada petandingan Jepang melawan Italia. Apa kau akan bermain menjadi tim Jepang, atau Italia?"
"Tentu saja Jepang." Tsubasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Sudah dari kecil ia ingin membanggakan negaranya. "Jika pertandingan Jepang, tentu saja itu sebuah kepastian dan bukan pilihan untuk menjawab tempat lahirku sendiri."
Ishizaki tertawa kencang, lalu menganggukan kepalanya menyetujui. "Aku sudah menanyakan pada beberapa teman kita. Mungkin kita akan reoni untuk membela tanah air kita."
"Aku tidak sabar menunggu waktu itu."
Sanae tersenyum mendengar obrolan Ishizaki, ingatangannya terbang pada beberapa tahun silam, ketika dirinya masih menjabat sebagai manager. Berkumpul dan bercanda tawa bersama teman-teman mereka merupakan hal yang menyenangkan. Jika mengingat ketika mereka sekolah dahulu, dan membela nama sekolah masing-masing, seringkali terjadi permusukan diantara mereka karena tidak ingin menjadi tim yang kalah. Namun semua itu sudah berlalu, seluruh kesebelasan yang ada di Jepang bersatu untuk membela Jepang.
"Tiba-tiba jadi kepikiran Saat kita sekolah menengah, kau ingat Sanae selalu mengejar-ngejarmu." Ishizaku melirik Sanae dari kaca di hadapannya.
Sanae mendelik pada Ishizaki, "Aku tidak mengejar-ngejar Tsubasa." Ucapnya membalas ucapan Ishizaki. Sanae tahu itu hanyalah candaan, oleh karenanya ia menanggapi seperti halnya yang akan ia lakukan.
"Lalu apa? Menunggu Tsubasa peka bahwa ada manager cantik yang menyukai sejak pertama kali bertemu?"
"Terimakasih memujiku cantik." Sanae tersenyum dengan mata yang masih menatap tajam.
"Sama-sama mantan manager." Ucap Ishizaki. Sanae tertawa mendengar pernyataan Ishizaki, sudah lama rasanya ia tidak bercanda dengan Ishizaki seperti ini. Teman yang selalu bersamanya dari ia masih kecil, dari ia gadis tomboy yang tidak mementingkan penampilan hingga saat ini ia sudah menjadi wanita sepenuhnya.
"Aku tahu kalau Sanae menyukaiku ko," Tsubasa melirik ke arah Sanae yang menghujaminya dengan tatapan tajam.
"Lalu kenapa kau diam saja? Pura-pura tidak peka eh?" Ishizaki bertanya.
Tsubasa tersenyum, membuka memori lama membuatnya bernostalgia. "Yah mau bagaimana lagi, saat itu kita masih sekolah, masih memikirkan impian dan cita-cita yang akan kita raih masing-masing. Kupikit terlalu muda untuk bermain hati."
"Kau dengar itu Sanae? Terlalu muda untk bermain hati."
Sanae berdecak dengan pernyataan Ishizaki. Teman laki-lakinya yang satu ini memang entah mengapa selalu bisa membuatnya merasa kesal dari dulu. Namun bukan berarti ia membencinya, bagaimanapun juga, Ishizaki adalah orang yang berperan besar bisa bersamanya ia dengan Tsubasa. Mungkin jika Ishizaki tidak terus menggodanya dihadapan Tsubasa, Tsubasa tidak akan peka dengan perasaannya saat itu. Menginat Tsubasa adalah tipe orang yang tidak pekanya seperti bola.
"Yang penting aku sudah bersana Tsubasa." Ucapnya santai seraya menggedikkan bahunya.
"Yayaya kau benar sekali Anego." Ucap Ishizaki.
"Tumben kau memanggilku Anego."
"Hanya ingin saja."
Mobil milik Ishizaki yang mereka tumpangi berhenti pada rumah gaya tradisional modern milik orang tua Tsubasa. Rencananya, mereka aka menginap di rumah orang tua Tsubasa selama dua malam, lalu dilanjutkan menginap dikediaman Nakazawa selama dua malam. Selanjutnya mereka akan tinggal di rumah yang sudah Tsubasa beli untuk mereka selama di Jepang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah mereka dulu, hanya berbeda satu blok dari rumah Ishizaki.
Tsubasa turun dari mobil, lalu menuju bagasi belakang yang memuat sebuah koper besar dan tas jinjing miliknya yang berisi pakaian keluarganya. Nyonya besar Ozora berjalan sedikit berlari untuk menghampiri Sanae yang masih berada di dalam mobil, mencoba untuk mengangkat kedua anaknya tanpa membangunkan mereka.
"Biar okaa-san bantu Sanae-chan." Ucap ibu Tsubasa dengan mata seperti menahan tangis karena rindu dengan anak dan cucunya. Daibu yang berada dekat dengannya, ia gendong dalam pelukannya. Sedangkan Hayate berada dalam gendongan Sanae.
"Kau tidak mampir dulu Ishizaki?" Tsubasa bertanya pada Ishizaki yang kembali masuk ke dalam mobil setelah membantu mengeluarkan barang bawaannya.
"Tidak usah. Besok aku akan mampir dengan beberapa teman, sekarang kalian istirahatlah." Ucapnya. "Dahh.. Tsubasa, Sanae, Bibi…" ucapnya melajukan kendaraannya seraya mengeluarkan sebelah tangannya dari jendela untuk melambaikan tangan.
Setelah membaringkan Hayate dan Daibu ke dalam kamarnya dulu, Tsubasa dan Sanae berkumpul di ruang tamu. Tsubasa mengedarkan pandangannya kesegala ruangan. Rumah yang keluarganya tinggali saat ia pindah rumah tidak banyak berubah. Perabotan lama masih ada memenuhi ruangan, mungkin bertambah beberapa barang yang membuat rumah ini menjadi lebih hidup.
"Kalian tidurlah terlebuh dahulu, gunakan kamar sebelah kamarmu dulu." Ucap ibu Tsubasa seraya tersenyum menatap wajah lelah anak dan menantunya.
"Bukankah itu kamar okaa-san?" Tsubasa mengernyitkan alisnya.
Ibu Tsubasa tertawa, "Kamar kaa-san pindah jadi di lantai dua, tou-san mu sengaja memindahkan kamar agar kamar bawah bisa dipakai untuk kamar tamu."
"Baik okaa-san," Sanae tersnyum.
"Yaudah sana istirahatka tubuh kalian, kaa-san akan menemani cucu-cucu kaa-san." Ucapnya seraya berlalu dari hadapan Tsubasa dan Sanae menuju sebuah kamar serba sepak bola yang pintunya masih dibiarkan terbuka.
.
TBC
.
Setiap chapter terdiri dari 2K
Update seminggu sekali, hari ngga ditentuin. Kalo selama seminggu ngga update, bisa nagih via DM wkwk
Btw ini sequel dari pregnant seperti yang udah aku janjiin. Terdiri dari beberapa chapter, tapi ngga sampe 10 semoga.
Sebenernya aku bingung mau masukin di rate T atau M karena cerita ini terdapat sedikit unsur dewasa.
Mau nanya dong, tolong jawab ya yang baca untuk keperluan cerita. Tsubasa itu punya adik ngga si? Perasaan aku pernah denger kalau Tsubasa itu punya adik. Kalau punya namanya siapa ya? cewe atau cowo?
Salam,
Fiyui-chan
