Love Letter
.
.
.
Remake dari Lisa Kleypas 'Love in the afternoon', novel berseri tentang perjalanan cinta anak-anak Hathway
_Semua hanya pinjaman, nama tokoh dan cerita. Latar belakang victoria era.
.
.
Huntao gs...gk suka gk usah baca! Thanks, lets read!
.
.
Gyeonggi, Korea Selatan
Delapan bulan sebelumnya
Semua diawali dengan sepucuk surat.
Tepatnya, karena disebutkannya sianjing.
"Bagaimana dengan anjingnya?" tanya Huang Zitao.
Temannya Seulgi, primadona seluruh Gyeonggi. Mendongak dari melihat surat dikirim oleh pengagumnya, Kapten Oh Sehun.
Meskipun tidak pantas bagi seorang pria untuk berkorespodensi dengan gadis yang belum menikah, mereka telah mengatur agar kakak ipar Sehun bertindak sebagai perantara.
Seulgi melontarkan kernyit mengejek. "Sungguh, Zi, kau menunjukkn jauh lebih banyak perhatian terhadap anjing daripada terhadap Kapten Oh."
"Kapten Oh tidak membutuhkan perhatianku," sahut Zitao pragmatis. "Dia mendapatkan semua perhatian dari setiap nona yang siap menikah diGyeonggi. Lagipula dia memilih pergi berperang dan aku yakin dia mengalami saat yang indah berderap ke sana kemari dengan seragam necisnya."
"Seragamnya sama sekali tidak necis," terdengar sahutan muram Seulgi. "Sebenarnya resimennya yang baru memiliki seragam yang mengerikan—sangat polos, hijau tua dengan manset hitam, dan tidak ada kepang emas atau tali sama sekali. Saat kutanya kenapa, kata Kapten Oh itu untuk membantu pasukan tetap bersembunyi, yang tidak masuk akal karena semua orang tahu tentara Korea Selatan jauh lebih berani dan bangga untuk menyembunyikan diri selama pertempuran. Tapi Sehun—maksudnya Kapten Oh—mengatakan itu ada hubungannya dengan..."
"Kamuflase?" tanya Zitao tertarik.
"Ya, bagaimana kau tahu?"
"Banyak binatang punya cara mengamuflase diri agar tidak terlihat. Bunglon, misalnya. Atau bagaimana bulu burung hantu bercorak agar membantunya menyatu dengan batang pohon. Dengan begitu—"
"Astaga Tao-ah jangan memulai lagi kuliah tentang hewan."
"Aku akan berhenti jika kau ceritakan padaku tentang anjingnya."
Seulgi menyerahkan surat itu padanya. "Baca saja sendiri."
"Tapi," protes Zitao saat halaman kecil rapi itu disodorkan ke tangannya. "Kapten Oh mungkin sudah menulis sesuatu yang pribadi."
"Mujurnya aku jika begitu! Isinya sungguh muram. Hanya pertempuran dan kabar buruk."
Meskipun Oh Sehun bukan pria yang ingin dibelanya, Zitao tidak bisa tidak mengingatkan, "Dia berjuang dalam perang, Seulgi. Aku tidak yakin banyak hal menyenangkan bisa ditulis dimasa perang."
"Yah, aku tidak berminat dengan negara asing dan tidak pernah pura-pura begitu."
Seringai enggan merebak diwajah Zitao. "Seulgi-ah, apa kau yakin ingin menjadi istri perwira?"
"Yah, tentu saja...kebanyakan tentara tidak pernah pergi berperang. Mereka pria kota yang sangat bergaya dan jika setuju menerima setengah gaji dan sama sekali tidak perlu menghabiskan waktu dengan resimen. Itulah yang terjadi dengan Kapten Oh, sampai dia dipanggil bertugas ke perbatasan." Seulgi mengangkat bahu. "kurasa perang selalu terjadi disaat yang tidak tepat. Untung Kepten Oh akan segera kembali ke Gyeonggi."
"Benarkah? Bagaimana kau tahu?"
"Orang tua ku bilang perang akan selesai sebelum natal."
"Aku juga sudah mendengarnya. Meskipun begitu, orang bertanya-tanya apakah kita tidak terlalu meremehkan kemampuan Korea Utara dan memandang terlalu tinggi kemampuan sendiri."
"Tidak patriotis sekali," seru Seulgi, sorot bercanda tampak dimatanya.
"Patriotisme tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa kantor perang dalam antusiasmenya tidak melakukan cukup perencanaan sebelum mengirim tiga ribu orang ke perbatasan negara kita."
"Bagaimana kau tahu begitu banyak soal ini?"
"Dari surat kabar. Ini dilaporkan setiap hari. Kau tidak membaca koran?"
"Tidak dibagian politik. Orang tuaku bilang tidak pantas wanita muda berminat pada hal semacam itu."
"Keluargaku membicarakan politik setiap malam saat makan malam, kakak-kakak perempuanku dan aku semua terlibat." Zitao sengaja berhenti sejenak sebelum menambahkan dengan seringai tak berdosa, "Kami bahkan punya opini."
Seulgi terbelalak. "Asataga. Yah semestinya aku tidak terkejut. Semua orang tahu keluargamu...berbeda."
'Berbeda' adalah kata sifat yang jauh lebih halus daripada yang sering dipakai untuk mendeskripsikan keluarga Huang. Keluarga Huang terdiri atas lima kakak beradik, yang sulung Luhan, diikuti Baekhyun, Yixing, Kyungsoo, dan Zitao. Setelah wafatnya orang tua mereka, keluarga Huang mengalami perubahan nasib yang mencengangkan. Meskipun lahir dikalangan biasa, mereka kerabat jauh dari cabang keluarga yang aristokrat. Melalui serangkaian kejadian tak terduga, Luhan mewarisi gelar viscount yang baik dirinya maupun adik-adiknya sedikitpun tidak siap untuk menerimanya.
Setelah enam tahun keluarga Huang belajar cukup sekedar untuk menyesuaikan diri dikalangan atas. Meskipun begitu, tak satupun dari mereka belajar berfikir seperti bangsawan atau menguasai nilai-nilai maupun tata krama kebangsawanan. Mereka kaya, tapi itu nyaris tidak ada artinya dibandingkan keturunan dan koneksi. Sementara keluarga yang memiliki kasus serupa akan berusaha memperbaiki keadaan dengan menikahi orang dari kelas sosial yang lebih tinggi, keluarga Huang sejauh ini memilih menikah demi cinta.
Sedangkan mengenai Zitao, ada keraguan apakah gadis itu akan menikah. Gadis itu hanya setengah berbudaya, menghabiskan sebagian waktunya dialam terbuka, berkuda atau berjalan-jalan ke hutan, rawa, dan padang rumput. Zitao lebih suka ditemani hewan daripada manusia, mengumpulkan makhluk yang terluka dan yatim piatu, serta merehabilitasi mereka. Makhluk yang tidak bisa bertahan hidup sendiri dialam liar dijadikan binatang peliharaan dan Zitao menyibukkan diri dengan merawat mereka. Diluar ruangan, gadis itu bahagia dan tentram. Didalam ruangan, kehidupan sedikitpun tak sesempurna itu.
Semakin lama Zitao semakin sering merasakan torehan ketidakpuasan. Mendambakan sesuatu. Masalahnya Zitao belum pernah bertemu pria yang tepat untuknya. Pastinya bukan spesimen pucat berdarah kelewat biru dari ruang-ruang duduk Seoul yang sering ditemui. Dan meskipun pria yang lebih bugar dinegara ini menarik. Tak satupun dari mereka memiliki sesuatu yang entah apa namanya yang diinginkan Zitao. Ia memimpikan seorang pria yang kekuatan tekadnya sendiri. Ia ingin dicintai penuh hasrat...ditantang...dikuasai.
Zitao melirik surat yang terlipat ditangannya.
Ia tidak menyukai Oh Sehun, tapi tak sebesar ia menyadari pria itu sama sekali tak sebanding dengannya. Canggih dan dilahirkan dikalangan atas, pria itu mudah bergaul dikalangan berbudaya yang begitu asing bagi Zitao. Pria itu putra kedua keluarga setempat yang terpandang, kakek dari pihak ibunya seorang bangsawan, keluarga ayahnya dikenal karena kekayaan nyata yang diperoleh dari bisnis perkapalan.
Meskipun keluarga Sehun tidak berada dalam urutan penerima gelar, putra sulungnya, Kyuhyun, akan mewarisi kekayaan dari kakek pihak ibunya. Kyuhyun pria tenang dan serius yang setia pada istrinya, Seohyun. Tapi putra yang lebih muda, Sehun, pria yang sama sekali berbeda. Seperti yang sedang kerap terjadi pada putra kedua, Sehun bergabung dengan angkatan darat pada usia 20. Ia masuk sebagai cornet, yang tanggung jawabnya adalah membawa bendera selama parade dan latihan. Ia juga favorit para gadis Seoul, tempat yang konstan dikunjunginya tanpa izin resmi, menghabiskan waktu dengan berdansa, minum, judi, membeli pakaian mewah dan memanjakan diri dalam percintaan yang berbau seksual.
Zitao pernah bertemu Sehun pada dua kesempatan, yang pertama diacara dansa setempat, disana ia memilih pria itu sebagai pria paling arogan di Gyeonggi. Kali berikutnya ia bertemu pria itu disebuah piknik, tempat ia merevisi pendapatnya: pria itu paling arogan di seluruh dunia.
"Gadis keluarga Huang itu makhluk aneh," begitu tak sengaja Zitao mendengar pria itu berkata keseorang teman.
"Menurutku dia memesona dan orisinil," begitu protes temannya tadi. "Gadis itu juga bisa membicarakan kuda lebih baik daripada wanita lain manapun yang pernah kutemui."
"Tentu saja," terdengar sahutan protes pedas Sehun. "Dia lebih cocok di istal daripada di ruang duduk."
Sejak itu Zitao menghindari pria itu kapanpun ia bisa. Bukan ia keberatan secara tersirat dibandingkan dengan kuda, karena kuda hewan cantik yang berjiwa pemurah dan mulia. Ia juga tahu meskipun tidak cantik sekali, ia memiliki pesonanya sendiri. Lebih dari satu pria memberi komentar menyenangkan pada rambut cokelat gelap dan matanya yang indah.
Daya tarik rata-rata ini, akan tetapi, tak berarti jika dibandingkan dengan pesona keemasan seorang Oh Sehun. Sehun tinggi dan bermata keperakan, rambutnya sewarna gandum musim dingin pekat yang diterpa sinar matahari. Sosoknya kuat dan gagah, pundaknya lurus dan kokoh, pinggangnya langsing. Bahkan saat bergerak anggun tak tercela, ada kekuatan tersembunyi yang tak terbantahkan dalam dirinya, sesuatu yang bersifat predator egois.
Baru-baru ini Sehun menjadi salah satu dari dari sedikit orang yang terpilih diambil dari beragam resimen untuk menjadi bagian dari Brigade Rifle. Para 'Rifle' begitu mereka disebut, merupakan jenis tentara yang tak biasa, dilatih untuk berinisiatif sendiri. Mereka didorong untuk mengambil posisi di depan garis depan mereka sendiri dan memilih perwira serta kuda yang biasanya berada diluar jangkauan target. Karena keahliannya menembak, Sehun dipromosikan menjadi kapten di Brigde Rifle.
Hal itu membuat Zitao terhibur mengingat kehormatan itu mungkin sama sekali tidak membuat Sehun senang. Terutama karena pria itu terpaksa mengganti seragam necisnya yang indah, yang berupa jas hitam dan dihiasi banyak kepang emas dengan seragam hijau tua yang polos.
"Kau bebas membacanya," kata Seulgi sambil duduk didepan meja rias. "Aku akan memperbaiki tatanan rambutku sebelum kita pergi jalan-jalan."
"Rambutmu tampak cantik," protes Zitao tak bisa melihat cacat apapun diuntiran kepang yang dijepit rumit. "Lagipula kita hanya berjalan ke desa. Tak satupun orang kota akan tahu atau peduli jika rambutmu tidak sempurna."
"Aku yang akan tahu. Lagipula, orang tidak pernah tahu akan bertemu siapa."
Terbiasa dengan temannya yang senang bersolek tanpa henti, Zitao meringis dan menggeleng. "Baiklah. Jika kau yakin tidak keberatan aku membaca surat Kapten Oh, aku hanya akan membaca bagian tentang anjing itu."
"Kau akan tertidur lama sebelum sampai dibagian anjing itu," kata seulgi cekatan menyisipkan jepitan ke untiran kepang.
Zitao menunduk memandang baris tulisan tangan. Kata-katanya tampak sesak, lilitan kencang huruf siap melompat dari halaman.
Dear Seulgi,
Aku duduk ditenda berdebu ini, mencoba memikirkan sesuatu yang memesona untuk ditulis. Aku kehabisan kata. Kau pantas mendapatkan kata-kata yang indah tapi yang tersisa padaku hanya ini: aku terus menerus memikirkanmu. Aku memikirkan surat ini ditanganmu dan aroma parfum dipergelangan tanganmu. Aku menginginkan udara yang hening dan jernih, juga tempat tidur dengan bantal putih lembut...
Zitao merasa alisnya terangkat, juga panas yang naik cepat dibawah gaunnya yang berleher tinggi. Ia berhenti sejenak dan melirik Seulgi. "Menurutmu ini membosankan?" tanyanya ringan, sementara rona merebak seperti anggur tumpah diatas linen.
"Bagian awalnya satu-satunya yang bagus," kata Seulgi. "Lanjutkan."
...Dua hari yang lalu kami bertempur melawan tentara Korea Utara diperbatasan dan diberitahu kemenangan ada dipihak kita tapi rasanya tidak begitu, kami kehilangan setidaknya dua pertiga perwira diresimen kami dan seperempat serdadu non perwira. Kemarin kami menggali liang lahat. Mereka menyebut perhitungan akhir prajurit yang meninggal dan terluka dengan nama 'tagihan tukang daging'. Tiga ratus enam puluh prajurit kita meninggal sejauh ini dan akan lebih banyak lagi karena prajurit menyerah pada luka mereka.
Salah satu yang gugur, Kapten Kim, membawa seekor terrier kasar bernama Janggu, yang tak diragukan lagi merupakan anjing berperilaku paling buruk yang pernah ada. Setelah Kapten Kim diturunkan ke tanah, anjing itu duduk disebelah kuburannya, merintih berjam-jam, dan mencoba menggigit siapapun yang mendekat. Aku berbuat kesalahan dengan menawarkan secuil biskuit dan sekarang makhluk bebal ini mengikutiku kemana-mana. Saat ini dia duduk tendaku, menatapku dengan pandangan setengah gila. Rintihannya jarang berhenti. Kapanpun aku mendekat, dia mencoba menenggelamkan giginya ke lenganku. Aku ingin menembaknya tapi sudah terlalu muak membunuh. Banyak keluarga berduka atas nyawa yang kuambil. Putra, saudara laki-laki, ayah. Aku sudah mendapat tempat dineraka untuk hal-hal yang kulakukan, padahal perang baru saja dimulai. Aku berubah, dan bukan menjadi lebih baik. Pria yang kau kenal sudah lenyap selamanya, dan aku takut kau mungkin tidak sedikitpun suka dengan penggantinya.
Aroma kematian, Seulgi-ah...terasa disemua tempat.
Medan perang diseraki potongan tubuh, pakaian, sol sepatu bot. Bayangkan ledakan yang bisa merobek sol dari sepatumu. Mereka bilang setelah pertempuran, bunga liar lebih banyak dimusim berikutnya—tanah begitu teraduk dan koyak, memberi ruang bagi benih untuk berakar. Aku ingin berduka, tapi tidak ada tempat untuk itu. Tidak ada waktu. Aku harus menyisihkan perasaan itu ke suatu tempat.
Apa masih ada tempat yang damai didunia? Tolong balas suratku. Ceritakan padaku sedikit tentang jahitan yang sedang kau kerjakan, atau lagu kesukaanmu. Apakah sekarang hujan diGyeonggi? Apa daun-daun mulai berganti warna?
Yours,
Oh Sehun
Saat Zitao selesai membaca surat, ia menyadari perasaan yang aneh, rasa iba terkejut menekan dinding hatinya.
Sepertinya tidak mungkin surat semacam itu berasal dari siarogan Oh Sehun. Ini sama sekali berbeda dengan dugaannya. Ada kerapuhan, kebutuhan lirih yang menyentuhnya.
"Kau harus menulis surat untuknya Seulgi-ah," ujarnya, melipat kembali surat dengan kehati-hatian lebih dari yang sebelumnya.
"Aku tidak akan melakukan hal semacam itu. Itu hanya akan mendorong lebih banyak keluhan. Aku akan diam dan mungkin akan membuatnya menuliskan sesuatu yang lebih ceria lain kali."
Zitao mengernyit. "Seperti kau tahu, aku tidak terlalu suka kapten Oh, tapi surat ini...dia pantas mendapatkan simpatimu, Seulgi. Tulis saja beberapa baris untuknya. Beberapa kata penghibur. Sama sekali tidak membutuhkan waktu banyak. Dan tentang anjing itu, aku punya beberapa sara—"
"Aku tidak akan menuliskan apapun tentang anjing sial itu," Seulgi mendesak tak sabar. "Kau saja yang menyurati dia."
"Aku? Dia tidak ingin mendengar kabar dariku. Dia menganggap aku aneh."
"Aku tidak bisa membayangkan alasannya. Hanya karena kau membawa Medusa ke piknik..."
"Dia landak yang sangat sopan," kata Zitao membela diri.
"Pria yang waktu itu tangannya tertusuk sepertinya tidak sepakat."
"Itu hanya karena dia mencoba menangani Medusa dengan cara yang salah. Saat kau mengangkat landak—"
"Jangan, tidak ada gunanya mengatakan itu padaku, karena aku tidak akan pernah memegang landak. Sedang mengenai Kapten Oh...kalau kau merasa ini begitu penting, tulis balasan dan tanda tangani denga namaku."
"Apa dia tidak akan mengenali kalau tulisan tangannya berbeda?"
"Tidak akan, karena aku belum pernah menulis surat untuknya."
"Tapi dia bukan pengagumku," protes Zitao. "Aku tidak tahu apa-apa tentang dia."
"Kau tahu sebanyak yang aku tahu sebenarnya. Kau kenal dengan keluarganya, dan sangat dekat dengan kakak iparnya. Aku juga tidak akan mengatakan dia pengagumku. Setidaknya bukan satu-satunya pengagumku. Aku jelas tidak akan menjanjika menikah dengannya sampai dia kembali dari perang dengan semua tungkai lengkap tanpa cacat. Aku tidak menginginkan suamiku yang didorong kesana kemari dikursi orang cacat sepanjang hidupku."
"Seulgi, kau memiliki kedalaman seperti genangan air."
Seulgi meringis. "Setidaknya aku jujur."
Zitao melontar tatapan ragu padanya. "Kau sungguh-sungguh mendelegasikan penulisan surat cinta kepada salah satu temanmu?"
Seulgi melambaikan tangan isyarat tak acuh. "Bukan surat cinta. Tak ada cinta sama sekali dalam suratnya padaku. Tulis saja sesuatu yang ceria dan menyemangati."
Zitao meraba-raba mencari saku gaun jalan-jalannya dan menyelipkan surat didalamnya. Dalam hati, ia berdebat dengan diri sendiri, merenungkan tidak pernah ada akhiryang baik jika orang melakukan sesuatu yang secara moral dipertanyakan meskipun dengan alasan yang benar. Disisi lain...ia tidak bisa menyingkirkan gambaran yang dibentuk pikirannya sendiri, gambaran serdadu yang kelelahan menulis surat secara tergesa di dalam privasi tendanya, dengan tangan tergores akibat menggali kuburan teman seperjuangannya. Disertai seekor anjing jelek merintih disudut.
Ia merasa sepenuhnya tidak punya cukup kemampuan melakukan tugas menulis surat untuk pria itu. Ia menduga Seulgi pun begitu.
Ia mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi Sehun, meninggalkan kehidupan elegannya dibelakang, mendapati diri dalam dunia dimana keselamatannya terancam hari demi hari. Menit demi menit. Mustahil membayangkan pria tampan manja seprti Oh Sehun bergulat dengan bahaya dan kekurangan. Kelaparan. Kesepian.
Zitao menatap serius temannya, tatapan mereka bertemu dicermin. "Apa lagu favoritmu, Seulgi?"
"Aku tidak punya. Katakan padanya lagu favoritmu."
"Perlukan kita membicarakan ini dengan Seohyun?" tanya Zitao merajuk pada kakak ipar Sehun.
"Tentu saja tidak. Seohyun punya masalah dengan kejujuran. Dia tidak akan mengirim surat itu jika tahu bukan aku yang menulisnya."
Zitao mengeluarkan suara yang bisa jadi entah tawa atau erangan. "Aku tidak akan menyebut ini masalah kejujuran. Oh, Seulgi, please ubah pikiranmu dan tulislah surat untuknya. Akan jauh lebih mudah begitu."
Tapi Seulgi, saat ditekan untuk melakukan sesuatu. Biasanya berubah menjadi keras kepala dan situasi ini bukan perkecualian. "Lebih mudah bagi siapapun selain aku," katanya masam. "Aku yakin tidak tahu cara menjawab surat seperti itu. Dia mungkin bahkan lupa sudah menulisnya." Mengembalikan perhatian ke cermin, gadis itu mengulaskan sedikit pemerah ke bibirnya.
Betapa cantiknya Seulgi, dengan wajah yang halus tanpa cacat, alisnya tipis dan melengkung halus diatas matanya yang indah. Tapi betapa sedikitnya kepribadian yang merefleksikan cermin itu. Mustahil menebak apa yang sebenarnya dirasakan Seulgi terhadap Oh Sehun. Hanya satu yang pasti: lebih baik membalas, betapapun tidak mencukupi, daripada menahan balasan. Karena kadang-kadang sikap diam bisa melukai orang hampir separah peluru.
.
.
.
TBC
.
.
.
_halo ^^ kembali membawa remake, semoga ada yang suka. Rada berhutang sama huntao yang udah kuhapus maaf tidak bisa melanjutkan karena alasan sesuatu moga ini bisa mengobati. Marga Hathway yang pas di Kaisoo aku pakai marga Do tapi disini aku ganti Huang biar ngepasin kalo kan sekarang cast utamanya Zitao. RnR please ^^ bow to everybody
