Semua karakter anime Naruto disini milik M. Kishimoto-sensei yang membuat karakter anime Naruto. Aku hanyalah seorang fans berat dari anime Naruto yang mencoba membuat cerita fiksi dari anime Naruto hanya untuk kesenangan belaka.
Alternate reality, Out of character, smart Naruto, non pairing canon.
Enjoy the story
Prologue
"Apakah ini menyakitkan?"
Naruto hanya memandang ke arah Madara dengan tatapan mata kebencian. Dia tak berdaya. Otot-otot tubuhnya lemas dan dia bisa merasakan gerakan tubuhnya tersegel.
"Kurasa itu menyakitkan bukan?" Madara bicara dengan kembali mengeluarkan sebuah besi hitam dan kembali menancapkannya ke arah tubuh Naruto. "Kau berusaha yang terbaik, namun sayang semua itu masihlah belum cukup bukan? Kau itu sangat merepotkan tahu?"
"Fuck you!" Naruto berucap pada Madara dengan terbatuk menahan darah keluar dari mulutnya. Mata Naruto menunjukkan kemarahan yang teramat sangat pada sosok bertopeng yang merupakan dalang dari semua penderitaannya selama ini.
"Menyumpah serapah tak akan mengubah apapun, Naruto…," Madara memandang merendah ke arah Jinchuriki ekor sembilan "Harus kuakui kau kuat. Sangat kuat hingga bisa mengalahkan Jinchuriki lain yang ku edo tensei, tapi itu tetap belum cukup bukan? Semua yang percaya padamu telah mati. Team-mu. Rekanmu… Bahkan si ninja Uchiha bodoh yang berpikir dia bisa berhianat kepadaku"
Menggertakkan giginya kuat-kuat menahan segala amarah miliknya. Rasa putus asa merasuk ke dalam tubuhnya yang terbaring tak berdaya. Chakra dari sang Bijuu telah terputus koneksinya dengan dirinya akibat banyaknya batangan besi hitam yang menancap di tubuhnya. "Akan kubunuh kau, Madara," Naruto berjanji, bahkan ketika dirinya telah lemah dan tak berdaya. "Akan kubunuh kau dan akan kuakhiri ini semua,"
Sang musuh bertopeng yang dia tahu adalah Madara tersebut membentuk suatu segel dengan satu tangan. Bergerak kemudian menyentuhnya dengan satu tangan tersebut tepat di atas kepalanya. Rasa sakit tak terbayangkan mulai menjalar ke tubuh Naruto. Sangat menyakitkan hingga dia tak bisa berteriak. "Kurasa kau yang harusnya mati bukan, Uzumaki Naruto"
Tawa jahat dari sang pria bertopeng tersebut membahana di medan pertempuran. Rasa sakit Naruto semakin menjadi. Sang Bijuu tertarik keluar dari tubuhnya dengan paksaan. Pandangan matanya mulai mengabur. Mencoba menariknya dalam kegelapan dan seberapapun dia mencoba untuk menolak, dia tahu, dia tak akan bisa. Sebuah perkataan terakhir yang terdengar di telinganya adalah sesuatu yang sangat dia benci.
"Bye bye… Anak Yondaime…"
…
...
Mata cerulean biru sebiru lautan itu terbuka. Nafas memburu akibat adrenalin yang terpacu dalam dirinya membuatnya terbangun dengan cepat. Kepalan tangannya tergenggam erat melepaskan tinju ke depan yang hanya membelah ruang kosong. Nafas beratnya terdengar di ruangan penginapan tempatnya berada. Sampai, sebuah nafas lelah terdengar di sana dan dia menutup mata.
'Fuck…' Kepalan tinju kembali dia layangkan di atas tatami di samping futon tempatnya tidur. Cukup keras hingga menyebabkan lantai tatami tersebut retak akibat tekanan kuat dari tinju miliknya. Rasa frustasi merasuk ke dalam pikiran.
Ingatan miliknya masih terasa jelas. Rasa sakit yang dia rasakan akibat Bijuu yang tertarik paksa keluar dari tubuhnya masih dia ingat pula.
Semua yang barusan dia lalui yang kemudian tak lebih hanya menjadi memori yang memudar dalam ingatan miliknya, satu lagi kematian dari sekian banyak kematian yang menerpa dirinya.
Bangkit dari futon miliknya, dia mengeluarkan helaan nafas lelah yang baru. Mencoba melupakan kembali memori menyakitkan yang menerpa otak miliknya yang seakan mencoba membuat dirinya menjadi gila.
Angin lembur menerpa dirinya ketika dia membuka jendela penginapan tempatnya menginap malam ini. Suara burung pagi dan hempasan angin pagi yang menerpa dirinya membuat dirinya sedikit merileks-kan tubuh lelah miliknya.
Disinilah dia kembali.
Hidup…
Suatu waktu yang lampau, realisasi ini membawa rasa bahagia ke dalam dirinya. Bahwa hal ini membawa kembali kesempatan kepada dirinya, membawa kembali peluang untuknya agar bisa memperbaiki kesalahan yang dia buat, menyelamatkan yang bisa dia selamatkan. Namun seiring waktu, dia mulai lelah. Berapa lamakah lagi dia telah mengalami ini? Dua puluh? Sembilan puluh? Atau dia sudah mencapai angka tiga digit? Dia tak ingat lagi sudah di hitungan ke berapa dia mengalami hal ini. Lagipula ingatan manusia miliknya hanya bisa mengingat hal yang terpenting saja.
Karena faktanya, kematian telah datang berulang setiap kali kepadanya yang mengakibatkan dia kembali terbangun di waktu mudanya saat dia masih dalam awal pengembaraan bersama sang pertapa katak, Jiraiya. Terbangun di tubuh remaja miliknya yang baru pubertas, mengakibatkan rasa familiar dimana dia berada. Kematian, yah… kematian yang telah dialami begitu bervariasi. Terkadang pelan, namun terkadang begitu cepat.
Merasakan bijuu ditarik paksa dari tubuhnya adalah yang terburuk. Sensasi rasa sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata apapun ketika bijuu ditarik perlahan dari tubuh. Selain itu yang tercepat adalah ledakan. Ledakan yang menghancurkan tiap keping tubuhmu dan terkadang menghilangkan eksistensi secara sekejap.
Dia menggelengkan kepala miliknya menghilangkan ingatan yang membawa perasaan tak enak tersebut.
Berapa lama dia bisa bertahan kali ini? Empat setengah tahun adalah waktu terlama yang dia miliki… waktu terlama dia berhasil bertahan hingga waktu perang besar tiba… Cukup untuk menimbulkan setitik api di dalam hatinya akan sebuah harapan.
Namun cukup pula harapan kecil tersebut ada hingga harus dihancurkan oleh kerasnya realita takdir.
'Harusnya aku tahu' hela nafas Naruto pelan sembari memandang ke luar jendela penginapan dengan mata lelahnya.
Tak pernah ada harapan…
Harapan hanyalah sesuatu yang diimpikan seseorang yang berharap, berharap cukup untuk berharap sesuatu yang sesuai dengan keinginan mereka sebelum diremukkan oleh kerasnya realita dunia asli yang hanya dipersenjatai tidak lebih dari mimpi yang realistik. Namun yang dialamai olehnya adalah kutukan.
A curse place in him is more cruel than everything.
Kutukan yang dia alami tak lebih dari penyiksaan mental yang benar-benar membuatnya tahu bahwa ini adalah hal yang menguji mentalnya untuk tetap waras meskipun lambat laun dia akan ditelan kegilaan. Karena setiap kali Uzumaki Naruto mengalami kematian, dia akan dikirim kembali ke waktu awal.
Hidup setelah kematian.
Hidup dalam kegagalan demi kegagalan.
Takdir memang seakan menyiksa dirinya. Dia tahu Uzumaki memang punya sifat keras kepala. Namun terkadang sifat keras kepala tersebut juga bisa hancur layaknya dirinya. Dia masih bisa mengingat dengan begitu jelas bagaimana ini terjadi pada awalnya. Mungkin karena dia masih bingung dengan hal ini, di waktu dahulu, dia bereksperimen - mencoba mengubah jalur waktu. Dengan agresif menerjang ke depan berbekal ingatan yang dia miliki untuk mencoba memperbaiki kesalahan yang dia buat agar orang-orang yang berharga baginya tak harus mati. Dia tak harus kehilangan apapun. Namun dia tetaplah salah, dia tak tahu bahwa dengan dia mengubah suatu jalur waktu, maka realita lain ikut berubah. Dan itu tetap berakibat pada kegagalan.
And again, fate play a torture to him.
Takdir kembali menyiksanya. Menyiksanya untuk hidup dalam kegagalan lagi dan lagi, membuatnya sempat berpikir apakah ini tak akan pernah berakhir… tapi dia tahu, ini mungkin lama, tapi apa yang harapkan pasti akan terjadi. Dia akan keluar dari lingkaran kutukan ini cepat atau lambat dan yang perlu di lakukan hanyalah bertahan. Karena itulah dia tak ingin lagi berharap - karena itu hanya akan membuat mentalnya semakin buruk, semakin jatuh.
Dia hanya harus kuat saja, harus kuat bertahan.
Yang artinya dia harus bergerak kembali ke depan.
Sebuah awal baru berarti sebuah perencanaan baru yang harus tersusun di otaknya. Pikirannya memang berisi dengan segala pengetahuan dari setiap perjalanan yang dia lalui setiap waktu, namun tubuh dan skill fisik yang dimilikinya tidak. Tubuh dan skill fisik juga jumlah chakra dan control chakranya kembali ke awal. Dia harus kembali melatihnya kali ini dan mungkin juga mengembangkan gaya bertarung maupun jutsu miliknya kembali.
Growwlll…
'Dan bicara tentang makanan…' Si pirang jabrik berkumis ini bergumam pelan ketika perutnya berbunyi menandakan perlu di isi. Dia lapar dan sepertinya hal ini tak bisa di kompromi. Dengan langkah pelan, dia kemudian berjalan ke arah kamar mandi dan memulai aktifitas paginya sebelum kemudian mencari makan.
…
…
Mata cerulean biru miliknya menatap mata sang guru ero yang kini menatapnya dengan pandangan menyelidik. Dia tak tahu kenapa guru atau lebih tepatnya sang ayah baptisnya ini menatapnya seperti itu.
Ayah baptis. Godfather
Ya, Naruto tahu siapa Jiraiya sebenarnya. Dia tahu hal tersebut di kejadian lampau di waktu yang berbeda.
"Jadi? Ada hal yang terjadi selama aku pergi?" Sang pertapa katak, Jiraiya bertanya kepada muridnya ini yang tengah melatih control chakra miliknya dengan menyeimbangkan dedaunan di atas telapak tangannya. Jiraiya sendiri sedikit bingung ketika kembali ke penginapan dia tak menemui sama sekali si bocah pirang yang sering berteriak melainkan yang dia temui hanyalah bocah pirang dengan tatapan mata lelah yang mengusik dirinya. Ini jelas bukan Naruto yang dia kenali.
"Tak ada, hanya melakukan rutinitas rutin saja." Naruto menjawab dengan masih melihat ke arah Jiraiya. Membuat sang guru hanya mengenyitkan dahinya atas jawaban sang murid. Naruto masih mencoba fokus dengan latihan kontrol chakra miliknya. Hal ini terlihat ketika dia sesekali melihat daun hijau yang menari di atas telapak tangan akibat fluktuasi chakra yang dia keluarkan untuk menyeimbangkan daun tersebut.
"Kau terlihat berbeda pagi ini Naruto…"
Ucapan Jiraiya membuat Naruto menghentikan aktifitas yang dia lakukan. "Benarkah?" Naruto menjawab singkat. Terlihat seolah tak peduli.
"Ya…," Jiraiya menjeda sejenak ucapannya. Mencoba mencari kata-kata yang pas yang ingin dia ucapkan. "Kau terlihat tenang dan tak berisik seperti biasanya, Naruto."
Helaan nafas lelah keluar dari tubuh sang murid. Menggenggam daun yang tadi digunakan olehnya untuk berlatih dan melihat ke arah luar melalui jendela yang terbuka. "Aku hanya lelah terus memakai topeng tersebut, sensei…"
Sensei.
Jiraiya tambah terusik hatinya ketika mendengar kata yang tak pernah terucap dari mulut Naruto kepada dirinya. Biasanya sang murid selalu memanggil namanya dengan tak sopan. "Apa maksudmu, Naruto?"
"Kau tak sadar selama ini aku hanya memakai topeng, sensei? Menutupi segala hal yang kurasakan dengan keceriaan semu belaka?" Naruto memutar kepala miliknya untuk memandang sang guru yang hanya berdiri dengan tatapan aneh padanya. "Semua yang kau lihat dariku tak lebih dari sekedar topeng yang kubuat, sensei. Tidakkah kau mengerti hal itu?"
Jiraiya terdiam. Dia tak menyangka Naruto akan berkata demikian. Hal ini hanya bisa membuatnya tertegun. Dia tahu hidup Naruto tak pernah mudah, dia banyak mengalami masa sulit di masa kecilnya dan itu sangat menyakitkan hatinya. Jika dia bisa, dia ingin membawa Naruto pergi ke luar dari desa setelah Naruto kehilangan orang tuanya, namun, damn!, para tetua dan anggota dewan Konoha tak mengijinkan senjata yang baru saja mereka dapatkan dengan pengorbanan anak didiknya beserta istrinya pergi begitu saja. Para warga desa butuh kambing hitam dan Naruto memerankan peran tersebut. Memang gurunya, Sarutobi, berusaha yang terbaik menjaga Naruto, tapi itu tak serta merta menjaga mental Naruto juga yang harus hidup keluar panti asuhan semenjak berumur 4 tahun.
"Apa ini dirimu yang asli, Naruto?" tanya pelan Jiraiya yang mendapat tatapan mata sang murid.
"Ya, ini aku yang sebenarnya, sensei…"
"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan memberitahuku akan hal ini?"
"Hanya ingin melihat reaksimu sensei - , kau sepertinya tak terlalu terkejut dengan ini…"
Jiraiya menghela nafas pelan. Berjalan dan kemudian duduk di belakang punggung Naruto. "Aku harusnya menyadarinya bukan, Naruto? Kau yang hidup sejak kecil menghadapi realita dunia shinobi yang buruk bahkan menjadi kambing hitam atas kerusakan yang disebabkan bijuu yang tersegel di tubuhmu tak mungkin tak memakai topeng."
"Kau benar, sensei…"
"Lalu apa kau juga bersembunyi dalam kebodohan juga?"
Senyum tipis terulas di bibir Naruto. "Aku memang bodoh, sensei, tapi bukan berarti aku tak bisa berpikir." ucap Naruto. "Kupikir sudah saatnya aku melepas segala kebohongan tentang diriku dan menjadi diriku yang asli bukan?"
"Kau yakin?"
"Aku sudah lelah dengan semua kebohongan ini. Kurasa ini bisa menjadi awal yang baru untukku. Maukah kau membantuku untuk menjadi lebih kuat, sensei?"
"Bukankah itu sudah tugas seorang guru?" ujar Jiraiya dengan tersenyum. "Bukankah ini alasan kenapa kau kuajak dalam pengembaraan ini bukan?"
Naruto tak menjawab apapun, dia hanya terdiam saja dengan memandang lagi pepohonan yang berhembus tertiup angin dari jendela yang terbuka.
Ya
Lembar baru dari awal perjalanannya yang kesekian kali telah tergerai dan terbuka. Kini tinggal bagaimana dia bertahan dan keluar dari lingkaran kutukan ini dalam kehidupannya.
