Ponselnya menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh lima ketika shinkansen* berhenti. Ia bangkit dari kursinya dengan lesu, menyeret di belakangnya sebuah koper berwarna merah muda dan berjalan mengikuti penumpang lain yang hendak turun di kota tujuan.
Keheningan kereta super cepat seolah menghilang layaknya sebuah ilusi, berganti keramaian kota metropolitan Tokyo yang bising. Dengan cepat ia merindukan kedamaian Kota asalnya, Kyoto, begitu dingin yang tidak menyenangkan dari musim gugur menyentuh kulitnya. Padahal musim gugur di dunia sama saja—tapi menurutnya, musim gugur di Kota Tokyo lebih tidak menyenangkan daripada di sudut dunia manapun.
Dapatkah kau melihat betapa ia mencintai Kota Tokyo?
Meskipun terkadang ia merindukan keramaian ibukota Jepang ini, lebih banyak hal buruk yang membuatnya harus datang ke sini. Sebutlah ia hanya berlari dari masalahnya—atau orang gila yang berlari menuju masalahnya. Apapun itu, tiap langkah yang ia ambil kala menelusuri jalan yang ramai, menembus ribuan orang yang berusaha mendorongnya balik, selalu saja membuatnya mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan.
Namun demikian, akhirnya ia melangkah di tempat ini juga.
Meski sudah satu tahun berlalu, sekali lagi ia kembali di kota yang tidak akan dapat ia sukai.
Dan sekali lagi, ia berharap dapat menemukan yang ia cari—hingga suatu saat nanti, ia tidak perlu kembali ataupun mengingat satupun hal dari tempat yang memuakkan ini.
.
.
.
Title: Winter Wind, Take me home
Chapter 1 – Memories, come back to me
Pairing: Jekyll/Gudako, Arthur/Ayaka, other pairings come later
Warning: AU, kinda fast paced, OOC, fate mash-up, Gudako's name: Shiori Emiya
Fate/Grand Order Fanfiction
Nasuverse © TYPE-MOON, Kinoko Nasu
Fate/Grand Order © TYPE-MOON, DELiGHTWORKS, Kinoko Nasu
Fate/Prototype © TYPE-MOON, Hikaru Sakurai
Fate/stay night © TYPE-MOON, Kinoko Nasu
nanashimai tidak mengambil sepeserpun keuntungan dari cerita ini.
.
.
.
.
.
.
Seorang laki-laki tua menghampirinya tepat pukul sebelas kurang sepuluh menit. Buru-buru ia mematikan musik yang baru saja akan dimulai saat laki-laki itu berdiri di hadapannya, dan sebisa mungkin ia tersenyum sopan saat manik abu-abu yang menyipit memandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Laki-laki tua itu memiringkan kepalanya sedikit, suaranya begitu tegas—tidak seperti seorang laki-laki yang terlihat berumur hampir satu abad lainnya—saat ia bertanya, "Nona Emiya? Shiori Emiya?"
"Itu saya." Shiori Emiya mengangguk sopan, lalu menunduk. "Maaf membuat anda harus menjemput saya di hari sedingin ini, Tuan Fujimura."
"Jangan dipikirkan. Ini hal yang baik juga untuk tulang-tulang tua ini." Meski hanya pernah berbicara dengan Raiga Fujimura melalui telepon beberapa kali, Shiori selalu menduga laki-laki tua itu memiliki tawa yang menggelegar—dan ternyata dugaannya tidak salah. Tawa laki-laki itu mungkin dapat terdengar sampai ke ujung tetangga.
Meski dengan kepala yang hampir tercukur rapi dari rambut, menyisakan beberapa helai uban yang berjarang di kulit kepalanya serta kulit yang sudah berkerut oleh usia, Raiga Fujimura terlihat penuh dengan tenaga. Tubuhnya sedikit bungkuk, dan ia harus menopang dirinya sendiri dengan tongkat berjalan. Mungkin karena senyumnya yang begitu cerah hingga matanya menyipit serta pakaiannya yang berwarna kuning mencolok, ia terlihat seperti seorang laki-laki tua yang tengah menjalani kehidupan senjanya dengan tenang.
—Selain fakta bahwa Raiga Fujimura memiliki rumor aneh di sekitarnya, bahwa ia adalah seorang pemimpin yakuza**.
Shiori sendiri mendengar Raiga Fujimura memiliki usaha penginapan yang cukup aman di daerah terpencil Kota Tokyo—bagi Shiori yang ingin menghindari pandangan umum, itu adalah tempat yang cukup untuknya. Belum lagi biaya sewa yang tidak terlalu mahal dan fasilitas yang cukup memadai. Alasan-alasan itu cukup untuk perempuan berambut jingga itu untuk meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang diberikan oleh sang agensi pencari penginapan.
Memang mereka bilang, penyesalan selalu datang terlambat.
Namun benak kecilnya bicara lagi—tidak mungkin kakek-kakek seperti ini seorang ketua yakuza, kan?
(Satu sisi lagi mengejek, teruslah berharap, Shiori. Teruslah berharap.)
"Nah, sampai dimana aku tadi?" Tawa Raiga memecahnya dari lamunan aneh-anehnya—hal yang Shiori syukuri sekarang. "Kau bilang ini pertama kali kau berada di Tokyo, bukan? Bagaimana kalau aku mengajakmu berkeliling? Atau," pandangan tua itu melirik koper yang sejak tadi beristirahat di belakang Shiori, "Kita pergi ke tempat kau akan tinggal sekarang?"
Meski merasa tidak enak berbohong—tentang kedatangan pertamanya ke Tokyo—Shiori hanya menunduk dengan wajah sedikit memerah, "Aku ingin beristirahat dulu hari ini."
"Tentu saja! Kau tidak perlu sekaku itu padaku, oke?"
Perjalanan mereka tidak setenang yang Shiori duga. Raiga Fujimura banyak berbicara tentang dirinya—bahwa ia memiliki seorang cucu yang sangat ia sayangi, dan memiliki usia yang sedikit lebih tua dari Shiori. "Kau akan langsung menyukai Taiga saat bertemu dengannya—cucuku yang manis itu!" ujarnya dengan tawanya yang heboh itu. Orang-orang yang mereka lewati menghentikan langkahnya dan menyapa sang laki-laki tua, berbicara seolah mereka adalah teman dekat. Raiga terlihat tidak peduli, bahkan mengajak mereka untuk makan malam bersama di tempatnya.
Tidak terlihat seperti seorang yakuza, batin Shiori, tanpa sadar melepas nafas yang sejak tadi ia tahan.
Mereka terus berjalan hingga menemukan sebuah gedung yang cukup besar—terdapat empat lantai di sana, dan masing-masing balkoni lantai terlihat penuh kehidupan. Bahkan dari halaman depan saja terlihat begitu tertata; taman yang dipenuhi berbagai tumbuhan dengan berbagai warna, bahkan jalan setapak terlihat tidak ditumbuhi alang-alang yang mengganggu.
Raiga tertawa ketika melirik padanya—mungkin ia memasang wajah aneh. Entahlah. "Beruntung ada anak muda yang sering datang untuk membantuku. Untuk menuntaskan hutang lama, katanya. Anak-anak zaman sekarang aneh-aneh saja!"
Shiori berusaha untuk tidak menanyakan hutang lama yang dimiliki—siapapun—yang membantu mengurus taman apartemen ini.
Shiori mengekor patuh Raiga yang terus berjalan dengan santai di atas jalan setapak, hanya mendongak dan tersenyum pada seorang penjaga yang menyapa keduanya saat melewati pos penjaga.
Hingga sampai di depan tangga, barulah Raiga berhenti. Ia berbalik dan menatap langsung pada Shiori, "Orang tua ini hanya bisa mengantarmu sampai sini. Kau bisa melihat sisanya sendiri, bukan?"
Shiori mengangguk cepat. "Maaf sudah membuatmu kesulitan, Tuan Fujimura."
"Nah, sudah kubilang untuk tidak terlalu kaku denganku, kan? Orang-orang di sini selalu memanggilku 'Kakek Raiga'. Agar tidak tertukar dengan cucuku—dia selalu bermain ke tempat ini. Apakah sudah kukatakan kalau ia sekarang mengajar di sekolah di dekat sini? Cucuku itu sudah dewasa sekarang!"
Sang perempuan hanya mengangguk.
"Sampai dimana aku? Maafkan orang tua yang sudah pelupa ini." Laki-laki itu tertawa, lalu mengeluarkan sebuah kunci dari saku jaket kuningnya. Shiori menerima kunci tersebut dengan telapak tangannya, seolah kunci tersebut dapat pecah berkeping-keping jika ia menjatuhkannya. "Kamarmu ada di lantai tiga ruang lima. Kau bisa menemukannya dengan mudah, tentu saja. Dia ada di paling ujung koridor. Aku belum membuat papan nama untukmu, jadi biasakah kau menulis nama panjangmu di kertas? Kau bisa menyerahkannya ke penjaga nanti. Aku harus mengurus sesuatu setelah ini. Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa tanyakan pada penjaga—atau tetanggamu. Orang sepertimu pasti bisa membuat banyak teman."
Barulah Raiga berhenti, seolah tengah memikirkan apakah ia belum mengatakan sesuatu. Namun akhirnya mengangkat bahu. "Kurasa aku harus pergi sekarang. Siapa namamu tadi? Shiori Emiya?"
Shiori mengangguk. "Anda bisa memanggil saya Shiori saja."
Toh, ia tidak pernah senang dipanggil dengan nama keluarganya.
"Tentu saja!" bersyukur ia, Raiga menyetujui dengan cepat. "Nah, Shiori, kalau ada masalah, kau bisa mengatakannya pada tetanggamu. Mereka anak-anak yang baik. Mereka pasti mau membantumu!"
Shiori mengangguk lagi. "Terima kasih atas bantuannya, Tuan—Kakek Raiga."
Laki-laki tua itu mengangguk puas. Ia mengucapkan beberapa patah kata lagi, sebelum penjaga yang sebelumnya menyambut mereka di pos penjaga tiba-tiba berjalan ke arah mereka, lalu membisikkan sesuatu pada Raiga. Sang pemilik penginapan mengangguk sekilas, lalu tersenyum singkat pada Shiori dan berangsur pergi bersama sang penjaga.
Shiori memutuskan kalau yang mereka lakukan bukanlah hal yang aneh. Mungkin Raiga pergi untuk menonton pertandingan balap kuda. Pasti bukan karena akan ada pertarungan yakuza di sekitar sini.
Ia masih menanamkan pikiran itu ketika menaiki tangga. Meski kesulitan dengan kopernya—sekali lagi, syukurlah ia hanya membawa sebuah koper saja—ia akhirnya berhasil mencapai lantai tiga. Tempat itu tidak seramai yang ia duga, karena sampai menelusuri lorong lantai tiga, tidak ada seorangpun yang terlihat dalam sudut pandangannya.
Dari luar, kamar-kamar lantai tiga terlihat sama saja—sebuah pintu berwarna abu-abu yang bersemat tiga buah angka, masing-masing dimulai dengan angka tiga, kemudian diikuti angka nol. Di bawah papan nama, terdapat sebuah nama—Shiori berpikir inilah papan nama yang sempat disebut oleh Raiga sebelumnya—Ruang tiga kosong satu tidak memiliki papan nama; ruang tiga kosong dua bertuliskan nama 'Hakuno Kishinami'; ruang tiga kosong tiga bertuliskan 'Ayaka Sajyou'; ruang tiga kosong empat, manik Shiori menyipit ketika melihat seluruh namanya ditulis dengan katakana—orang asing, mungkin?—Henry Jekyll, sepertinya; dan terakhir, di ujung koridor, ruang tiga kosong lima, yang tidak memiliki papan nama.
Tempat tinggal barunya.
Kunci yang diberikan Raiga begitu mudah ia masukkan ke dalam lubang kunci—karena inilah kunci yang tepat, tentu saja.
Namun bagi Shiori, hal sederhana itu adalah sesuatu yang lebih.
Seolah kunci itu adalah kunci untuk kebebasannya.
Ia mendorong pintu hingga terbuka. Senyumnya mengembang ketika memandangi ruangan yang separuh kosong itu—Shiori memang sudah mengirim beberapa perabotan ke tempat ini, ia hanya tidak menyangka Kakek Raiga yang ramah itu akan mengaturnya sedemikian rupa; sofa dan kursi telah diatur hingga mengelilingi sebuah meja kaca—ia bahkan tidak ingat mengirim vas bunga, yang kini telah terisi oleh beberapa tangkai bunga berwarna putih yang sempat ia lihat di taman sebelumnya. Beberapa kotak masih menumpuk di sudut ruangan, namun hal itu bisa ia urus nantinya.
Shiori mengecek setiap ruangan satu-satu—sebuah dapur merangkap ruang makan, kamar mandi yang bersih, kamar tidur yang tidak terlalu luas, namun kekosongannya seolah mengatakan sebaliknya. Sekali lagi, Shiori tidak mengerti mengapa biaya sewa tempat ini begitu murah. Bukannya ia ingin mengeluh, tentu saja.
Ingin sekali ia berbaring di lantai kayu yang dingin, mungkin tidur dan tidak bangun lagi. Persetan dengan kewajiban yang harus ia lakukan—untuk pertama kalinya, ia merasa seperti Shiori. Ia bukan Shiori Emiya. Ia merasa bebas.
—Andai saja ia tidak melupakan kehidupan bertetangga barunya, mungkin ia akan tertawa sekencang mungkin sekarang.
Langkahnya terasa ringan saat ia menutup pintu, menguncinya kembali dari dalam. Gadis berambut jingga itu langsung menjatuhkan diri di atas sofa, lalu meregangkan tubuhnya dengan erangan yang cukup keras. Rasa lelah dari perjalanan dua jam dari Kyoto ke Tokyo seolah baru menyerangnya sekarang, menggerogotinya dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya dan kantuk yang mulai menyergap.
Mungkin beberapa menit tertidur bukan masalah yang besar. Ia bisa mulai mencari besok, bukan?
Bersama pikiran itu, Shiori Emiya menutup matanya. Tidak butuh waktu lama hingga nafasnya berubah tenang, mengisi kembali kamar tiga kosong lima dalam keheningan.
.
.
.
.
Ah, ia melihatnya lagi.
Mimpi buruk dihari itu—
Pemandangan Kota Tokyo di musim panas.
Panas yang menusuk. Orang-orang yang membuatnya sesak, mendorongnya terus ke belakang. Dan orang itu, jauh di depannya, terus berjalan menjauh—seolah dinding manusia yang ada di sekitarnya tidak mengganggunya sama sekali. Seolah tidak mendengar jeritannya, orang itu terus berjalan—tidak menoleh ke belakang sedikitpun—
[Aku akan menjadi anak baik! Kumohon, jangan tinggalkan aku—]
Orang itu tidak pernah melirik ke arahnya, bahkan hingga punggung lebar itu menghilang ditengah kerumunan.
Kenapa ia selalu melihat mimpi ini?
Hari pertama kedatangannya ke Tokyo. Hari ketika ia menyadari kalau ia telah kehilangan semua yang ia sayangi. Hari ketika ia menyadari kalau ia telah kehilangan sedikit kebebasan yang ia miliki.
Kemudian, hari ketika ia bertemu dengan penyelamatnya—
Suara yang mencapai telinganya membuatnya kembali mendongak.
Orang itu berdiri jauh di atasnya, namun tidak memandanginya rendah. Matanya tertutup, namun bibirnya terus bergerak, mengucapkan nada dan kalimat yang telah terukir jelas dalam kepalanya—
Orang itu, penyelamatnya—
Dan nama orang itu adalah—
Suara nyaring membangunkannya dari mimpi yang hendak berubah indah milik Shiori Emiya.
Menggerutu frustasi, perempuan berambut jingga itu meraih ponsel yang ada di saku kemeja putihnya, mendapati angka sebelas lima puluh lima tertera dengan angka besar berwarna putih.
Pikirannya tidak lagi tertuju pada betapa lamanya ia tertidur, namun suara bising yang telah mengganggu mimpi indahnya sebelumnya. Mengabaikan rasa sakit di leher dan bahunya, Shiori langsung melompat berdiri dari sofa tempatnya tertidur. Pikiran yang masih separuh mengantuk hampir membuatnya tersandung oleh sofa dan membuat suara berisik saat berusaha membuka pintu yang masih terkunci. Sambil mengerang keras, ia memutar kunci dengan keras dan membuka pintu, melongokkan kepalanya ke luar pintu.
"Kau tahu sekarang jam berapa?!"
Ia mendapati sosok laki-laki berambut pirang berdiri di depan pintu ruangan sebelahnya. Laki-laki itu melompat kaget oleh suaranya, menjatuhkan kembali kunci di tangannya dengan suara nyaring. Laki-laki itu menggigit bibirnya, lalu balik menatap Shiori dengan manik hijau yang dipicingkan.
"Bagaimana denganmu sendiri? Bisakah kau tidak berteriak di jam seperti ini?"
Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari Shiori, kini terfokus pada kunci pintu yang baru saja ia jatuhkan dan berusaha memasukkannya ke dalam lubang kunci. Shiori mendengar rutukan pelan dari laki-laki itu, seolah membuka kunci pintunya sendiri hal yang sulit seperti memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
Tidak. Bukan itu yang Shiori perhatikan—suara laki-laki itu seolah membangunkannya sepenuhnya dari mimpi yang hampir berubah indah miliknya.
Rambut pirang yang berantakan. Kaus hitam tanpa lengan yang tidak seharusnya dikenakan oleh seseorang yang pulang selarut dan cuaca sedingin ini. Celana panjang hitam dan sepatu boots hitam.
Shiori bahkan tidak menyadari ketika laki-laki itu sudah membuka pintu dan hendak masuk ke dalam kamarnya sendiri ketika ia membisik, "...Edward Hyde?"
Dengan cepat 'Edward Hyde' menoleh. Tatapannya lebih tajam dari yang sebelumnya ia berikan, bahkan cukup untuk membuat Shiori tergidik apabila ia sedang tidak terpana—
"Aku bukan dia. Jangan samakan aku dengan orang sialan itu."
Laki-laki berambut pirang itu mendesis, seolah 'dia' yang ia ucapkan adalah sebuah penyakit yang menjijikkan.
"Eh—"
"Pembicaraan ini tidak pernah terjadi."
Bahkan tidak membiarkan Shiori menyelesaikan kalimatnya, laki-laki yang bukan Edward Hyde itu memasuki kamarnya sendiri dengan cepat, membanting pintu dan menguncinya kembali dengan kasar hingga suaranya terdengar dengan jelas.
Dalam pandangan Shiori yang masih terpaku di tempatnya, ia menangkap papan nama dari kamar yang ada di sebelahnya—tertulis dengan seluruh katakana, nama seseorang yang tinggal di kamar nomor tiga kosong empat yang jelas bukan orang Jepang.
Henry Jekyll.
.
.
.
Ketika alarm ponselnya berbunyi, barulah Shiori mengangkat kepalanya.
Ia tidak merasa tertidur setelah kembali ke dalam kamarnya, hanya mendudukkan dirinya di atas sofa tanpa melakukan apapun, berusaha memproses apa yang terjadi sebelumnya. Seseorang yang mirip—persis, malah—Edward Hyde tinggal di sebelah apartemennya, dan mungkin membencinya sekarang. Hei, bukan salah Shiori menduga kalau orang itu—Henry Jekyll—adalah idola favoritnya! Orang itu bahkan menggunakan pakaian yang sama seperti yang Edward Hyde gunakan dalam konser-konsernya.
...Dan lagi, ia tidak dapat mengatakan seperti itu. Shiori-lah yang pertama kali menaikkan suaranya pada orang itu. Seseorang yang baru kembali selarut itu biasanya lebih pemarah daripada siapapun. Shiori mengerti jelas, tentu saja.
Karena itu, sekarang Shiori Emiya seharusnya membuat surat permintaan maaf.
Mengapa surat? Karena Shiori sendiri tidak tahu kapan bisa bertemu langsung dengan orang bernama Henry Jekyll. Dan kalaupun bertemu, ia tidak yakin dapat bertatap langsung dengan orang itu dan meminta maaf dengannya—kalau laki-laki itu masih mau berbicara dengannya, tentu saja.
Sekali lagi, Shiori menunduk dan membaca ulang baris-baris surat permohonan maafnya. Keningnya kian berkerut kala manik jingga menelusuri tiap kalimat. Apa benar ia yang menulis surat memalukan ini? Entah apa yang akan dipikirkan Henry Jekyll nantinya. Setidaknya Shiori sudah berusaha—kalaupun laki-laki itu enggan berbicara dengannya lagi, gadis itu tahu kalau ia sendiri sudah berusaha memperbaiki pertemuan yang berawal tidak menyenangkan itu. Sisanya tergantung pada laki-laki yang bukan Edward Hyde itu sekarang.
Meregangkan tubuhnya yang pegal, gadis berambut sewarna matanya itu langsung berdiri dari sofa. Kakinya yang masih belum familiar dengan ruangan barunya membimbingnya dengan tidak pasti menuju kamar mandi. Kalau tidak salah, disebelah ruang tidurnya. Meski awalnya salah membuka pintu—yang justru mengarah pada dapur (mengingatkannya, kalau ia tidak memiliki apapun untuk sarapan pagi sekarang)—akhirnya ia dapat menemukan kamar mandi yang bersih, namun tidak terlalu besar itu.
Shiori memang bukan orang yang senang berdiam diri terlalu lama di dalam kamar mandi, tidak peduli bagaimana air hangat terasa begitu menyenangkan ditengah dinginnya hawa musim gugur. Ia mengganti pakaiannya dengan kaus putih berlengan pendek dan sebuah celana panjang longgar berwarna hitam setelah keluar dari kamar mandi, membawa serta handuk kecil yang ia gantung di lehernya dan bersiap untuk lari paginya.
Menjaga kondisi tubuh agar tetap fit setiap pagi adalah pesan pertama dari orang itu. Tidak peduli bagaimana Shiori membencinya, kebiasaan tetap saja kebiasaan—tidak dapat ia tinggalkan begitu saja.
Setelah mengunci pintu ruangan tiga kosong lima miliknya, tanpa sadar ia kembali menoleh pada pintu di sebelahnya. Sama seperti ketika pertama kali Shiori datang, ruangan itu masih sarat akan tanda-tanda kehidupan. Apakah orang itu sedang tidur? Apakah ia pergi lagi setelah Shiori kembali ke kamarnya?
Nah, kenapa juga ia peduli?
Gadis itu berusaha untuk tidak acuh saat melewati pintu di sebelahnya, namun mengamati tiap-tiap pintu yang ia lewati di sepanjang koridor lantai tiga. Ia berhenti untuk mengobrol dengan seorang wanita yang tengah menyapu lorong lantai dua dan memperkenalkan dirinya sendiri, lalu menuruni tangga menuju lantai pertama. Lantai pertama terlihat sepi, bahkan tidak terdengar tanda-tanda kehidupan selain laki-laki yang ia lihat kemarin di pos penjaga. Shiori hanya tersenyum pelan pada laki-laki itu saat melewatinya, dan memulai lari pagi di jalan yang belum ia kenal itu.
Berbeda dengan di tempatnya tinggal sebelumnya; bahkan di hari libur seperti sekarang, tempat itu sudah begitu ramai dengan wanita-wanita yang hendak berbelanja dan orang-orang yang hanya ingin berlari pagi sepertinya. Ibukota memang berbeda—begitu pikirnya saat melewati beberapa ibu-ibu yang tengah mengobrol dan menyapa mereka, tersenyum ketika mereka membalas sapaannya.
Shiori menghentikan lari paginya di depan sebuah konbini***, memutuskan untuk membeli sarapan untuk pagi ini dan persediaan makanan untuk hari selanjutnya lebih penting daripada apapun. Saat kembali ke apartemennya, tangannya sudah penuh dengan plastik berisi bahan belanjaan.
Sebuah pintu terbuka ketika ia melewati lorong lantai tiga, dan Shiori mendapati seorang laki-laki tinggi berjalan ke arahnya—laki-laki berambut pirang yang awalnya ia duga sebagai Henry Jekyll, namun kekecewaan melandanya saat menyadari kalau itu bukan orang yang ia duga. Meski sama-sama memiliki rambut pirang dan mata hijau, laki-laki itu memiliki postur lebih tinggi dan lebih tegap daripada laki-laki yang ia temui semalam. Kalau Henry Jekyll seperti laki-laki yang baru saja dewasa, maka dapat dikatakan kalau laki-laki ini sudah lebih matang dan berpengalaman.
Ketika pandangan mereka bertemu, senyum laki-laki itu mengembang—seulas senyum sopan, namun sudah membuat degup jantungnya tidak karuan. Memiringkan kepalanya, laki-laki itu bertanya padanya—suaranya berat, namun tidak membuatnya berpikir kalau laki-laki itu terlalu tua. Mungkin usianya ditengah dua puluh tahun, paling tua baru memulai tiga puluh tahunnya.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau orang baru?"
Shiori hanya bisa mengangguk gugup.
"Bukan orang yang senang berbicara, ya?" Laki-laki itu tertawa. "Aku tidak tinggal di sini—hanya mengunjungi seorang teman. Aku yakin kau bisa menyukainya."
Laki-laki itu mengangkat tangannya, seolah untuk berjabat tangan, namun seolah mengubah pikirannya dan membungkuk sedikit—orang asing, pikirnya.
"Aku Arthur—Arthur Pendragon. Temanku yang tinggal di sini bernama Ayaka Sajou, dia tinggal di ruang tiga kosong tiga. Akan sangat menyenangkan kalau kau bisa berteman dengannya."
Gadis berambut jingga itu ikut menunduk. "Aku Shiori Emiya," (Ya. Shiori menyadari kalau senyum laki-laki itu hampir jatuh saat ia menyebut nama keluarganya.) "Baru saja datang kemarin pagi. Aku tinggal di ruang tiga kosong lima."
"Shiori... Emiya, benar? Boleh kupanggil Shiori saja?" Buru-buru laki-laki itu melanjutkan, "Di negeri asalku, kami tidak memanggil orang lain dengan nama keluarga mereka. Meski sudah tinggal di Jepang beberapa bulan terakhir, aku masih tidak dapat membiasakan diri dengan budaya negeri ini."
Untuk suatu alasan, Shiori merasa kalau itu hanya alasan yang dibuat-buat. Dan lagi, Shiori hanya bisa mengangguk pelan. Tidak mungkin ia menanyakan lebih jauh pada seseorang yang baru saja ia kenal, bukan?
Laki-laki itu—Arthur—mendesah lega, senyumnya kembali mengembang, meski tidak secerah sebelum mengenal namanya. "Kalau begitu, Shiori, aku benar-benar ingin mengobrol lebih lama denganmu, sayangnya ada urusan penting yang harus kuhadiri sekarang." Setelah menunduk sekali lagi, laki-laki itu berjalan melewatinya saja, bahkan tanpa membiarkan Shiori mengatakan sesuatu.
Senyum Shiori memudar ketika punggung laki-laki itu menghilang ke lorong tangga. Apakah Shiori memang ditakdirkan memiliki kesan pertama yang tidak menyenangkan dengan laki-laki yang terlihat menyenangkan? Shiori tidak habis pikir.
Ia melanjutkan kembali langkahnya menuju kamarnya, mengingatkan dirinya sendiri untuk berkunjung ke ruang tiga kosong tiga dan memberikan suratnya pada ruang tiga kosong empat saat melewati kedua ruang tersebut sebelum memasuki ruangannya sendiri. Gadis berambut jingga itu hanya meletakkan plastik belanjaannya dengan asal di atas meja makan, mengganti bajunya dengan kaus dan celana lain, lalu menutupnya dengan jaket cokelat panjang, lalu mengambil surat yang telah ia masukkan dalam sebuah amplop putih dan sebuah hadiah berkunjung yang telah ia siapkan sebelumnya, sebelum berjalan keluar dari kamarnya.
Keraguan menghentikannya dari menekan bel pintu ruang tiga kosong empat secara langsung. Bagaimana kalau Henry Jekyll tidak ingin menemuinya? Hei, kalau begitu, tidak mungkin ia membuat surat, bukan? Kenapa di saat seperti ini ia merasa begitu bodoh?
Gadis berambut jingga itu menggeleng pada dirinya sendiri sambil menekan bel yang ada di hadapannya.
Bunyi samar bel dari dalam terdengar olehnya karena keheningan pagi di lorong lantai tiga, namun tidak sedikitpun terdengar olehnya suara dari dalam yang menunjukkan keberadaan seseorang yang hendak membuka pintu. Ia menekan belnya sekali lagi, namun masih tidak terdengar juga suara Henry Jekyll dari dalam.
Tentu saja—siapa pula yang baru pulang tengah malam tadi dan sudah terbangun di jam seperti sekarang?
Shiori merutuki kebodohannya sendiri. Apa yang terjadi padanya sekarang? Mungkinkah masalahnya sendiri dan masalah Henry Jekyll ini membuatnya tidak bisa berpikir jernih? Mendesah pelan, ia memutuskan untuk menyelipkan surat yang ia bawa ke bawah pintu laki-laki itu—tidak peduli lagi apakah laki-laki itu akan melihat dan membacanya nantinya—dan melanjutkan langkahnya menuju ruang tiga kosong tiga.
Berbeda dengan ruang sebelumnya, pintu di depannya tidak lama terbuka setelah ia menekan bel, dan Shiori menemukan dirinya berhadapan langsung dengan seorang perempuan yang sedikit lebih tinggi darinya, memiliki mata biru yang ditutupi kacamata besar dan rambut hitam pendek.
"Aku Shiori Emiya, yang baru menempati ruang tiga kosong lima kemarin." Ujarnya, berusaha memecah suasana yang tiba-tiba berubah canggung di antara mereka. "Mohon maaf karena keterlambatanku memperkenalkan diri."
Perempuan—yang menurut dugaannya Ayaka Sajou—itu menggeleng cepat, memasang senyum ragu saat berkata, "A-Ah, tidak apa-apa. Erm, justru aku tidak menduga kau akan datang sepagi ini."
"Aku tidak bermaksud mengganggu—"
"Bukan itu maksudku," Gadis berambut hitam itu berdeham, efektif memotong kalimatnya. "Ah, bagaimana kalau kau masuk dulu, kita bisa mengobrol di dalam. Dan, omong-omong," Ia tersenyum ramah—sebisanya, tambah Shiori, "Namaku Ayaka. Ayaka Sajou. Namun kukira kau sudah mengetahuinya—namaku tertulis di depan pintu."
Shiori mengikuti Ayaka Sajou ke dalam kamar tiga kosong tiga, mendudukkan dirinya sendiri ketika Ayaka meninggalkannya sebentar untuk mengunci pintu. Berbeda dengan kamar Shiori yang hanya memiliki perabotan sederhana, ruang tamu Ayaka dipenuhi dengan berbagai foto-foto dan lukisan yang hampir memenuhi dinding bercat putih. Selain lukisan-lukisan yang terlihat mahal, banyak foto-foto yang menunjukkan Ayaka bersama Arthur yang ia temui sebelumnya, serta dua orang perempuan yang keduanya berambut pirang; satu dengan mata biru dan senyum lembut, satu lagi dengan mata hijau tanpa ekspresi. Mungkinkah keduanya saudara Arthur?
Suara denting lembut dari perabot kaca yang diletakkan di atas meja membuat pandangan Shiori beralih menuju Ayaka, yang kini duduk di hadapannya. Seolah baru teringat sesuatu, Shiori mengeluarkan salah satu hadiah yang sudah ia persiapkan dan meletakkannya di samping piring cemilan. "Ini, kue dari tempat tinggalku dulu."
Salah satu alis gadis berambut hitam itu terangkat, sebelum ekspresinya berubah menjadi senyum. "Terima kasih. Kuharap kau tidak keberatan dengan teh hitam."
"Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih, Nona Sajou." Dengan hati-hati, ia mengangkat cangkir yang terlihat mahal itu dan menyesap teh hitam di dalamnya. "Enak sekali."
"Aku senang kalau kau menyukainya, erm..."
"Shiori. Shiori Emiya."
"Emiya—" Sama seperti Arthur, manik biru Ayaka melebar saat ia mengulang nama keluarganya. "Ah, tidak. Bukan apa-apa. Hanya saja, namamu seperti pernah kudengar."
Senyum Shiori berubah masam. "Kurasa Emiya adalah nama yang cukup populer."
"Hm," pemilik ruangan itu hanya mengangguk ragu. "Kurasa begitu."
Sekali lagi, suasana canggung melingkupi mereka. Shiori baru saja hendak meminta diri untuk pergi, mengingat suasanya di antara mereka yang tidak terlalu menyenangkan, ketika ponselnya menderingkan nada pesan masuk, dan Ayaka yang tiba-tiba memekik, hampir membuat ponsel Shiori jatuh dari tangannya, "Itu dari Noisy Obsession, bukan? Silver Fragments?"
Manik jingga berkelip bersama dengan munculnya sebuah senyum lebar, "Kau menyukainya juga?"
Atmosfir dalam ruang tiga kosong tiga langsung berubah cerah, seolah kecanggungan sebelumnya menggantung menghilang begitu saja, dan mereka berubah menjadi seperti teman yang baru bertemu setelah sekian lama daripada seseorang yang baru saling mengenal. Pembicaraan mengenai band yang akhir-akhir ini sedang naik daun mengisi ruangan yang berisi dua perempuan itu. Cemilan dan teh perlahan meninggalkan tempat awal mereka, hingga wadah makanan dan minuman yang telah kosong terabaikan begitu saja.
"Aku lebih menyukai Astolfo." Ujar Ayaka, diikuti sebuah desahan kagum. "Melihat laki-laki yang bisa menggunakan pakaian perempuan dan bisa terlihat lebih manis daripada perempuan sungguhan—aku merasa begitu kalah dengannya!"
Shiori mengangguk. "Astolfo memang manis, tapi aku lebih menyukai Hyde!"
"Hyde?" Manik biru membelalak. "Aku tidak menyangka perempuan yang terlihat pendiam sepertimu menyukai Hyde." Buru-buru Ayaka mengangkat kedua tangannya, "Bukan dalam arti yang buruk, oke?"
Setelah Shiori mengatakan kalau itu bukan masalah yang besar—dan memang Shiori sering mendapatkan kalimat seperti itu—Ayaka mendesah pelan. "Hyde, ya? Laki-laki yang malang itu." Melihat tatapan bingung dari gadis berambut jingga di depannya, Ayaka mengangkat alis, "Maksudmu kau tidak tahu? Tentang konser kemarin malam."
"Aku bahkan tidak tahu konser-konser Noisy Obsession..." Gumamnya.
"Akan kuajak kau lain kali." Ujar gadis berambut hitam itu sambil tersenyum, namun senyumnya berubah menjadi kerutan. "Sayangnya aku tidak bisa berjanji. Bisa saja mereka tidak akan mengadakan konser lagi setelah ini."
Sesuatu dalam perut Shiori melilit menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, "Apa maksudmu?"
"Kemarin malam, kudengar seorang fans bertemu dengan Hyde—berdua saja. Awalnya kukira hanya rumor—maksudku, tidak mungkin Hyde memanggil seorang fans dan bertemu dengannya berdua saja, bukan? Hal itu terlalu aneh." Ayaka menggeleng. "Namun kemudian, beritanya muncul sebelum kau datang—menurut pengakuan dari Arash dan Astolfo, Hyde memang bertemu dengan seseorang, dan hal itu tidak berakhir baik untuknya."
"Apa yang terjadi pada Hyde?"
"Mereka sendiri tidak tahu." Melihat wajah kecewa Shiori, Ayaka menambahkan, "Sampai sekarang mereka berusaha menghubungi Hyde—tanpa hasil. Berharap saja tidak ada yang terjadi padanya—Noisy Obsession tidak akan lengkap tanpa Hyde."
Shiori hanya bisa mengangguk suram. Ia sudah menyukai Hyde beberapa tahun terakhir ini dan memiliki beberapa dari albumnya, baik dalam band Noisy Obsession maupun album single-nya, meski hanya dapat ia beli ketika berada di Tokyo. Kalau terjadi sesuatu pada Hyde—
"Ah." Suara Ayaka memecah keheningan mereka. "Tadi kulihat kau membawa banyak hadiah berkunjung."
Gadis berambut jingga itu menyadari Ayaka berusaha mengganti pembicaraan, dan dalam hati berterima kasih pada teman barunya itu. "Ya, aku berniat mengunjungi orang yang bernama Henry Jekyll dan Hakuno Kishinami nanti."
"Kalau Kak Kishinami, dia sedang tidak ada di Jepang sekarang." Ayaka melanjutkan kemudian, "Dia seorang mahasiswi, sekarang sedang berada di Amerika untuk pertukaran pelajar. Kurasa dia baru akan kembali saat natal dan tahun baru nanti." Ia berhenti sebentar, lalu memiringkan kepalanya, "Dan bukankah tuan Jekyll tinggal di sebelah kamarmu—oh, dia pasti tidak membuka pintu."
"Kau mengenalnya?"
Ayaka mengangkat bahu. "Dia tidak pernah di kamarnya. Lagipula, hubungan kami tidak terlalu baik. Dia hanya dekat dengan Kim—yang dulu tinggal di kamar tempatmu—mengingat hanya mereka berdua laki-laki di lorong ini."
"Aku bertemu dengannya semalam." Shiori berkata, keningnya berkerut. "Dia mirip sekali dengan Hyde."
"Apa kau mengatakannya di depan wajahnya?"
Saat Shiori mengangguk, senyum Ayaka berubah masam. "Ah, dia pasti sangat marah padamu sekarang. Sama sepertimu, aku juga mengatakan itu saat pertama kali bertemu dengannya."
"Apa kalian berbaikan setelahnya?"
Desahan pasrah dari Ayaka menjawab pertanyaan Shiori.
"Kami tidak pernah bertemu—dan kalaupun berpapasan, dia hanya menyapaku singkat dan ketus. Arthur kemudian mengatakan kalau aku tidak boleh lagi dekat dengannya."
Shiori tersenyum pelan, mengingat laki-laki berambut pirang yang ia lewati sebelumnya. "Sepertinya Ayaka dekat sekali dengan Arthur. Dia yang mengingatkanku untuk mengunjungimu tadi pagi."
"Oh, kau bertemu dengannya?" Satu alis Ayaka terangkat. "Kami bertemu saat aku tinggal di Inggris beberapa tahun lalu. Dia dan kakakku—ah, tidak lupakan." Gadis berambut hitam itu menggeleng cepat, lalu kembali tersenyum. "Besok hari Sabtu, benar? Bagaimana kalau kita berkeliling Tokyo? Kau belum sempat melihat-lihat, bukan?"
"Tadi pagi aku baru berlari sampai konbini di ujung jalan." Shiori mengangkat bahu. "Mungkin Ayaka bisa menunjukkan padaku tempat membeli lagu-lagu terbaru Hyde?"
"Dengan senang hati." Ia mengangguk. "Kau tidak keberatan kalau Arthur ikut?"
"Kurasa lebih banyak lebih baik."
Mereka mengobrol sedikit setelahnya, mengenai orang-orang yang tinggal di apartemen itu. Ayaka mempertegas pada Shiori kalau Raiga bukanlah seorang ketua Yakuza, meskipun laki-laki tua itu memang memiliki aura seperti itu. Setidaknya hal itu melegakan Shiori sedikit.
Ketika bel pintu kembali berbunyi, Ayaka meminta diri untuk membuka pintu. Barulah Shiori menyadari waktu di ponselnya (dan satu pesan tak terbaca—dari kenalannya di kota asalnya, jadi ia memutuskan untuk membacanya nanti saja). Ketika Ayaka kembali bersama Arthur, Shiori mengatakan pada Ayaka kalau ia ada urusan setelah ini dan meminta diri untuk pergi.
"Sayang sekali." Ujar Arthur dengan kekecewaan tulus. "Aku ingin berbicara lebih banyak denganmu setelah mendengar dari Ayaka. Maaf karena sikapku yang agak tidak sopan tadi pagi."
"Tidak perlu dipikirkan. Mungkin kita bisa mengobrol lain kali." Lalu Shiori menoleh pada Ayaka. "Besok?"
Ayaka mengangguk. "Aku akan datang ke tempatmu jam delapan."
Shiori mengangguk balik, lalu menunduk pada keduanya sebelum berjalan ke arah pintu. Setelah mengucap perpisahan pada Ayaka, Shiori berjalan kembali ke kamarnya dan meletakkan hadiah yang awalnya ingin ia berikan pada Hakuno Kishinami dan Henry Jekyll, dan berjalan keluar.
Sebelumnya, Ayaka mengatakan kalau lantai-lantai di bawah mereka memang banyak yang keluar di pagi buta atau jarang kembali ke ruangan mereka, kecuali untuk Kakek Raiga yang tinggal di kamar satu kosong satu, sehingga tidak aneh melihat lorong-lorong satu dan dua yang begitu sepi. Ia mengangguk sopan pada penjaga yang ia lewati, menjawab dengan sopan pertanyaan laki-laki paruh baya bahwa ia akan berkeliling komplek sebentar.
Sepanjang perjalanannya, Shiori membaca pesan yang ia terima sebelumnya—lebih tepatnya satu setengah jam lalu. Ia bahkan tidak sadar telah mengobrol dengan Ayaka selama itu. Membayangkannya saja sudah membuat senyum muncul di wajah Shiori.
Kerabatnya mengatakan kalau ia menginginkan oleh-oleh ketika Shiori kembali nanti—mungkin musik dari artis yang sedang Shiori sukai sekarang. Ia memang sering mengenalkan musik-musik Hyde pada teman-temannya di kota asalnya yang terpencil itu. Setidaknya beberapa dari mereka memiliki selera musik yang bagus, pikirnya.
Hingga ia mencapai daerah yang lebih ramai, barulah Shiori memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya. Ia memperhatikan daerah Shibuya yang sudah mulai ramai dengan orang-orang. Sekali lagi, benar-benar berbeda dengan daerah asalnya—dimana orang yang berjalan di jalan setapak bahkan dapat dihitung dengan jari.
Benar-benar lebih... hidup.
Meskipun tidak ada lagi aroma alam yang tersisa, tertutup oleh kondensasi manusia serta polusi yang berlebih, Shiori tidak terlalu membenci Tokyo. Namun di saat yang sama, ia tidak pula menyukai Tokyo. Ia menyukai fakta bahwa Tokyo lebih hidup daripada tempat tinggalnya—dan di Tokyo pula ia bisa merasakan bebas, meski hanya sesaat.
Tokyo pula yang menyimpan kesedihannya selama ini.
Karena di Tokyo ini—
"Ah—"
(Ia melihatnya.)
(Ia melihat laki-laki itu lagi.)
"Tung—"
Laki-laki yang kian berjalan pergi darinya. Punggungnya yang lebar kian menjauh, tertelan ribuan orang yang menahannya—
"Tunggu—"
Ia berusaha menerobos kerumunan orang-orang—orang-orang yang berusaha menahannya—demi Tuhan, biarkan dia menggapainya—tolong—tolong—
Bahkan hingga mencapai ujung keramaian penyebrangan Shibuya, ia tidak dapat menggapai bahu yang lebar itu.
(—Dan yang lain masih bertanya mengapa ia membenci kota Tokyo?)
Maka jawabannya mudah saja.
Karena di Tokyo ini—
"—pengkhianat—"
—adalah tempat dimana orang yang paling ia benci berada.
.
.
.
.
.
Shiori bahkan tidak tahu bagaimana ia menemukan jalan pulang melewati ribuan orang dengan kondisi seperti itu. Tanpa sadar, ia telah berdiri di depan pintu bernomor tiga kosong lima. Samar-samar ia ingat mendengar suara Kakek Raiga (ataukah itu laki-laki yang menjaga pintu depan? Shiori tidak tahu lagi) menanyakan apakah ia baik-baik saja atau tidak. Ia sendiri tidak tahu menjawab apa—sampai sekarang, ia bahkan tidak tahu dirinya sendiri baik-baik saja atau tidak.
Mungkin saja ia sudah tidak peduli. Mungkin ini sudah saatnya untuk memberitahu kalau ia tidak jadi tinggal di Tokyo. Mungkin ini sudah saatnya ia menyerah saja—
Ya. Shiori benar-benar memikirkan kemungkinan itu.
Hingga saat ia menunduk ke bawah ketika mendengar bunyi sesuatu yang janggal ketika ia melangkah, barulah ia menyadari keberadaan sebuah kertas di bawah kakinya.
Ia menunduk dan mengambil kertas itu, lalu memasuki ruangannya dan mengunci pintu di belakangnya. Kertas putih yang remuk dengan bekas injakan itu kosong, namun Shiori menyadari sesuatu tertulis di belakangnya.
Sesuatu itu, ketika Shiori membaliknya, adalah tulisan rapi yang tidak ia kenal. Dan, meskipun tidak ada tanda yang menunjukkan pengirim dari surat itu, isi pesannya saja sudah cukup membuat Shiori mengetahui siapa yang menulisnya.
—Sungguh, beberapa menit yang lalu, ia memikirkan dirinya meninggalkan apartemen ini.
"Terima kasih."
Sekarang, ia bahkan tidak tahu apakah ia dapat pergi dari tempat ini suatu saat.
'Bagaimana kalau minggu depan? Aku menunggumu di kafe Ahnenerbe pukul 10.'
.
.
.
"Terima kasih."
.
to be continued
*shinkansen: kereta super cepat jepang
**yakuza: preman jepang (sejenis itu)
***konbini: convenient store; toko praktis?
Saya udah janji kalau dapet Jekyll buat NP Lv.5 di Grand Order, saya bakalan post fic Jekyll/Gudako. Padahal rencananya bikin kalau udah semua, akhirnya karena saya udah dapet dan udah janji... sipsip
Saya udah lama nggak nongol di arsip Fate/, terakhir saya bikin fic GilHaku, terus saya move on ke fandom Elsword de el el intinya saya balik cuma untuk Jekyll/Gudako. Only to found out that Jekyll's and Gudako's name aren't even here. Oh well.
Hakunon cuma disebut. Mungkin dia keluar nanti. Mungkin dia keluar di spin-off ini nanti. Mungkin. Saya sendiri nggak tahu. #digiles
dan Kim—who is Kim? dia karakter dari fandom lain di fanfic yang saya kerjakan. Silahkan cek Forg- #digiles
Update mungkin akan lama, semoga aja bisa mengejar target satu chapter setiap sabtu. But next week and two weeks after this are exam weeks, so don't expect much.
Yhaa.
Like always, I don't own Fate/Grand Order dan Fate/Prototype, karena yang bakalan banyak muncul adalah dua fandom fate yang lagi saya nistakan ini.
*guling pergi sambil ketawa jahat*
[Updated after a few hours] fanfic ini dipindah dari arsip Fate/stay night ke Fate/Grand Order, sekaligus untuk meramaikan arsip Fate/Grand Order yhaaaa #digiles
