"I say: we ought to be able to get some fun out of this being mistaken for one another."

"A boy in the street made a beastly joke about Queen Susan, so I knocked him down."

"Don't you see, Sire? It's my double: the boy you mistook me for at Tashbaan."

"Father! Can I box him? Please."

"Does it ever get caught on a hook halfway?"

"Hurrah! Hurrah! I shan't have to be King. I shan't have to be King. I'll always be a prince. It's princes have all the fun."

"If you say another word about it, I'll—I'll knock you down."

(Taken from Prince Corin's words at the fifth series of Chronicles of Narnia—Horse and His Boy ch. 5 and 15)


The Chronicles of Narnia (Horse and His Boy) © C.S Lewis

[]
Love. Cinta.
by
ceruleanday
September, 2011.

Kau tidak perlu bahasa untuk mengutarakannya. Hanya rasakan dan simpan dalam ragamu.


Presented only for Fujoshi Independence Day. But, this fic is totally and so much blurring. Dunno if it's suitable to be presented in FID. Feel free to read it then.


Temaramnya malam benar dihinggapi oleh selimut sutra berbahan cocoon dari ulat-ulat pohon terbaik di Hutan Utara. Mereka merasa dingin, tetapi tidak sedingin saat es-es beku itu meliuk menembus jiwa yang telah tiada. Saat mati, mungkin inilah yang akan terjadi. Malam seperti ini sudah mereka lalui selama berjam-jam. Di sudut kubikel, nyala api menjilat sumbu dan kayu. Memberi penerangan meski remang. Empat tangan—ah—hanya dua tangan mengarah berhadapan dengan api yang membara. Pemilik tangan-tangan yang lain hilang entah di mana. Sutra berbahan cocoon menutupi tubuh ringkihnya. Ia kedinginan. Di tengah musim salju. Pucak musim salju.

Di Calormen, ia bahagia. Dahulu. Di sana, tak ada musim dingin. Tak ada pemanas dan tungku kayu ukiran tangan. Jikalau musim hujan tiba, kantung-kantung persediaan air akan menampung jumlah tetesan langit untuk digunakan saat musim kemarau. Semuanya terasa stabil, begitu pula jumlah penduduknya. Hanya, bocah bertubuh ringkih itu tak pernah menyangka jika jasmaninya dapat ditukarkan dengan recehan koin emas yang tak ubahnya berupa materi fana.

Ayahnya—Arsheesh—adalah seorang nelayan. Begitu pula untuk kehidupan bocah ini sejak ia mengenal huruf dan angka. Pria tua itu merasa asing dengan kehadiran sosok bocah berambut pirang ini. Ia tak pernah berkata sama sekali tuk menjadikan bocah itu sebagai darah dagingnya. Jika anak-anak berwajah kotor itu bertanya pada si bocah, hanya diam yang mampu diucapkannya. Ia selalu merasa berbeda—dari yang lain. Banyak yang berasumsi dan meragukan jika si bocah benar adalah anak Arsheesh si nelayan miskin. Perawakan dan kontur mereka tak ada satu pun yang saling menyamai.

Shasta. Ia kemudian dinamakan demikian.

Ia hilang saat masih berwujud bayi merah. Terombang-ambing di antara dua lautan luas yang memisahkan wilayah Narnia dan Calormen. Dua bangsa ini menyatakan secara tegas tuk berdiri sendiri di wilayah kekuasaan masing-masing. Diplomasi antara keduanya hanya nampak di atas tanah landai bersama puluhan pasukan yang siap bertempur.

Shasta mengenal dirinya melalui mata orang lain di Calormen. Ia sering meratap lama-lama wajahnya yang pucat di atas air danau maupun laut yang berombak kecil. Jika mentari telah tinggi, para orang dewasa akan meneriakinya dari kejauhan—meminta agar jaring-jaring berisi lebih dari sepuluh ember ikan besar maupun kecil dapat dibawanya menuju pelelangan. Arsheesh tak pernah keberatan jika pekerjaan berat ini selalu menyita waktu dalam masa kecil si bocah. Ia bahkan tak peduli jika bocah ini bodoh selamanya. Jika ikan-ikan itu telah berada di tangan-tangan penduduk yang kelaparan, barulah ia boleh singgah di pusat desa dan menikmati masa-masa ciliknya.

Bocah ini tak pernah mengenal cinta. Ia tak punya ibu. Pertanyaannya pada Arsheesh selama ini hanya dua. Siapa ibuku? Apa yang ada di balik danau dan gunung jauh di sana itu? Namun, Arsheesh menampik. Ia akan marah jika bocah itu mengutarakan lagi pertanyaan yang sama. Hingga si bocah berusia remaja, kedua pertanyaannya tak pernah ditanggapi Arsheesh.

Kasih sayang Arsheesh untuknya terlalu semu untuk dijabarkan. Anak-anak kotor dan dekil itu tersenyum meski mereka hanya mendapatkan sepatu butut di setiap akhir tahun. Tetapi, tidak begitu bagi si bocah. Pria nelayan itu sibuk dengan dirinya seorang. Koin-koin perak hasil kerja keras si bocah adalah miliknya—milik Arsheesh.

Shasta buta akan cinta—dahulu. Pertemuannya dengan Bree dan Aravis yang kemudian akan menuntunnya tuk memahami kata itu sedikit demi sedikit. Baginya, berada di antara Bree dan Aravis, perasaan diterima dengan tangan terbuka adalah cinta abstrak yang sangat menenangkan. Berada di antara King dan Queen Narnia bagai menemukan keluarga baru yang sangat diidamkannya sejak cilik. Berada bersama King Lune tak jauh berbeda dengan jutaan mimpi yang menjadi nyata. Dan—tidak. Terlalu dini tuk mengatakan jika cinta harus serupa satu sama lain. Perasaan diterima maupun disayangi oleh orang-orang baru bagi Shasta adalah wujud takdir menyenangkan yang nyaris sama.

Tidak selalu begitu. Tidak...

Karena, ia akan menggeleng jika wajah orang itu hinggap di benaknya.

Corin. Corin Si Tinju Petir—Thunderfist.

Siapapun dapat dengan mudah membaca pribadi bocah remaja itu. Emosinya yang gampang meledak. Kelabilannya. Kekuatan tinjunya. Senyum penuh cengiran miliknya. Maupun, struktur rahangnya ketika marah. Semuanya—semuanya sangat mudah ditebak. Namun, tidak begitu untuk Shasta. Ia bagai melihat dirinya sendiri seolah sedang bercermin pada kaca sferis. Tak ada yang terlihat berbeda di antara mereka berdua jika kalian mensejajarkan mereka. Tak ada. Mereka bak buah pinang yang dibelah. Perbedaan hanya secuil dan sulit tuk diidentifikasi.

Akan tetapi, Shasta adalah bocah yang tertutup. Corin sebaliknya. Shasta adalah bocah pendiam. Corin tidak demikian. Shasta selalu mengandalkan kesempatan baik, Corin hanya mengandalkan tinjunya saja. Keduanya serupa, namun selalu berbeda dalam banyak hal.

Corin eksplisit dalam menunjukkan dirinya. Siapa dirinya. Apa yang dimilikinya dan apa yang dibencinya.

Jika ia membenci Shasta, tak mungkin selimut cocoon itu kini menyelimuti tubuh ringkih Shasta yang kedinginan oleh musim ekstrem di Anvard, Archenland. Remaja yang mudah tersenyum itu merasa begitu asing dengan kubikel ruang gelap di sekitarnya. Hanya api dari perapian kayu yang kian redup oleh waktu-waktu konstannya selama mengingat kembali akan dirinya beberapa hari sebelumnya.

"Aku bukan lagi anak nelayan. Aku adalah Cor. Aku bukan Shasta!" pekik Shasta dalam dirinya.

Kedua matanya terpejam begitu erat. Ia berusaha melupakan masa lalunya. Suram dan gelap. Dan, ia ingin lepas dari masa lalu itu secepat mungkin. Secepat mungkin dari yang bisa diingatnya.

...cinta itu refleksi dari kehangatan semu. Bagai selimut cocoon yang nyaman.

Ada bisikan. Bisikan itu menyerupai mimpi-mimpi yang datang di tiap tidurnya. Suara itu jua dapat dikenalnya baik. Ia berbalik dan menoleh, namun tak menemukan siapapun. Hanya, kaki-kaki rapuh itu menuntunnya menuju suatu tempat yang jauh lebih gelap. Menyusurinya dan menemukan sosok yang dicarinya sedari tadi.

"Corin." Ia bersuara. "Corin, kaukah itu?"

Bayang malam tersembunyi dari bilik kesunyian. Hanya butiran salju tipis yang jatuh ke tanah dingin dan membekukan kaca-kaca jendela tak bertirai. Terbuka demi mendapatkan cahaya yang jauh lebih terang. Lapisan langit berupa monokromatis hitam dan putih sebagai gradasi spesial. Tak ada rasa hangat, hanya dingin yang menembus tulang. Menusuk-nusuk dan membuat tubuh makin dilanda rasa menggigil hebat.

Bocah remaja itu hanya berlapiskan pakaian sore hari yang masih sama. Bukan pj's yang selalu dikenakan para pangeran saat jam tidur. Pakaian itu berkain tipis dan terkadang siluet bayang kekokohan otot-otot lengannya terlihat meski samar. Shasta mendekat namun masih memberi jarak. Ia masih asing—begitu asing dengan sosok yang semestinya terasa begitu dekat dengannya. Ia menggosok-gosok telapak tangannya yang kedinginan dan terbatuk. Bunyi itu membuat si bocah yang tengah memandang jendela tinggi menoleh.

"Hai." sapanya.

Shasta tak segera membalas sapaan Corin. Ia menatap lekat-lekat terlebih dahulu dan kembali melangkah maju. Pandangan si belah pinang tertoleh kembali ke arah jendela. Rasanya, apa yang terlihat di kejauhan sana nampak lebih menarik dibanding melihat wajah dalam cermin utuh itu. Shasta pun mengikuti arah pandang sang adik.

"Pakai ini. Aku tahu kau kedinginan. Jangan suka memaksakan diri." tutur Shasta. Jemari-jemarinya menarik selimut cocoon yang membaluti dirinya dan melingkarkannya di tubuh Corin. Sedikit terkejut, Corin segera menoleh dan mendapati senyum bijak kakak kembarnya. Ia masih terlalu gamang menerima kehadiran Shasta.

"A-ah, thanks."

"Hm."

Shasta melirik ke arah ujung bola mata miliknya. Berupaya menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan Corin. Gurat-gurat kekhawatiran terlihat jelas di antara kedua alisnya. Ada yang sedang memberatkan perasaan Corin—Shasta tahu itu. Saat Aravis sibuk dengan alam pikirnya sendiri, ia jua akan memerlihatkan hal yang sama. Shasta selalu khawatir dengan kecemasan yang dirasakan oleh orang-orang yang menurutnya penting. Dan, baginya, Corin adalah yang terpenting dari yang terpenting. Selalu seperti itu.

"Suatu hari nanti, kau akan menjadi Raja di Archenland."

Sang belah pinang tertua menoleh. Hanya tertegun mengamati wajah dan rupa Corin yang datar. Sulit rasanya untuk menjawab. Sebab, bukan pernyataan Corin yang terdengar salah, melainkan betapa klise kata-kata itu saat diucapkan oleh belah bibirnya.

"Begitu?" tanya Shasta berusaha mendapatkan keyakinan.

Corin menahan tawa. Kedua matanya terlihat menyipit dan ia benar-benar dibuat bingung dan terkesan dengan pertanyaan Shasta yang begitu polos—menurutnya. "Kenapa tertawa?" tanya Shasta.

"Ah, tidak. Aku hanya merasa ada yang sedikit aneh di antara kita berdua. Kau ingat 'kan dengan pertemuan kita untuk yang pertama kalinya. Queen Susan mengira kalau kau itu adalah aku dan semuanya berjalan mulus sampai akhirnya aku tiba di bilik kamarku melalui jendela."

Shasta yakin jika ia benar-benar mengingat pertemuan yang dimaksud Corin.

Corin melanjutkan. "Dulu, Ayah sudah berkata hal ini padaku berulang-ulang kali. Suatu saat nanti, kau akan menjadi Raja di Archenland, menggantikan Ayah di singgasana ini, dan memimpin seluruh negeri. Sejak kecil, aku tinggal di istana ini dan hidup bersama puluhan pelayan yang kemudian kujadikan sebagai teman bermainku. Ayah sangat jarang bersedia menemaniku berkuda bersama di akhir pekan ataupun pergi menjelajahi hutan Archenland di wilayah sedikit utara. Hingga, aku dipertemukan dan diperkenalkan dengan Raja dan Ratu Narnia yang menetap di istana Cair Paravel. Aku masih sangat cilik saat itu, namun aku mengingat baik karakter masing-masing dari mereka. Aku tahu High King Peter adalah Raja yang sangat baik. Ia lah yang pertama kali memerkenalkan untukku beberapa hewan dan tumbuhan yang dapat berbicara. Kemudian, Queen Susan adalah segalanya bagiku—ah, kau ingat dengan bagian dari ceritaku waktu itu saat aku mengejar orang dungu dan jahat yang sudah mengolok-olok Queen Susan dengan kosakata yang sangat buruk? Well, aku menghargai Queen Susan sama seperti ketika kau menghargai kebaikan hati warga desa di Calormen—tempat tinggalmu dulu. Ah, aku benci King Edmund—tidak terlalu sih. Hanya, dia itu selalu saja bersikap dingin padaku. Entah kenapa. Hmm. Lain cerita untuk Queen Lucy."

Dengan polos dan lugu, Corin menjelaskan banyak hal akan apa yang disukai dan dibencinya. Berjam-jam yang lalu, mereka baru saja melewati hal menarik yang tak seorang pun di Narnia bisa mendapatkannya. Shasta berujar, menjadi Raja tak pernah sama sekali terlintas di benaknya. Sama sekali tidak. King Lune terlihat sungguh meyakinkan dengan kata-katanya. Namun, Shasta tak mampu menjawab banyak. Ia hanya seorang anak nelayan—for God sake. Apa yang diketahuinya tentang seluk-beluk diplomasi bernilai nol! Nol positif. Tidak demikian untuk Corin yang jauh lebih—lebih—

Ia tak sempat berpikir banyak. Logikanya saling bertubrukan satu sama lain. Melihat sang belah pinang tampak kebingungan dengan situasi yang dilaluinya sekarang ini, Corin mengambil langkah maju. Tak lagi takut tuk mencoba dan menyentuh apa yang seharusnya sudah menjadi miliknya sejak bertahun-tahun dahulu. Bahkan, sejak mereka dilahirkan.

Hangat. Lembut. Tidak basah. Dan, terasa begitu menenangkan. Telapak tangan itu serupa dengan tangannya. Pucat dan berkilau jika terkena sinar mentari pagi. Tetapi, jauh lebih halus dibanding tangan-tangannya yang terlalu sering berhadapan dengan jaring-jaring ikan. Shasta tak pernah menyangka jua jika tangan yang sangat suka meninju itu terasa jauh lebih hangat dari tangan Aravis maupun King Lune.

Perlahan, Corin mengelus pipi Shasta. Di antara gelapnya malam dan di bawah salju-salju putih yang berjatuhan.

"Akhirnya kau kembali, Cor." ungkapnya pelan. "Akhirnya kau kembali."

Pupil Shasta melebar. Berakomodasi penuh pada efek pencahayaan minim dan objek yang begitu dekat dari titik fokus normal mata miliknya. Bahkan, tak ada jarak yang terlihat begitu spesifik antara keduanya. Shasta tak bisa berkedip. Ia—ia terlalu gamang pada wajah yang sangat serupa dengan miliknya itu. Sangat serupa. Ia takut. Takut. Takut kehilangan wajah itu lagi.

"Namaku Shasta, bukan Cor." Hanya itu yang dapat diujarkannya. Menanggapinya, Corin hanya terkikik.

"Hahaha. Sudah kuduga. Peasant's name, huh?"

Shasta menyipitkan matanya. Siluetnya menajam. "Ya, Your Majesty."

"Dasar."

"Huh?"

Corin kembali memandangi butir salju yang kian membanyak. Saling bertubrukan satu sama lain dan sekiranya menutupi seluruh lapisan daratan hitam dan coklat tanah. Tetapi, jendela itu tak terasa dingin lagi. Hatinya tak pernah sendiri lagi. Untuk saat ini. Sementara ini. Selamanya.

"Mulai hari ini, Cor adalah milikku, oke?"

Pernyataan itu terdengar begitu angkuh. Bagai menguasai sesuatu yang tak sepantasnya dimilikinya seorang diri. Namun, Corin takut jika harus kehilangan seseorang yang menjadi bagian dirinya sejak dulu. Ia tak harus dan tak mau jika kesendirian itu makin menyiksa dirinya. Ia telah menemukannya. Ia sudah menemukannya. Aslan telah mempertemukan mereka.

Karena seharusnya, Corin dan Cor adalah material milik Archenland yang tak boleh terpisahkan. Sebab, mereka bak patahan cinta yang dimiliki Narnia. Bagai yin dan yang dalam filosofi Cina. Setidaknya, untuk saat ini saja, biarkan mereka saling menikmati kebersamaan itu untuk yang pertama kalinya.

"Shasta, Corin. Bukan Cor." tutur Shasta mengoreksi.

Corin si Tinju Petir kembali tertawa. "Suka-suka aku. Ah, sudah larut. Lagipula, kamarmu juga belum jadi 'kan, kak? Mau tidur bersamaku?"

"Whatever."

"Haha. Peasant's behaviour. Peasant's behaviour."

Keduanya melangkah bersama-sama. Tak lagi saling menunggu dan ditunggu. Keduanya kini bersama lagi. Bersama menghadapi hari-hari baru di Archenland bersama-sama. Berdua berada di garis depan sebuah perang. Bersama mempertahankan kembali apa yang seharusnya menjadi milik kaum Narnia. Dan, Aslan akan menuntun mereka tuk mengatasinya.

Di bawah selimut cocoon, tampak dua bocah yang terlelap begitu nyenyak meski di bawah jatuhan salju-salju tipis dan bulat. Terasa sangat dingin dan membekukan. Tetapi, kedua bocah itu tak harus menghadapi bekuan salju itu seorang diri lagi. Saat Corin masih begitu cilik, ia akan terlelap begitu larut hanya untuk menunggu agar tangan-tangan penyihir berwujud pepohonan musim dingin Anvard menghilang dari balik tirai jendela kamarnya. Kini, dua tangan itu saling memegang satu sama lain. Berharap, esok harinya, mereka benar-benar melihat hal yang nyata. Bukan mimpi yang akan hilang begitu saja.

"I love you more than this crown and throne, Shasta..."

Dua mata Shasta telah terpejam erat. Ia lelah tapi seakan mampu menangkap bekas suara berbisik tepat di cuping telinganya. Dan, nafas hangat itu terasa menyenangkan. Mereka tak lagi sendiri. Mereka berada di bawah selimut sutra cocoon yang nyaman dan hangat.

Selalu. Bersama. Dengan cinta.

Rasakan saja. Kemudian, simpan dalam ragamu.

"So do I."


.

.

.

終り

.

.

.