Vocaloid © Yamaha. No commercial profit taken.
Warning cliché. Kesamaan ide harap dimaklumi.
a/n hanya sekumpulan ficlet & flashfic, jadi jangan protes mengenai jumlah kata yang minim. mungkin akan banyak yang nggak ngerti jalan ceritanya, tapi percayalah, ada 1 plot besar yang saya bangun. ada 1 ficlet/flashfic dalam 1 chapter. saya akan meng-update cerita ini sesuka hati. tralalalala~ /dibuang/
loner
by devsky
01 pathetic
Yuuma, yang tumbuh sebagai seorang pesimis, memandang dirinya sendiri sebagai musuh seisi dunia.
Kakak perempuannya, Mizki, selalu melihatnya dengan tatapan sedingin es. Ayah nyaris tak pernah bicara ataupun melihat keberadaannya, seolah sengaja mengabaikannya. Sementara ibu sudah pergi dari rumah mereka sejak usia Yuuma baru merengkuh angka lima.
Yuuma ingat, waktu itu ibunya menggeret koper setelah melempar foto keluarga dan membuang cincin kawinnya ke tempat sampah di dapur. Rambut wanita itu acak-acakan, sementara wajahnya coreng-moreng oleh air mata dan kekesalan. Yuuma ditinggal sendirian di ruang keluarga dan ia mengerti kenapa tidak dibawa.
Pastilah ini karena dia tidak diharapkan. Pastilah ini karena dia berbeda dari yang lain. Buktinya, rambut Yuuma merah jambu dan bukannya hitam legam seperti ayah. Buktinya, mata Yuuma terlihat layaknya topaz murni dan bukannya cokelat madu meneduhkan seperti milik ibu. Pastilah keluarganya membenci dia karena hal ini. Pasti. Dan karena itu juga, ibunya meninggalkan dia tanpa selamat tinggal. Pergi begitu saja.
Yuuma berpikir, jika ibunya saja bisa dengan mudah pergi, jika keluarganya saja bisa dengan mudah memusuhi, maka orang lain pun akan melakukan hal yang sama. Sepuluh kali lebih gampang, malah. Makanya, Yuuma memutuskan untuk menjaga jarak dari dunia.
Yuuma pun menutup semua pintu dan tidak membiarkan seorang pun masuk ke dalamnya. Tidak pula dengan Mizki ataupun ayahnya.
Yuuma membiarkan semua teman-teman sekelas mengenalnya sebagai anak yang tidak punya teman.
Dia pintar, tapi dia selalu sendirian. Dia pintar, tapi tidak pernah punya teman. Dia pintar, tapi aneh. Seperti itulah yang semua anak pikirkan tentang Yuuma. Kemudian, secara serentak, mereka juga ikut mundur teratur dari Yuuma. Pada akhirnya dunia menjaga jarak. Menghindarinya.
Orang bilang, kesendirian itu menyakitkan. Bagi Yuuma, kesendirian adalah pilihan terbaik. Karena itu, ia tak ambil pusing ketika teman-temannya bersikap acuh tak acuh. Dia sudah terbiasa, omong-omong.
Tapi tiba-tiba saja, seorang anak bodoh datang. Dengan sebuah cengiran jelek dan uluran tangan, ia berkata;
"Hei, ayo kita main sama-sama!"
