Hai, bertemu lagi dengan saya di cerita baru kini, saya datang dengan pair baru yaitu .. NaruHina! Wkwkwk :D semoga mengibur anda^^ kalau tidak menghibur, cuku klik BACK pada ponsel anda atau CLOSE pada tab computer anda

Naruto © Masashi Kishimoto

Aku seorang Ibu Kost © Tomat Jambu

Happy Reading, enjoy it! :D

"Huaaahh!"

Seorang gadis berambut indigo tengah menggeliat di kasur kesayangannya. Dengan perlahan, ia menurunkan kakinya untuk menapakkannya ke lantai yang dingin. Dengan wajah yang masih ngantuk, ia berjalan menuju kamar mandi. Bermaksud untuk mandi, tentu saja.

Setelah berada di dalam kamar mandi mewah tersebut, ia menyalakan shower lalu melepas semua pakaiannya dan mulai mengguyur tubuhnya. Rasanya segar sekali. Setelah itu ia melanjutkan dengan hal-hal yang lumrah dilakukan orang saat mandi.

Masih terasa segar. Gadis itu berjalan dengan handuk berada di atas kepalanya. Kini, ia lengkap dengan baju terusan berwarna putih dengan pita di dada. Terlihat manis sekali. Meskipun sangat sederhana. Lalu dia mengeringkan rambutnya dengan hairdryer lalu keluar kamar untuk sarapan.

"Pagi, ayah! Pagi, ibu!" sapa Hinata ceria. Meskipun kelihatannya ceria, tapi saat di kuliah, Hinata termasuk anak yang pendiam.

"Pagi, Hinata-chan."

"Hn." Jawab ayah singkat karena mulutnya penuh dengan roti bakar.

"Hinata, hari ini kau tidak keluar rumah, kan? Ayah punya sesuatu untukmu." Kata ayah sambil mengoleskan selai pada roti yang kedua. Hinata hanya diam memandangi ayah sambil menuangkan sirup pada pancake-nya.

"Pagi ini kita harus pergi ke sebuah rumah di depan kampusmu." Kata Ayah lagi. Hinata menaikkan sebelah alisnya dengan mulut penuh roti.

"Ke-kenapa harus kesana?"

"Ada yang ingin ayah tunjukkan padamu. Dan itu penting." Hinata mengangguk pelan.

wOwOwOw

Hinata sudah sampai di depan sebuah rumah mungil tapi mewah yang bersih dengan warna cat berwarna putih gading. Tamannya bersih dan rumputnya hijau segar. Pagarnya berwarna kuning sehingga rumah ini terlihat lucu. Hinata tersenyum melihat rumah tersebut lalu turun dari mobil.

"Ini rumah siapa?"

"Masalahnya .. tidak ada yang memiliki." Jawab ayah. Hinata bingung. Kalau tidak ada penghuninya, kenapa ayah membawanya kesini?

"Tidak ada? Lalu kenapa ayah membawaku kemari?" Tanya Hinata. Lalu ayah berjalan menuju rumah tersebut. Lalu tangannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu semacam .. kunci.

Lalu ayah membuka gembok dan anehnya, gembok itu terbuka membuat Hinata dilanda kebingungan. Lalu Hinata mengikuti ayah yang kini sudah berada di taman rumah tersebut.

"Ayah, ini rumah siapa? Kenapa kunci itu bisa membuka gembok tersebut? Katakan padaku, ayah!" rengek Hinata. Ayah hanya terkikik geli.

"Ini rumahmu."

"A-apa?"

"Iya, ini rumahmu. Ayah memberikan rumah ini khusus untuk kau tinggali sendiri. Neji sudah aku berikan rumah untuk masa depannya, dan sekarang giliran kau mendapatkannya." Kata ayah. Hinata terbengong. Lalu dia melihat sekeliling halaman yang cukup luas. Tapi kalau diingat-ingat, halaman ini kalah luas dengan halaman rumah yang diberikan ayah untuk Neji.

"Kapan aku akan tinggal disini?"

"Emm … itu terserah kau. Kau boleh menempatinya kapanpun. Kau senang?" Tanya ayah. Hinata hanya tersenyum bahagia.

"Tentu saja! Aku sudah lama mendambakan ini! Aku ingin sekali seperti Neji. Mendapatkan rumah untuk ia tinggali dari sekarang dan masa depan nanti! A-aku sangat senang. Te-terima kasih, ayah." Ucap Hinata. Lalu dia memeluk sosok lelaki yang ia sayangi itu.

"Tapi, kau harus bisa seperti Neji."

"Maksudnya?"

"Kau harus bisa seperti Neji. Mencari uang sedikit demi sedikit untuk keperluan pribadimu." Jawab ayah.

"Keperluan pribadi? A-aku harus mencari nafkah untuk ma-makan sehari-hari? Bagaimana caranya?" Tanya Hinata. Ayah tertawa melihat ekspresi Hinata.

"Bukan seperti itu maksudku. Keperluan pribadi! Yaah, mungkin assesoris wanita, perlengkapan alat tulis, dan keperluan-keperluan pribadi yang lainnya. Kalau soal makan, pakaian, dan kebutuhan rumah, ayah dan ibu sudah siapkan." Terang ayah. Hinata hanya diam. Bagaimana dia bisa mencari uang?

"Caranya?"

"Yaah, kau pikirkan saja sendiri. Memang itu resiko punya rumah sendiri. Bagaimana? Kau sanggup?" tantang ayah. Hinata menelan ludah.

"A-aku tidak yakin bisa mencari uang untuk keperluanku sendiri."

"Neji bisa melalukannya. Dan aku yakin, kau bisa melakukannya lebih baik dari dia." Kata ayah menyemangati. Tangannya mengusap rambut panjang Hinata.

"Dia, kerja jadi apa?" Tanya Hinata.

"Emm .. setahuku Neji bekerja menjadi pelayan sebuah toko coklat. Katanya sih, honornya pas untuk keperluan pribadinya." Jawab ayah sambil berjalan memasuki rumah tersebut. Hinata berjalan mengikuti ayah.

"Apa aku .. bisa mengajak temanku tinggal di-disini?" Tanya Hinata. Ayah membuka kunci pintu dan setelah terbuka, dia masuk dan melihat-lihat isinya.

"Aaaa .. boleh! Tapi, soal makan dan yang lainnya mereka yang tanggung. Mengerti?" Hinata mengangguk. Ayah duduk di sofa empuk dan mulai rebahan. Hinata berjalan menuju lantai dua dan mulai melihat setiap ruangan.

"Ba-banyak sekali ruangannya." Decak kagum Hinata meluncur dari bibir mungilnya.

Dia menghitung jumlah ruangan yang ada disitu. Untuk ruangan seukuran kamar ada sekitar 8 kamar. Ruangan tersebut terdiri dari enam ruangan kosong dan dua ruangan yang ada kasurnya. Kasurnya masih bersih, sangat terlihat kalau rumah ini selalu dibersihkan. Dan hebatnya lagi, setiap kamar ada kamar mandinya. Wow! Sudah seperti tempat kos saja.

Kalau dipkir-pikir, rumah ini luas. Lebih luas dari milik Neji! Tapi kekurangannya adalah, halamannya sempit. Sedangkan milik Neji saaangat luas. Dari depan, rumahnya ini terlihat mungil tapi mewah dan rumah Neji terlihat besar dan mewah. Tapi kenyataannya, dari dalam, rumahnya lebih luas dari milik Neji.

Lalu dia turun ke lantai satu, lebih tepatnya ke ruang keluarga yang luas. Sekali lagi dia berdecak kagum. Sangat luas! Tapi sepertinya masih luas punya Neji. A-aaa, jangan-jangan yang menonjol dari rumah ini adalah mempunyai .. banyak kamar! Lihat, ruang keluarga dan ruang tamu terlihat biasa-biasa saja. Sedangkan untuk kamar, aduuh! Jangan tanya! Banyak dan luasnya minta ampun.

Kalau untuk dapur, emm .. ukurannya biasa-biasa saja. Lalu dia berjalan ke halaman belakang. Ugh, sama saja! Masih luas punya Neji. Meskipun sama-sama mempunyai kolam renang. Lalu Hinata berjalan menuju ruang tamu dan mendapati ayahnya yang masih rebahan.

"Ayah, ayah!" panggil Hinata. Lalu ayah membuka matanya pelan. Oh, ternyata dia ketiduran!

"Aku sudah melihat semua isinya. Apa besok aku bisa tinggal disini?" tanya Hinata sambil duduk di samping ayah. Ayah menguap dan tersenyum.

"Ya. Sebaiknya kau hubungi temanmu yang ingin tinggal disini."

"Emm .. kamar disini terlalu banyak. A-apa aku boleh m-mengajak teman lebih da-dari satu?" tanya Hinata. Ayah hanya mengangguk dan Hinata bersorak girang.

Lalu mereka pulang dan setelah sampai dirumah, Hinata menyiapkan keperluan-keperluan pindah rumah. Sedangkan ayah tengah sibuk menyiapkan segala perabotan rumah seperti TV, kursi dan sofa untuk ruang keluarga, meja, lemari dan segala tetek bengek rumah. Ayah sengaja memesan semua itu dari minggu kemarin.

Hinata menghubungi teman-temannya setelah menyiapkan semua kebutuhannya. Kini, kamar itu seperti kamar kosong. Karena Hinata sudah mengemas semua barang-barangnya dan siap dipindah ke rumah barunya. Hinata menekan tombol telfon dan mendekatkan gagangtelfon tersebut ke telinganya.

"Halo?"

"Halo, Ino? Aku punya sesuatu yang sangat mengejutkan!"

"Apa?" tanya Ino dari seberang telfon.

"Mau tidak kau tinggal di rumahku?" tanya Hinata sambil duduk di pinggir kasur.

"Ha? Tinggal di rumahmu? Oh tidak, tidak, tidak! Di rumahmu ada orang tuamu. Aku tidak akan bebas, kalau ada orang tua di rumah temanku. Dan temanku itu kau. Kalau orang tuamu pergi keluar kota atau kemana aku mau. Tapi kalau ada orang tuamu di rumah aku ti—"

"Ino, dengarkan aku dulu! Ayah baru saja membelikanku rumah. Dan mulai nanti malam aku bisa menempatinya. Kau tahu rumah mungil di depan kampus yang sangat kau dambakan untuk kau tinggali itu?"

"Apa? Kau dibelikan rumah? Ugh, enak sekali kau dan Neji! Ya, aku tahu. Kenapa? Jangan bilang kalau rumah itu adalah rumahmu sekarang! Kubunuh kau!" teriak Ino di seberang telfon membuat Hinata harus menjauhkan gagang telfon tersebut dari telinganya.

"I-iya. Jangan marah, ya. A-aku tidak tahu kalau ternyata ayah sudah mem-membeli rumah itu. Hehe. Tapi kau bisa tinggal disitu denganku. Tolong ajak Sakura, ya?" kata Hinata lirih. Ino bersorak girang. Dia sangat senang bisa tinggal di rumah dambaannya.

Setelah bercakap-cakap sebentar, Hinata menutup telfonnya karena sekarang waktunya berangkat menuju rumah baru. Hinata menarik koper hitamnya dan menenteng tas punggung berwarna biru. Lalu dia menaruh koper tersebut di bagasi mobil dan meletakkan tasnya ke kursi penumpang.

Hinata kembali ke ruang tamu dan mengambil sebuah tas hitam—yang bisa dibilang seperti tas anak laki-laki—di sofa dan menentengnya di bahu. Tak lupa ia menggendong boneka kucing yang sangaaaat besar berwarna kuning. Entah kenapa Neji dulu bisa membelikan boneka besar dan warna yang nyentrik itu.

Hinata duduk manis di kursi penumpang. Ayahnya terlihat siap di kursi sopir dan ibu di sebelah ayah. Sedangkan Hanabi tengah asyik membaca di samping Hinata. Perlahan mobil melaju dengan pelan dan semakin laa semakin kencang.

wOwOwOw

"Sudah sampai! Teman-temanmu sudah kau hubungi?" tanya ayah setelah sampai di depan rumah baru milik Hinata. Hinata mengangguk lalu turun dari mobil diikuti Hanabi lalu ibu.

"Ah, itu mereka." Kata Hinata sambil menunjuk sebuah mobil sedan keluaran terbaru berarna metalik yang berhenti di depan rumah Hinata. Lalu sesaat kemudian, turun dua orang gadis berambut pink dan pirang.

"Hai, Hinata. Hai, paman Hiashi. Mana ibumu, Hinata?" tanya Ino ceria. Sakura hanya membungkukkan badannya.

"Di dalam dengan Hanabi." Jawab Hinata. Lalu ayah Hinata bercakap-cakap sebentar dengan Ino dan Sakura. Tak berapa lama, muncul Hanabi dan ibu. Lalu Ino dan Sakura menyapa mereka sambil membungkukkan badan.

"Jaga diri baik-baik, ya? Bersihkan rumah setiap hari dan jaga kesehatan." Pesan ibu Hinata pada Ino, Hinata dan Sakura. Tiga gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu orang tua Hinata melangkah pergi meninggalkan mereka bertiga.

"Oh iya, Hinata. Barang-barang di kardusmu sudah ada di dalam. Soal perabotan rumah, sudah ayah lengkapi. Kalau ada perabotan yang kau rasa kurang, tinggal hubungi ayah saja. Jaga diri baik-baik." Pesan ayah. Lalu mereka mengucapkan selamat tinggal.

Setelah itu ketiga gadis itu membopong barang-barangnya dan membawanya ke dalam. Hinata membuka pintunya dan mereka bertiga masuk. Lalu Hinata dan Sakura membawa barang-barangnya ke lantai dua. Sedangkan Ino masih berdecak kagum melihat isi rumah tersebut.

"Wow! Sudah kuduga, rumah ini sangat bagus!"

Lalu Ino kembali menenteng tas dan kopernya ke dalam kamar. Dia masih berdecak kagum melihat semua isi rumah tersebut. Sudah dari dulu ia mendambakan rumah ini, dan kini harapannya terkabul. Meskipun ini bukan rumahnya, tapi dia bisa tinggal disini.

"Pilih kamar yang kalian suka!" teriak Hinata dari lantai dua.

"Yang mana? Semua kamar ada kasurnya, ya?" tanya Sakura. Kepalanya muncul di ambang pintu kamar Hinata yang cukup luas dan nyaman. Sebenarnya semua kamar punya ukuran dan kualitas yang sama.

"Ah? Be-benarkah? Tapi kamar disini banyak sekali. Ti-tidak mungkin ayah membeli banyak kasur dan perabotan hanya u-untuk mengisi kamar yang kosong." Jawab Hinata. Dia memainkan jarinya.

"Ya, Hinata. Setiap kamar ada tempat tidur dan perabotan yang lengkap. Ayahmu hebat sekali!" teriak Ino yang sekarang sudah berada di samping Sakura dan berteriak tidak jelas. Hinata terbengong mendengar pernyataan Ino.

Ha? Setiap kamar memiliki tempat tidur masing-masing? Dan perabotannya lengkap? Aaaah~ rasanya Hinata ingin pingsan. Oke, untuk apa perabotan sebanyak itu kalau yang tinggal hanya tiga orang? Dan tidak mungkin Hinata mengajak teman lebih banyak lagi untuk tinggal bersama.

"I-itu banyak se-sekali." Ucap Hinata lirih.

"Menurutku tidak. Kalau kau tidak mau barang-barang itu, kau bisa menjualnya." Kata Sakura sambil mendudukkan diri ke samping kasur Hinata yang empuk. Hinata tercengang.

"Me-menjualnya?"

"Iya, itu kalau kau mau. Aku dan Sakura pernah menjual perabotan kamar yang jelek dan menggantinya dengan yang bagus." Ucap Ino. Hinata diam.

"Akan kupikir-pikir nanti."

wOwOwOw

Hinata terbangun dari tidur nyenyaknya malam tadi. Matanya masih mengantuk karena tadi malam habis menonton film sampai larut malam. Tapi sangat menyenangkan. Tidak pernah ia tidur selarut ini. Lalu Hinata berjalan pelan menuju kamar mandi agar bisa cepat-cepat menyiapkan sarapan.

TOK TOK TOK.

Ketukan pintu terdengar dari luar kamar Hinata. Lalu terdengar pula suara Sakura memanggil Hinata. Hinata yang tengah menggosok giginya hanya bisa menjawab panggilan tersebut dengan suara yang kurang jelas.

"Aku tidak tahu apa yang kau katakan, tapi sebaiknya kau cepat turun karena sarapan menunggu!" teriak Sakura.

"Bhfaik!" ucap Hinata dengan mulut penuh busa. Setelah menggosok gigi, Hinata mengguyur tubuhnya lalu selesailah acara mandinya yang bisa dibilang sangat singkat. Lalu Hinata mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan keluar kamar mandi.

"Mana Hinata? Lama sekali?" tanya Ino sambil meletakkan telur mata sapi di roti bakarnya. Sakura hanya mengangkat bahu lalu meneguk susu madunya. Tidak lama kemudian, Hinata muncul dengan pakaian yang sangat sederhana.

"Selamat pagi." Sapa Hinata dengan senyum yang manis. Lalu dia melirik ke jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan tepat.

"Kalian sudah mandi?" tanya Hinata setelah duduk di kursi. Yang ditanya hanya mengangguk dengan kompak. Lalu Hinata mengoleskan selai ke roti bakarnya.

TING TONG.

"Aku saja!" ucap Hinata. Sakura hanya diam dan berjalan menuju ruang keluarga karena sebentar lagi acara favoritnya akan dimulai. Sedangkan Ino masih sibuk dengan sarapannya.

CEKREK.

Hinata membuka pintu dan terlihatlah empat anak laki-laki yang seumuran dengannya sedang berdiri tegap. Ada yang tersenyum ada yang diam saja saat melihat sang pemilik rumah menampakkan batang hidungnya. Hinata tersenyum.

"Permisi, aku Sai. Kami sedang mencari tempat kos yang kosong. Kami sudah mencari di rumah depan, tetapi ternyata penuh." Ucap seorang laki-laki berkulit pucat dengan senyum yang manis tapi seperti dipaksakan.

"Dan pemilik rumah disana menganjurkan kami untuk mencari tempat kos yang masih kosong. Dan dia menunjuk rumah ini. Lalu kami datang kesini. Benarkah ini tempat kos?" tanya seorang laki-laki berambut coklat jabrik dengan garis merah di pipinya dan dia menggendong anjing. Hinata bingung.

"Ma-maaf, disini buk-bukan tem—"

"Aaaah, selamat datang! Iya, benar. Ini tempat kos! Kebetulan masih sangat baru dan masih banyak kamar yang kosong. Kalian bisa tinggal disini selama kalian membayar uang sewanya. Hihihi, benar kan, Hinata?" ucap Ino yang ternyata sudah berada di samping Hinata.

Saat Hinata sedang berjalan untuk membuka pintu, Ino mengikutinya dari belakang bermaksud ingin mengetahui siapa yang bertamu. Saat Hinata membuka pintu, Ino melihat seorang laki-laki tampan yang tersenyum ramah kepada Hinata. Dan jujur, Ino sempat terpesona.

Lalu Ino mendengar laki-laki itu berbicara, dan syukurlah orang itu berbicara dengan jelas. Sehingga Ino tahu apa maksud empat lelaki itu datang kemari. Lalu Ino punya ide saat mendengar masalah yang sedang dilanda empat lelaki tersebut. Dengan cepat, Ino langsung mengatakan kalau rumah ini adalah tempat kos.

"A-apa?" Hinata kaget mendengar ucapan Ino.

"Sudah, serahkan padaku!" jawab Ino mencoba untuk meyakinkan Hinata.

"Benarkah? Kami sedang mencari enam kamar. Apa tempat kos ini menyediakan kamar sebanyak itu?" kata Sai pada Ino. Ino hanya diam saat melihat Sai bicara. Sangat tampan!

"Aa-aah. I-iya! Sudah kubilang, kan? Rumah ini masih baru, dan masih banyak kamar yang kosong. Jadi .. kapan kalian akan tinggal disini?" tanya Ino malu-malu karena dari tadi terus dipandang oleh Sai. Hinata membelalakkan mata melihat Ino.

"Mungkin besok. Kami ingin menghubungi teman-teman kami yang lain sekaligus mengambil barang-barang kami dirumah. Berapa biayanya?" tanya Sai lagi membuat Ino gugup.

"Aaa, emm—biaya? Aah, berapa ya? Lima ratus! Ya, lima ratus ribu!" ucap Ino asal. Hinata hanya bisa pasrah melihat apa yang sudah Ino lakukan. Sedangkan para lelaki itu hanya tersenyum puas karena berhasil mendapatkan tempat kos. Mungkin mereka tidak peduli dengan biayanya. Anak orang kaya, mungkin!

"Sampai bertemu besok." Ucap Sai sambil melenggang pergi. Begitu diikuti dengan yang lainnya. Lalu mereka masuk ke mobil dan mulai menyalakan mesin lalu pergi dari rumah Hinata yang kini sudah berubah menjadi tempat kos. Tuh, kan? Mereka anak orang kaya!

"Ya, Tuhan! Apa yang kau lakukan, Ino?" tanya Hinata setelah berada di ruang TV tempat Sakura sedang asyik menonton opera sabun murahan. Ino hanya terkikik geli meliat wajah Hinata yang panik.

"Hahahaha. Tenang saja, Hinata! Justru ini pertanda baik! Itu berarti kau mendapatkan uang dari hasilmu menyewakan kamar." ucap Ino. Sakura menoleh dengan cepat.

"Menyewakan kamar? Untuk apa?" tanya Sakura histeris. Ino langsung melemparnya dengan bantal.

"Dasar, jidat! Bukan menyewakan kamar untuk hal negatif! Maksudku adalah, rumah ini sebentar lagi akan menjadi tempat kos!" teriak Ino membuat Hinata semakin pusing.

"Ha? Tempat kos?"

"Iya, tempat kos. Itu bagus, lho! Hinata akan mendapatkan uang banyak setiap bulannya. Iya, kan Hinata? Hinata? Ayo senyuuum! Percaya padaku, ini semua akan beres." Ucap Ino meyakinkan. Sakura hanya manggut-manggut setuju karena dia pikir, tidak ada salahnya mencoba untuk meraup untung dengan mendirikan tempat kos.

"Dengan begitu, semua kamar disini ada yang menempati. Kau tidak perlu menjual barang-barang ini. Soal kebutuhan anak-anak kos, biar aku dan Ino saja yang urus. Kami berdua tahu apa yang harus dilakukan. Sedangkan kau, tinggal menerima uangnya saja. Ya kan, Ino?" ucap Sakura sambil menyikut tangan Ino. Ino tersenyum lebar dan manggut-manggut setuju.

"Aaah~ terserah kalian saja. Aku ingin memberi tahu ayah tentang ini." Ucap Hinata sambil berdiri dan berjalan pelan menuju telfon rumah.

"Untuk apa?" tanya Ino.

"Aku harus memberitahu pekerjaan apa yang aku kerjakan untuk mencari uang." Jawab Hinata lirih. Ino hanya ber'oh' ria.

wOwOwOw

"Akhirnya kita mendapat tempat kos juga!" ucap seorang lelaki yang asyik memakan keripik kentang. Yang lain hanya mengangguk.

"Aku yakin, kamarnya nyaman dan bersih. Dan pemiliknya pun .. cantik-cantik!" ucap seseorang yang asyik mengelus-elus anjing. Di pikirannya terbayang wajah Hinata dengan muka polosnya.

"Aaah, wanita saja yang kau pikir, Kiba!" teriak cowok berambut batok kelapa dengan semangat. Sedangkan Sai, yang mengendarai mobil tersebut hanya tersenyum tipis mendengar kekeonyolan teman-temannya.

"Lalu kenapa? Awas saja kalau kau jatuh cinta dengan salah satu pemilik kos tersebut! Kau harus membersihkan kutu-kutu setiap anjing di rumahku!" teriak Kiba lebih kencang.

"Tidak akan!"

"Pasti!"

"Tidak akan, Kiba!"

"Itu pasti terjadi, Lee!"

DRRTT DDRRTT DRRTTT.

"Halo?" jawab Sai sambil memasang headset pada telinganya dan menjawab panggilan tersebut.

"Halo, Sai? Bagaimana kos-nya? Apa kau sudah mendapat kamarnya?" tanya seseorang di seberang.

"Sudah. Kau tenang saja, Sasuke. Enam kamar, kan? Bagaimana dengan Naruto? Apa dia jadi ikut?" tanya Sai. Saat mendengar nama Naruto, kontan mobil yang tadinya ramai langsung hening. Semua ingin mendengar kabar kawan kuningnya itu.

"Hn. Entah, dia belum menghubungiku."

"Hhh—kalau begitu, telfon dia apakah dia jadi ikut tinggal di kos bersama kita." Jawab Sai. Semua yang ada disitu berharap kalau Naruto ikut tinggal di kos bersama mereka.

"Hn. Sebentar lagi." Jawab Sasuke singkat lalu segera menutup sambungan telfonnya. Lalu Sai melepas headset-nya dan meletakkannya di dashboard.

"Bagaimana Naruto? Apa dia jadi ikut?" tanya Lee.

"Entahlah. Semoga saja iya.

wOwOwOw

Terima kasih sudah membaca fic saya, kalau ada kekurangan kata dan kesalahan kata, saya mohon maaf karena saya adalah manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan.

KRITIK, SARAN, silahkan REVIEW

Fandini P. :}