.

.

.

DISCLIMER: I DO NOT OWN HARRY POTTER

.

.

.

THIS FIC ORIGINALY MINE

.

.

.

I NEVER THOUGHT THAT I WAS WRONG

.

.

.

CHAPTER 1

Hogwarts pada tahun ke-7 – tidak, jangan berpikir ini sudah selesai. Ini sama sekali belum berakhir –. Voldemort dan Para Pelahap Maut setianya sudah tidak malu-malu menunjukan diri mereka. Mereka terang-terangan membuat kekacauan dimana-mana. Membuat semua orang cemas. Dan tidak, – jangan pernah berpikir bahwa – Harry James Potter sudah kalah telak dari Voldemort. Harry Potter masih belum menentang Voldemort dan mengalahkannya. Saat ini Harry James Potter, Ronald Bilius Weasley, dan Hermione Jean Granger masih berada di Hogwarts. Ya, Trio Emas Gryffindor itu masih meneruskan pendidikan sihir mereka dibawah pimpinan Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore. Dan Ya – lagi – kalau Albus Dumbledore belum mati. Itulah sebabnya dia masih berada di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry. Dia masih ada di tempat itu. Pria muda berambut pirang platina, bermata biru kelabu, berwajah tampan, tinggi dan proposional. Cassanova, Sang Pangeran Slytherin, Seorang Darah-Murni keturunan Malfoy yang tersohor, Draco Lucius Malfoy.

Draco, di tahun ketujuhnya di Hogwarts, telah terpilih secara resmi sebagai Kapten Quidditch Slytherin dan – yang tak kalah penting – Ketua Murid Putra. Tentu saja dengan banyak pertimbangan dari Albus Dumbledore yang sempat ragu dengan pilihannya ini. Tapi tak dapat dipungkiri, nilai Draco yang terbaik kedua diseluruh Hogwarts, kepengaruhan Draco yang besar di Hogwarts, dan terlebih lagi nama Malfoy yang tersohor membuatnya di segani banyak orang. Di tinjau dari segi itu, kandidat kedua pilihan Dumbledore, Harry Potter, tak bisa menang.

Setelah kita mengetahui siapa yang menduduki posisi Ketua Murid Putra, mari kita lirik patner sang Ketua Murid Putra. Dan disanalah bertahta seorang gadis cantik, berambut ikal semak-semak yang berwarna cokelat, bermata cerdas berwarna cokelat madu, sahabat Harry Potter – the choosen one – dan Ronald Weasley – si darah penghianat –, murid tercerdas di seluruh Hogwarts, berprilaku baik, favorite setiap Profesor yang mengajar di Hogwarts, seorang Muggle-Born, Hermione Jean Granger. Tidak pernah diragukan, tak pernah ada saingan, tak ada yang pantas menjabat Ketua Murid Putri Hogwarts di tahunnya itu selain Putri Gryffindor itu. Putri Gryffindor favorite Dumbledore.

RUANG REKREASI KETUA MURID, 40 MENIT SEBELUM MAKAN MALAM.

Sang Pangeran Slytherin sedang mencumbu seorang cewek berambut pirang yang seragam Hufflepuff-nya sudah terbuka lebar mengekspos tubuh bagian atasnya yang menggoda di sebuah sofa didekat perapian.

"Draco…" desah cewek itu menikmati cumbuan Sang Pangeran Slytherin. "Ti… tidak ah… kita pindah… ke kamar… ah…" cewek itu mencoba berkata-kata di sela desahannya.

"Tidak ada orang disini" jawab Draco tak perduli melanjutkan kesenangannya.

"Ta… tapi… Grang… ah…"

"Granger sedang berada di perpustakaan" jawab Draco sekedarnya.

Dan kemungkinan besar jawaban Sang Pangeran Slytherin itu benar, mengingat kebiasaan Hermione sebagai kutu buku sejati. Tapi kali ini, bukan, malam ini, jawaban itu salah. Hermione memanjat masuk ke Asrama Ketua Murid dan mendapatkan pemandangan yang membuat matanya tercemari begitu mendapati tontonan gratis di ruang rekreasi Ketua Murid.

"MALFOY!" seru Hermione marah, sukses membuat dua insan itu menghentikan kegiatan 'bersenang-senang' mereka.

"Ck, Granger, kau menginterupsi di saat yang menarik" cibir Draco sebal memakai kembali kemejanya sambil berjalan ke meja yang menempel di dinding sisi kanan ruang rekreasi, sedangkan wajah si Hufflepuff memerah malu sambil memakai kembali bajunya.

"Potong 50 poin dari Slytherin" geram Hermione. "Dan" tambahnya menoleh pada si Hufflepuff. "30 poin dari Hufflepuff"

"30 poin dan 2 detensi" tambah Draco datar.

"APA?!" tanya keduanya kaget.

"Kau harus mengajarkan disiplin, pemotongan poin saja tidak cukup" kata Draco santai menuangkan air kedalam gelas bening dan meneguknya.

"Kau yang mengajaknya melakukan, er…" kata Hermione menggeram dan tidak berani mengatakan kata 'sex' yang menurutnya taboo.

"Salahnya sendiri dia mau" kata Draco enteng membuat si Hufflepuff menatap tidak percaya pada Sang Pangeran Slytherin itu. "30 poin dan 2 detensi" kata Draco datar membuat si Hufflepuff menahan air matanya.

Hermione menatap Draco tak percaya. Emosi memuncak membuatnya hampir mengambil tongkatnya dan melemparkan kutukan kepada Sang Pangeran Slytherin kalau bukan logikanya yang menghentikannya – logika yang memperhitungkan plus-minus dalam menyerang si musang pirang brengsek itu –. Hermione menghampiri si Hufflepuff yang sekuat tenaga menahan tangisnya.

"Potong 50 poin dari Slytherin dan 3 detensi untukmu, Malfoy" kata Hermione menggeram. Membuat Draco menatap horror pada Hermione dan membuat si Hufflepuff tersenyum kecil. "Dan 30 poin dari Hufflepuff dan 1 detensi untukmu" kata Hermione tenang pada si Hufflepuff. Hermione membantu si Hufflepuff bangkit dari sofa, merapihkan seragam si Hufflepuff seperti ibunya, dan menepuk pelan punggungnya. "Kembalilah, kau mau ke Aula Besar untuk makan?" tanya Hermione lembut.

"Ti, tidak, terima kasih" jawab si Hufflepuff pelan dan serak.

Draco hanya mendengus dan mendapat pelototan maut dari Hermione. Hermione kembali menatap si Hufflepuff dengan lembut.

"Aku akan antar ke asramamu dan bisa memanggil peri rumah untuk membawakanmu makanan" kata Hermione menuntun si Hufflepuff menuju pintu keluar. Si Hufflepuff mengangguk. "Dan, Malfoy, jangan membuat suatu keributan lagi, aku benci mengingatkanmu kalau jabatanmu itu sebagai Ketua Murid Putra, jadilah contoh yang baik!" geram Hermione sebelum keluar.

Draco mendengus tidak perduli. Ck, Hermione Granger, benar-benar menyebalkan. Mengganggunya disaat yang menyenangkan, dan sekarang dia menolong mangsanya. Bahkan bersikap baik padanya! Draco baru saja mulai menikmati saat si Hufflepuff menahan tangis ketika dia mengusulkan detensi, memandangnya dengan tekejut dan ada amarah dalam matanya. Oh, Merlin, itu sangat menyenangkan melihatnya tersakiti seperti itu. Sayang, Sang Putri Gryffindor, penyelamat para mangsanya datang tepat waktu. Bahkan memberikan 3 detensi! Dan 50 poin asramanya diambil!

Draco meletakan gelas air putihnya dan menghempaskan tubuhnya di sofa hendak memejamkan matanya, ketika pintu asramanya kembali terbuka dan kepala Hermione menyembul masuk.

"Makan malam 20 menit lagi, jadi cepat turun sebelum kau melewatkannya" kata Hermione. "Dan, Malfoy, perhatikan apa yang kau makan" tambahnya lalu menarik keluar kepalanya tanpa perlu mendengar jawaban Sang Pangeran Slytherin.

Draco hanya menghela nafas. Granger baru saja membentaknya, menggeram padanya, memberikan detensi padanya, memotong poin asramanya kurang dari 2 menit yang lalu. Dan baru saja dia kembali mengingatkannya jam makan malam dan berhati-hati dalam memakan sesuatu. Yeah, tentu, sejak 2 minggu lalu Hermione selalu menambahkan kata-kata 'Dan, Malfoy, perhatikan apa yang kau makan' ketika mengingatkannya jam makan. Kenapa? Karena 3 minggu lalu Draco yang sangat lapar setelah latihan keras Quidditch Slytherin, memakan tanpa memperhatikan bahkan tak mengingat apa yang dimakannya. Malamnya, Hermione yang kerepotan karena ternyata dari daftar makanan yang di santap membabi buta oleh Draco ada 1-2 jenis yang membuatnya alergi. Terlebih lagi, Draco berakhir di Hospital Wings selama 3 hari karena alerginya.

Well, walaupun Darah Lumpur itu pemarah, menyebalkan, cerewet, dan banyak sikap buruk lainnya dalam dirinya, tapi sepertinya sikap Granger yang perhatian itu tak bisa dihilangkan. Berkali-kali dia memaki dan membuat Granger benci padanya, tetap saja pada akhirnya sifat caring Granger tak berkurang sedikitpun. Awalnya dia pikir karena Granger suka padanya, tapi ternyata tidak, Granger memang perhatian pada semuanya. Semuanya, termasuk Slytherin. Ketika Blaise dan dia baku hantam karena Pansy, dia lebih mendahulukan menolong Blaise. Well, saat itu luka Blaise memang lebih parah. Setelah itu mengobati luka Draco lalu mencoba menenangkan Pansy yang shock. Demi Merlin! Pansy dan Granger benar-benar tak bisa disatukan, tapi tetap saja sifat caring Granger sepertinya terlalu rakus sampai-sampai Pansy saja – untuk sejenak – takluk pada Granger saat itu. Setelah Pansy sudah tenang, Pansy kembali pada Pansy yang dulu. Pansy si Anti-Granger. Dan kenyataan bahwa sifat caring Granger berlaku untuk umum membuatnya sedikit kecewa begitu mengetahuinya. Apa? Kecewa? Kau gila Draco! Kau berharap Darah Lumpur itu suka padamu? Batin Draco berkecamuk.

"Ck, darah lumpur cerewet" gumam Draco. Walaupun begitu, Draco bangkit dari sofa dengan ogah-ogahan dan keluar dari asrama Ketua Murid menuju ke Aula Besar untuk makan malam. Dan tentunya, dia akan memperhatikan apa yang akan dimakannya malam ini.

RUANG REKREASI HUFFLEPUFF, JAM MAKAN MALAM.

Hermione merangkul si Hufflepuff korban Draco yang sedang terisak sambil memegangi sekotak tissue.

"Aku tidak percaya! Dia mengusulkan untuk memberikan detensi!" kata si Hufflepuff terisak. "Aku sudah menyuruhnya untuk pindah ke kamar, tapi dia menolak" isaknya lagi.

Hermione memutar bola matanya. Dia sudah terbiasa dalam mengatasi korban-korban Draco Malfoy yang terisak. Hermione terkadang merasa sedih menatap para korban malang Draco Malfoy. Mereka tidak lebih dari pada mainan penghibur Sang Malfoy – tidak, Hermione takkan pernah mengakui gelarnya sebagai Sang Pangeran Slytherin. Sang Malfoy saja sudah cukup, well, dengan sedikit ketidak relaan –. Yang bisa dilakukan Hermione hanya diam, merangkul, mendengarkan semua uneg-uneg mereka, dan menenangkan. Mereka terlalu polos, mereka semua tertipu dengan wajah licin Sang Malfoy. Itulah yang Hermione batinkan.

Dan disinilah Hermione, mencoba menenangkan si Hufflepuff korban Sang Malfoy yang bahkan tidak diketahui namanya oleh Hermione. Hermione tidak bisa menutup mata dan tidak perduli ketika melihat betapa tersakitinya hati para mainan penghibur Sang Malfoy. Dia tidak bisa sama sekali. Terkadang, Hermione menyesali dan mengutuki sifat caring-nya yang berlebihan. Itu membuatnya lelah, dan membuatnya tidak bisa menutup mata bahkan untuk seorang Malfoy. Malfoy yang selalu menghina dan ribut dengannya! Ketika dia terluka setelah latihan Quidditch atau alergi makanan atau habis baku hantam dengan Ron atau Harry, Hermione pasti mengobatinya. Well, kalau habis baku hantam dengan Ron atau Harry, jelas Hermione mencemaskan kedua sahabatnya itu dulu. Tidak perduli kalau luka Malfoy dua kali lebih parah dari mereka. Tapi tetap, pada akhirnya dia juga akan mengobati Malfoy.

Peri Rumah bernama Kreacher muncul di ruang rekreasi Hufflepuff dengan sebuah nampan besar berisi makanan untuk 2 orang. Si Hufflepuff mulai tenang tak terisak lagi begitu Peri Rumah itu hadir.

"Thank you, Kreacher" kata Hermione tersenyum lembut.

"Anytime, Miss Granger" jawab Kreacher membungkuk hormat lalu menghilang, kembali ke dapur.

Hermione mengelus-elus lembut punggung si Hufflepuff dan si Hufflepuff membalas dengan senyum tulus dan penuh terima kasih pada Hermione.

"Kita makan?" ajak Hermione.

Si Hufflepuff mengangguk. Padahal dia tadinya tidak ada selera makan sama sekali, tapi setelah meluapkan semua perasaannya pada Hermione justru membuatnya sangat lapar. Menangis benar-benar menguras tenaganya. Terlebih lagi, dia sudah merasa lebih tenang.

Hermione dan si Hufflepuff makan sambil bertukar cerita. Setelah itupun si Hufflepuff dengan cerianya dan semangat menceritakan ini-itu tentangnya, seakan dia sudah lupa bahwa satu jam yang lalu dia dicampakan begitu saja oleh Draco. Hermione tersenyum lega begitu senyum lebar si Hufflepuff kembali menghiasi wajahnya. Dia terus bercerita dengan semangat sampai lupa waktu. Anak-anak Hufflepuff lainnya sudah setengahnya kembali ke dalam asrama, dan itu kode Hermione untuk kembali ke asramanya.

"Kau akan pergi, Mione?" tanya si Hufflepuff itu kecewa.

"Aku harus kembali ke asramaku. Dan aku juga harus berpatroli nantinya" kata Hermione tersenyum. "Kau tahu, kita bisa melanjutkannya lain kali. Kalau kau perlu teman bicara, cari aku saja, okay?" kata Hermione tersenyum menepuk bahu si Hufflepuff itu lembut.

"Kau tahu, Mione" kata si Hufflepuff tersenyum. "Aku beruntung di campakan Draco dan bisa berbicara denganmu. Kau benar-benar… menenangkan" katanya tersenyum.

Hermione hanya tersenyum kecil. Pujian itu sudah biasa juga didengarnya dari para korban Sang Malfoy. "Kau tahu? Masih banyak pria yang jauh lebih baik daripada seorang Malfoy" kata Hermione tersenyum. "Aku pergi, ya"

Si Hufflepuff mengangguk semangat sambil tersenyum. Hermione membalas senyum itu dan keluar dari asrama Hufflepuff lalu menuju ke asrama Ketua Murid.

RUANG REKREASI KETUA MURID, 15 MENIT SETELAH PATROLI MALAM.

Hermione menghela nafas lelah setelah memanjat masuk ke dalam asrama Ketua Murid. Ruang rekreasi Ketua Murid itu tenang dan hanya ada seorang cowok berambut pirang platina yang dengan ekspressi bosannya membaca buku tebal Hermione yang ditinggalkannya di situ kemarin malam.

Merasakan kehadiran mahluk lain selainnya dirinya, Sang Pangeran Slytherin itu menoleh dan mendapati gadis rambut semak-semak berwarna cokelat dengan mata cokelat madunya yang cerdas namun tampak lelah, Sang Putri Gryffindor.

Draco menatap Hermione yang menghela nafas lelah, lalu matanya mengikutinya begitu dia menyeret kakinya menuju sofa single favorite Sang Putri Gryffindor yang bersebrangan dengan sofa tempat Draco duduk. Hermione menghempaskan tubuhnya di sofa dan untuk kesekian kalinya, dia menghela nafas.

"Kembali menjadi malaikat, Granger?" kata Draco mencemooh.

Hermione hanya memutar bola matanya dengan malas tanpa menjawab. Hermione sedang lelah saat ini, dia sedang malas meladeni cemoohan Draco.

"Ck, kau bertingkah begitu malah terlihat munafik. Seberapa baiknya kau, tetap saja tidak mengubah semua kotoran dalam darahmu, Mudblood" kata Draco merendahkan Hermione.

Hermione memejamkan matanya erat-erat dan menggenggam kedua lengan sofanya dengan erat. Saat ini dia sangat lelah, dan cemoohan Draco benar-benar membuatnya ingin sekali membunuhnya. Draco tersenyum puas melihat seberapa keras Hermione tidak membalas cemoohannya dan menahan amarahnya.

Hermione paling benci ketika dia tetap tidak bisa mengurangi rasa caring pada Malfoy sedikitpun. Bahkan ketika perlakuannya seperti saat ini. Caring… caring! Batin Hermione membuka matanya tiba-tiba membuat Draco terkejut. "Kau tidak salah makan lagi, kan?" tanya Hermione was-was.

Draco yang tadinya terkejut sekarang malah menatap Hermione dengan bosan dan datar. Ck, barusan dia menghinanya dan sekarang dia jadi tidak mood lagi menghina Hermione karena sifat caring Hermione keluar lagi. "Tidak. Aku sudah makan dengan hati-hati" jawabnya malas. "Mudblood" tambahnya dengan seringai khasnya yang merendahkan.

"Okay, cukup" kata Hermione bangkit dari sofa.

Draco waspada dan siap mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Kau sudah mandi?" tanya Hermione.

"Hah?" tanya Draco heran.

"Kau mendengarku, Malfoy" kata Hermione malas.

"Ck, kenapa kau menanyakan hal seperti itu. Kau bertingkah seperti ibu-ibu, Granger" cela Draco.

Hermione hanya diam mengamati Malfoy. "Rambutmu masih setengah basah, berarti kau sudah mandi. Dan, ck, Malfoy, bukannya sudah kubilang, keringkan rambutmu dengan benar! Kau bisa sakit!" omel Hermione dengan kedua tangannya sisi-sisi pinggang rampingnya.

"Ini rambutku, Mudblood. Terserah aku!" kata Draco kesal diperlakukan seperti anak umur 5 tahun.

"Terserah kau, Ferret tolol" kata Hermione kesal, berbalik. Hermione menaiki tangga menuju kamarnya lalu keluar lagi menuju kamar mandi – diiringi sumpah serapah dari Draco sebagai backsoundnya –.

Setelah kurang lebih 30 menit Hermione berada dikamar mandi Ketua Muridnya, berendam dan melepas lelah seharian, ia keluar dengan senyumnya yang sumringah. Senyum itu semakin mengembang begitu tidak didapatinya si pirang platina brengsek itu di ruang rekreasi Ketua Murid. Mungkin sudah tidur, itulah pikiran Hermione. Hermione masuk ke kamarnya, mengambil semua barang-barang penunjang tugasnya lalu duduk dengan nyamannya di sofa favoritenya sambil mengerjakan tugas-tugasnya ditemani segelas cokelat hangat.

AULA BESAR, SAAT SARAPAN PAGI.

Hermione memasuki Aula Besar untuk sarapan dengan senyum sumringahnya. Sang Putri Gryffindor itu berjalan dengan anggunnya menuju ke meja Gryffindor dimana seorang pria muda tampan berambut hitam, bermata biru laut, dengan luka goresan petir di dahinya, Harry Potter menunggunya. Harry sudah duduk tenang disana sambil membaca Daily Prophet bersama dengan seorang pria berambut merah acak-acakan yang sedang menyantap sarapannya dengan lahap, Ronald Weasley.

"Pagi, Mione!" sapa seorang dari meja Hufflepuff melambai pada Hermione dengan semangatnya.

Hermione yang merasa namanya dipanggil, menoleh dan menemukan si Hufflepuff korban Draco semalam. Dengan senyum menyejukan, Hermione membalas melambai membuat beberapa cowok di meja Hufflepuff menatap takjub dan tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari Sang Putri Gryffindor itu.

Draco hanya mendengus menatap pemandangan dimana Hermione berjalan ke meja Gryffindor diiringi sapaan-sapaan dari tiga perempat korban-korban Draco yang dulu pernah di selamatkannya. Dan yang paling membuat Draco sakit mata adalah bagaimana setengah penghuni laki-laki asrama Hogwarts menatapnya dengan nafsu dan – ah, kenapa kau harus peduli, Draco! –.

"Hai, Draco!" sapa Pansy dengan manjanya bergelayut di lengan Draco.

"Pans" jawab Draco sekenanya.

Pansy mengobrol dengan Draco tanpa melepaskan tangan kanan Draco. Draco hanya menanggapi sekenanya, dia tidak teratrik. Kejadian pagi ini di asrama Ketua Murid membuatnya malas – selalu –.

FLASHBACK

"Malfoy! Buka pintunya sekarang!" perintah suara nyaring menyakitkan telinga yang membangunkan Draco dari tidurnya.

Demi Merlin! Si darah-lumpur Granger itu benar-benar mengesalkan!, maki Draco dalam hati menutupi kepalanya dengan bantal.

"MALFOY! BANGUN DAN MANDI SEKARANG JUGA!" perintah Granger yang mengeraskan suaranya. Oh, aku yakin dia menusukan tongkatnya ke lehernya supaya suaranya 10 kali lebih keras, batin Draco malas.

Draco – pada akhirnya – bangun dan dengan malas-malasan menuju ke pintu kamarnya, membukanya, dan menemukan Granger sudah rapih dengan kedua tangan di kedua sisi pinggangnya yang ramping dengan mata melotot ke Draco. Ah, Draco benci ini, posenya yang seperti itu semakin memperlihatkan betapa arrogantnya Sang Putri Gryffindor – tunggu, tadi aku bilang dia putri? Ah, lupakan, ganti kata Putri dengan darah-lumpur. Sang darah-lumpur Gryffindor –.

"Ada apa, Granger?" tanya Draco malas dan sebal.

"Kau tidak mendengarku, Malfoy?" tanya Granger sebal. "MANDI SEKARANG JUGA! SARAPAN DIMULAI 30 MENIT LAGI!" perintah Granger keras.

"Jangan perintah aku, darah-lumpur!" balas Draco menusuk.

Granger langsung memanggil baju mandi Draco yang mendarat halus di bahu Draco, lalu dengan tongkat sihir yang mengacung pada Draco, dia memantrainya, memindahkan tubuhnya masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu kamar mandi dengan mantra.

"GRANGER!" geram Draco dari kamar mandi.

Draco mandi sambil menyerukan sumpah-serapah dari kamar mandi. Tapi, Granger tak membalasnya. Lelah – dan kesal – karena tak ditanggapi, Draco melanjutkan mandinya dalam diam.

"Malfoy! Dimana buku Transfigurasimu! Oh, Merlin! Bukannya sudah kusuruh kau untuk membereskan kamarmu ini!" kata Granger mengomel dari kamar Draco.

Ck, pasti saat ini Granger sedang membereskan buku-buku pelajarannya hari ini. Dia selalu begitu, hidup dengan Granger serasa hidup dengan seorang ibu-ibu cerewet yang terobsesi dengan kedisiplinan, keteraturan, dan kebersihan.

"Cari saja, Granger! Mungkin di kolong tempat tidur" jawab Draco malas sambil menggosok giginya.

Dia sempat mendengar Granger mengumamkan sesuatu – tapi tak jelas – dengan nada kesal. Ah, dia pasti mengomentari ini-itu tentang kamar Draco yang tidak terlalu rapih itu.

Draco keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan baju mandi yang menutupi tubuhnya. Dia masuk ke kamarnya dan mendapati Granger masih disana memasukan buku-buku pelajarannya hari ini ke dalam tasnya yang berada di tempat tidur. Granger yang membelakanginya tidak menyadari kehadiran Draco, Draco sejenak hanya diam dan menatap Granger dari belakang, membuatnya sedikit – err – bergairah. Dia darah-lumpur, Draco! Dimana akal sehatmu!, pikir Draco. Draco menggeleng-gelengkan kepalanya, dia menuju ke samping cermin dimana seragam Slytherinnya tergantung rapih di sana. Dia mulai mengganti baju tidak memperdulikan keberadaan Granger yang masih sibuk dengan peralatan sekolahnya.

"Draco! Dimana essay ramuanmu?" tanya Granger setengah berteriak karena dia tidak tahu Draco sudah berada di ruangan yang sama dengannya.

"Di laci meja sebelah kanan tempat tidur" jawab Draco datar memakai celananya.

Granger tanpa menoleh pada Draco berjalan ke meja di sebelah kanan tempat tidur Draco, membukannya dan menatap sekilas 4 lembar perkamen itu lalu menggulungnya dengan rapih dan kembali ke tempat dimana tas Draco berada. Membereskan lagi lalu berbalik menatap Draco yang sedang memakai dasinya dengan asal-asalan. Ini memang bukan keahlian Draco. Granger kembali bertolak pinggang dengan kesal karena melihat rambut pirang platina Draco yang masih setengah basah. Granger dengan satu lambaian tongkat ringan membuat rambut pirang platina Draco kering seketika. Draco berbalik menatap Granger, frustasi dengan dasinya. Granger dengan lambaian tongkat ringan – lagi – membenarkan dasi Draco. Setelah Granger membenarkan dasinya, Draco kembali berbalik mengambil jubahnya. Granger keluar begitu dia melihat tampilan Draco sudah cukup rapih, tidak bisa dikatakan rapih, tapi cukup.

Granger kembali ke kamarnya. Draco yang sudah siap mengambil tasnya yang sudah dirapihkan Granger dan pergi duluan menuju ke Aula Besar. Benar-benar, deh, Granger itu sudah seperti ibu-ibu. Bahkan Ibunya sendiri tidak secerewet itu. Apakah semua darah-lumpur itu cerewet? Batin Draco sebal melangkahkan kakinya ke Aula Besar.

Padahal Draco sudah memakinya, mengancamnya, dan melakukan apapun supaya Granger berhenti bersikap seperti itu padanya, tapi sepertinya sikap itu sudah mutlak seperti sifat caring-nya. Sifat itu seperti gerak reflek yang sulit, bahkan tidak bisa dihilangkan dari seorang Hermione Jean Granger – tunggu, kenapa aku menyebut namanya selengkap-lengkapnya? Ah, lupakan –.

"Draco! Kau tak mendengarkanku!" protes Pansy kesal.

"Aku tidak tertarik dengan omonganmu, Pans!" jawab Draco kesal.

Pansy mendengus kesal tapi kembali melanjutkan obrolannya yang tak ditanggapi sedikitpun oleh Draco.

Nah, Setelah kita lihat keadaan Sang Panger Slytherin, mari kita tengok patnernya yang bertolak belakang dengannya, Sang Putri Gryffindor. Hermione duduk masih dengan senyum sumringahnya yang membuat Draco jengah melihatnya. Berbicara akrab dengan Harry, Ron, Ginny, Neville, Dean, dan beberapa anak Gryffindor lainnya sambil sesekali mengomeli Ron karena makan sambil bicara. Pembicaraan pagi itu tampak tenang, Seamus datang dengan wajah lelah namun tetap tersenyum lega membuat kelompok itu terdiam sejenak mengamatinya. Seamus duduk di samping Neville, meneguk jus labu, menghirup nafas panjang dan dalam lalu menghembuskan nafasnya perlahan.

"Pelahap Maut menyerang rumahku semalam" kata Seamus pelan dan lelah membuat suasana pagi yang tenang dan bersahabat di tengah kelompok itu berubah drastis menjadi dingin dan mencekam.

Hermione menatap ngeri. Dean refleks mencengkam tangan Neville erat. Semua menatap Seamus terkejut, prihatin, dan… sulit untuk disampaikan.

"Tapi untungnya tidak apa-apa. Orde sudah mengamankan orang tuaku seminggu sebelumnya" kata Seamus tersenyum dengan lega.

Semua – yang tanpa disadari menahan nafas sedari tadi – menghembuskan nafas lega. Dean mengangguk. Orang tua Dean sudah diamankan oleh orde sebulan yang lalu. Namun tidak dengan Hermione. Kabar itu menerpanya bagai topan. Benaknya terus terbayang bagaimana jika Pelahap Maut datang ke rumahnya, mereka tidak mengerti sama sekali. Mereka 100% Muggle! Berbeda dengan Seamus yang ibunya seorang penyihir. Setidaknya ibunya masih bisa membuat perlindungan. Tapi orang tua Hermione tidak. Mereka tidak mengerti apa-apa. Mereka benar-benar buta dunia sihir.

"Mione?" tanya Ginny cemas melihat perubahan raut wajah Hermione. Tak ada senyum sumringah lagi di wajahnya, di wajahnya hanya tertera rasa takut, cemas, dan gelisah.

"Tenang saja, Mione, orde akan bertindak" kata Harry menenangkan merangkul bahu Hermione dengan hangat.

"Kenapa kau tidak minta orang tuamu dipindahkan oleh orde? Mereka pasti tidak keberatan" usul Ron.

"Hm-mm, aku akan minta" jawab Hermione lemas dan berusaha memaksakan untuk tersenyum.

"Tapi, Mione, kau sudah mengatakan itu sebulan yang lalu. Tapi sampai sekarang kau tidak memberi tahu orde sama sekali" kata Neville.

Hati Hermione terasa seperti di tusuk sebilah pisau. "Aku-akan-minta-Neville. Jangan mendesakku!" protes Hermione berdiri dari tempat duduknya menarik perhatian sekitar mereka. Entah kenapa emosi Sang Putri Gryffindor itu memuncak dengan cepat. "Aku duluan" kata Hermione cepat lalu pergi meninggalkan teman-temannya yang menatap Hermione dengan aneh.

KELAS TRANSFIGURASI.

Beberapa orang menyadari perubahan drastis sifat Hermione, dan terlihat jelas di kelas Tranfigurasi ini. Hermione duduk di paling pojok kiri, dengan wajah lesu, jauh dari Profesor McGonagall, jauh dari Harry dan Ron. Dia tidak mengangkat tangan, tidak berinisiatif menjawab bila ada pertanyaan dan cenderung pasif. Satu yang tak berubah, dia tetap mencatat setiap kata yang Profesor McGonagall ucapkan. Harry dan Ron tak henti-hentinya melirik dengan cemas ke arah gadis berambut semak-semak cokelat itu, tapi Hermione hanya menunduk dan mencatat. Draco sendiri sangat menyadari keanehan patner Ketua Muridnya itu sejak setelah sarapan. Setelah kedatangan Seamus yang tak diketahuinya membawa kabar buruk apa sampai merubah mood Hermione menjadi turun drastis seperti ini.

"Hei, perasaanku saja atau Granger berubah menjadi bisu hari ini?" bisik Blaise pada Draco.

Kalian bingung mereka masih berteman padahal sempat dikatakan keduanya baku hantam? Yap, karena Hermione dengan sifat caring-nya yang berlebihan mendengarkan uneg-uneg Blaise sambil mengobatinya pasca baku hantam dengan Draco. Memberi sedikit motivasi dan saran hingga sampai saat ini keduanya masih tetap berteman.

Yeah, dia memang aneh, batin Draco dalam hati. "Itu lebih baik, mungkin dia sadar kalau suaranya itu berisik dan mengganggu telinga" jawab Draco asal dan berusaha terlihat tidak perduli.–Apa? Berusaha? Tidak! Draco, kau tidak harus berusaha, kau memang seharusnya tidak perduli! Kau semakin aneh, Draco!–

"Kau yakin tidak tahu, Draco? Maksudku, apa terjadi sesuatu pada Granger pagi ini di asrama Ketua Murid?" tanya Pansy sedikit penasaran.

Draco mengangkat bahu tidak perduli. Aneh, bahkan seorang Pansy Parkinson yang Anti-Granger menanyakan alasan perubahan sikap Hermione saat ini – tunggu dulu, apa tadi aku bilang Hermione? Ah, lupakan, ganti kata itu dengan Granger atau darah-lumpur –, lagi-lagi ada pertarungan dalam benak Draco.

Draco mengalihkan pandangan sejenak dari Hermione ke arah kedua sahabat Hermione, Harry dan Ron yang sesekali melirik cemas ke arah Hermione. Berdebat sesuatu dengan serius lalu kembali menatap Hermione dengan cemas. Lalu kembali berdebat, lalu kembali menatap Hermione dengan cemas. Dan terus begitu sampai pelajaran Tranfigurasi berakhir.

Begitu pelajaran selesai, Hermione langsung membereskan buku-bukunya dan beranjak meninggalkan kelas terburu-buru, namun suara dalam dan tegas dari Profesor McGonagall menghentikan langkahnya.

"Miss Granger, bisa tolong tinggal disini sebentar? Ada yang perlu kubicarakan" kata Profesor McGonagall tenang dan membuat pasangan mata seluruh kelas memandang ke arahnya.

Hermione dengan enggan berbalik dan kembali menuju ke tempatnya. Perlahan kelas mulai kosong. Sampai tinggal Harry, Ron, dan Draco di kelas itu.

"Mr. Potter, Mr. Weasley, dan Mr. Malfoy, apa yang kalian tunggu disini?" tanya Profesor McGonagall heran.

"Kupikir anda ingin membicarakan sesuatu pada Granger tentang kinerja Ketua Murid mungkin" jawab Draco asal.

"Tidak, Mr. Malfoy, ini bukan soal itu. Dan, ini tidak ada kaitannya dengan kalian berdua, Mr. Potter, Mr. Weasley. Jadi silahkan kalian bertiga keluar" tegas Profesor McGonagall tenang.

Ketiganya menatap Hermione yang menunduk dengan cemas, lalu dengan enggan ketiganya keluar. Draco duluan yang meninggalkan ruang kelas itu, disusul oleh Harry dan Ron.

"Miss Granger" panggil Profesor McGonagall – setelah ketiga pria muda itu keluar dari ruang kelas transfigurasi – tenang namun tetap tak bisa menutupi nada cemasnya.

"Ya, Profesor?" tanya Hermione mengangkat wajahnya menatap Profesor McGonagall. Wajahnya terlihat frustasi, lesu, dan gelisah. Seratus delapan puluh derajat berbeda dari wajah Hermione yang biasanya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Profesor McGonagall cemas.

'Kau baik-baik saja?' Hermione sangat tidak ingin mendengar kata-kata pertanyaan tolol itu saat ini. Dia berusaha untuk mencoba baik-baik saja, tapi semua itu tak berhasil. Semua orang yang melihatnya tahu dia tidak baik-baik saja, jadi dia sangat muak ketika pertanyaan itu terlontar untuknya dimana pertanyaan itu akan membawanya untuk mendiskripsikan perasaannya saat ini. Sesuatu yang sedang dan sangat Hermione hindari saat ini.

Hermione hanya tersenyum paksa terhadap Profesor yang mengajar kelas favoritenya sejak dia bersekolah di Hogwarts itu.

"Profesor, apa yang ada ingin bicarakan?" tanya Hermione mencoba mengalihkan topik.

"Hermione, dear" panggilnya cemas.

Oh, Merlin! Profesor McGonagall mengeluarkan sifat keibuannya saat ini. Melihat Hermione yang frustasi itu benar-benar tidak bisa menenangkannya, membuat dia melepaskan peran seorang Profesor yang tegas dan disiplin.

"Kurasa aku hanya butuh waktu untuk istirahat sejenak, Profesor" jawab Hermione mencoba tersenyum.

"Ya, kurasa itu yang perlu kau lakukan saat ini, dear" katanya lembut membelai rambut semak-semak cokelat Hermione. "Kembalilah ke asramamu. Aku akan membuatkan surat kepada Profesor kelasmu hari ini"

"Tidak, Profesor. Tidak bisa seperti itu" tolak Hermione halus.

"Tidak, Hermione, kau butuh istirahat yang cukup sebelum kau tumbang nantinya. Kembali ke asramamu dan beristirahatlah, okay?" perintahnya lembut.

Hermione berpikir sejenak, yeah, sepertinya dia memang butuh istirahat – dan mengistirahatkan otaknya –. Hermione menatap kembali ke wanita tua yang sedang menatapnya dengan cemas. Tidak ada yang pernah melihat ekspressi yang sangat cemas tergambar di wajah tegas Profesor McGonagall. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Hermione mengangguk dan menyetujui saran Profesor McGonagall. Profesor McGonagall tersenyum lega ketika Hermione mengambil sarannya. Profesor McGonagall mengantar Hermione sampai di depan asrama Ketua Murid dan memastikan bahwa Hermione benar-benar masuk ke sana.

*_*_*_*TBC*_*_*_*