.
.
.
Aku merasa hampa, aku kehilangan semuanya.
.
.
.
Goodbye, First Love
a Naruto fanfiction
by syugarrr
NARUTO 1999 Kishimoto Masashi
.
.
.
"322... 323... 324..."
Sang surya bersinar sangat terik di siang hari itu. Panasnya yang menusuk membuat banyak orang memilih untuk tinggal di dalam ruang, dibanding keluar berpanas-panasan. Namun tidak untuk lelaki berambut bob itu. Dirinya masih sibuk melakukan push-up dengan satu tangannya. Peluh tak henti-hentinya menetes dari wajahnya. Dahinya mengkerut, wajahnya mengeras, menunjukkan bahwa lelaki bernama Rock Lee itu benar-benar bekerja keras.
Tubuh Lee terasa sedikit bergetar ketika ia merasakan lemparan sebuah batu kecil mengenai punggungnya. Ia menoleh kearah batu kecil itu berasal. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman.
"Oh, Tenten! 328... 329... 400..."
"Ayolah, Lee. Jangan berlatih terus," Tenten meniup poninya cukup sebal, "berhenti dan istirahat. Kau sudah berlatih sejak pagi buta tadi."
"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah berlatih semenjak pagi buta tadi?"
"Hampir sepuluh tahun kita satu team, Lee. Aku sudah hafal sekali rutinitasmu," Tenten melompat dan duduk diatas sebuah batang pohon terpotong setengah. Duduk bersila sambil menopang dagunya dengan tangan. Kedua mata dengan iris kecokelatannya menatap rekan satu teamnya.
"420... 421... 422..."
"Lee! Kau dengar tidak?"
"425... Tunggu, 425? Sampai berapa aku—akh!"
Tubuh lelaki itu ambruk ke tanah. Lee berbaring telungkup di atas tanah itu. Matanya terpejam, nafasnya terengah-engah.
"Lihat, 'kan?" Tenten melompat turun. Gadis itu mendekati Lee dan mengulurkan tangannya. Ia menarik temannya itu untuk berdiri ketika Lee menerima uluran tangannya. "Ayo makan siang, Lee. Kau pasti belum makan sejak tadi pagi."
"Dari semalam, lebih tepatnya," Lee menunjukkan cengirannya. Lelaki berbaju hijau ketat itu merenggangkan seluruh tubuhnya sebelum mengikuti Tenten yang mulai meninggalkan lapangan latihan itu.
"Jangan paksakan tubuhmu terus, Lee. Kau bisa sakit nantinya,"
"Aku tidak pernah sakit, Tenten,"
"Apakah kau mau aku meminta Kazekage-sama untuk meremukkan setengah dari tubuhmu itu supaya kau sakit?"
Tatapan tajam dari gadis bercepol dua itu membuat sekujur tubuh Lee merinding. Ancaman itu tidak mengerikan, yang lebih mengerikan adalah Tenten marah. Sungguh. Tetapi, diremukkan oleh pasir Kazekage—alias Gaara—sebenarnya traumatisme juga bagi Lee. Gara-gara kalah dalam ujian chuunin itu, Lee hampir tidak bisa menjadi ninja lagi seumur hidup.
"Oh ya, Lee..."
"Ya, Tenten?"
Gadis itu menoleh kearah temannya itu, menunjukkan wajah khawatirnya, "kau tidak apa-apa?"
Sore ini aku akan datang.
"EEEH? SASUKE PULANG?!"
Bukan. Itu bukan suara Haruno Sakura, melainkan suara Uzumaki Naruto. Sebuah surat yang harusnya dibacakan oleh Sakura dan disimpan sendiri, justru dibeberkan oleh Naruto begitu saja. Suaranya yang lantang membuat beberapa pasang mata tertuju kearah mereka. Membuat gadis bersurai merah muda itu memanas.
"Berisik!"
Pukulan telak mendarat di kepala Naruto dengan cukup keras. Sang korban meringis pelan sambil mengusap kepalanya yang kesakitan, "k-kau benar-benar jahat, Sakura-chan,"
"Kau pantas menerimanya," Sakura mendengus. Ia membaca surat itu lagi dan tersenyum, "akhir-akhir ini Sasuke-kun sering memberiku kejutan."
"Oh ya? Tapi mengapa ia tidak pernah memberiku kejutan sama sekali? Padahal, aku ini temannya."
"Beda, Naruto! Lagipula, untuk apa juga ia memberimu—"
"Ah! Naruto, Sakura! Hisashiburi!"
Suara lain menginterupsi pembicaraan kedua insan itu. Menoleh kearah pintu masuk restoran, dimana Rock Lee dan Tenten berada.
"Naruto-kun!"
Lee berlari dan sontak memeluk Naruto dengan sangat erat, "aku merindukanmu, Naruto-kun! Hinata-san benar-benar membuatmu sibuk, ya?"
"Astaga— Lee lepaskan!"
Bukannya melepaskan pelukan yang begitu erat itu, Lee justru memperat pelukannya. Entah mengapa tiba-tiba kedua mata bulatnya itu mengeluarkan banyak air mata. Mungkin air mata sedih, atau bahagia. Mungkin juga, air mata palsu. Tapi apakah Lee pernah bersikap palsu di hadapan teman-temannya?
"Jangan begitu, Lee! Naruto dan Hinata 'kan, sudah menikah," Tenten menarik Lee supaya melepaskan pelukan dari Naruto itu. Juga supaya pengunjung lain mengalihkan pandangan dari mereka juga.
"Tapi aku benar-benar merindukan Naruto-kun..." Lee mengusap air matanya, kemudian mendudukkan dirinya di samping Uzumaki itu.
"Lee!" Ringis Tenten, saat mendapati pria berambut bob itu sudah mulai melahap daging panggang milik Naruto tanpa meminta izin. Bahkan, sebenarnya pun Lee belum diizinkan untuk duduk bergabung dengan team tujuh tersebut.
Naruto terkekeh, ia menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, "tidak apa-apa, Tenten. Kalian bergabung dengan kami saja. Lagipula 'kan, kita semua teman?"
"Ah, kau benar," Tenten tersenyum tipis. Ia melepas sandal ninjanya kemudian duduk di samping sang medicnin, "kalian sudah lama disini?"
"Tidak, baru saja. Bahkan kami belum memesan karena burung Sasuke—akh! Sakura-chan!"
Jika tadi kepala Naruto menjadi korban, kini adalah kakinya. Injakan Sakura sama kuatnya dengan pukulan tangannya itu. Sama-sama sakit.
"Sasuke-kun...?" Lee membulatkan matanya. Menatap gadis Haruno itu.
Sakura menghela nafas. Ia merasa sedikit malu, sehingga wajahnya terlihat cukup memerah. Sebenarnya, hanya mendengar nama Uchiha Sasuke disebut, ia cukup senang dan tersipu. Belum lama ini, murid kebanggaan Godaime Hokage itu menjalin hubungan dengan si bungsu Uchiha. Sebelum Hinata Hyuuga menyandang nama Uzumaki sebagai nama belakangnya, Sakura dan Sasuke telah berhubungan. Hampir semua orang tahu itu, terutama para anggota Konoha 11.
"Huff—" Sakura melipat kedua tangannya. Menatap kedua murid dari Guru Guy itu secara bergantian, "baru saja Sasuke-kun mengirimkan surat padaku melalui burungnya,"
"Iya, lalu?"
"...katanya ia akan datang sore ini."
"EEEEHH?"
"IYA, 'KAN?" Naruto menimpali keterkejutan itu dengan suaranya yang lantang, "aku juga sama terkejutnya dengan kalian tadi. Sungguh, bukan Sasuke namanya jika ia pulang cepat,"
"Benar! Bukankah Sasuke baru saja pergi minggu lalu?" Tenten menatap Sakura lekat-lekat, untuk memastikan jawabannya itu. Sang gadis bersurai merah muda hanya diam tak bersuara, namun anggukanlah yang ia gunakan untuk menjawab pertanyaan si weapon mistress itu.
"Jangan-jangan... Ada yang mau Sasuke-teme bicarakan padamu, Sakura!"
Tenten mengangguk antusias atas apa yang dikatakan Naruto itu, "ah, benar juga! Siapa tahu..." Gadis bercepol itu sedikit menundukkan tubuhnya, berbisik, "...dia akan melamarmu!"
Sontak, wajah Sakura memerah saat itu juga. Lebih merah dari yang tadi. Si gadis Haruno itu sudah dipastikan membayangkan bagaimana rasanya ia menikah dengan cinta pertamanya itu. Iya, cinta pertamanya. Cinta pertama yang membuatnya buta akan apapun. Bahkan, Sakura sempat mengorbankan diri supaya dapat ikut dengan Sasuke yang ingin bergabung dengan Orochimaru beberapa tahun silam. Cinta pertama yang membuat Sakura tidak berpaling dari Sasuke. Tidak membuatnya menyukai siapapun selain Sasuke. Hanya Sasuke. Uchiha Sasuke yang dulu sempat menjadi buronan.
Sama sekali Sakura tidak pernah menghiraukan cinta dari lelaki lain. Termasuk Lee.
"Kau pasti senang sekali akan bertemu Sasuke-kun lagi..." Lee tersenyum tipis. Suaranya terdengar lebih pelan dari sebelumnya, "iya, 'kan, Sakura-san?"
"Lee-san..."
Sang dewi malam sudah bergantung di angkasa raya ketika Lee terbangun dari tidurnya. Suara semilir angin yang berhembus malam itu membuatnya ingin kembali tertidur. Jika saja ia tidak ingat ia berada di pinggir sungai, murid kebanggaan Guru Guy itu pasti akan terus tertidur di hamparan rumput hijau itu hingga fajar menjemput. Angin yang terasa semakin dingin akhirnya membuatnya untuk bangkit dari berbaringnya. Seluruh tubuhnya ia renggangkan, mulai dari tangan hingga kaki. Tubuhnya sangat segar setelah tertidur kurang lebih tiga jam tadi. Rasanya, jika ia berlatih lagi setelah ini, Lee akan kuat.
Tetapi entah mengapa, malam ini Lee tidak memiliki semangat sama sekali. Semenjak bertemu dengan Naruto dan Sakura saat makan siang tadi, Lee kehilangan semangatnya yang biasanya selalu berapi-api. Seperti ada yang kurang, tetapi ia sendiri tidak tahu apa yang salah. Apakah Lee lapar? Tidak, ia justru sangat kenyang setelah makan daging panggang yang sangat banyak tadi siang.
Apakah Lee kesepian?
"Tch, kesepian. Melankolis sekali," Lee terkekeh pelan, berusaha menghapus anggapannya bahwa ia kesepian.
Kedua tungkai Lee mulai membawanya meninggalkan sungai tersebut. Membawanya tanpa arah, menyusuri jalan Konoha yang cukup sepi. Toko-toko sudah mulai tutup, dan lampu-lampu di pemukiman mulai padam. Menandakan bahwa seisi rumah tersebut sudah terlelap dan pergi ke alam mimpi. Sepertinya, pria berpakaian hijau ketat itu akan memilih untuk pulang dan beristirahat juga seperti kebanyakan orang lain. Mengumpulkan tenaga untuk esok hari.
Namun langkahnya terhenti di depan gerbang masuk pemakaman. Mata bulatnya tertuju kearah pemakaman yang sepi tanpa pengunjung itu. Tentu saja, malam telah tiba dan jarang sekali orang-orang berkunjung ke pemakaman pada saat malam hari.
"Neji," gumamnya, sambil berjalan memasuki pemakaman tersebut, "aku sudah lama tidak mengunjunginya,"
Hyuuga Neji merupakan teman pertama Rock Lee—itu pun kalau Neji juga mengakuinya sebagai teman. Si jenius Hyuuga yang sejak awal bertemu sudah Lee anggap sebagai rival. Si jenius Hyuuga yang angkuh. Si jenius Hyuuga yang ingin mengubah takdir sebagai anggota keluarga bunke. Hyuuga Neji yang setia melindungi adik sepupunya, Hyuuga Hinata—sekarang Uzumaki Hinata—hingga akhir.
"Hisashiburi, Neji," Lee duduk di depan sebuah makan dengan nisan bertuliskan Hyuuga Neji. Tangannya mengambil beberapa tangkai bunga kering dari tempat untuk menaruh bunga dan menggantinya dengan beberapa tangkai bunga yang baru saja ia petik tadi. "Maaf, aku baru datang. Akhir-akhir ini aku mendapatkan misi dan sering latihan,"
"Apakah Tenten sering kesini? Ah, tentu saja. Dia 'kan, sangat menyukaimu. Hampir setiap hari Tenten merindukanmu," Lee tersenyum miris. Tangannya terulur untuk mengusap batu nisan yang sedikit kotor itu. Nampaknya, akhir-akhir ini Neji jarang dikunjungi. Mengingat banyak sekali yang sibuk melakukan misi di berbagai tempat.
Pria berambut bob itu menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghelanya secara perlahan. Kedua mata bulatnya membaca huruf yang membentuk nama Hyuuga Neji satu persatu. Salah satu ujung bibirnya terangkat. "Aku merasa tidak semangat hari ini, Neji. Apakah karena aku merindukanmu?" Tawa khas seorang Rock Lee terdengar. Tetapi tawanya itu tidak berlangsung lama, hanya bertahan beberapa detik. Kemudian ia kembali diam. Meskipun Neji sangat menyebalkan dan angkuh, Lee tetap membutuhkannya. Semenjak Guru Guy divonis tidak bisa menjadi ninja lagi dan Neji pergi, team Guy bubar. Hanya tersisa Lee dan Tenten yang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Lee menundukkan kepalanya. Kedua tangannya tergerak untuk memeluk tubuhnya sendiri. Perlahan, satu tetes air mata mulai turun dari pelupuk mata ke pipinya. "Sial. Sial. Sial."
"Sial, Neji. Sial. Harusnya aku bisa menyelamatkanmu saat itu,"
Perang Shinobi Keempat memang sudah berakhir dua tahun yang lalu, namun pikiran untuk menyelamatkan Neji masih terus menghantuinya. Tidak jarang Lee mengutuk dirinya sendiri. Tidak bisa dianggap sebagai teman. Mungkin, jika Lee bisa menyelamatkan Neji waktu itu, semuanya tidak akan seperti ini. Setidaknya, Lee tidak akan kesepian. Setidaknya team Guy akan seperti dulu lagi, meskipun kondisi fisik Guru Guy tidak memungkinkan. Setidaknya, mereka bisa makan bersama di waktu luang. Menghabiskan waktu bersama seperti dulu kala.
Setelah menghabiskan sepuluh menitnya untuk menangis di depan makam Neji, Lee akhirnya bangkit berdiri. Mengusap matanya yang lembab dan mengacungkan ibu jarinya ke arah makam tersebut. "Aku pulang, Neji. Terima kasih sudah membiarkanku menangis disini. Aku akan lebih semangat setelah ini!"
Jounin tersebut berbalik dari makam, hendak pulang ke rumahnya namun sesosok pria menghentikan langkahnya.
"Sasuke-kun...?"
Uchiha itu datang terlambat. Siang tadi ia mengatakan pada sang kekasih bahwa ia akan sampai di Konoha pada sore hari. Nyatanya, Sasuke baru menginjakkan kakinya di desa yang tengah dipimpin oleh Hatake Kakashi itu pada malam hari. Hampir tengah malam. Firasatnya mengatakan bahwa Haruno Sakura pasti tengah menunggunya hingga semalam suntuk. Awalnya Sasuke berniat untuk langsung menuju ke rumah si gadis, namun ia berubah pikiran.
Memberikan laporan kepada Rokudaime Hokage, kah? Tidak. Ini sudah terlalu malam. Kakashi juga pasti sudah pulang ke rumahnya.
Pemakaman adalah tujuannya. Pemakaman selalu menjadi tujuan pertamanya setiap kali Sasuke pulang ke Konoha. Menjenguk makam kedua orangtuanya, sekedar menyapa dan menunjukkan dirinya masih baik-baik saja. Sayangnya, Itachi tidak dimakamkan di Konoha. Dimakamkan di tempat lain, nun jauh di sana.
Sasuke tidak mengira bahwa akan ada suara isak tangis menyambutnya ketika ia sampai di pemakaman tersebut. Seorang pria duduk di depan sebuah makam, menangis sambil memeluk dirinya sendiri. Dari fisik belakangnya saja, Sasuke sudah mengetahui bahwa pria itu adalah Rock Lee. Rock Lee yang sedang menangisi Hyuuga Neji. Berita tentang kematian Neji cukup membuatnya terkejut. Seorang jenius Hyuuga ternyata bisa mati di tengah perang, sedangkan seorang bodoh seperti Uzumaki Naruto justru selamat dan bahkan berjasa besar menyelamatkan dunia shinobi ini.
Si bungsu Uchiha tak lagi memikirkan Hyuuga Neji beserta Rock Lee yang masih terisak di depan makamnya. Sasuke memilih langsung ke makam kedua orangtuanya yang tidak jauh dari posisi Lee. Sasuke membersihkan kedua batu nisan bertuliskan nama Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto, kemudian membuang tangkai bunga yang kering. Ia akan menggantinya dengan yang baru besok setelah membelinya di toko bunga milik Ino.
"Sasuke-kun...?"
Mendengar namanya dipanggil, Sasuke mengangkat wajahnya. Menatap pria berambut bob, berpakaian hijau ketat, memiliki alis yang begitu tebal—gejimayu. Benar-benar mirip Guru Guy, bedanya versi muda dan tidak duduk di kursi roda. Biasanya, Lee akan terlihat berapi-api, tanpa mengenal waktu. Kali ini berbeda. Lee terlihat tidak bergairah sama sekali, dan matanya terlihat sangat sembab.
"Lee," Sasuke mengangguk. Memberikan sapaan singkat, tidak berniat untuk berbicara lebih lanjut. Pria Uchiha itu berjongkok di depan makam kedua orangtuanya dan membersihkan batu nisannya satu persatu.
Rock Lee berjalan mendekati Sasuke, berdiri di sampingnya dan menatap kedua makam itu. "Kukira kau akan datang sore tadi," ucapnya, membuka percakapan di antara mereka berdua.
"Ada masalah di tengah jalan, maka dari itu aku terlambat," jawab Sasuke sekenanya. Tidak menjelaskan masalah apa yang ia dapatkan. Namun dalam hati ia bertanya, darimana Lee mengetahui bahwa Sasuke akan datang sore ini?
"Tadi siang aku bertemu dengan Naruto dan Sakura-san," seakan dapat membaca pikiran Sasuke, Lee menjawab apa yang ia ketahui, "mereka terlihat bersemangat, terutama Sakura-san,"
"Hn, begitu,"
Satu kalimat yang keluar dari mulut Sasuke barusan membuat Lee bungkam. Tidak tahu mau menjawab apa. Benar-benar skakmat. Dari awal, mereka memang tidak terlihat dekat. Sesungguhnya, Lee sempat menganggap Sasuke sebagai rival. Tetapi sayangnya, ia tidak pernah dianggap oleh Uchiha itu. Satu-satunya yang dianggap rival oleh Uchiha Sasuke hanyalah Uzumaki Naruto.
Tidak ada lagi pembicaraan yang terdengar. Yang terdengar hanyalah suara semilir angin yang cukup menusuk tulang. Membuat Lee mengepalkan kedua tangannya, menahan rasa dingin. "Sebelum kau pulang, Sasuke-kun, kunjungilah Sakura-san," Lee sedikit menunduk, menepuk bahu mantan nukenin itu berkali-kali, "Sakura-san menunggumu," Pria itu tersenyum tipis. Kali ini ia benar-benar akan pulang. Meninggalkan Sasuke sendiri di pemakaman tersebut. "Selamat malam, Sasuke-kun. Aku duluan,"
Sasuke menatap punggung Lee yang mulai menjauh. Ia membuka mulutnya, sebelum Lee benar-benar menghilang, "Lee,"
"Ya?"
Lee menghentikkan langkahnya. Menoleh kearah Sasuke yang menatapnya dalam diam. Hanya memanggil kemudian tak mengatakan apapun lagi. "Ada apa, Sasuke-kun?" Sebenarnya, Sasuke sangat benci ini. Ia memalingkan pandangannya dari Lee dan melipat kedua tangannya. Terlihat tidak mau berbicara lagi, meskipun dari dalam dirinya ada sesuatu yang sangat ingin ia katakan.
"Hei—"
"Terima kasih,"
"Eh?"
Si bungsu Uchiha menghela nafasnya panjang. Akhirnya ia menoleh kearah si gejimayu, menatap kedua mata bulatnya.
"Terima kasih, Lee."
to be continued
syugarrr
24/10/17
