Periménontas

by Invea


Manik-manik mataku menatap lekat pintu gedung yang tinggi menjulang itu. Udara semakin bertambah dingin dan langit malam tampak semakin kelam. Sesekali kabut tipis turut keluar saat aku—yang entah sudah yang keberapa kalinya—menghembuskan napasku. Tanganku sudah sekitar setengah jam yang lalu menggigil di balik saku jaket hangatku.

Ini adalah satu malam yang dingin di bulan November. Malam di mana orang-orang normal menghabiskannya dengan bermanja-manja di dalam kamar yang mengandung penghangat ruangan. Dan orang yang tengah kutunggu saat ini jelaslah tidak termasuk ke dalam golongan orang normal tersebut—termasuk aku.

Rasa lelah mulai menggelayuti kedua kakiku saat bola mata cokelatku menatap sosok orang yang telah membuatku bertahan berdiri di tempat ini. Tak tergambar rasa senangku melihatnya keluar gedung dengan jaket tebal hitamnya. Aku dengan segera menghampirinya—seperti yang biasa kulakukan.

"Kau menungguku lagi," ujarnya sedikit mengeluh. Aku mengerucutkan bibirku.

"Kau tidak suka aku menunggumu?" tanyaku kesal. Dia menghela napasnya.

"Bukan seperti itu, aku hanya tidak ingin kau sakit," sahutnya. Aku hanya menggigit bibir. Dia memang selalu seperti ini. Sangat baik.

"Aku tidak akan sakit hanya karena menunggumu," bantahku. Dia lagi-lagi menghela napasnya.

"Sudah berapa lama kau berdiri di sana?" tanyanya kemudian. Aku mengangkat bahu, membuka ponselku, melihat angka yang tertera di sana sebelum menjawab,"Mungkin sekitar enam sampai tujuh jam,"

"Berhentilah menungguku seperti itu, apalagi di musim sedingin ini. Kau bisa mati terkena hypotermia," serunya. Aku langsung menatap lekat wajahnya.

"Tapi aku masih hidup sampai saat ini bukan?" sahutku dengan nada sedikit tinggi.

"Kau benar-benar keras kepala," keluhnya.

"Kau juga begitu,"

"Kemarikan tanganmu!" perintahnya. Aku kemudian mengeluarkan kedua tanganku dan menghulurkannya. Dengan lembut ia lalu menyentuhnya.

"See? Tanganmu sampai membeku seperti ini. Kau kedinginan," serunya kemudian.

"Dan kau kelelahan," balasku. Dia menghela napas—kali ini helaan menyerah. Digenggamnya tangan kananku dan kakinya mulai berjalan. Refleks, kakiku mengikutinya.

"Kita harus membeli sarung tangan untukmu," gumamnya.

...

"Kau menungguku lagi?" tanyanya dengan nada sedikit kesal. Aku mengangkat kedua bahuku.

Aku berbalik tanya,"Menurutmu?" Dia menghela napas frustasi.

"Kau menungguku," jawabnya dengan helaan. Dan aku hanya menatap wajahnya dengan senyuman.

"Dengarkan aku, Miyon. Kau harus berhenti menungguku. Bagaimana jika ada orang-orang yang tidak baik mengganggumu?" serunya.

"Demi Tuhan, Zhang Yixing! Kau melihat sendiri kan sudah nyaris dua tahun aku menunggumu seperti ini, tapi tidak pernah ada hal buruk apapun terjadi padaku saat menunggumu,"

"Han Miyon! Berhenti bersikap keras kepala!" serunya dengan nada tinggi.

"Aku akan melakukannya kalau kau pun berhenti melakukannya!"

Pemuda di hadapanku ini langsung memelukku—lembut. Ia menggumam kecil di telingaku,"Aku mengkhawatirkanmu,"

Aku membalas pelan bisikannya,"Aku juga mengkhawatirkanmu,"

Dia lalu melepaskan pelukannya dan menatap mataku yang mulai berkaca-kaca.

"Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu saat menungguku, aku adalah orang yang paling merasa bersalah dan bertanggung jawab untuk itu," ujarnya lembut. Buliran air mata yang sempat menumpuk di mataku pun kini mulai berhamburan mengalir keluar.

"Dan jika sesuatu yang buruk terjadi padamu saat berlatih, aku pun akan turut merasa sakit dan sedih," gumamku. Dia menghela napas dan kembali memelukku. Ditempelkannya dahunya di pucuk kepalaku. Tangan kanannya dengan lembut mengusap kepalaku.

...

"Lagi-lagi kau menungguku," keluhnya melihat sosokku yang berdiri dua puluh meter dari tempat trainee-nya.

"Ini sudah seperti menjadi kebiasaan," balasku seraya tersenyum. Kami mulai berjalan bersama, menapaki trotoar. Lalu lintas Seoul malam itu tampak lebih sepi dibanding kemarin malam.

"Mulai besok, berhentilah menungguku," ujarnya. Aku mengerucutkan bibirku.

"Kau tidak pernah bosan mengatakan itu padaku," seruku.

"Dan kau tidak pernah bosan selalu membantahku," timpalnya. Aku tertawa.

"Nah, kau pun tahu sendiri seperti apa aku. Jadi, tidak ada gunanya kau menghentikanku," sahutku. Dia menghentikan langkahnya dan menarik salah satu lenganku. Aku langsung menatap matanya yang sayu. Ya Tuhan, lihat dirinya sekarang, tampak semakin kurus dibandingkan tiga tahun lalu saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di Seoul.

"Training akan mulai bertambah berat. Besok, aku mungkin akan pulang lebih larut dari malam ini. Aku khawatir jika kau menungguku," terangnya. Aku mengalihkan pandanganku pada kedua kakiku yang juga kumainkan.

"Han Miyon!" Dia sedikit meninggikan suaranya. "Kau mendengarku?"

"Kumohon, Yixing, menyerahlah," pintaku dengan suara pelan. Dia kemudian menaikkan daguku dengan tangan kanannya—membuatku mau tak mau kini memandang wajah. Ia lalu tersenyum. Lesung pipinya tersungging manis di sana.

"Jika aku menyerah di titik ini, tiga tahun yang telah kulalui akan sia-sia," ujarnya.

"Tapi, mau sampai kapan? Sampai kapan kau mengorbankan tubuhmu untuk suatu debut yang tidak jelas kapan datangnya?" seruku. Dia menghela napas sejenak.

"Saat itu akan datang, aku percaya itu. Saat ini mungkin bukanlah waktunya. Mungkin aku memang kurang siap untuk debut. Mungkin memang aku kurang bekerja keras untuk itu."

"Kurang bekerja keras kau bilang? Demi Tuhan, Zhang Yixing, lihat dirimu sekarang! Kau begitu kurus! Wajahmu yang sayu itu semakin pucat semenjak satu tahun terakhir. Belum lagi cedera-cedera yang kau bawa di beberapa kesempatan. Kau masih mengatakan dirimu kurang bekerja keras?!" Aku membentaknya. Air mata yang sedari tadi berusaha aku tahan pada akhirnya membuncah keluar. Dia lalu sedikit membungkukkan badannya—membuat wajahku benar-benar sejajar bertatapan dengan wajahnya. Kedua ibu jari tangannya kemudian menghapus air yang mengalir dari mataku.

"Di sana, masih ada orang yang bekerja keras jauh lebih lama dari diriku, namun masih belum juga debut. Bagaimana mungkin aku mengatakan aku lebih bekerja keras daripada mereka dan lebih berhak debut dibanding mereka? Itu tidak adil bagi mereka,"

"Lantas, bagaimana pula dengan orang yang baru menjadi trainee beberapa bulan namun debut mendahuluimu, bukankah itu tidak adil pula untukmu?"

"Hmm, mungkin itu karena mereka memiliki kemampuan yang jauh di atasku,"

"Yixing, semua orang tahu kau sangat berbakat. Kau sangat jenius di bidang seni. Kau memiliki titi nada sempurna, kau pandai memainkan beberapa alat musik, suaramu saat menyanyi juga tidak terlalu buruk. Kau pandai dance, membuat lagu, menggambar, apalagi yang kurang darimu?"

Dia kemudian mengusap kepalaku dengan tengan kanannya. Sementara itu, tangan kirinya dia masukkan ke dalam saku hoodie merah marunnya.

Setelah puas mengacak-acak rambutku, dia kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam saku hoodie yang satunya. Kemudian menatap langit malam dengan senyum manisnya.

"Di luar sana, ada banyak orang yang jauh lebih hebat dari diriku. Aku mengerti kau mengkhawatirkanku, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri,"

"Oh ya? Benarkah? Baiklah, boleh kupinjam kunci apartemenmu?"

"Untuk apa?"

"Sudah cepat, keluarkan saja! Aku akan langsung mengembalikannya setelah kau memperlihatkannya,"

Dia tampak mengangkat bahu sejenak kemudian mulai meraba saku hoodie-nya. Tak lama, kedua tangannya mulai sibuk dengan saku celananya. Satu menit kemudian, dia mulai mengaduk-aduk isi tasnya. Aku menghela napas, kemudian mengeluarkan sesuatu yang mungkin tengah dicarinya tersebut—tepat di depan matanya.

"Aku menemukan ini menggantung di pintu apartemenmu tadi pagi. See? Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau masih seperti ini?"

Dia lalu menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya seraya terkekeh pelan.

"Baiklah, baiklah, baiklah. Aku mengaku, aku memang membutuhkan asisten untuk mengatasi penyakit lupaku,"

"Jadi, kau tidak keberatan bukan aku menjadi asisten pribadimu?"

"Sebenarnya kau asisten yang handal. Benar-benar sangat bisa kuandalkan. Akan tetapi—"

Pada awalnya aku sudah tersenyum puas mendengar pujiannya itu, sampai dia menjeda kalimatnya. Sontak aku lantas memiringkan kepalaku.

"Tapi?"

"Jika itu berarti kau akan menungguku sepanjang malam, aku sangat keberatan,"

"Yixing, please! Kau tahu sendiri bukan alasan di balik semua yang aku lakukan itu?"

"Aku sangat mengerti itu. Karena alasan yang sama itulah, aku menghentikanmu,"

Kami lalu terdiam. Untuk sesaat suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara hembusan angin malam yang membuat dedaunan sedikit bergemerisik.

"Aku mengerti kau sangat mengkhawatirkanku. Tapi, di sana aku menemukan orang-orang yang menjagaku. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi," ujarnya memecah keheningan.

"Jadi, kau lebih merasa nyaman bersama mereka dibandingkan denganku yang sudah tujuh tahun mengenalmu?"

"Bukan seperti itu. Dengar, Miyon, jika aku menuruti egoku, tentu aku tidak akan seperti ini. Tapi aku memilih untuk mengikuti perasaanku. Selama kau ada di sini, kau akan selalu mengkhawatirkanku dan berakhir dengan menghabiskan waktumu sedari pukul tiga sore untuk menungguku dengan berdiri dua puluh meter dari gedung trainee-ku. Dan itu jelas membuatku sangat khawatir akan dirimu. Karenanya aku mohon, hentikan melukai dirimu seperti ini,"

"Aku baik-baik saja. Kau yang melukai dirimu, bukan aku,"

"Miyon, aku tahu persis kau selalu menempelkan plester koyo di kakimu. Berdiri menanti selama enam atau tujuh jam bukanlah suatu hal yang mudah,"

Aku menggigit bibir bawahku.

"Itu, tidak, aku—"

"Pulanglah ke Changsa!" potongnya pelan. Aku tersentak mendengarnya.

"Apa tadi katamu?"

"Kumohon, pulanglah ke Changsa," pintanya lagi. Aku menghela napas. Dia tertunduk sejenak sebelum melanjutkan perkataannya,"Jika tidak, kita hanya akan saling menyakiti satu sama lain,"

"Yixing,"

Kedua bola mata kami saling bertatapan. Aku mencoba untuk menyelam ke dalamnya.

"Miyon, please, oke?"

Aku menghela napas—lagi.

"Satu tahun,"

"Ne?"

"Jika dalam satu tahun tidak ada kejelasan kapan kau akan debut, aku akan kembali lagi menunggumu di tempat biasa. Araseo?"

"Tapi—"

"Tidak ada kata tapi. Kau mau aku pulang atau tidak?"

Dia menghela napas. Menyerah dengan keras kepalaku.

"Baiklah, baiklah. Kalau begitu kapan kau akan pulang?"

Aku terdiam sejenak. Kapan ya?

"Menurutmu sebaiknya kapan?" tanyaku. Dia tampak memasang wajah berpura-pura berpikir sebelum akhirnya menjawab,"Besok. Paling lambat besok sore,"

"Aigo, kau benar-benar mengharapkan aku pergi, huh?" seruku seraya menjewer keras telinganya.

"Aaa, appo! Appo! Appo!" ringisnya. Aku kemudian melepaskan jeweranku dan memandangnya kesal. Dia langsung mengusap-usap telinganya yang tampak memerah.

"Baiklah, aku akan pulang besok sore. Jangan merindukanku, oke?" seruku seraya langsung berjalan mendahuluinya. Sesaat kemudian, kudengar ia mempercepat langkah kakinya dan menyamakan langkah di sebelahku.

"Kenapa jangan?" tanyanya dengan nada polos. Bagus sekali pertanyaanmu, Zhang Yixing. Kau membuat pipiku bersemu kemerahan sekarang.

"Pabo!"

"Wae? Wae? Wae?"

"Zhang Yixing, pabo!"

"Wae? Wae? Wae?"

...

Hah! Ini entah sudah yang ke berapa kalinya aku menghela napas. Aku menatap papan pengumuman keberangkatan menuju Changsa. Masih ada sekitar satu jam lagi sebelum pesawat lepas landas. Aku masih terduduk di ruang tunggu.

Aku kemudian membuka layar ponselku. Hanya wallpaper yang tertera di sana tanpa ada pemberitahuan apapun. Sigh, bahkan dia sama sekali tidak menghubungiku sejak kejadian semalam.

Aku kemudian berdiri dan menarik koperku. Tepat sekitar setelah kakiku lima kali melangkah, aku mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku.

"Han Miyon!"

Aku langsung menoleh ke belakang. Kulihat dia berlari terengah-engah menghampiriku. Ia sempat terbungkuk sejenak seraya mengatur napasnya.

"Yixing, bagaimana bisa kau—? Ya Tuhan, bukankah kau seharusnya masih berlatih?"

"Aku membolos," jawabnya dengan lugu seperti biasa.

"Kau apa?"

"Aku bolos latihan,"

"Kenapa?"

"Karena kau akan pulang hari ini. Masa aku tidak mengantarmu," ujarnya seraya terkekeh pelan. Aku tertunduk.

"Gomawo,"

"Ah, nanti kalau kau sudah tiba di Changsa, aku titip salam untuk ayah-ibu dan kakek-nenekku, ya. Dan bisakah sesekali kau mengunjungi kakek-nenekku di sana? Kurasa dibandingkan aku, mereka lebih membutuhkan asisten handal sepertimu," pesannya.

"Tentu, jika perlu, setiap hari aku akan mengirimu foto mereka. Aku akan langsung menghubungimu jika aku sudah tiba di sana," ujarku.

Mendengar perkataanku, dia hanya menggaruk bagian belakang kepalanya sembari tertawa kecil. Sebuah tindakan yang terang saja membuatku bertanya-tanya.

"Wae?" tanyaku.

"Mengenai ponsel, aku lupa password nya. Karenanya, aku bergegas kemari saat aku sadar, aku tidak bisa menghubungimu karena aku lupa password ponselku," jawabnya seraya terkekeh pelan.

"Jadi, alasan sebenarnya kau membolos karena ada pesan yang ingin kau sampaikan padaku? Bukan karena aku akan pulang?" keluhku. Dia hanya kembali tertawa.

"Kenapa kau tidak meminjam ponsel temanmu saja kalau seperti itu?" lanjutku. Dia langsung tersontak mendengarnya.

"Ah, benar juga, kenapa tidak terpikirkan ya tadi?" timpalnya kemudian. Aku langsug mengerucutkan bibirku. Dengan segera, aku langsung menjewer telinga kanannya.

"Ahaha, appo! Mianhe, Miyon. Aku hanya bercanda. Dari awal aku memang berniat mengantarmu kok," serunya kemudian. Akupun kemudian melepaskan jeweranku. Dia lalu mengusap lembut pucuk kepalaku.

Tak lama, terdengar pengumuman keberangkatan menuju Changsa tinggal tiga puluh menit lagi. Aku menolehnya pelan.

"Sepertinya, aku harus menunggu di pesawat sekarang," gumamku.

"Kau benar," sahutnya. Seketika suasana di antara kami terasa begitu canggung.

"Emh, kalau begitu, aku pergi sekarang,"

"Sampai jumpa lagi, Miyon,"

"Sampai jumpa lagi, Yixing,"

...

Zhang Yixing tersenyum lembut. Sepanjang jalan menuju ruangannya, ia dan kesebelas rekan setimnya tak henti membungkuk—berterima kasih—setiap kali mereka berpapasan dengan kru, staf maupun yang lainnya.

Ruangan mereka langsung ricuh oleh percakapan-percakapan ringan tentang kejadian di atas panggung ketika dua belas namja tersebut telah memasuki ruangan.

"Lay hyung, ada sesuatu di mejamu. Wah, jangan bilang itu dari penggemarmu. Membuat iri saja," seru namja tinggi yang memiliki bentuk telinga seperti telinga peri—Park Chanyeol.

"Ne?"

Yixing dengan segera menghampiri mejanya. Tampak sebuah buket bunga yang terdiri dari bunga camellia dan baby's breath. Sebuah kartu ucapan kecil tertera di sana. Yixing dengan segera meraihnya. Manik matanya tampak bergerak mengikuti deretan huruf yang tertera di sana. Dia lalu tersenyum.

Kesebelas member lain dengan segera mengerubuninya—turut penasaran. Namun, Yixing dengan segera menyembunyikan kartu ucapan tersebut dan membuat member lain berusaha merebutnya dan menggodanya.

Yixing dengan segera berlari meninggalkan ruangan. Dia mengurung dirinya di kamar mandi. Tak dipedulikannya sahutan member lain. Dia hanya terfokus pada kartu ucapan di tangannya. Sekali lagi, matanya kembali membaca.

Kau berhasil. Selamat untuk debutmu.

Han Miyon

—The End—