Hiruk pikuk keramaian terdengar begitu jelas di telinganya, angin yang berhembus seraya membawa terbang kelopak-kelopak bunga sakura tujuh warna kebanggaan kota Magnolia senantiasa menyapa rambut pirang indahnya yang melambai-lambai.

Lucy tersenyum melihat keadaan sekolahnya pagi ini. Memang, sekolahnya berbeda—sangat berbeda dibanding sekolahnya dulu sebelum dia pindah kesini, Fairy Academy.

Pandangannya terhadap sekolah ini awalnya juga aneh, dari murid, guru, sampai pelajarannya. Namun kelamaan dia mulai terbiasa dan terbuai dengan kebebasan serta kekompakan sekolah ini.

Dan di sinilah Lucy Heartfilia yang sebentar lagi menyelesaikan tahun ketiganya di sekolah ini. Banyak hal yang sudah dijalaninya bersama para kawannya yang setia. Entah itu hal suka, duka maupun cita.

Lucy semakin tersenyum ketika melihat salah seorang sahabatnya memanggil dari kejauhan.


A Fairy Tail Fanfiction

Sakura-colored Time Capsule

Disclaimer: Hanya milik Hiro Mashima-sensei, saya hanya meminjam beberapa karakternya kok, gak semua. Tenang saja.


[To you, in the future—]

"Luuuuuuuceeeeee! Cepat ke sini atau kau akan terlambat!" teriak seseorang dengan semangat kearah Lucy. Rambut spike merah mudanya melambai alami seraya dia melambaikan tangannya. Cengiran khasnya selalu menghiasi wajahnya.

"Tunggu aku, Natsu! Aku akan segera kesana," Lucy mempercepat langkahnya kearah pemuda bernama Natsu tadi. Senyumnya makin mengembang saat dia telah sejajar dengan Natsu. Mata karamelnya menelusuri wajah pemuda itu, lalu dia mengernyit, membuat Natsu memiringkan kepalanya bingung.

"Kamu benar-benar Natsu, 'kan?"

Hah?

"Maksudmu apa, Luce?" Natsu masih memiringkan kepalanya. Dia menggaruk pipinya seraya menatap Lucy lekat-lekat.

"Kalau Natsu, tidak mungkin dia sampai di sekolah lebih dulu sebelum aku. Kau siapa? Kembalikan Natsu-ku!"

Bulir keringat sebesar biji salak terbentuk diatas keningnya. Natsu menatap Lucy yang nyengir dengan muka tanpa dosa.

"Kau aneh, Luce. Memang aku semalas itu, ya? Kau saja yang tumben terlambat, ini sudah jam tujuh kurang lima menit. Jam-jam segini juga aku sudah di sekolah, kali!" gerutu Natsu sambil memanyunkan bibir manisnya.

Membuat wajahnya jauh lebih manis daripada biasanya.

Semburat merah tipis muncul di kedua pipi Lucy, rasa panas menjalar ke kepalanya. Lucy memalingkan wajahnya agar Natsu tidak melihat wajahnya yang mulai tersipu karena ekspresi imut Natsu tadi.

"Luce? Hey, Lucyyy?" Natsu menepuk pelan pundak Lucy, membuat orang di depannya tersentak. Natsu nyengir lebar lalu menarik Lucy masuk ke gedung sekolahnya.

Tak menghiraukan wajah Lucy yang makin memerah karena kelakuan sahabatnya yang satu ini.


"Hei, Natsu,"

"Hng?"

Lucy duduk di bangku tepat di depan Natsu duduk. Kelas mereka tampak ramai seperti biasanya. Dimana terdapat Bisca dan Alzack yang selalu bermesraan di pojok ruangan. Mira, Lisanna dan Elfman yang berbincang dengan serunya, Gajeel yang menatap Levy yang sedang membaca buku dengan tatapan sok tidak peduli, Wendy yang tengah mengobrol dengan Erza, Gray yang selalu diekori Juvia. Dan masih banyak lagi kegiatan aneh dalam kelas itu. Namun itu tampak normal bagi yang sudah mengenal sekolah mereka.

Lucy menyangga dagunya dengan kedua tangannya yang di letakkan di atas meja Natsu. Dia menghembuskan napas pelan lalu menatap keluar jendela.

"Tidak terasa, ya, dua hari lagi upacara kelulusan." Gumam Lucy pelan namun sanggup didengar Natsu yang notabene mempunyai pendengaran tajam.

Natsu terdiam mendengar kata sahabatnya barusan. Dia sadar, begitu cepat waktu yang ia lalui selama tiga tahun belajar di sekolah ini. Natsu hanya mengangguk menanggapi Lucy.

"Kau mau melanjutkan kemana, Natsu?"

"Ng... aku tidak tahu, tapi aku ingin sekali melanjutkan studiku di Universitas Fairy. Bagaimana denganmu? Kau ingin melanjutkan ke sana juga, kan? Nanti kita bisa bersama lagi!" Natsu dengan semangatnya menjawab pertanyaan Lucy. Dia mengangkat tinjunya ke udara seraya menampilkan barisan gigi-gigi putihnya dengan lebar.

Lucy menatap lurus ke mata Natsu, pandangannya meredup. Lucy menggelengkan kepalanya lalu merunduk.

"Aku... tidak tahu,"

Baru saja Natsu ingin membuka mulutnya, sebuah suara berat yang familiar ditelinga mereka menginterupsi. Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara.

"Hey, ada apa di sini?"

Gray Fullbuster, salah satu dari sahabat mereka berdua berdiri sambil berkacak pinggang. Kemeja seragamnya hilang entah kemana. Di belakangnya ada Juvia yang sedari tadi mengekori.

"Gray, pakai seragammu." Gray langsung ngacir mencari seragamnya setelah mendengar suara dari belakangnya. Erza Scarlet—sang ketua OSIS sekolah ikut menghampiri Lucy dan Natsu diikuti Wendy Marvell yang tersenyum ke arah mereka berdua.

"Lucy-san, Natsu-san, Juvia-san selamat pagi." Sapa Wendy dengan senyum manisnya.

"Pagi, Wendy, Erza, Juvia." Sapa Lucy balik.

"Kalian sedang apa?" Tanya Erza sembari membenarkan letak kacamatanya.

"Mmm... membicarakan kelulusan," jawab Natsu singkat. Mendengar jawaban Natsu, Gray yang entah dari kapan kembali dengan kemejanya melotot menatap rival merangkap sahabatnya tersebut. Seakan tidak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari mulut si pinky didepannya.

"Hah, Flamehead, kau memikirkan masa depan juga?!" teriak Gray yang langsung memancing tatapan tajam Natsu.

"Memangnya kenapa?!"

"Gue gak percaya orang tolol kayak lo mikirin masa depan."

"Ngajak berantem hah, dasar Stripper!"

"Ayo sini maju!"

Aura persaingan memancar dari keduanya setelah Natsu bangkit dari tempatnya duduk. Mereka saling beradu mulut dengan sengitnya. Baru saja mereka mengeluarkan senjata andalan mereka—saus tabasco dan es batu tepatnya—Erza mengeluarkan death glare nya ke arah mereka berdua.

Natsu dan Gray yang ketakutan bergidik ngeri dan langsung merangkul satu sama lain.

"Hee, benar juga, ya. Upacara kelulusan tinggal dua hari lagi. Juvia tak menyangka waktu begitu cepat. Juvia tidak mau berpisah dengan Gray-sama." Juvia yang mulai mewek langsung memeluk lengan Gray dengan manjanya. Gray hanya pasrah terhadap gadis stalker ini.

"Jadi, kalian semua mau melanjutkan kemana?" Wendy angkat bicara.

"Hmm... aku ingin ke Universitas Fairy saja. Bagaimana dengan kalian?" Erza menarik bangku di belakangnya dan menempatkannya di samping bangku Natsu lalu dia duduk dengan memangku kaki kanannya di atas kaki kirinya.

"Aku juga sama sepertimu, Erza." Natsu menjawab dengan semangat dan kembali duduk di bangkunya.

"Heh, jadi si Flamehead ini mau ke Universitas Fairy juga. Aku juga ingin melanjutkan ke sana." Jawab Gray sambil mengacak bagian belakang rambut hitamnya.

"Kalau Gray-sama ingin ke Universitas Fairy, Juvia juga akan mengikuti Gray-sama!"

"Aku juga ingin melanjutkan studi di sana," jawab Wendy kalem.

Lucy tersenyum melihat sahabat-sahabatnya. Namun, matanya redup, seakan menyembunyikan sesuatu. Lucy terdiam, kembali menatap langit biru melalui jendela.

"Bagaimana denganmu, Lucy?" Lucy tersentak, spontan dia menatap Gray yang menanyainya. Lucy menggeleng, tak tahu harus menjawab apa.

"Kau kenapa, sih. Dari tadi sifatmu aneh, Luce. Kau sakit?" Natsu menatap mata Lucy dalam. Lucy yang membalas tatapan Natsu langsung memerah. Jantungnya memompa darahnya dengan cepat, darahnya mengalir ke kepalanya. Rasa panas menjalar di pipinya.

"A-Aku tidak sakit, Natsu,"

"Lalu, kenapa kau hanya diam? Tidak biasanya kau seperti ini." Erza menimpali. Lucy hanya tertawa ringan dan mengibaskan tangannya.

"Ada hal yang mengganggu pikiranku sedikit, aku tidak apa-apa kok." Lucy tersenyum simpul lalu bangkit dari tempatnya duduk. "Aku mau ke toilet dulu, ya." Lucy berbalik meninggalkan teman-temannya.

Tanpa dia sadari, sepasang mata onyx memperhatikannya menjauh.


"Aku tidak bisa mengatakannya, tidak bisa." Lucy menyandarkan punggungnya di balik pintu bilik toilet putri. Matanya menyiratkan beban yang mendalam, begitu gelap. Tidak ada pancaran semangat yang keluar dari matanya, seperti yang dia pancarkan setiap hari. Dia menghela napas panjang lalu menutupi wajahnya dengan tangan kanannya. Frustasi.

"Apa aku harus berbohong lagi?"

Mata Lucy menerawang, di dalam kepalanya terngiang percakapan antara dirinya dan ayahnya kemarin. Lucy mendesah pelan, pikirannya menerawang mengingat apa yang ia dan ayahnya perbincangkan kemarin.

"Sampai kapan aku harus berpura-pura baik-baik saja di depan mereka?"

Hal yang mereka perbincangkan tentu bukan hal yang menyenangkan. Dan Lucy tidak bisa menolak permintaan ayahnya kemarin.

Putri tunggal keluarga terpandang Heartfilia itu hanya bisa pasrah.

Ia masih ingat ketika Ayahnya menelepon dirinya. Dengan nada tegas dan terkesan memaksa, ayahnya menyuruhnya untuk kuliah di Crocus, ibu kota Fiore. Ayahnya ingin Lucy kuliah disana, di salah satu universitas paling bergengsi di seantero Fiore. Dan parahnya lagi, ayahnya telah mengurus semua syarat pendaftaran. Lucy hanya tinggal menuruti apa kata ayahnya karena sudah jelas dia diterima di sana. Bahkan sebelum pengumuman kelulusan.

Mudah saja bagi ayah Lucy karena salah satu rektor universitas itu adalah rekannya.

Jika sudah begini, bagaimana cara Lucy menolak permintaan—yang bisa dibilang pemaksaan—ayahnya?

Lucy menghela napas lagi, hati kecilnya tentu saja memberontak. Ia jelas ingin melanjutkan studinya di Universitas Fairy sama seperti teman-temannya. Dia sudah terlanjur nyaman hidup di Magnolia. Dan yang terpenting, Lucy tidak mau meninggalkan teman-temannya. Itu pasti.

Terlebih lagi jika harus meninggalkan dia.

Lucy menggelengkan kepalanya. Hatinya sesak jika memikirkan sebentar lagi dia harus pergi dari kota ini. Lucy takut dia tak akan bisa bertemu dengan dirinya dan teman-temannya.

Orang-orang yang sudah menghiasi hari-hari Lucy selama tiga tahun.

Bayangan pemuda berambut spike merah muda melintas di pikiran Lucy. Dengan spontan Lucy menggelengkan kepalanya lagi, kali ini lebih keras daripada sebelumnya, membuat Lucy sedikit pusing.

"Kenapa wajah Natsu muncul di pikiranku—" jantung Lucy berdetak lebih kencang daripada sebelumnya, memompa darahnya ke kepalanya, membuat wajah Lucy merah padam. "Perasaan aneh apa ini, kenapa perasaan ini selalu menggangguku?" Lucy menggumam pelan, dia memejamkan matanya.

Sesaat, Lucy terngiang akan kata-kata Levy dua hari lalu, saat dia galau memikirkan Gajeel. Lucy tersentak. Jantungnya memompa lebih kencang dari sebelumnya.

"Kau tahu, Lu-chan, sepertinya aku menyukai Gajeel," Lucy masih ingat wajah merah Levy saat dia bercerita tentang Gajeel di taman bersamanya kemarin.

"Dada ini terasa sesak, rasanya tak karuan, seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di perutmu. Rasanya tidak nyaman, namun kau menyukainya. Rasa senang memenuhi hatimu jika kau berada di dekatnya. Namun kau biasanya malah bertindak sebaliknya,"

Ya, Lucy masih ingat jelas apa yang dikatakan Levy kemarin. Dan dia mengalaminya sekarang.

"Tidak mungkin kan, masa aku menyukainya? Dia kan sahabatku." Lucy bergumam pelan, lalu tersenyum entah kepada siapa.

Dentang bel mengagetkan dirinya. Dia merogoh kantung roknya untuk mengambil handphone yang tersimpan di sana. Dengan cepat dia membuka kunci layar handphone android-nya tersebut. Matanya melotot, melongo sebentar, dia langsung menghambur keluar, berlari menuju kelasnya.

"Bagaimana bisa aku di dalam toilet selama satu jam?!" teriaknya panik. Dia tak memperhatikan keadaan sampai—

JDUK

"AAAARGH!"

"HIYAAA"

Lucy terpental ke belakang karena benturan tiba-tiba yang menghantam kepalanya. Lucy meraba-raba keningnya sambil mengaduh.

"Hei, jangan lari-lari di koridor dong, bahaya tau! Gak liat ada ora—Luce?!"

Lucy yang bersyukur mempunyai keseimbangan tubuh yang baik sehingga dia tidak jatuh terduduk mengangkat kepalanya, matanya melotot melihat orang yang ditabraknya.

Natsu.

"Aduh, Natsu, maaf! Aku gak liat jalan," Lucy memohon-mohon sambil merapatkan kedua tangannya di depan dadanya. Natsu hanya melongo, namun ia cepat-cepat sadar dan menghampiri Lucy yang mulai kehilangan keseimbangannya.

"Kamu gak kenapa-napa, kan? Kamu habis darimana aja? Yang lain khawatir, tau! Katanya kamu Cuma ke toilet, tapi sampai sejam begini," Natsu merangkul bahu Lucy, menjaga agar Lucy tidak terjatuh dan menuntunnya jalan menuju kelasnya.

Lucy hanya bisa menuruti Natsu yang menuntunnya menuju kelas. Padahal wajahnya merah padam, jantungnya berdetak sangat kencang. Dia hanya berharap Natsu tidak mendengar detakan jantung sialannya itu.

"Luce, kalau kau punya masalah, ceritakan padaku."

Lucy tersentak mendengar Natsu yang biasanya acuh terhadap orang yang mempunyai masalah pribadi malah menanyainya. Lucy hanya menggeleng, lalu tersenyum manis.

"Apa yang harus aku ceritakan? Aku tak apa-apa kok."

Natsu hanya diam menatap Lucy yang dirangkulnya. Dia melihat senyum manis Lucy yang biasa dilemparkan padanya. Namun Natsu merasa senyum itu tidak tulus lahir dari hati Lucy.

Natsu tahu, Lucy mempunyai masalah yang disembunyikannya.

Tanpa berkata apapun, Natsu hanya menghela napasnya dan berjalan dalam diam.

Mata Lucy menatap kosong lantai koridor yang dipijaknya, tersenyum simpul, dia menutup kedua matanya.

"Aku berbohong. Lagi," batinnya.


"Lucy! Kau habis dari mana saja?"

"Lu-chan! Kau tidak apa-apa kan?

"Lucy-san, duduk dulu,"

"Bunny-girl terlihat aneh."

"Heh, Flamebrain, kau apakan Lucy hah?!"

"Gray-sama, tak usah memperhatikan Lucy, Juvia ada di sini. Eh tapi, Love rival, ada apa denganmu, kau habis dari mana saja?"

Menanggapi pertanyaan teman-temannya yang bertubi-tubi itu lucy hanya meringis. Dia duduk di bangku yang disiapkan Wendy untuknya. Lucy masih mengusap keningnya yang masih terasa perih.

"Luce, keningmu masih sakit?" Lucy tidak menjawab, dia hanya mengangguk.

"Kenapa kening Lucy merah? Ada apa?" Erza bertanya lagi, namun pertanyaan kali ini ditujukan pada Natsu.

Natsu lalu menceritakan kejadian mereka bertabrakan di koridor sekolah, yang lain hanya mengangguk mengerti. Lalu Wendy dan Levy menatap Lucy khawatir.

"Lu-chan, pasti sakit banget, ya?" Levy meringis membayangkan jika dirinya yang bertabrakan seperti itu, pasti sakitnya bukan main.

"Tidak apa-apa, Levy, sekarang sudah tidak terlalu sakit, kok," Lucy tersenyum ke arah Levy. Lalu menatap teman-temannya bergantian. "Jadi, saat aku tidak ada, kalian membicarakan apa?"

"Oh, kami hanya membicarakan apa yang akan kita lakukan setelah lulus nanti," Erza tersenyum. Lucy menangguk mengerti.

"Hmm... hei, bagaimana kalau kita buat kenang-kenangan?" seru Natsu sambil nyengir dengan cengiran khasnya. Teman-temannya semua menghadap ke sang empunya suara dengan tatapan bertanya.

"Kenang-kenangan apa? Tumben kau punya ide cemerlang seperti itu, Salamander," komentar Gajeel sambil menyeringai ke arah Natsu.

Cengiran Natsu makin melebar ketika dia menyerukan apa yang ada dalam pikirannya.

"Ayo kita buat Time Capsule!"


-to be continued-


A/N: Hai, salam kenal para senpai di Fandom Fairy Tail Indonesia tercinta ini, ehehe. Ini fanfic perdana saya di Fandom ini. Tapi, saya bukan Author baru, saya author lama namun hiatus bertahun-tahun *nangis*. Ah, dan fanfic saya yang lalu kebanyakan saya delete karena discontinued /ngek.

Eh, tapi tapi, saya disini gak numpang curcol kok, err mungkin... ja-jadi...

salam kenal semuanya! saya anak tukang pindah-pindah fandom err... jadi, saya sedang tertarik dengan FFTI, apalagi dengan pairing NatsuLucy yang uhukOMGSWEETBANGETuhuk, jadi saya memutuskan untuk menulis cerita dengan pairing NaLu untuk fanfic comeback saya dari kubur-maksud saya hiatus /jduk.

Silahkan review! Review apa saja diterima kok, apalagi yang membangun, saya akan amat senang menerimanya! Dan, bagi para authors atau para readers yang mau kenalan, jangan sungkan-sungkan PM atau cek bio saya, disana tertera twitter dan fb saya ehehe. /astaga. Bu-bukan SKSD! Saya hanya ingin menambah teman-/cukup.

dan, maafkan atas keOOCan karakter diatas, saya berusaha untuk meminimalisir ke OOCan mereka agar cerita ini jadi enak dibaca.

jadi, salam kenal semuanya! ^^

-Nacchan