This highly regrettable song
I hope it will reach the sky
My prayers are spent all night crying
I hope it gets to your heart
.
.
.
.
.
Aku pernah mencintai seseorang. Hingga saat ini, aku masih bisa melihatnya, dalam bayanganku, dalam setiap memoar indah yang menghiasi ruang imaji di kepalaku. Semuanya terpatri indah, walau aku yakin dia tidak bisa melihatku. Jika bisa, aku ingin berbisik pada Tuhan agar Dia mempertemukan aku dengan dirimu. Tapi, aku suatu hari percaya bahwa semua doa, akan tertuju langsung padamu. Aku yakin, kita akan bertemu, karena Tuhan mempunyai jalannya masing masing.
Aku, di sini selalu berbisik pelan menjelang tidur; Tuhan, tolong biarkan aku bertemu dengan adik ku tercinta.
.
.
.
.
.
I'm young, I do not know I'll be like this
I think it's a gift in the past
The smile you left behind
It's still in my heart
.
.
.
.
.
Aku pernah merasakan sesal yang teramat sangat, yaitu di saat semuanya menjadi kelabu, di saat ayah dengan cerobohnya membanting stir ke bahu jalan ketika mengendarai mobil.
Tapi, itu bukanlah sepenuhnya salah ayah. Aku juga turut andil dalam hilangnya bocah berumur lima Tahun itu. Tidak perlu dijelaskan, aku akan menangis selama empat jam jika kalian memaksaku untuk menceritakannya.
Baiklah, jika kalian memaksa...
Kalian sangat menyebalkan. Habis ini kalian harus menyiapkan beberapa lembar tisu untum diriku!
Namanya Kang Euigeon, dan dia hanya mempunyai selisih umur satu tahun di bawah ku. Agak sulit mengucapkan namanya? Ya, aku pun sama seperti itu. Maka dari itu, aku mempunyai nama unik tersendiri untuknya. Hanya kami berdua yang paham.
Secara harfiah, aku dengan Euigeon tidak berbagi gen yang sama dari kedua orang tua yang mengikat tali pernikahan di awal kehidupan. Ah, maksudku, dia bukan adik kandungku—Serius, Marganya saja berbeda denganku. Dulu, aku tentu mempunyai ibu kandung, yang amat sangat aku cintai. Beliau terlihat begitu cantik walau usianya menapaki senja, dan aku selalu suka jika ibu membuat dadar gulung isi daging untuk bekal sekolah. Jika kamu tanya siapa wanita yang paling aku cintai di muka bumi ini, maka jawabannya adalah ibuku. Tidak lain dan tidak bukan.
Namun, suatu hari —entah karena usia atau virus— beliau sakit keras, tentu aku tidak pernah mengetahui asal usulnya karena itu terlalu sulit dipahami oleh anak kecil. Yang aku tahu, ibu hanya selalu bilang akan cepat keluar dari rumah sakit. Bodohnya, aku percaya hal itu, bahkan aku percaya jika ibu akan kembali membuat dadar gulung di rumah. Kenyataan dan harapan memang kadang seperti angka enam yang gampang sekali dibolak-balik, terkadang nampak seperti angka sembilan —kita tidak tahu mana sisi yang benar— tergantung dari sisi mana kita melihat.
Jika aku melihat sisi baik bahwa ibu akan cepat kembali pulang ke rumah, ternyata rencana Tuhan jauh lebih indah dari yang aku bayangkan. Tentu saja, kalian pernah mendengar sesuatu tentang ini;
Jika kamu mempunyai kebun bunga, maka bunga apa yang akan kamu petik terlebih dahulu? Tentu yang cantik, bukan?
Bahkan jika aku tidak perlu menjelaskannya tentu kalian paham, kan?
Ya, pokoknya begitu hingga keputusan ayah yang paling berat menghujani kepalaku. Rasanya seperti jutaan meteorit menimpa otak ku secara imajiner.
Selang dua bulan setelah ibu pergi, ayah membawa seorang wanita yang kerap ingin dipanggil 'ibu' ketimbang 'bibi'. Wanita itu punya satu anak yang satu tahun lebih muda dariku dan aku rasa wajahnya seperti buah persik. Lumayan lucu sih, soalnya aku gemas dengan gigi kelinci anak laki-laki itu. Di awal musim dingin dan kesan pertamaku untuk anak itu benar-benar seperti kepingan salju yang membekukan jendela; dingin dan tidak berperasaan.
Tentu di awal aku menentang habis-habisan ide ayah untuk mencari pengganti ibuku. Tidak akan ada orang yang pernah bisa menggantikan ibu di dalam hatiku, tentu saja. Kami sempat bertengkar kecil dan wanita itu kerap berusaha mencairkan suasana dengan membelikanku baju barun dan cokelat batangan mahal. Ditambah, terkadang anak laki-lakinya itu selalu bersikap sok manis di depanku
Namun, keputusan ayah sudah benar-benar bulat. Acara pernikahan akan segera digelar Dan untungnya, wanita itu bukanlah tipikal ibu tiri yang sering aku lihat di drama picisan. Maksudku, dia bukanlah wanita antagonis—secara harfiah dia benar-benar lembut dan baik hati— dan berhasil membuat hatiku luluh. Lagipula, aku tidak keberatan jika mempunyai seorang adik laki-laki. Mungkin nanti aku bisa mengajaknya belajar bersama. Hidup bertahun-tahun sebagai anak tunggal membuatku ingin sekali mempunyai teman yang tinggal serumah.
"Hai, namaku Kang Euigeon." itu pertama kali kamu memperkenalkan diri, setelah berbulan-bulan hanya berani menatapku takut-takut—siapa yang tidak takut jika mataku selalu membola ketika melihatnya. Senyum cerah dengan hiasan gigi kelinci yang mengintip dari balik bibir, aku mengingatnya betul-betul.
"Namaku Ong Seongwoo, mulai sekarang jadilah adik yang baik, Euigeon!" aku mengusap kepalanya lembut dan interaksi kecil kami membuat ayah dan ibu baruku tersenyum hangat. Kejadian itu tepat ketika malam pernikahan ayah. Tidak ada yang spesial karena pada awalnya, aku tidak benar-benar menganggap Euigeon sebagai adik ku. Lagi-lagi, aku pikir semua tipikal adik laki-laki sama seperti di drama picisan yang sering ayah tonton di KBS.
Tidak dengan Euigeon. Anak itu benar-benar mandiri, bahkan terbilang cukup mandiri untuk anak seusianya. Oh iya, Euigeon bilang, ia kehilangan ayahnya juga karena sakit keras. Aku pikir, itu sedikit membuat hatiku mencair karena, Hei! Kita ternyata mempunyai nasib yang sama. Apakah ini takdir?
Hari hari selanjutnya aku jalani dengan Euigeon yang resmi menyandang predikat sebagai adik baruku. Tidak buruk juga, karena Euigeon termasuk anak yang pintar merebut hati orang baru. Mungkin memang pada awalnya ia sangat pemalu dan tidak banyak bicara, tapi semua itu menghilang ketika aku selalu mengomelinya untuk tidak terlalu sering mengerjakan PR bahasa inggrisku. Euigeon akan selalu berkilah dan menyerang balik dengan alasan ia sangat mencintai bahasa inggris dan semua buku paketnya telah terisi. Tidak ada yang bisa aku lakukam untuk menghalanginya, lagipula toh jawabannya selalu benar. Aku jadi merasa sangat terbantu karenanya. Pernah suatu hari aku berpikir.
"Hei, Euigeon!"
"Hmm, apa kak?"
"Bagaimana kalau kamu mempunyai nama internasional? Sepertinya kamu akan cocok untuk sekolah di luar negeri."
"Boleh, tapi cita citaku menjadi petinju kelas dunia agar bisa melindungi ibu dan kak Seongwoo."
Dan kami pun tertawa. Hanya satu nama yang terpikirkan olehku, ya, dan dia menerimanya dengan senang hati.
Semua pikiran anak kecil tentu terarah menuju akhir yang bahagia, walaupun ternyata map biru Tuhan atas hidup manusia sepenuhnya tidak bisa diganggu gugat. Untuk itu aku benar-benar bertanya pada Tuhan;
Tuhan, kenapa Kau menggores tinta hitam lebih dari satu kali?
Jika memang manusia mempunyai nalar yang sangat hebat sedari lahir, mungkin aku akan banyak bersyukur hingga tidak perlu kaget pada rencana Tuhan.
Semuanya berjalan baik hingga kejadian itu muncul.
.
.
.
Honestly, I think I still need to receive love
The longer I was left alone, the more I became frightened
I miss those days, I miss you so much, yeah
.
.
.
.
.
Musik sudah menjadi bagian dari hidupku. Seolah tiap ketukan nada mengalir dalam darah. Kenapa aku suka—ah tidak— jatuh cinta dengan musik? Karena dengan metode buatan itu, alam bawah sadarku tersugesti bahwa aku tidak sendirian di dunia ini. Ada serentetan nada dan irama yang selalu menemani hariku. Aku benci sendirian, tapi aku suka suasana yang sunyi. Kamu tahu? Tidak selalu suasana sunyi tercipta ketika kamu sendirian. Yang aku maksud sendirian adalah hilangnya orang-orang yang paling aku cintai. Sudah cukup semua penderitaanku dulu semasa kecil hingga kehilangan satu orang yang paling berharga.
Hari ini, aku menyadari sesuatu saat Hwang Minhyun menarik headsetku.
"Hei, Seongwoo, memikirkan apa sih?"
Minhyun menatapku penasaran. Padahal aku yakin sebelumnya pria itu sedang intim berpacaran dengan jurnal hukumnya.
"Tidak, aku hanya memikirkan sesuatu tentang adik ku."
"Hah..." Minhyun menghela nafas sebentar, selanjutnya ia memegang kedua tanganku. "Kamu pasti akan bertemu dengannya, walau kemungkinannya seperti unta memasuki lubang jarum."
"Aku, hanya tidak yakin dia akan mengingatku."
"Tentu saja kamu akan berhasil. Kamu punya kuncinya."
Ya, Minhyun benar. Aku punya kuncinya.
Setidaknya, aku tidak akan pernah sendirian karena Minhyun akan selalu ada di sampingku. Tidak, kami tidak menjalin hubungan seperti sepasang kekasih, ini lebih seperti hubungan keluarga. Aku yatim piatu, dan Sejak aku dipungut dari panti asuhan, aku bertetangga dengan Minhyun. Dia anak yang baik dari mulai aku mengenalnya di bangku sekolah menengah pertama hingga aku bisa mengenyam pendidikan lanjutan di universitas ini. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa karena kedua orang tuanya Minhyun aku bisa mendapat bantuan dana untuk kuliah. Terkadang, aku bekerja paruh waktu di kafe milik kedua orang tuanya Minhyun dan pergi latihan taekwondo di akhir pekan.
Mungkin, karena aku telah kehilangan banyak cinta semasa kecil, aku jadi takut untuk sendirian. Semakin aku ditinggal sendiri maka aku akan semakin takut. Untuk itu sebisa mungkin aku menjaga hubungan baik ku dengan Minhyun. Aku tidak akan pernah bisa menyembunyikan sesuatu darinya, termasuk semua rahasia dan apa yang sedang aku pikirkan. Minhyun itu seperti 'aku' yang lain. Ia tidak akan berbicara jika tidak perlu, dan juga ramah jika kamu sudah sangat mengenalnya. Untuk itu, ketika aku sedang benar-benar memikirkan sesuatu, Minhyun akan selalu bertanya padaku. Apakah wajahku semudah itu untuk dibaca?
"Seongwoo, kamu ada kelas lagi setelah ini?"
"Sepertinya tidak..."
"Mau datang ke tempat latihan?" tanya Minhyun, tatapannya penuh harap. Mana bisa aku menolaknya? Aku pun mengangguk setuju.
"Begitu, tunggu aku di halte bus seperti biasa. Aku akan telat sebentar untuk meminjam beberapa literatur dari perpustakaan—" aku tahu persis apa yang akan Minhyun katakan selanjutnya. "—Jangan menyusul kalau tidak mau tersesat di perpustakaan."
Ya, aku sudah khatam dengan rentetan kalimat itu. Faktanya, aku memang pernah tersesat di antara rak-rak tinggi nan banyak berisi literatur klasik dan jurnal hukum di perpustakaan kota. Memalukan.
Hari ini berjalan dengan baik, sama seperti sebelumnya—bukan saat dimana aku sering menangis. Pak Kim tidak masuk hingga akhir jam kelas hingga aku bisa bebas mendengarkan musik. Tentu aku tidak bisa melakukannya jika pak Kim duduk di seberang meja. Pria tua itu akan melempar penghapus pada setiap mahasiswa yang tertangkap basah menggunakan ponsel kecuali diperintahkan.
Ngomong-ngomong, ini hari jumat, artinya bukan akhir pekan. Atau mungkin bagi Minhyun ini adalah akhir pekan?
Adalah jadwal kami tiap akhir pekan untuk mengunjungi tempat latihan taekwondo. Entah untuk latihan secara serius atau hanya sekadar membanting tubuh satu sama lain.
Pada akhirnya semua mahasiswa berhamburan ke luar kelas. Aku menyeret kaki ke luar masih dengan headset yang menyangkut di telinga dan setumpuk tugas-telat-kumpul di dekapan. Minhyun terkadang begitu menyebalkan karena di saat seperti ini, ia malah asyik berkencan dengan literatur di perpustakaan.
Untuk beberapa saat aku benar-benar khawatir. Tapi, entahlah. Aku juga tidak yakin dengan perasaan ini. Mungkin ini efek dari lagu yang aku dengar, atau mungkin memang suasana hatiku yang sedang tidak bisa berkompromi.
Tiba-tiba saja aku merindukan seseorang. Entah siapa, aku juga tidak yakin. Benar-benar hanya sepercik api rindu, namun bisa membuat hatiku menghangat, dan efek imajiner itu menjalar hingga ke kedua bola mataku. Aku merasa kedua bola mataku semakin hangat karena, air mata.
Semakin aku larut dalam perasaan itu hingga tidak sadar—
—BRUK
Dengan bodohnya aku menabrak seorang mahasiswa baru. Mana posisinya di depan lorong menuju toilet pria. Dan, well, semua tugas-telat-kumpul itu berserakan di lantai
"Ah, senior baik-baik saja? Maafkan aku."
Reflek, kami berdua berjongkok.
"A-ah aku baik-baik saja...hiks." Seongwoo bodoh. Kenapa harus sempat-sempatnya terisak sih!
"Senior kenapa? Kok nangis?"
"Tidak apa-apa! Aku bisa sendiri."
Tidak sadar aku telah membentak laki-laki berkostum hitam-putih itu. Bukannya gentar, mahasiswa baru itu malah kekeuh membantuku mengumpulkan kertas-kertas tugas. Oh ayolah, aku terlihat seperti wanita yang sedang datang bulan.
"Senior jangan nangis gitu dong, nanti aku dikira berbuat sesuatu." laki-laki itu memelas, kedua tangannya masih mencoba membantu.
"Tidak, lagipula aku tidak pernah berbicara dengan siapa pun—" setelah semua terkumpul, aku berdiri dan menyadari bahwa headsetku kini tidak lagi menggantung di daun telinga. Pantas saja tadi aku bisa mendengar jelas apa yang laki-laki itu katakan..
"Senior namanya siapa?"
"Kamu tidak perlu tahu! Terima kasih telah membantuku."
Aku memutuskan untuk cepat-cepat melangkah. Selain tidak nyaman, selanjutnya teriakan anak laki-laki itu membuatku bergidik.
"Namaku Daniel! Kalau senior butuh tempat curhat aku siap jadi tempat sampah kok!"
Haruskah nama itu? Kenapa dia harus dia? Apakah itu benar-benar dia? Ah, rasanya mustahil. Aku baru saja memikirkan kesempatan dengan perumpamaan unta dengan Minhyun. Jadi rasanya mustahil jika keajaiban datang secepat ini.
Tidak sadar aku terus menggelang selama perjalanan menuju ruang dosen.
Haruskah aku menceritakan ini pada Minhyun?
.
.
.
.
.
I miss you so much
Now I finally feel the space between us
I miss you so much
Tears fall like this
But why I do not know?
.
.
.
.
.
"Minhyun, tapi aku benar-benar merindukannya, hiks."
"Seongwoo—"
"Aku tidak akan pernah berhenti memikirkan dia, setiap aku semakin berusaha melupakan, maka dia akan tetap muncul di dalam mimpiku. Hiks." bodoh, lagi-lagi aku menangia di depan Minhyun. Membuat lelaki itu ikut terisak. Ya, sudah ku bilang kan jika Minhyun bukan hanya sekadar teman untuk ku. Minhyun juga akan ikut terisak jika aku mulai menangis. Seolah ikatan batin kami terhubung satu sama lain.
"Aku tahu, Seongwoo. Tapi kamu tidak harus selalu menangis seperti ini, aku selalu benci melihatmu yang rapuh. Kemana Seongwoo yang aku kenal pemberani ketika SMU?"
Aku merasa agak bersalah karena Minhyun harus repot-repot menyeka airmatanya dengan kasar—aku tahu dia tidak akan pernah mau terlihat lemah di depanku. Nafasnya masih tersengal, dan makin tersengal karena kami baru saja selesai menjalani latihan.
Ya, Minhyun aku tahu hal itu. Tapi, entah kenapa aku merasa ada hal yang aneh untuk diceritakan. Apakah kamu akan mengerti perasaanku sekarang? Aku ragu untuk mengatakan ini padamu.
"Seongwoo, jangan menangis lagi—" Minhyun langsung menerjang diriku dengan pelukan, yang mana semakin membuat hatiku menghangat. Sumpah, aku terharu kali ini. "Aku tidak akan membiarkanmu menangis lagi. Sekarang, ceritakan apa yang terjadi?"
"T-tadi, aku bertemu dengan seorang.." ya, pada akhirnya aku memilih untuk menceritakannya.
"Siapa?"
"Mahasiswa baru, namanya Daniel."
"Bagaimana kamu bisa bertemu dengannya?"
"A-aku menabraknya karena melamun, di depan toilet fakultas hukum." dan selanjutnya Minhyun tersenyum penuh arti. Entah merasa gemas atau bahagia, aku tidak tahu.
"Seongwoo, kamu kenapa ceroboh sekali, sih?" pungkas Minhyun sambil terkekeh. Dia mencubit pipiku gemas. "Lalu apa yang terjadi?"
"Entah lah, aku pikir mahasiswa baru itu baik. Dia bahkan memperkenalkan namanya saat aku berubah jutek di depannya."
"Seongwoo, kamu tahu apa yang aku pikirkan?—" kali ini Minhyun menatapku intens, aku hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Mungkin kamu sudah waktunya menemukan seseorang yang akan selalu ada di sampingmu, selain aku."
Aku tersentak, bingung. Minhyun menghela nafas lagi.
"Tidak ada salahnya kamu coba mengenal Daniel. Dia sepertinya anak yang baik. Jika dia berani membuatmu menangis, aku ada paling depan untuk menghajarnya."
"Begitu menurutmu?"
"Tentu saja! Aku juga sebentar lagi akan mempunyai seseorang sangat berharga selain kamu, Seongwoo." Minhyun mengeratkan genggamannya di pundak ku. "Tapi tetap tidak akan ada yang bisa menggantikan Ong Seongwoo, hahahaha."
"Siapa orangnya, Minhyun? Kok aku tidak pernah tahu bentuk rupanya?"
"Kamu akan tahu jika waktunya telah tiba. Kamu juga jangan lupa mengenalkanku pada di Daniel itu."
Ya, penuturan Minhyun membuatku semakin penasaran dengan perasaanku sendiri. Haruskah aku melupakan adik ku secepat ini?
Setelah hari itu, aku bertemu lagi dengan Daniel. Kali ini, di kafe fakultas. saat aku kebingungan memilih tempat duduk, Daniel dengan senyumannya melambaikan tangan padaku. Di seberangnya masih ada bangku kosong yang bisa aku tempati.
"Senior! Di sini! Mau duduk di sini tidak?"
Tanpa pikir panjang—mengingat keadaan kafe yang sangat ramai— aku pun mengambil tempat duduk di depan Daniel.
Dari pertemuan kami di kafe fakultas siang hari itu, aku mendapatkan beberapa informasi menarik dari Daniel.
Namanya Daniel, dia tidak mau menggunakan marga depannya karena saat bersekolah di Toronto, ia ditertawakan oleh teman sekelas. Dia mahasiswa baru fakultas ilmu sosial dan ternyata rumahnya tidak jauh dari kampus.
Daniel lebih banyak menjadi pihak pembicara dan aku dengan setia mendengarkan. Bahkan aku baru sadar belum memperkenalkan diriku padanya.
"Kakak namanya siapa?" ya, Daniel sudah bisa memanggilku dengan sebutan informal karena aku yang meminta.
"Salam kenal, namaku Ong Seongwoo."
Dan itu membuatnya tersedak green tea frappucino.
"Hah? Ong Seongwoo?"
.
.
.
.
.
[to be continue]
Masih baru nih di fandom wanna one, terkhusus ongniel dan aku teracuni ongniel gara gara mv beautiful, fix banget! Review dong! Biar semangat ngelanjutinnya Hehehehehe...
