Sasagi

-ささぎ-

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Itachi&Sarada

.

"Merasa jenuh dengan kehidupannya di kota, Itachi pindah ke sebuah desa yang masih asli dan belum banyak terjamah modernisasi. Di sanalah ia bertemu dengan gadis kecil yang sejak dulu diajarkan untuk membenci 'orang asing'./ Itachi hanyalah seorang programer yang terbiasa kesepian, dan Sarada hanyalah seorang murid sekolah dasar yang penuh masalah. Tapi keduanya memiliki cerita. Cerita yang menyenangkan, dan juga tragedi./ AU-ItaSara"

.

.

.

Mungkin ini adalah kelainan. Orang lain berpikir ini adalah kejahatan. Tidak bagi sudut pandang dua orang yang menjalaninya. Tapi hukum alam tak pernah berubah. Perbuatan amoral itu patut dikucilkan.

Mereka pikir dirinya adalah pesakit? Mungkin benar, dia telah sakit, sakit untuk hidup di dunia penuh penyakit.

.

.

.

Burung kecil itu selalu bernyanyi.

...di mana?

.

.

.


Bab 1

Pagi hari yang masih terlalu pagi. Saat-saat itulah momen yang sangat Itachi sukai. Ketika bunyi tik-tik jam dinding yang mengisi keheningan kamarnya menghilang, digantikan senandung-senandung ceria di luar sana.

Itachi segera melepas kacamatanya. Ia berdiri, meninggalkan komputernya yang telah dimatikan lalu berjalan ke arah jendela kamar.

Segerombolan anak-anak SD yang gemar sekali menyanyi tengah melintas di depan rumahnya. Mereka tertawa dan berjalan sambil bermain-main. Itachi mengamati gerombolan anak-anak kecil itu dengan teliti. Ia melebarkan senyum saat pandangannya jatuh kepada seorang anak perempuan berambut hitam legam yang tengah berlari, saling sikut menyikut dengan anak perempuan lainnya.

Seperti tahu bahwa dirinya tengah diperhatikan, gadis itu berhenti dan mendongak, mengarahkan pandangan tepat ke arah kamar Itachi yang berada di lantai dua. Ia segera melambaikan tangan melihat sosok Itachi berada di pinggiran jendela.

Itachi membalas lambaian tangan itu.

Itulah hari-harinya. Diam menunggu, ditemani keheningan pagi. Lalu suara burung bernyanyi itu tiba, berlabuh di sarang kesepiannya.

Seketika hidupnya tidak lagi abu-abu.

.

Desa itu hanya desa kecil. Tak banyak pengaruh kota bisa masuk dan berbaur di sana, membuat suasana yang kental akan hal-hal tradisional masih bisa Itachi rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di daerah itu.

Ini, ya, hanya ini yang ia butuhkan.

Ketenangan dan kedamaian, di mana ia bisa melihat birunya angkasa dengan bebas, tanpa terhalang gedung-gedung tinggi yang terobsesi ingin menyentuh awan. Di mana ia bisa menghirup udara bersih, tanpa terkontaminasi oleh debu-debu pabrik dan juga jelaga.

Namanya Konoha, tempat ini adalah rekomendasi kawannya dari kantor lama. Ia hanya butuh mengunjungi tempat ini dua kali sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk membeli rumah kosong di persimpangan jalan, rumah yang sekarang ini ia tinggali.

Sebagian besar penduduk Konoha bekerja di sektor pertanian. Mereka menanam padi, jagung, juga sayur-sayuran di ladang mereka sendiri. Ada banyak peternakan juga, namun umumnya penduduk Konoha memanfaatkan sapi sebagai sumber kehidupannya. Di sela-sela pekerjaannya sebagai programmer yang umumnya bekerja di dalam ruangan, tak jarang Itachi turut terjun ke lapangan membantu para tetangganya.

Sosok orang kota yang ramah dan mau berbaur yang membuat Itachi cepat diterima di tempat itu. Padahal pada dasarnya, penduduk Konoha memang tidak mudah menerima orang luar. Kenyataan bahwa dirinya diterima dengan tangan terbuka oleh mereka—meski Itachi tak menampik bahwa masih ada saja orang-orang yang masih belum mau menerimanya—membuat Itachi senang bukan kepalang. Ia berencana untuk benar-benar menghabiskan sisa hidupnya di tempat ini.

Lalu, belum genap dua minggu Itachi menjalani kehidupannya di desa ini, ia bertemu dengan anak itu. Ya, anak itu.

Anak perempuan itu, si bungsu dari keluarga Uzumaki.

Di minggu terakhir bulan Agustus, Konoha mengadakan festival musim panas tahunan. Itachi ditemani Sasori dan Deidara pergi ke festival tersebut untuk bersenang-senang. Awalnya mereka selalu berjalan bertiga, namun entah sejak kapan, Itachi terpisah dengan dua orang itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menikmati festival sendirian. Ah, lagipula festival ini tidak berbeda jauh dengan festival-festival musim panas yang biasanya diadakan di kota. Beberapa kali Itachi mencoba permainan yang ditawarkan di sana. Permainan yang banyak dikunjungi tentu saja menangkap ikan dengan pancingan kertas. Itachi tak berhasil menangkap ikan satu pun.

Menyenangkan. Ya, menyenangkan. Jika saja ia tak di sana sendirian.

Ia lebih suka bersama Sasori dan Deidara—walaupun dua orang itu sering membicarakan hal-hal yang tidak dimengerti olehnya—daripada harus menikmati festival ini seorang diri. Karenanya, belum ada setengah jam berada di sana Itachi sudah merasa bosan, dan akhirnya ia memutuskan untuk pulang.

Di tengah perjalanan, dari kejauhan Itachi melihat kembang api mulai diluncurkan ke angkasa dan bertebaran di langit malam bagai renda warna-warni. Ia berhenti sejenak, mengamati angkasa yang dihiasi oleh lingkar-lingkar pelangi.

Ah, jadi ingat. Dulu ia dan Sasuke (adiknya) suka sekali melihat kembang api berdua di rumah, saat orang tua mereka sedang pergi bekerja.

Lalu Itachi tersenyum miris.

Benar juga, sejak dulu aku memang sudah biasa kesepian.

Harusnya sudah biasa, tapi tetap saja kebiasaan ini membuatnya sakit.

Setelah merasa cukup melihat kembang api, Itachi memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Tapi itu sebelum ia tak sengaja menangkap siluet manusia, sendirian di pinggir danau. Dilihat dari jauh, postur tubuh itu seperti postur tubuh anak kecil. Merasa khawatir sendiri, ia pun memutuskan untuk menghampirinya dan berlari ke arah danau.

"Hei."

Ternyata seorang perempuan, yang buru-buru menoleh ke belakang dan menatap Itachi dengan kaget. Sandalnya diletakkan di samping kanan tempat ia duduk, sementara kedua kakinya dicelupkan ke dalam danau.

"Anak kecil sepertimu sendirian di sini. Di mana orangtuamu?" tanya Itachi, memposisikan duduk di sebelah si gadis cilik.

Gadis cilik itu menatap lawan bicara dengan waspada, tidak tertarik untuk menjawab. Dahinya berkerut dan tatapannya penuh selidik. Tidak terlalu jelas memang, tapi dia tetap menatap Itachi lama. Barulah ketika wajah Itachi disinari oleh cahaya kembang api, mata Si Gadis Kecil melotot.

"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."

"Ya, Paman baru pindah ke sini," jelas Itachi, sambil tersenyum lebar. "Jadi di mana orangtuamu?"

Mengabaikan pertanyaan itu untuk kedua kalinya, Si Gadis Kecil menggerakkan pantatnya, menggeser posisi duduknya menjauhi Itachi.

Hm, begitu ya. Tipe orang yang tidak suka dengan pendatang.

Itachi diam saja. Ia memutuskan untuk menunggui Si Gadis Kecil sampai orang tuanya datang. Walaupun tahu tidak ada kejahatan seperti penculikan terjadi di desa ini, tetapi tetap saja, pikirannya sebagai orang kota yang harus selalu waspada pada 'kejahatan ada di mana-mana' membuat rasa khawatir dalam diri Itachi tak lekas hilang.

Tapi sepertinya Si Gadis Kecil merasa risih. Ia mengambil sandalnya lalu mengangkat kakinya dari air danau. Tahu ada gerakan jauh di sampingnya, Itachi menoleh sekilas, lalu buru-buru mengedarkan pandangan ke depan kembali, berpura-pura tidak tahu. Barulah setelah dirasa Si Gadis Kecil telah sempurna berdiri, Itachi baru bisa menoleh lagi, mengawasinya.

Si Gadis Kecil melangkah pergi, langkahnya timpang.

"Kakimu sakit?" Itachi terkejut. Tanpa berpikir panjang dihampirinya Si Gadis Kecil, memaksanya untuk duduk. Tapi ia dapat perlawanan. "Tenanglah, Paman bukan orang jahat. Sini Paman lihat mana yang sakit."

"Tidak mau! Lepaskan!"

Terpaksa Itachi menggunakan sedikit tenaganya untuk membuat Si Gadis Kecil diam. Takut akan diapa-apakan, Si Gadis Kecil pun membungkam mulut dan juga pergerakannya.

Itachi memeriksa tungkai mungil itu. Tak ada yang salah, hanya ada lecet sangat ringan di kedua lututnya dan ... sebuah bengkak di mata kaki kanannya.

Itachi menekan bagian yang bengkak itu, dan langsung dihujani pukulan oleh Si Gadis Kecil. "Sakit! Sakit tahu!" Ia langsung menangis, tidak jelas memang, tapi Itachi tahu kalau gadis cilik dalam pangkuannya kini tengah menangis.

"Paman antar kau pulang ya? Di mana rumahmu?"

Tapi Itachi tak mendapat jawaban.

"Paman bukan orang jahat, sungguh."

Ah, tapi memang ada maling yang mau ngaku?

Menghela napas, Itachi tak punya pilihan lain selain memaksa. Setidaknya, ini cara terampuh untuk mengatasi adiknya yang bandel dan rewel dulu. Itachi menggendong gadis cilik itu di punggungnya.

"Anak kecil sendirian di tempat seperti ini. Apa kau terpisah dari orang tuamu?" Itachi menarik napas panjang. "Paman bantu carikan ya." Itachi menarik tangan-tangan mungil yang bersembunyi di balik punggungnya untuk terjulur ke depan, melewati bahu dan melingkari lehernya. "Paman tidak akan macam-macam, kita kembali ke festival dulu. Nanti kalau kau melihat orangtuamu, kau bisa minta turun."

"Tidak mau! Jangan kembali ke festival! Tidak mau!"

Itachi tertegun. "Lalu bagaimana Paman akan mengantarmu pulang sedangkan kau tidak mau memberitahukan di mana rumahmu?"

Seperti biasa, Itachi tidak diacuhkan. Barulah saat satu langkah kaki jenjang Itachi digerakkan, gadis kecil di punggungnya membuka mulutnya untuk bicara.

"Aku tidak mau pulang," tuturnya lirih.

Sepertinya ada masalah dengan anak ini.

Tak mau memaksa lebih jauh—Itachi tahu itu akan memakan waktu lama—akhirnya Itachi memutuskan untuk membawa gadis kecil ini ke rumahnya. Soal orang tua si kecil ini nanti belakangan saja, bisa Itachi tanyakan pada Sasori atau Deidara. Yah, penduduk desa seperti ini memang biasanya saling mengenal satu sama lain dari ujung timur sampai ujung barat, tidak seperti orang kota yang tetangga sebelah saja tidak tahu namanya siapa.

"Paman bawa kamu ke rumah Paman, kita obati kakimu dulu."

Tak ada bantahan atau perlawanan di belakang sana.

.

"Ini rumah Paman?" Setelah sampai di rumah Itachi, Si Gadis Kecil itu mendecakkan kekagumannya. Itachi menoleh ke belakang dan mendapati kepala mungil itu melekatkan pandangan ke arah garasi. "Apa Paman punya mobil?"

"Ya," jawab Itachi. "Sepeda juga ada."

"Wah ..."

Itachi membawa tubuh keduanya masuk ke dalam.

"Aku tahu rumah ini selalu kosong. Tapi tidak tahu kalau dalamnya bagus sekali."

Itachi melengkungkan senyum geli. Tadi menolak mati-matian untuk mengacuhkannya, sekarang malah banyak berkomentar ini-itu.

"Rumah Paman biasa saja kok, mungkin karena kau jarang lihat yang desain bagian dalamnya seperti ini, jadinya di matamu kelihatan bagus sekali." Nah, kalau dipikir-pikir, desain rumah penduduk Konoha memang rata-rata mirip, mulai dari arsitekturnya, sampai interiornya.

Sampai di ruang TV, Itachi mendudukkan gadis kecil itu di atas sofa. SI Gadis Kecil kelihatan senang saat pantatnya menyentuh permukaan sofa yang lembut dan empuk.

"Siapa namamu?"

"Uzumaki Sarada."

Sepertinya anak perempuan ini sudah luluh.

"Nama Paman Uchiha Itachi."

Tapi Sarada mengabaikannya, ia malah sibuk bermain-main di atas sofa.

"Paman ambil air es dulu. Jangan main-main, nanti kakimu tambah sakit," pesan Itachi sebelum meninggalkan Sarada di sana dan melangkah ke arah dapur. Tak sampai semenit, ia sudah kembali membawa kompresan dan segelas air putih. Itachi meluruskan kaki Sarada, menempatkannya di atas sofa kecil. Lalu ia menempelkan kompresan air es di atas pergelangan kaki mungil itu.

"Minum air yang banyak ya, biar cepat sembuh." Itachi pun memberikan gelas air yang baru dibawanya tadi.

Sarada menerimanya dengan ragu-ragu.

"Airnya bebas dari racun apa pun kok." Itachi mengambil gelas itu dan meneguk airnya sedikit, lalu mengembalikannya ke Sarada lagi.

Sarada pun meminumnya pelan-pelan.

Memerhatikan Sarada minum, Itachi menyunggingkan seulas senyum tipis. Ia mengamati perawakan gadis cilik di hadapannya ini. Ah, gadis cilik yang manis. Rambutnya sebahu, warnanya senada dengan matanya, hitam legam seperti langit malam. Namun, ada cahaya aneh berpendar di sana, seperti titik bintang. Entah bagaimana membuatnya nampak berbinar, bercahaya, terang, dan indah.

"Sarada mau makan sesuatu? Kue misalnya?"

Sarada mengangguk. Itachi pun pergi ke dapur lagi, dan kembali ke ruang TV tidak hanya membawa kue di tangannya, tapi juga satu kantung plastik berisi makanan ringan, persediaan bulanannya.

Kue bolu blackforrest, sepertinya enak sekali. Sarada kelihatan senang saat Itachi menaruh potongan kue itu di atas piring kecil—potongan kue untuk dirinya.

"Jadi ..." Sebenarnya Itachi bingung harus dari mana ia memulai. Bertanya di mana letak kediaman Uzumaki kah? Atau bertanya kenapa Sarada tidak mau kembali ke festival? Atau kenapa tadi Sarada sendirian di danau? Atau kenapa pergelangan kaki Sarada bengkak?

Terlalu banyak hal yang harus ditanyakan. Tapi Itachi memilih satu pertanyaan sebagai pembukaan.

"Nah, Paman tidak jahat kan?" Sontak Sarada menoleh, hanya sebentar untuk kembali memakan kuenya. "Kau tidak perlu takut."

"Paman, aku boleh menonton TV?" tanya Sarada, menunjuk TV di depan sana.

Itachi pun mengambil remot di atas meja. Ia menyalakan TV, dan seketika nampak sebuah tayangan yang gambarnya tidak terlalu jelas di layar sana. "Hm, susah mendapat sinyal di sini." Itachi memencet-mencet tombol remot, berharap menemukan saluran yang lebih jelas untuk ditonton.

"Berhenti! Itu saja!"

Itachi menaikkan alis.

"Bukan yang itu! Yang tadi! Yang tadi!" Sarada jadi heboh sendiri.

Itachi menekan-nekan tombol di remot.

"Ya, yang itu!"

Tayangan anime untuk anak-anak ternyata. Tidak heran anak kecil seperti Sarada menyukai tayangan seperti ini.

.

Deidara kesal setengah mati. Ia dan Sasori kewalahan mencari Itachi di festival tadi, membuat mereka tidak bisa menikmati festival dengan gembira seperti tahun-tahun sebelumnya. Merasa putus asa, dan dikarenakan panggilan alam untuk Sasori, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali pulang. Tapi Sasori menugaskan Deidara untuk mengecek apakah Itachi ada di rumahnya atau tidak.

Dan ternyata, sesampainya di rumah Itachi, Deidara melihat lampu ruang tamu menyala. Padahal tadi sebelum mereka pergi, lampu ruang tamunya dimatikan.

"Sial benar Itachi." Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Deidara nyelonong masuk ke dalam—untungnya pintunya tidak dikunci. Ia sedikit diherankan oleh kehadiran sepasang sandal kecil di sana. Padahal Deidara ingat betul, tadi tidak ada sandal seperti ini. Dan memangnya ini sandal punya siapa? Itachi membeli sandal untuk anak kecil di festival tadi? Kurang kerjaan.

Langsung melangkah menuju ruang TV, sebelum sampai di sana, Deidara dikagetkan oleh gelak tawa seorang anak. Pelan-pelan Deidara menginjak lantai dan melaju ke depan, kemudian matanya melotot saat ia melihat Itachi tengah tertawa bersama seorang anak perempuan cilik berambut hitam legam.

"Itachi!" sergah Deidara kaget. "Sarada-chan!"

Sontak dua orang yang barusan disebut namanya menoleh ke Deidara.

"Mana Sasori?" tanya Itachi begitu melihat Deidara muncul sendiri.

"Dia pulang untuk mengantar Shikadai ke dokter." Memerhatikan gadis di sebelah Itachi dengan lebih seksama, Deidara sontak melonjak. "Sarada-chan! Tadi ibumu kebingungan mencarimu!"

Sarada hanya menoleh sekilas, lalu tatapannya kembali mengarah ke layar televisi.

"Astaga ..." Deidara mengelus dadanya, ia mendudukkan dirinya di sebelah Sarada. Saat ini bukan waktunya untuk marah karena merasa tidak dihormati. Ada yang lebih penting daripada itu. "Ini masalah serius lho Sarada-chan, tadi ibumu benar-benar panik karena kau tiba-tiba menghilang," tuturnya. "Yuk Paman antar pulang."

"Tidak mau, kakiku sedang sakit," tolak Sarada, sambil menunjuk kakinya yang masih terdapat kain kompresan di atasnya.

"Nah, Paman gendong deh."

"Tidak mau." Walaupun tak bisa menjadikan kakinya lagi sebagai alasan, tapi Sarada tetap kukuh. "Aku tidak mau pulang."

"Dasar bandel, ibumu khawatir sekali tahu." Dengan jengkel Deidara mengangkat tubuh mungil Sarada, spontan Sarada berpegangan pada lengan kaos Itachi.

"Paman Itachi! Aku tidak mau pulang! Tolong aku!" jerit Sarada. Ia mulai menangis.

"Kau harus pulang, Sarada. Tadi dengar sendiri kan? Ibumu khawatir padamu."

Sarada menggeleng-geleng. Tangisnya mulai mengeras, mulai memasuki tahap histeris. Sementara itu tangannya tetap mencengkram lengan Itachi, enggan dibawa Deidara pergi.

Itachi jadi tak tega melihatnya. "Deidara, lepaskan, biar aku yang mengurus dia."

"Aku mau tinggal di sini!" Selepasnya dari Deidara, Sarada langsung menghambur ke pangkuan Itachi, memeluk pria itu sambil berusaha meredakan tangisnya.

Mulut Deidara terbuka lebar, matanya mengedip-ngedip tidak percaya. Giginya bergemeletuk. "Sarada-chan! Jangan main-main, ibumu mencarimu seperti orang gila! Ayo pulang sekarang!"

Tapi gemetar di tubuh kecil itu juga tidak main-main, Itachi bisa melihatnya. Sementara pelukan Sarada padanya semakin kencang, Itachi menatap Deidara serius. "Beritahu ibunya kalau Sarada menginap di sini."

"Apa?"

"Setidaknya dia aman bersamaku."

"Kau gila ya? Ibunya itu setan, tidak mungkin aku bilang kalau aku tahu di mana anaknya tapi tidak membawa ia pulang bersamaku."

"Memang siapa ibunya?"

"Siapa? Siapa lagi kalau bukan Uzumaki Karin? Perempuan yang sangat membenci pendatang." Deidara tak bisa menahan emosinya. "Aku bisa mati dicekiknya kalau dia tahu aku membiarkan anaknya tinggal di sini bersamamu, si orang dari kota."

.

Akhirnya kesepakatan dibuat. Sarada boleh menginap di rumah Itachi asalkan gadis itu menceritakan kenapa ia tidak mau pulang ke rumah.

Sarada menatap Deidara tajam. "Tapi Paman Deidara pulang dulu."

Deidara geram, tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi. Itachi memberikannya kode lewat mata dan gerakan dagu supaya Deidara pulang.

"Paman pulang nih?"

"Ya."

Deidara mendengus. "Aku nggak ikut-ikutan lho ya kalau sampai Karin-san mengamuk," pesan Deidara sebelum pergi. Sebelum mencapai pintu, Deidara menggerutu dulu, dan gerutuannya cukup keras untuk bisa didengar Itachi dan Sarada. "Dasar bocah, makanya aku nggak suka bocah. Kenapa pula wajah Tuan Sasori masih seperti bocah?"

Terdengar suara derit pintu dibuka dan ditutup, lalu gerutuan Deidara menghilang.

Itachi kembali fokus ke Sarada. "Sekarang jelaskan pada Paman."

"Aku kesal pada Ibu."

Hm, ternyata dia anak bandel. Jadi karena bertengkar dengan orang tua?

"Kenapa?"

"Ibu membelikan Nee-chan yukata yang bagus, sedangkan aku tidak dibelikan. Padahal, aku ingin sekali memakai yukata, tapi Nee-chan sama sekali tidak mau meminjamkannya," tutur Sarada. Matanya berkaca-kaca. Gadis manis itu menggigit bibirnya sendiri. "Dan tadi, aku pergi ke festival bersama Ibu dan Nee-chan. Banyak orang di sana. Ibu tidak menggandengku, jadinya aku terdorong dan jatuh menabrak papan jualan Paman Ebisu. Rasanya sakit sekali, tapi aku tetap berdiri dan menyusul Ibu dan Nee-chan. Tapi Ibu malah memarahiku karena Ibu pikir jalanku lambat sekali, padahal Nee-chan yang memakai yukata saja bisa jalan cepat." Sampai di situ Sarada berhenti. Ia meremas roknya dengan kuat. "Terus, aku ..." Tanpa sadar Sarada menangis, air matanya mengalir sendiri, tanpa diperintah seperti air itu punya nyawa.

Tangan Itachi terangkat, meraih puncak kepala Sarada, membawanya mendekat ke dada pria itu, dan ia memeluknya. "Sudah, sudah ... tidak apa-apa ..."

Padahal Sarada belum menceritakan bagaimana ia bisa terpisah dari ibunya dan berakhir merenung sendirian di danau, tapi bagi Itachi itu tidak perlu, karena garis besarnya sudah ia dapatkan. Lagipula, akan kejam jika menyuruh Sarada menceritakan kejadian yang mungkin sangat ingin dilupakannya.

Jadi intinya masalah keluarga. Soal kesalahpahaman.

Itachi tidak bisa menyalahkan sifat Sarada yang iri terhadap kakaknya. Begitulah fitrah seorang anak. Mereka bisa iri dengan orang lain (terlebih saudaranya) dengan begitu mudahnya. Itachi juga mengerti bagaimana rasanya, karena ia juga punya saudara untuk berbagi rasa iri itu.

Sarada hanya belum cukup dewasa untuk bisa mengontrolnya.

Terlebih, kesalahpahaman ibunya yang tidak tahu duduk perkaranya tapi sudah menghakimi anaknya sendiri. Yah, terkadang memang seperti itu. Bahkan walaupun tidak sengaja memarahi anak sendiri, di mata seorang anak ia akan menganggap ibunya membencinya dan tidak suka padanya. Padahal tidak seperti itu.

Itachi juga bisa memprediksi sikap Karin selanjutnya pada Sarada jika anak itu pulang ke rumah. Di samping dirinya lega bahwa anaknya ternyata baik-baik saja, tapi tetap saja pasti ia tidak bisa menahan diri untuk tidak marah.

Dan Sarada hanya ingin menghindari kemarahan itu.

Yah, apalagi kalau ibunya tahu kalau anaknya sudah berinteraksi denganku, seorang pendatang yang dibencinya.

"Aku ... benar boleh menginap di rumah Paman?"

Itachi menurunkan pandangan, dan matanya langsung disambut oleh sepasang manik obsidian yang berpendar penuh harap padanya.

Tapi kau tidak bisa melarikan diri seperti ini selamanya, Sarada-chan.

Itachi pikir, akan lebih baik kalau memikirkan tindakan selanjutnya keesokan hari. Mungkin emosi Sarada juga bisa lebih stabil dan bisa diajak bekerjasama. Karena itu, Itachi hanya mengangguk mengiyakan dan tersenyum lebar. "Tentu saja."

Sarada semakin mempererat pelukannya.

.

"Hm ..." Itachi mengusap dagunya, mencermati beberapa potong kaos yang ia rasa cukup kecil untuk dipakai Sarada malam ini. Sementara itu Sarada di belakang sana sibuk merapikan futon yang akan dijadikan alas tempat mereka tidur. "Sarada."

"Ya?" Sarada mengangkat wajahnya ke depan.

"Apa kau bisa memakai ini?" Itachi membentangkan satu lebar kaos oblong berwarna merah tua yang menurutnya memiliki ukuran paling kecil dibanding kaosnya yang lain.

Sarada mengangguk tegas. Ia segera mengambil kaosnya.

"Kau bisa mandi sendiri?"

"Aku sudah besar Paman!"

Itachi tergelak. Lalu ia menyuruh Sarada mandi, sementara dirinya melanjutkan membereskan futon.

Setelah keduanya sama-sama telah membersihkan diri, Itachi menyempatkan dirinya untuk menyisir rambut Sarada sebelum tidur.

"Rambut Paman panjang. Apa nanti aku juga akan gantian menyisir rambut Paman?"

"Hm ... Paman rasa tidak perlu."

"Tapi aku boleh menyisirnya kan?"

"Tentu saja."

Mendengar jawaban Itachi membuat Sarada bersenandung bahagia. "Jadi Paman, apakah Paman pernah bertengkar dengan ibu Paman?"

"Sepertinya pernah. Yang jelas ... lebih sering daripada kau." Itachi mengakhiri jawabannya dengan kekehan.

"Apakah Paman punya kakak?"

"Tidak. Tapi Paman punya adik."

"Seperti apa adik Paman?"

Itachi masih dengan lembut menyisiri rambut sewarna arang milik Sarada. Setelah sudah cukup rapi, ia membuat Sarada berbalik menghadapnya. Itachi menangkap pipi gadis cilik itu. "Adik Paman mirip sekali denganmu."

"Mirip apanya?"

Itachi diam, mencermati dengan seksama sosok manusia di hadapannya sekali lagi. "Rambut, mata, senyum—mirip sekali."

"Bohong."

"Paman tidak bohong, sungguh. Kalau mau nanti Paman perlihatkan fotonya."

"Apakah adik Paman nakal?" Tidak terlalu tertarik dengan pernyataan Itachi soal kemiripan ia dengan adik Paman Itachi, Sarada mengajukan pertanyaan yang berbeda. "Apa Paman sering bertengkar dengan adik Paman?"

"Nah." Itachi tersenyum makin lebar. "Seperti itulah kakak dan adik. Mereka bisa tahu rasa sayang karena mereka juga pernah berkelahi."

Sarada memiringkan kepala.

"Pertengkaran antar saudara adalah sesuatu yang tidak akan bisa dihindari oleh siapa pun, pertengkaran sekecil apa pun. Tapi, tidakkah kau pernah merasa kalau setelah bertengkar justru kau dan saudaramu akan merasa lebih dekat?"

"Jadi maksud Paman aku dan Nee-chan bisa berbaikan lagi?"

"Kau sayang Nee-chan?"

Sarada mengangguk tanpa ragu.

"Besok kalian akan baikan. Nah, sekarang saatnya tidur."

"Tapi aku belum menyisir rambut Paman."

"Haha, tidak perlu. Sudah, tidur saja yuk." Itachi menepuk bantal yang akan dipakai Sarada untuk menumpu kepalanya.

"Paman juga akan akan tidur kan?"

"Tentu saja." Itachi segera memosisikan dirinya untuk tidur di atas futon di samping futon Sarada. "Selamat malam."

Dan lampu pun dimatikan.

.

Dalam keheningan malam, Sarada membuka matanya. Ia meraba-raba sekeliling, dan hanya bisa meraup udara kosong saat tangannya digerakkan ke sana ke mari. Sayup-sayup, terdengar suara aneh, hampir seperti bunyi jarum jam yang berotasi, tapi suara ini tidak teratur seperti mereka.

Tik, tiktiktik, tik tik tik. Seperti itu.

"Paman?" panggil Sarada setengah mengigau.

Itachi terperanjat mendengar suara kecil nan lemah itu memanggilnya dini hari seperti ini. Wajahnya berpaling dari layar komputernya ke belakang sana. Dalam kegelapan dan bantuan sedikit dari cahaya layar komputer, Itachi bisa melihat Sarada bergerak-gerak kecil di atas futon.

"Aku tidak takut dengan Paman kok."

Lalu tak ada suara lemah lagi yang menyusul. Lengkungan senyum terangkat ke atas, dan Itachi kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Bersambung ...


A/N

Itachi: 32 tahun, Sarada: 8 tahun

Sasagi = burung penyanyi

Fanfiksi ini berfokus pada Itachi dan Sarada (yang katakanlah) sebagai sepasang sahabat, bukan paman-keponakan atau apa pun. Ngomong-ngomong saya juga tidak menjamin rating akan tetap berada di T sampai tamat, kalau dirasa perkembangan ceritanya makin kompleks dan memusingkan, saya akan menaikkan rating. Untuk usia, karena saya nggak tahu benarnya bagaimana, anggap saja usia mereka seperti apa yang sudah saya cantumkan di atas.

Peringatan selanjutnya akan dicantumkan di bab-bab berikutnya. Untuk sekarang, hanya segini saja dulu.

Yosh, semoga bisa diterima!

Ah, dan jangan lupa reviewnya ya! :D