London, Vargas Café—22.45 GMT
Seorang pemuda bermata giok dan berambut Lycoris berbalut jaket hijau kecoklatan bertuliskan Royal Air Force duduk di pojokan café sambil menyesap rokok tembakaunya. Di atas meja yang ia tempati, tampak apik seiris blackforest yang masih tersegel dalam tabung plastik yang berbentuk setengah bola, di sebelahnya ada lilin ramping beralur pilin dan pematik api dari besi sewarna perunggu. Sudah berkali-kali ia menghembuskan asap putih yang ia hisap dan sudah berkali-kali juga ia melirik arloji digital yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.
"SCOTT!" panggil seorang remaja sembilan belas tahunan dengan iris mata yang identik dengan pemuda tadi, remaja yang mengenakan setelan casual berjalan tergesa-gesa ke arah pemuda yang dipanggilnya 'Scott'.
"Sudah lama menungguku?" ia menarik kursi yang berhadapan dengan pemuda RAF, sikapnya berbanding terbalik dengan remaja tadi, Scott tampak lebih tenang dan dingin tanpa ulasan senyum.
Scott menghisap lagi putung rokoknya, kemudian menghembuskannya untuk terakhir kali sebelum menekan baranya pada asbak berwarna keperakan. "Satu jam menunggumu disini, Arth. Bagiku cukup." Katanya.
Remaja yang biasa di panggil Arthur itu menyisir ke belakang rambut emas sebahu dengan jemari porselinnya. "Sorry, git." Ujarnya singkat.
"Mana Vargas bersaudara si tomato freak itu?"
"Sedang tak di rumah."
"Ivan si innocent itu, dan Ludwing si manusia kaku? Biasanya kau bersama-sama mereka?"
Scott tak menjawab. Ia menghisap batang rokok dan menghembuskannya kearah lain.
Arthur memajukan bibirnya. "So, untuk apa kau memanggilku kemari?" ia membetulkan posisi duduknya pada sofa beludru tanpa lengan tersebut agar nyaman. Ia ingin langsung to the point saja, biar pertanyaannya tak lagi sekedar dengungan lalat bagi Scott.
"Meneruskan tradisi keluarga Kirkland."
"Maksudmu? Hey, berhentilah bersajak!" Arthur benci pada Scott yang selalu membuatnya mati kebosanan.
Scott tidak langsung menjawab, Arthur semakin gondok. Sudah menjadi bawaan sejak kecil Scott bersikap dingin begitu, sementara Arthur adalah kebalikannya, ia tak suka dengan hal yang menyusahkan hanya buang-buang waktu, begitulah pola pikir Kirkland bersaudara yang bertolak belakang layaknya es bertemu api, mereka tak jarang berselisih.
Scott mengabaikan Arthur yang ber ciap-ciap kesal, sementara ia sendiri membuka segel pada blackforest, menancapkan lilin ramping di atasnya, menyalakan pematik api, terakhir meyulut sumbunya.
"Selamat Hari Lahir, bro."
.
Royal Air Force
Hetalia Axis Power (c) Hidekaz Himaruya-Sensei
Royal Air Force (c) Inggris
Cuman minjem nama
.
OOC, Straight, Brothership, Human Name
OC!Indonesia : Satria Herlaut dan Nesia Pertiwi
Hanya fict belaka yang tidak mengandung unsur penghinaan, historical, atau apapun!
.
"Tiuplah lilinmu, berharap kau dapat kerjaan tahun ini." Scott mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaket RAF-nya.
Lagi-lagi Arthur memonyongkan bibirnya mendapati kalimat barusan. Memang benar harusnya begitu, mengingat umurnya yang masih muda dan potensi karirnya masih besar. Tapi ia merasa tersinggung dengan celotehan kakaknya, seolah sejak ia lulus SMA tahun lalu dia tidak berusaha mencari kerja. Zaman reformasi dengan pemberontakan dimana-mana seperti ini, mencari kerja adalah hal sulit, dimana-mana perang, harga pangan melonjak, bahkan ia belum mendapat kabar tentang nasib kedua saudaranya yang terpisah, Will dan Irisha. Arthur mendiamkan api yang menjilat-jilat pada lilin kue ulang tahunnya.
"Kenapa?" Scott menyulut rokoknya, asap putih mengepul lagi dari celah bibirnya. "Kalau tak mau cari kerja ikutlah bersamaku ke Air Force."
"Aku bilang, aku tidak mau!" bantak Arthur tegas, ini sudah yang ke sekian kalinya saudara lelakinya itu memintanya ikut ke Angkatan Udara, sudah berkali-kali pula ia menolak dengan tegas.
"Terserah. Cepat tiup lilinmu, kemudian berdo'a supaya dapat kerja, SECEPATNYA." Scott memberikan penekanan pada kata terakhir kalimatnya.
"Kau ingin mengusirku dari rumahmu?"
"Inginnya." Balasnya singkat, lalu menghisap nikotin dan tar dari gulungan tembakau yang terselip di sela jemarinya. "Setidaknya cukurlah rambut panjangmu itu, biar terkesan kau berpendidikan." Katanya ironi.
Ingin sekali Arthur menghajar wajah kakaknya itu, kalau saja di AU dia tidak diajarkan cara membalas serangan tangan kosong dengan baik. Ia pernah berkalahi dengan pemuda berwatak dingin tersebut, sialnya berakhir Arthurlah yang dihabisi oleh badan besar kakaknya, esoknya seluruh badan lebam-lebam, sejak itu dia tak mau lagi main fisik dengan kakaknya. Ia takut pada pengganti personifikasi sosok ayah yang jauh lebih tegas dibanding ayahnya. Meskipun begitu, keras kepalanya tetap subur dalam dirinya, belum ada yang mampu menghabisi sifat jelek yang satu itu.
Arthur membuang tatapannya ke arah lain, karena dilihatnya Scott pun begitu, ia asik bersama rokok yang sudah candu sejak kakaknya masih belia. Kelereng gioknya mendapati gadis manis berperawakan Asia yang maskulin dengan blazer lengan panjang berwarna merah muda dan rok hitam dibawah lutut masuk ke dalam café seorang diri menuju meja counter yang jaraknya tidak begitu jauh, sehingga ia masih dapat mendengar pembicaraan gadis itu dengan pelayan di counter, rambut arang yang dikuncir kudanya bergoyang ke kanan-kiri seiring gerak langkah kaki jenjangnya yang molek.
"Saya pesan cappuccino." Ujarnya halus, terkesan sekali budaya timur yang kolot.
"Maaf, café sudah tutup." Jawab pelayan yang diajaknya bicara.
Air muka gadis yang kecewa itu terpotret pada pantulan bola mata Arthur. Si remaja emas segera berdiri berniat menghampiri si gadis, sebelum lengannya dicengkram sang kakak.
"Mau kemana?" tanyanya.
"Mencari peluang." Alis mata Scott bertaut mendengar sepotong kalimat barusan.
"Tiup dulu lilinmu." Scott menunjuk kearah lilin yang sudah terbakar tiga perempatnya, jika ditinggalkan lebih lama lagi oleh si empunya, mungkin café tersebut akan terbakar.
Dengan gerakan cepat, Arthur meniup lilin tersebut lalu melenggang pergi dari hadapan Scott.
"Apa harapanmu?" tanya Scott keras-keras, memutar lehernya untuk menatap si rambut emas.
"Rahasia. Bukan urusanmu!" Bisik Arthur, tapi Scott hanya mendapat gerakan mulut Arthur yang ditutupi telapak tangan di sisi-sisinya. Scott tak ambil peduli, ia bercumbu lagi dengan putungan rokok yang entah sudah berapa batang ia habisi untuk hari ini.
_RAF_
"Hai..." sapa Arthur lebih dulu dengan gayanya yang canggung sekaligus sok cool, ia duduk di kursi counter sebelah gadis itu.
Gadis itu hanya tersenyum simpul, ia mengesampingkan poni di dahinya yang sudah panjang hampir menutupi mata, lalu duduk diatas kursi counter yang bersebelahan dengan Arthur.
"Ada yang perlu ku bantu?"
"Dia memesan cappuccino, sementara café kami sudah tutup." Potong pelayan yang tadi melayani gadis itu.
Arthur mengendikkan bahu dan alisnya serentak, seolah ia mampu menyelesaikan masalah tersebut. "Kalau tak keberatan aku akan mencarinya di kelontong."
"Silahkan jika tak memberatkanmu." Gadis itu bertopang dagu pada meja counter.
Arthur merosot dari kursinya, setengah berlari ia keluar café tersebut mencari Convenience Store atau semacamnyalah yang menjual makanan ataupun minuman cepat saji.
_RAF_
London, Convenience Store—23.05 GMT
"Hey, hey, hey..." Arthur berlari kearah toko kelontong yang sedang dikunci oleh pemiliknya.
"Sorry, sir. We're close now." Kata si petugas dengan isyarat tangan yang mengusir.
"Sebentar saja, aku butuh cappuccino." Arthur memohon, tapi lelaki seperempat abad itu tak menggubris sama sekali. "Buka sebentar saja, menuang cappuccino tak lama."
"Kami sudah tutup, kau bisa baca tulisan ini!" marah lelaki tersebut sambil memukul-mukul pintu kaca yang dibaliknya ada papan putih bertuliskan 'Closed'. Lelaki yang kira-kira seumur dengan Scott itu menarik kunci yang masih tergantung pada lubangnya, kemudian pergi tanpa ambil peduli kehadiran si pemuda bersurai emas.
"AKH!" pemilik orb giok itu mengerang frustasi sambil menjambaki rambut emasnya yang berkilau ditimpa lampu jalan. Sedetik kemudian ia baru sadar, di sepanjang trotoar itu hanya dia seorang diri, maka munculah ide brilliant yang absurd dan kriminal.
.Meanwhile.
Scott masih belum puas menghisap putungan tembakaunya, padahal itu sudah yang ke lima sejak ia duduk di tempatnya sekarang. Lama-lama ia merasa bosan. Ditekannya bara rokok yang tinggal sebuku jari kelingking tersebut ke asbak yang sudah penuh abu, lalu menoleh kebelakang mencari adiknya yang sejak tadi belum kembali. Namun hanya ada beberapa orang bussinesman yang sedang berdiskusi dan pasangan yang sedang nge-date serta seorang gadis Asia yang tersenyum padanya ketika obsidian dan gioknya bertabrakan. Tapi Scott tak peduli semua itu.
Ia beranjak bangkit dari sofa yang sudah dua jam ia duduki, celana jeansnya agak lecek. Ia berjalan ke jendela besar café yang berhadapan dengan jalan. Matanya menangkap sosok Arthur yang memegang selas cappuccino sambil berlari kearahnya, di belakangnya ia membonceng tiga mobil Yard dengan sirinenya yang amat nyaring.
Orang-orang dalam café penasaran ingin melihat apa yang terjadi setelah beberapa letupan senapan angin diluncurkan. Scott dan gadis Asia itu ikut serta.
Arthur masih berlari sambil menjaga isi cappuccinonya agar tidak tumpah. Tiga orang Yard sudah turun dari mobil dan mengejar dirinya sambil membawa senapan 12-gauge.
DOR! Peluru sengat listrik—Lektrox yang berdiameter antara 37-40 mm—terarah pada punggungnya. Arthur terjungkal hingga terlungkup di tanah, masih sambil memegangi segelas cappuccino, ia menyeret tubuhnya mendekati si gadis Asia dan mengulurkan cappuccino tersebut sebelum peluru sengat listrik lagi-lagi menggenai punggungnya, dan pingsan.
Gadis Asia itu hanya tersipu antara ngeri dan memuji, "Sweet." Ia bergumam dengan suara di pelankan.
_RAF_
London, Lt. Scott Kirkland's House—10.35 GMT
"HEY, WAKE UP YOU IDIOT!"
Arthur membelalakan matanya yang semula terpejam itu karena kaget mendengar bentakan yang amat keras. Dilihatnya Scott menendang-nendang sisi bathub dengan muka marah besar kepadanya. Arthur baru sadar, ia terbaring diatas balok es dalam bathub kamar mandi dalam keadaan tak berbusana.
"Wake up bloody, git!" Scott melemparkan selembar handuk tebal berpola garis-garis warna biru pada wajah Arthur kemudian keluar dari kamar mandi dengan terus berceloteh panjang lebar disertai amarah.
Arthur berusaha bangkit, punggungnya mati rasa setelah entah sejak kapan dia berbaring diatas balok es seperti itu. "Oh my back!" rintihnya sambil memegangi bekas sengatan peluru listrik tadi malam. "Rasanya seperti tersengat lebah!" ia memegangi punggungnya lama. Melihat Scott yang menyembulkan kepalanya, ia segera melilitkan handuk ke pinggangnya.
"Minumlah!" Scott menyodorkan segelas hot chocolate pada Arthur, lalu duduk di sofa.
Arthur menyesapnya perlahan, kemudian duduk di kursi makan yang letaknya berjauhan dengan sang kakak.
"Sebenarnya maumu apa?! Kau hanya numpang tidur di rumah dinasku tanpa pekarjaan, makan dengan gratis, tapi kau berbuat seenak hati!" Scott meraup nafas dalam-dalam dengan rakusnya. "Rasanya aku ingin mengusirmu, tahu! Kalau saja kau bukan adikku, kau sudah tidur di emperan toko."
"Hey, kau lihat sendiri aku sudah menaruh surat lamaran ke beberapa perusahaan tapi selalu ditolak karena aku tidak kuliah! Lagipula sekarang ini zaman susah, kak. Perang dimana-mana, siapa yang mau memberikan pekerjaan secara gampang?"
"Kau lihat temanku, dia tidak kuliah tapi dia bekerja." Jeda. "Meski serabutan!" si surai Lycoris itu meninggikan oktaf bicaranya.
"Ya, aku dengar! Sudah berkali-kali kau ucapkan itu." bantah Arthur.
"Aku tak bisa menunggu!" pemuda bertubuh tegap itu berdiri, seraya melangkah kearah Arthur yang menatapnya tak peduli. "Kau tahu apa? Setelah aku mengeluarkan gajiku selama sebulan untuk membebaskanmu dari tahanan Yard, pangkatku diturunkan karena gadis bernama Nesia Pertiwi yang semalam kau temui adalah anak gadis Marsekal Satria Herlaut, atasanku, pemimpin dari armada perang udara Royal Air Force. Kau mau mengacaukan karirku?!" Scott menjelaskan secara terperinci dengan emosi yang sudah di ubun-ubun.
Ia berdiri sejengkal di hadapan adiknya yang terbelalak tak percaya. "A-Aku tak tahu, mana aku peduli!" bela Arthur ketus.
"Apa salah aku mendidikmu sejak rumah kita digusur para pemberontak bastard itu, kemudian ayah mati untuk melindungi kita, dan ibu—" ia menahan bicaranya, matanya berubah sayu.
Kehaningan terjadi. Arthur sama sekali tak peduli ocehan kakaknya, meraka sudah biasa berselisih seperti saat ini, ia melihat kearah lain, semantara Scott yang pagi itu mengenakan kaus biru tua ketat yang mencetak otot-otonya menatap sang adik tajam.
"Aku sudah muak mengungkit masalah itu!" amaranya dilanjutkan. "Kau terlalu dimanja oleh Irisha, itu sebabnya kau selalu berani padaku. Dia seperti benteng buatmu kan?!"
Arthur tak menyahut, dia sudah mulai bosan.
"Kau harus ikut denganku ke Royal Air Force! Tak ada tolakan." Scott bertolak pergi.
Arthur sontak menatap wajah kakaknya yang berjarak tak lebih dari setengah meter itu. "Ta-tapi—" baru kali ini Arthur mendapati kata-kata kakaknya yang menuju point seperti tadi. 'Tak ada tolakan,' katanya.
_To Be Continue_
AN : Gini aja ya, Faza sudah males berbahasa formal dengan ungkapan saya, anda, teman-teman, deelel.Kalo dalam kehidupan nyata sih, gue berbahasa serabutan, gabungan antara saya-aku-loe-gua-ane-ente, pokoknya berdasarkan situasi keenakan saya berbahasa deh!
Ide fict ini dari filmnya Pak Peter Berg, 'Battleship'. Gak jauh-jauhlah ceritanya, tapi kalo itu film ngomongin alien, berhubung daya khayal seorang Faza bermarga 'Phantomhive' #dirajamMbakYana ini masih lemah, jadi saya padukan dengan film-film perang yang pernah saya tonton. Rata-rata sih berbau angkatan udara USA, tapi disini saya maunya angkatan udara UK yaitu RAF, soalnya pengen cari sensasi baru.
Tau ga si? Gegara ini fict, UAS saya di hari terakhir udah gak fokus. Bahkan Pak Auguste Comte si pencetus ilmu Sosiologi sama temen-temennya si Herbert Spencer, Max Weber, and team aja udah kagak gue peduliin, ane mau jadi anak IPA, bukan IPS! Tidak mendiskriminasi, tapi memang cita-cita saya kesana. Bahasa mandarin, bodo amatlah bukan bahasa gue ini, udah males ngartiin berparagraf-paragraf Hanzi tanpa ada Pinyinnya, tapi lancar aja tuh apalagi pas bagian nǚ ama nàn pèng yǒu, hahaha... Agama, tiap hari ibadah, so? Tangan gue udah gatel ngebet nulis ni fict!
Last, read FOR review!
.
Regards,
FAZA Phantomhive
