Remove the Wound

Main character: Yodo, Shinki, Araya

Rate: T

Disclaimer: Naruto/Boruto hanya milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakternya saja.

Warning: gaje, typo(maybe), agak ooc, terkesan garing, pokoknya banyak kekurangannyalah.

Happy reading :)

Aku membuka kedua mataku setelah mendengar jam wekerku yang telah berbunyi. Tangan kananku langsung meraih jam wekerku lalu mematikan alarmnya. Kemudian aku menguap sembari meregangkan badanku lalu beranjak dari futon. Setelah itu, aku mengambil handuk, daleman, dan seragam lalu berjalan ke kamar mandi.

"Ohayou."

Aku menoleh kepada pemuda bertopeng hannya berwarna ungu dan putih yang saat ini sedang sibuk memasak. Namanya Araya. Dia adalah tetanggaku sekaligus sahabatku sejak kecil. Kami selalu satu sekolah sejak SD hingga SMA. Meskipun kita satu sekolah sejak SD, aku tidak pernah sekelas Araya. Padahal aku ingin sekali sekelas dengannya. Aku berharap di kelas dua ini aku sekelas dengannya.

Walaupun aku bersahabat dengannya, dia tidak pernah menunjukkan wajah aslinya kepadaku. Alasannya sih karena malu menunjukkan wajah aslinya kepadaku. Meskipun begitu, aku tidak masalah dia merahasiakan wajah aslinya kepadaku. Toh, itu privasinya. Hanya waktu yang menjawab rasa penasaranku akan wajah aslinya. Seperti peribahasa bilang kalau sepandai-pandainya seseorang menyembunyikan bangkainya, pasti akan tercium juga.

"Ohayou," balasku sembari mengucek mataku. "Kemana ayahku?" tanyaku menatap pemuda berambut coklat sebahu yang dikuncir kuda ini.

"Ayahmu sudah berangkat bekerja. Tampaknya dia terburu-buru," jawab Araya sembari menggoreng ayam katsu. Aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Mandilah. Kita harus berangkat lebih awal supaya mendapatkan bangku yang nyaman untuk kita," seru Araya.

"Emang kita bisa memilih bangku sendiri? Pasti ujung-ujungnya dilotre," tanyaku.

"Itu sih tergantung wali kelasnya. Semoga saja kita tidak mendapatkan wali kelas yang ribet," kata Araya.

"Semoga saja," kataku lalu aku memasuki kamar mandi.


"Ittadakimasu."

Aku dan Araya memakan sarapan kami dengan lahap. Sesekali aku melirik Araya yang begitu lahap memakan sarapannya di balik topengnya. Semenjak ayahku berangkat bekerja pada jam enam pagi, dia lebih sering mampir ke rumahku sebelum berangkat sekolah hanya untuk memasak sarapan sekaligus bekal untukku. Aku yakin dia pasti disuruh oleh ibunya untuk melayaniku. Ibunya pernah bilang kepadaku kalau dirinya tidak tega melihatku sarapan sendirian.

"Yodo-chan," panggil Araya.

"Iya?" tanyaku.

"Kemarin malam ayahku menawarkanku untuk tinggal bersamanya di sana," kata Araya.

"Lalu, apa jawabanmu?" tanyaku.

"Tentu saja aku tidak mau. Aku tidak ingin meninggalkan teman-temanku. Ditambah lagi aku tidak ingin tinggal serumah dengan wanita jalang itu," jawabnya.

"Kau ini. Dikasih enak malah tidak mau. Kalau aku jadi kau, aku langsung terima tawaran ayahmu. Hidup di Tokyo itu enak tahu? Walaupun resikonya kau harus tinggal bersama ibu tirimu sih," kataku lalu kembali memakan makananku.

"Di sana ramai banget. Lebih enak tinggal di sini," kata Araya lalu meminum air putih.

"Cih! Mentang-mentang sudah pernah kesana," kataku kesal. Araya hanya tertawa saja.

"Araya," panggilku.

"Iya?" tanyanya.

"Kapan-kapan aku akan selalu mampir ke rumahmu sebelum berangkat sekolah untuk membuatkanmu sarapan. Ditambah lagi aku ingin belajar lebih banyak lagi soal memasak kepada ibumu. Ibumu 'kan juru masak terhebat di desa ini," kataku.

"Emang kau bisa bangun pagi?" tanyanya.

"Tentu saja. Masa' kamu terus yang melayaniku sebelum berangkat sekolah? Gantian dong," jawabku.

"Tidak perlu timbal balik. Aku ikhlas kok melayanimu," kata Araya.

"Tidak bisa begitu. Kamu 'kan sahabatku. Bukan pembantuku," kataku.

"Iya deh," kata Araya singkat.

Kami semua telah selesai sarapan. Aku dan Araya meletakkan mangkuk, sumpit dan gelas ke tempat cuci. Kemudian aku membersihkan peralatan makanku. Sedangkan Araya memasang dasi berwarna merah dengan motif garis berwarna putih serta memakai jas berwarna biru dongker. Setelah itu, aku memakai jasku yang juga berwarna biru dongker lalu kami berdua keluar dari rumah ini dengan membawa tas untuk berangkat sekolah.


Betapa senangnya aku melihat namaku dan nama Araya berada di kelas yang sama. Akhirnya aku sekelas dengan Araya setelah selama ini kita selalu berbeda kelas walau satu sekolah terus sejak SD. Kami berada di kelas 2-F. Kelas yang paling akhir di antara keenam kelas angkatan kedua.

"Yodo-chan, kita sekelas," kata Araya.

"Akhirnya kita sekelas juga," kataku.

"Yodo-san, Araya-san, kita sekelas," kata gadis berambut hitam sebahu dan bermata onyx ini tersenyum sembari menepuk bahu kami.

"Duduk di sebelahku ya, Sarada-san," kataku menatap gadis berkacamata itu.

"Sip," ucapnya sembari mengacungkan jempolnya.

"Oi, Araya!" sapa lelaki berambut pirang pendek model pisang itu kepada Araya.

Dia menghampiri Araya bersama kelima teman akrabnya. Aku kenal mereka semua karena mereka adalah teman nongkrong-nya Araya ketika istirahat. Ditambah lagi ada yang pernah sekelas denganku.

"Oi, Boruto, Mitsuki, Shikadai, Inojin, Denki, Iwabe, Metal," sapa Araya kepada mereka semua dengan menyebutkan nama mereka satu persatu.

"Duduk bersebelahan ya sama kita," ajak Boruto lalu menatapku. "Sama pacarmu juga," katanya hingga Araya menggarukkan kepalaku.

"O-oke. Tetapi...d-dia hanya sahabatku. Ditambah lagi dia akan duduk bersebelahan dengan Sarada-san," kata Araya.

"Yaaah sayang sekali," kata lelaki bermata biru dan memiliki kumis dua di kedua pipinya ini sedikit kecewa.

"Padahal lebih seru kalau di kelompok kita ada ceweknya. Iya 'kan teman-teman?" kata lelaki berabut hitam bob ini.

"Iya," kata lelaki berambut pirang pudar dan berkulit pucat ini.

"Maaf ya teman-teman. Soalnya aku sudah terlanjur bilang sama Sarada-san," ucapku menatap mereka semua.

"Santai saja. Yang penting kita sekelas 'kan?" kata lelaki berambut hitam sebahu yang dikuncir ala nanas ini tersenyum kepadaku. Aku hanya tersenyum saja menatapnya.

"Yuk kita masuk," seru Araya.

Kami semua memasuki kelas kami. Kini aku mulai berpencar dengan Araya dan kawan-kawan. Aku duduk di bangku yang terletak di urutan keempat barisan ketiga. Di sebelah kananku adalah bangkunya Sarada sementara di sebelah kiriku adalah bangkunya Tarui.

"Hei, kita sekelas lagi," kata Tarui.

"Ngerumpi lagi nih," kataku tersenyum kepadanya lalu kami berdua tertawa.

Tiba-tiba terjadi keributan di kelas ini. Boruto berebut bangku dengan lelaki berambut pirang klimis dan bertubuh lumayan tambun yang kuketahui bernama Yurui. Yurui tak terima kalau bangkunya ditempati oleh Boruto. Tetapi Boruto tak mau pindah dengan alasan bangkunya kosong.

"Salah sendiri tak taruh tas di bangkumu. Ini sudah menjadi bangkuku, bangsat!" kata Boruto mengumpat.

"Si bajingan ini!"

Yurui langsung meninju wajah Boruto hingga mereka saling adu jotos. Bukannya berusaha dipisahkan justru para lelaki di kelas ini bersorak mendukung Boruto ataupun Yurui. Para gadis di kelas ini termasuk aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka seperti anak kecil.

"Cowok-cowok sialan!" ucap Sarada geram dengan mengepalkan tangan kanannya lalu ia menghampiri mereka untuk melerai pertengkaran mereka.

"HENTIKAAAAN!" teriak Sarada lalu ia meninju muka Boruto dan Yurui hingga mereka berdua terpental dan tepar.

"Sarada memang hebat," ucap gadis gendut berkukit coklat itu. Namanya Akimichi Chouchou atau yang akrab disapa Chouchou atau si gendut.

"Aku jadi ingin lebih kuat sepertinya," ucap gadis cantik berambut ungu yang dikepang dua ini. Namanya Kakei Sumire atau yang akrab disapa Sumire.

"Kurasa dia akan menjadi ketua kelas kita," kataku.

"Itu sudah pasti," kata Chouchou.

Disaat Boruto dan Yurui berusaha bangkit dari tidurnya, munculah seorang lelaki berambut coklat kehitaman pendek runcing yang berjalan dengan dengan angkuhnya memasuki kelas kami lalu duduk di bangku urutan ketiga barisan keempat yang dekat dengan jendela. Aku sangat mengenalinya karena dia terkenal angkuh di sekolah ini. Namanya Shinki. Dia adalah teman sekelasnya Araya semasa kelas satu SMA.

Selain angkuh, mulutnya pun juga terkenal pedas. Bahkan lebih pedas dibandingkan si lidah tajam Inojin. Dan lebih parahnya lagi dia selalu acuh terhadap orang yang tersakiti di depan matanya sendiri. Banyak yang tak suka dengan sikap angkuhnya sehingga tidak ada yang mau berteman dengannya. Kecuali Araya. Dia ingin sekali berteman dengan Shinki meskipun selalu mendapatkan tatapan sinis sekaligus hinaan darinya. Tetapi Araya tidak peduli dan terus menerus mendekatinya. Selama ini Araya selalu menjadi teman kelompoknya ketika mengerjakan tugas.

"Kyaaa akhirnya aku sekelas sama si ganteng Shinki-kun," ucap Chouchou girang dengan suara yang pelan yang membuatku melongo. Kupikir hanya Araya saja yang ingin berteman dengannya.

"Anjiiiing! Kenapa sekelas sih sama dia?" keluh Iwabe.

"Iwabe-kun! Jangan ngomong kasar," kata lelaki berkacamata dan berambut hitam sebahu yang bagian belakangnya dijepit ke atas ini memperingatkan lelaki itu.

"Malas banget sekelas dengannya," kata Shikadai.

"Bete' banget deh," keluh Inojin cemberut.

"Dasar cowok-cowok mulut perempuan," ejek Chouchou.

"Diam kau gendut!" bentak Inojin. Chouchou hanya menjulurkan lidahnya kepada Inojin.

"Semuanyaaa! Kembali ke bangku kalian masing-masing! Gaara-sensei akan ke kelas kita!" teriak adis berambut coklat panjang yang dikuncir dua hinga semuanya bergegas ke bangku masing-masing.

Lima menit kemudian, Gaara-sensei memasuki kelas kami. Kami semua langsung berdiri dan mengucapkan salam pagi kepadanya sembari membungkukkan badan kami.

"Selamat pagi, anak-anak. Silahkan duduk," ucap pria tampan berambut merah pendek klimis dan memiliki tato bertuliskan kanji 'Ai' di dahi sebelah kirinya ini dengan tersenyum. Kami semua kembali duduk.

Mata jade Gaara-sensei menatap kami semua. Entah kenapa perasaanku tidak enak melihat tatapan Gaara-sensei seperti itu mengingat beliau merupakan salah satu dari guru ter-killer di sekolah ini. Omong-omong, beliau adalah pamannya Shikadai.

"Semuanya maju ke depan dan bawa tas kalian," perintah Gaara-sensei hingga semuanya terkejut.

"Ke-kenapa sensei?" tanya Boruto.

"Tentu saja mengacak tempat duduk kalian," jawab Gaara-sensei. "Kulihat kalian duduk bersebelahan dengan teman se-geng kalian. Bagaimana kalian bisa berbaur kalau seperti ini?" jelasnya.

"Kami semua sudah saling kenal kok," kata Metal dengan anggukkan dari kami semua.

"Sayangnya saya kurang percaya dengan kalian semua," kata Gaara-sensei. "Ayo maju ke depan," peintahnya lagi.

Mau tak mau kami semua harus menaati perintah yang diberikan oleh Gaara-sensei. Jadi ini alasannya tiap bangku diberi stiker angka. Kupikir bangku ini merupakan bekas ujian akhir semester kemarin. Meskipun aku tahu kalau tempat duduk kami diacak oleh wali kelas, tetap saja mengesalkan. Sekali-sekali kek kita duduk di bangku yang sesuai keinginan kami.

Setelah semuanya berada di depan, Gaara-sensei menyuruh kami untuk mengambil satu gulungan kertas kecil di dalam kaleng berukuran sedang.

"Jangan ada yang curang ya anak-anak," kata Gaara-sensei.

"Iya sensei," jawab kami semua dengan memasang wajah dongkol.

Masing-masing dari kami semua membuka gulungan kertas kecilnya. Kemudian kami mencari bangku sesuai angka yang kita dapat.

"Yodo-chan, kita bersebelahan," kata Araya dengan melambaikan tangan kanannya.

"Ternyata kita berjodoh ya?" kataku lalu duduk di bangkuku dengan diikuti oleh Araya.

"Sayang sekali kita harus di bangku paling belakang," kata Araya.

"Tidak masalah asalkan kau berada di sisiku," kataku.

"Yo-yodo-chan," kata Araya dengan menggarukkan kepalanya.

"Jangan salah tingkah, deh," godaku sembari mendorong kepalanya.

Ketika menoleh ke kiri, aku langsung membelalakkan mataku melihat Shinki duduk di bangku sebelahku. Tak kusangka aku duduk bersebelahan dengannya. Seketika aku dongkol karena harus menerima kenyataan bahwa aku harus bersebelahan dengan si cowok angkuh itu.

"Baiklah saatnya kita menentukan pengurus kelas ini," kata Gaara-sensei.


Jam istirahat telah berbunyi. Aku segera mengeluarkan bekalku karena aku lapar sekali sejak mata pelajaran biologi. Araya pun juga mengeluarkan bekalnya. Sejak awal kami berjanji untuk makan siang bersama pada saat istirahat. Kami berdua membuka tutup bekal masing-masing lalu mengucapkan 'ittadakimasu' dengan menyatukan kedua telapak tangan kami serta membungkukkan badan. Kemudian kami berdua memakan bekal kami dengan lahap.

"Araya-san, bolehkah aku minta ayam katsu dan tamagoyaki?" tanya Chouchou dengan mata yang berbinar.

"Boleh. Ambil saja," jawab Araya.

"Terima kasih, Araya-san," ucap Chouchou tersenyum lebar lalu ia memakan satu buah tamagoyaki dan ayam katsu milik Araya dengan lahap.

"Hmmm masakannya Araya-san selalu enak deh," puji Chouchou.

"Ah si gendut ini modus! Jangan mau dipuji, Araya," kata Inojin.

"Apaan sih pucat?" kata Chouchou sewot.

Aku menoleh ke kiri bermaksud melihat awan yang brrgerak. Tanpa sengaja aku melihat Shinki yang sedang memakan roti yakisoba dengan pelan. Ia pun juga berkutat dengan ponselnya.

"Yodo-san, menu bekalmu sama dengan Araya-san," kata Chouchou menatap isi bekalku.

"Karena...," belum selesai berbicara kakiku langsung ditendang dengan pelan oleh Araya.

"Kebetulan saja hehehe," jawabku nyengir.

"Masa' sih?" tanya Chouchou mengangkat alisnya.

"Iya. Contohnya saja tasmu kembaran dengan tasnya Inojin," jawabku.

"Itu bukan kebetulan, Yodo-san. Emang dia yang sengaja meniruku," kata Chouchou.

"Kamu kali yang meniruku," sahut Inojin sewot.

"Tidak usah mengelak deh pucat. Kalau kau menyukaiku, langsung bilang saja kepadaku. Jangan meniru barangku," kata Chouchou.

"Lebih baik pacaran sama gorila dibandingkan denganmu. Dasar gendut!" ejek Inojin.

"Idih! Siapa juga yang mau pacaran sama kamu!" kata Chouchou sewot.

Aku hanya menggelengkan kepalaku mendengar pertengkaran kecil antara Inojin dengan Chouchou yang seperti seperti pejabat wakil rakyat. Tidak! Lebih tepatnya seperti anak TK.


"Yodo-san."

Aku menoleh kepada seseorang yang telah memanggilku disaat aku berjalan menuju kelasku dari toilet.

"Tsuru-san? Ada apa kau memanggilku?" tanyaku menatap gadis berambut hitam panjang yang dikuncir kuda itu. Dulu dia sekelas denganku. Kami pun cukup dekat bersama Tarui.

"Apakah kau sekelas dengan Shinki-san?" tanya Tsuru.

"Iya," jawabku lalu memgambil kotak makan dari tangannya.

"Kalau begitu tolong berikan ini untuknya," kata Tsuru sembari menyerahkan kotak makan kepadaku. "Bukannya aku suka dengannya. Tetapi kemaren dia telah menolongku menangkap penjambret. Intinya sebagai balas budi," jelasnya.

"Baik juga dia," kataku.

"Aku saja sampai kaget dia menolongku. Selama ini dia selalu acuh 'kan dengan anak yang selalu dibully di depannya," kata Tsuru.

"Jangan-jangan dia menyukaimu," sangkaku.

"Kalaupun dia menyukaiku, aku akan menolaknya. Aku tidak menyukai tipe cowok sepertinya," kata Tsuru.

"Palingan juga sebentar kalian akan pacaran," godaku lalu aku langsung berlari begitu saja.

"Dasar jalang sialan!" umpat Tsuru.

Sampai di dalam kelas, aku menghampiri Shinki yang sedang asyik berkutat dengan ponselnya.

"Shinki, ada kiriman untukmu. Ini dari Tsuru-san sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepadamu," kataku.

Bukannya diambil justru Shinki menatapku dengan tatapan tajamnya yang membuatku mengernyit.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyaku.

"Buat kamu saja," katanya lalu ia kembali menatap ponselnya.

"Hei brengsek! Diterima dong! Dia susah payah membuatkan makanan untukmu!" bentakku.

Shinki meletakkan ponselnya ke dalam saku jasnya lalu beranjak dari bangkunya untuk berhadapan denganku.

"Karena itu buatku, jadi aku berhak untuk memberikannya kepadamu," katanya lalu ia langsung pergi begitu saja yang membuatku menggertakkan giginya.

Ingin sekali rasanya aku melemparkan makanan ini ke arahnya tetapi aku kasihan dengan Tsuru. Dia sudah rela menyisihkan uangnya serta bersusah payah membuatkan makanan ini untuk penyelamatnya.

"Wasabi-Chan, kau mau jus buah naga merahku? Aku sudah kenyang nih," tawar gadis berambut coklat panjang yang dikuncir dua ini.

"Apalagi aku," kata Wasabi.

"Buat aku saja," kataku sembari mengambil segelas jus buah naga merah milik Namida lalu melemparkannya ke arah Shinki hingga rambut dan punggungnya terkena jus buah naga merah.

Teman sekelasku langsung bersorak memberi selamat kepadaku begitu aku telah mempermalukan Shinki. Sementara Shinki melepaskan jasnya lalu ia kembali berjalan keluar dari kelas ini.

"Rasain kau!" kataku tersenyum lebar lalu aku duduk di bangkuku.

"Yodo-san, buat kami saja bekalnya," kata Boruto dengan anggukkan dari teman-temannya.

"Nih," kataku menyerahkan bekalnya kepada Boruto.

Walaupun aku puas karena telah mempermalukannya di depan teman-teman, tetapi aku masih kesal dengan sikapnya yang tak menghargai orang lain. Kenapa sih aku harus sekelas dan duduk bersebelahan dengannya?

"Teman-teman, bersiap-siaplah! Guru BK akan segera ke kelas kita. Bagi yang belum memakai jas, dasi, ataupun sabuk segera dipakai. Jangan lupa menutup kancing jas kalian," teriak Sarada selaku ketua kelas kita.

Aku segera menutup kancing jasku dan juga merapikan dasiku. Begitupun juga dengan teman-teman sekelasku. Bahkan ada yang kebingungan mencari dasi ataupun jasnya yang hilang karena disembunyikan.

"Metal-san, dasimu ada di atas lemari," kataku memberitahunya lalu menatap Toroi dan berkata, "Jasmu ada di kolong bangku guru."

"Terima kasih, Yodo-san," ucap Metal dan Toroi secara bersamaan lalu segera mengambil barang milik mereka.

"Ah Yodo ga asyik deh," keluh Boruto.

"Kasihan tahu?" kataku.

"Salah sendiri taruh sembarangan. Biar mereka jera," kata Shikadai.

"Tapi 'kan jangan disaat seperti ini," kataku.

Tak lama kemudian, sang guru BK datang ke kelas kami dan memerintahkan kami untuk berdiri dengan tegak di bangku kami masing-masing.

"Apakah disana bangkunya memmang kosong?" tanya wanita paruh baya bertubuh tambun dan berambut ungu sebbahu yang dikuncir kuda ini menunjuk bangkunya Shinki.

"Dia sedang berada di kamar mandi," jawabku.

"Permisi," ucap Shinki sembari berjalan memasuki kelas dan menghampiri Anko-sensei.

"Ngapain kau ke kamar mandi? Apakah kau meminjam atribut dari anak kelas lain?" tanya Anko-sensei.

"Maafkan saya, Sensei. Tadi saya ke kamar mandi untuk membersihkan jas saya yang terkena jus buah naga merah. Ini buktinya," jawab Shinki sembari menunjukkan bagian jas yang terkena tumpahan susu karena perbuatanku.

"Banyak sekali," kata Anko-sensei menatap miris bagian belakang jasnya Shinki. "Apakah kau tahu pelakunya?" tanyanya.

"Saya tidak tahu," jawab Shinki.

Aku langsung membelalakkan mataku begitu mendengar Shinki menjawab seperti itu. Apa yang akan direncanakan olehnya kepadaku?

"Lain kali kau harus lebih berhati-hati. Silahkan berdiri di bangkumu," kata Anko-sensei.

"Baik," ucap Shinki lalu ia berjalan menuju bangkunya.


Aku terkejut ketika Shinki secara tiba-tiba melemparkan jasnya kepadaku disaat aku sedang asyik mengobrol bersama Araya dan Sarada.

"Hei, tidak usah pakai melempar juga kali," kataku menantangnya.

"Berikan kepadaku sebelum jam lima dalam keadaan bersih dan kering. Aku tidak ingin jasku dicuci menggunakan jasa laundry," kata Shinki lalu ia kembali duduk di bangkunya.

Aku sungguh keberatan dengan permintaan Shinki. Bagaimana tidak? Pulang sekolah pada jam tiga sore. Sedangkan sampai dirumah pasa jam empat sore. Sangat tidak mungkin mengeringkan baju membutuhkan kurang dari satu jam walaupun memakai mesin pengering baju. Belum lagi perjalanan ke rumahnya.

"Shinki, apakah tidak bisa dimundurkan waktunya? Perlu kau ketahui kalau Yodo-chan sampai dirumah pada jam empat. Sementara waktu untuk mengeringkan baju membutuhkan waktu selama satu jam jika memakai mesin pengering baju. Belum lagi perjalanan ke rumahmu," kata Araya mengajukan keberatan kepada Shinki.

"Tidak bisa," jawab Shinki mantap. "Itulah akibatnya jika kau cari masalah kepadaku," katanya hingga aku menggertakkan gigiku sembari meremas jasnya.

"Shinki, seharusnya kau mengaca dong. Yodo-san melakukan itu karena kelakuan burukmu sendiri," protes Sarada kepada Shinki.

"Jangan ikut campur," kata Shinki menatap tajam kepasa Sarada.

"Aku berhak ikut campur karena aku ketua kelas, bodoh!" bentak Sarada sembari menendang bangku Shinki hingga semua pandangan tertuju pada mereka berdua.

"Hn, dasar tidak punya etika," ejek Shinki hingga Sarada bersiap-siap untuk menonjoknya.

"Jangan Sarada-san! Jika kau menghajarnya, sama saja kau menambah masalah," cegah Araya sembari memegang pergelangan tangan kanan Sarada.

Sarada menghelakan nafasnya dengan kesal lalu ia menarik paksa tangannya dari genggaman Araya.

"Oke. Aku penuhi permintaanmu. Puas kamu?" kataku.

"Yodo-san," panggil Sumire lalu menghampiriku.

"Iya? Ada apa?" tanyaku kepada gadis berambut ungu panjang yang dikepang dua itu.

Sumire mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berkata dengan berbisik. "Bagaimana kalau kamu mencuci jasnyandi rumahku? Rumahku dekat sekali dengan sekolah."

"Oh ya?" Sumire menganggukkan kepalanya dengan tersenyum.

Aku langsung mendekatkan mulutku ke telinganya lalu mengucapkan terima kasih kepadanya dengan berbisik supaya tidak kedengaran Shinki.


Aku mencuci jas milik Shinki di teras belakang rumah Sumire. Aku mengucek bagian belakang jas milik Shinki dengan sekuat tenaga karena nodanya masih belum hilang juga.

"Yodo-chan, ini sikatnya," kata Araya memegang sikat.

"Sankyu," ucapku lalu mengambil sikat dari tangan Araya.

Setelah itu aku menyikat bagian jas yangbl terkena noda jus buah naga merah. Aku langsung bernafas lega begitu nodanya mulai hilang secara perlahan-lahan berkat kusikat.

"Yakin kau tidak perlu bantuan dariku?" tanya Araya.

"Tidak perlu. Biar si cowok sialan itu tahu," jawabku sembari menyikat jas milik Shinki. "Sudah kamu video 'kan?" tanyaku.

"Sudah," jawab Araya.

"Kirim ke LINE-nya. Biar dia puas," kataku lalu kubilas jas milik Shinki. Kemudian, jasnya kurendam dengan air yang tercampur pelembuat pakaian. Setelah itu, jasnya kuperas lalu kumasukkan ke mesin cuci. Kututup penutup mesin cuci lalu menekan tombol pengering dengan batas waktu yang sewajarnya.

"Ini minumannya," kata Sumire sembari menyajikan dua gelas sirup jeruk serta semangkuk keripik kentang ke atas meja.

"Terima kasih," ucapku dan Araya secara bersamaan lalu duduk bersimpuh di atas zabuton dan meminum sirupnya.

"Merepotkan sekali ya berurusan dengan Shinki-kun?" tanya Sumire lalu duduk bersimpuh di atas zabuto.

"Ya begitulah hehehe," jawabku nyengir.

"Emang kau pernah satu sekolah dengannya?" tanya Araya.

"Pernah waktu SD. Tetapi aku tidak pernah punya masalah dengannya," jawab Sumire.

"Seperti apa dia waku di SD?" tanyaku.

"Kupikir dia bakalan berubah kalau sudah masuk SMA. Ternyata sama saja," jawab Sumire.

"Pasti sial banget ya begitu tahu kalau kamu satu sekolah sekaligus sekelas lagi dengannya?" tebakku.

"Bisa dibilang seperti itu. Tetapi tidak bisa disalahkan sih karena hanya sekolah ini yang jaraknya paling dekat dengan rumahnya. Kudengar kalian satu desa dengannya. Kalian tinggal di Desa Suna 'kan?" kata Sumire hingga aku dan Araya terkejut.

"Heh? Dekat dong?" tanyaku dan Araya secara bersamaan.

"Kalian baru tahu?" tanya Sumire terkejut.

"Araya, mana alamat yang benar? Katamu dia tinggal di daerah distrik Hokuei?" tanyaku.

"Mana kutahu? Aku saja kaget," tanya Araya.

"Kudengar itu tempat tinggal bibinya," kata Sumire.

"Oh begitu," kata Araya.

"Ada apa sih dengannya sampai tidak mau menunjukkan alamat rumah aslinya? Padahal rumah penduduk di desa kita tidak ada yang bagus. Bisa dibilang sama rata," tanyaku terheran lalu menatap Araya. "Emang rumah di sana bagus ya?" tanyaku.

"Biasa saja. Yang dia tunjukkan kepadaku sih hanya rumah susun," jawab Araya.

"Omong-omong, seumur hidupku tidak pernah melihatnya," kataku.

"Iya. Padahal kita sering keliling desa. Bahkan kami kenal semua dengan orang-orang yang tinggal di desa kita," kata Araya sembari memegang dagunya.

"Wow. Dia benar-benar anak yang tertutup sampai kalian tidak mengetahui keberadaannya," kata Sumire terkejut.

"Apa jangan-jangan dia pernah operasi plastik?" tebakku.

"Menurutku tidak. Wajahnya masih sama seperti dulu," kata Sumire.


Tanpa sengaja aku bertemu dengan Shinki di tengah jalan. Dia tampak menikmati memakan cumi bakar sembari berjalan. Araya langsung mengayuhkan sepedanya menghampiri Shinki lalu kami berdua berteriak memanggil namanya. Shinki menoleh sekaaligus terkejut melihat kami berdua berada di depan matanya.

Aku turun dari sepeda motor lalu menunjukkan jas berwarna biru dongker yang barusan kucuci kepada sang pemilik.

"Nih lihat bersihkan," kataku sembari menunjukkan bagian belakang jas kepada Shinki. Setelah itu kuserahkan jasnya kepada lelaki itu.

Bukannya berterima kasih kepadaku justru ia mengambil jas miliknya dari tanganku sembari menatapku dengan tatapan tajamnya. Kemudian, ia pergi begitu saja tanpa berpamitan kepada kami.

"Hei Shinki, emang lewat sana ada tembusan ke Desa Suna?" tanya Araya hingga Shinki berhenti berjalan.

"Araya, jangan bilang kalau kamu menawarkan pulang bersama kami," kataku.

"Iya. Kasihan dia pulang sendirian. Ditambah lagi kami satu desa dengannya," jawab Araya.

"Tidak perlu," kata Shinki ketus.

"Ke-kenapa tidak mau?" tanya Araya.

"Karena aku tidak suka pulang bersama orang seperti kalian," jawab Shinki lalu ia kembali berjalan dengan angkuhnya.

Ingin sekali rasanya kusiram air kencing kuda kepadanya tetapi aku tidak ingin mencuci pakaiannya lagi. Shinki benar-benar menyebalkan! Tidak punya hati! Mimpi apa aku semalam sampai aku sekelas dengannya?

To be continue...

Jangan lupa direview ya teman-teman. Review kalian membantuku dalam memgembangkan penulisanku:) Oh ya, perlu kalian ketahui kalau di cerita ini Shinki bukan anak angkatnya Gaara. Jadi jangan heran ya kalau hubungan mereka di cerita ini hanya sebatas guru dan murid. Terima kasih :)