Didedikasikan untuk para reviewer serta megu takuma yang meminta cerita Hermione & Cormac.


Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Cormac McLaggen.

Warning: Menurut buku dan Harry Potter Wiki, Cormac McLaggen satu angkatan di atas Hermione. Tapi, di cerita ini Cormac digambarkan seangkatan dengan Hermione.

Rating: T


Halo semuanya…

Perkenalkan, namaku Cormac McLaggen, penyihir berdarah murni yang digilai masyarakat.

Hei, bukannya sombong atau narsis, tapi begitulah kenyataan yang ada! Sejak lahir, aku sudah ketiban banyak pujian sekaligus sanjungan. Bagaimana tidak, keluargaku, klan bangsawan McLaggen terkenal sebagai ningrat terhormat yang selama berabad-abad mampu menjaga kemurnian darah mereka.

Keluargaku juga kaya raya, nomor dua tertajir di dunia sihir setelah dinasti Malfoy yang pirang pucat itu. Tak cuma berduit, aku juga seksi, jangkung, atletis, jantan, tampan plus yang paling utama; jago main Quidditch.

Nah, dengan seabrek-abrek kelebihan, tak heran jika aku dinobatkan sebagai salah satu idola sejuta umat. Bersaing dengan, ya Tuhan, lagi-lagi salah satu anggota keluarga Malfoy, si musang albino Draco Malfoy.

Sedari menginjakkan kaki di sekolah sihir paling mentereng sejagat, Sekolah Sihir Hogwarts, aku sudah kenyang menerima lirikan maut, cubitan gemas dan cekikikan menggoda dari para kakak kelas maupun dari anak baru yang berbaris rapi bersamaku. Gerombolan bocah-bocah cewek usia sebelas tahun yang aku yakin kena pubertas dini gara-gara tampang kerenku yang tak ada duanya.

Dari tahun ke tahun, jumlah populasi perempuan yang menggandrungiku kian bertambah banyak. Di tahun keenamku bersekolah misalnya, hampir semua anak perempuan Hogwarts naksir berat padaku.

Hampir. Tidak semua, sebab satu-satunya gadis yang aku inginkan dari dulu tak pernah melirik sebelah mata padaku.

Jangankan mengerling sebelah mata, kehadiranku saja mungkin tak disadari olehnya. Aku rasa, gadis itu bahkan tak tahu kalau aku telah hidup satu atap asrama dengannya selama enam tahun terakhir ini.

Kalau dipikir-pikir, wajar saja kiranya jika gadisku tak menyadari keberadaanku. Bagaimana aku bisa mendekati atau bercakap-cakap dengannya jika setiap saat gadisku itu selalu dikawal Harry James Potter dan Ronald Bilius Weasley. Dua jongos penjaga yang seratus persen menyedihkan.

Ya, ya, oke, oke... Harry Potter bukanlah kacung mengenaskan sebab di masa balitanya, pemuda berambut hitam legam dengan ciri khas luka di jidat berbentuk sambaran petir itu sukses melenyapkan penyihir hitam paling mengerikan di zamannya, si Lord-Kau-Tahu-Siapa-Itu-Deh.

Tapi Ron Weasley?

Boleh dong kalau aku menyebutnya sebagai babu memprihatinkan? Pesuruh paling menyedihkan sejagat raya?

Lihat, apa sih yang bisa dibangga-banggakan cowok berambut jerami kusut itu? Kemiskinan keluarganya yang legendaris? Atau jumlah saudara kandungnya yang menyalahi aturan Keluarga Berencana?

Tampangnya juga biasa-biasa saja. Malah cenderung sebutek empang ikan lele aku rasa. Tapi, mengapa pemuda berwajah bintik-bintik mirip bekas pasien penyakit kulit spattergroit itu bisa ketiban berkah berdekatan dengan satu-satunya anak perempuan yang aku cintai?

Mengapa gadisku, yang disebut-sebut sebagai penyihir paling genius abad ini menaruh hati pada si gembel? Pada penyihir jelek yang jelas kalah telak jika dibandingkan dengan diriku?

Yah, kalau mau jujur, sepertinya kebencianku pada Weasley berakar dari kecemburuan. Siapa sih yang tidak panas jika melihat orang yang dicintai bercanda, tertawa bersama bahkan bergenggaman tangan dengan laki-laki lain? Siapa sih yang tak cemburu jika gadis yang disayangi memberikan tatapan memuja pada pria lain?

Eh? Benarkah aku belum bilang pada kalian siapa gadis yang sudah mencuri hatiku? Ya ampun, masak kalian tak sadar sih? Bukankah sudah aku berikan kisi-kisinya, penyihir paling genius abad ini? Siapa lagi kalau bukan Hermione Jean Granger.

Hermione Granger...

Melafalkan namanya saja sudah membuatku meriang dan panas dingin penuh damba. Melihat wajah mungilnya yang manis saja aku sudah kelojotan seperti orang mabuk cinta. Mendengar tawa khasnya yang menggugah saja sudah membuatku bersemangat menjalani hidup.

Terlalu lebay?

Ah, aku rasa tidak. Kalian tahu sendirilah bagaimana rasanya jatuh cinta. Katanya, semua terlihat indah sampai tahi kuda pun terasa seperti cokelat. Tapi, aku tidak sampai segitu joroknya ya sampai mau mencicipi kotoran kuda segala.

Intinya, bagiku Hermione Granger adalah segala-galanya dalam hidupku. Cinta pertama yang dengan lantangnya bisa aku sebut sebagai cinta abadiku.

Sayangnya, sampai detik ini cinta sejatiku belum juga mengetahui eksistensiku. Sedari tadi aku pandangi tanpa berkedip pun, Hermione tak juga sadar. Ia masih terus mengobrol membahas manfaat Lamunan Paten bersama sobat baiknya, adik kelas kami, Ginny Weasley.

Suasana toko Sihir Sakti Weasley yang bising seperti sarang lebah pun tak bisa memudarkan semangat menggebu-gebu Hermione untuk berdebat kusir mengenai dampak negatif Lamunan Paten. Lamunan yang dirancang untuk menyokong fantasi nakal sekaligus menghindari kejenuhan saat mengikuti mata pelajaran paling membosankan seperti Sejarah Sihir yang diasuh guru hantu, Profesor Cuthbert Binns.

Berusaha membuat Hermione tersadar dari diskusi serunya, aku menambah intensitas tatapan. Bola mata hijau-ku dengan rakus menelusuri postur Hermione. Mulai dari sudut kakinya yang terbungkus sepatu bot cokelat bata hingga ujung rambut gelombang yang mengembang bebas.

Aku akui, dari ukuran tinggi badan, Hermione tergolong kecil mungil, tak seperti si Ginny Weasley yang bongsor dan jangkung. Dari segi wajah, Hermione memang manis tapi tak bisa dikategorikan cantik memesona seperti junior Slytherin, Astoria Greengrass maupun si Prefek Ravenclaw, Padma Patil yang eksotis.

Ditinjau dari segi gigi, Hermione juga terbilang boros. Dua gigi depannya besar-besar sekali, mirip gigi boneka bajing yang kudapat di hari ulang tahunku yang kesepuluh.

Rambut Hermione juga tak kalah mekar dari jenggot lecek Pengawas Hewan Liar Hogwarts, makhluk setengah raksasa, Rubeus Hagrid. Surai megar yang pastilah membutuhkan banyak sampo berkondisioner untuk melembutkannya.

Tapi, terlepas dari semua hal yang bagi laki-laki lain disebut sebagai kekurangan fatal, Hermione tetap paling sempurna di mataku. Kesempurnaan mengagumkan yang tengah aku nikmati sepuas-puasnya.

Aha, itu dia! Akhirnya perjuanganku untuk membelalakkan mata lebar-lebar berbuah hasil maksimal. Hermione yang sedari tadi tak mau menengok ke arahku kini memalingkan wajah, menatapku lekat-lekat dengan pandangan marah.

Tunggu dulu...

Pandangan marah? Apa dia tak suka melihat bara asmara di dalam sorot mataku? Apa dia...

Segala macam kalimat 'apa dia' terkubur ketika aku menyadari sudut pandang mata Hermione yang sebenarnya, yang sedikit miring dari sosok kerenku yang tengah bersandar di deretan konter Nogat Mimisan.

Menengok sekilas, akhirnya aku menyadari pusat perhatian Hermione, hal yang membuat konsentrasinya dalam membahas dampak Lamunan Paten terusik. Ya, apalagi kalau bukan adegan mesra antara si centil Lavender Brown dengan si tengil Ron Weasley.

Dengan hati perih, aku mengamati perubahan sinar di iris cokelat kayu manis Hermione. Binar terang yang meredup, berganti dengan semburat kecewa, cemburu dan sakit hati.

Saat itu, ingin rasanya aku mencabik-cabik Weasley karena tega menghancurkan perasaan Hermione. Apa si goblok Weasley itu tak sadar kalau Hermione menyimpan perasaan khusus untuknya? Apa si tolol Weasley itu tak paham kalau Hermione sering meringis cemburu melihat keakrabannya dengan perempuan lain?

Kedongkolanku kian menjadi-jadi ketika si idiot Weasley dengan pongahnya membimbing Lavender menuju rak Bubuk Kegelapan Instan yang tengah diobral besar-besaran. Aksi gandeng menggandeng lengan yang sudah tentu menajamkan ekspresi terluka di muka Hermione. Adegan bak sepasang kekasih yang memaksa Hermione keluar secepat mungkin dari toko Sihir Sakti Weasley.

Memelototi punggung Weasley yang tengah ditepuk-tepuk kuku runcing Lavender, aku melahap permen tolak angin yang sedari tadi aku remas-remas. Meresapi rasa khas apotik hidup yang merasuk ke seantero mulut, aku mengernyit tak suka melihat Weasley cengengesan seperti orang gila saat pipinya dielus-elus jemari halus Lavender.

Heran, apa sih yang dilihat Weasley dari Lavender yang genitnya amit-amit? Oke, aku akui dari faktor fisik Lavender terbilang barang berkualitas. Penyihir berambut ikal pirang itu punya tubuh tinggi semampai yang berlekuk di bagian yang tepat. Wajahnya juga termasuk cantik dan yang paling utama, berstatus darah murni.

Tapi, meski penampilannya persis seperti Barbie; boneka kesayangan bocah Muggle, boneka yang pernah diperlihatkan Lavender padaku, dara bersuara mendesah-desah itu punya kelemahan amat fatal. Gemar bergosip dan berdandan tanpa kenal tempat. Hobi yang membuatku tak tahan lama-lama berpacaran dengannya.

Berpacaran dengannya?

Ya, aku pernah berkencan dengan Lavender ketika kami duduk di tahun keempat. Namun, hubungan itu terbilang singkat, seumur jagung istilahnya. Habisnya, aku mana tahan jika selalu digerecoki, dibuntuti dan digelendoti.

Belum lagi dengan kebiasaan jelek Lavender yang doyan melaporkan aktivitas kencan kami ke sobat kentalnya, Parvati Patil. Jadi, daripada privasi pribadiku rusak total, aku memilih putus dengan Lavender. Pemutusan hubungan yang membuat Lavender tak mau lagi bertegur sapa denganku.

Aku sendiri tak mau ambil pusing dengan bendera perang yang dikibarkan Lavender. Permusuhan yang kuyakini dipicu kecemburuannya karena sebulan setelah putus darinya, aku menggandeng Padma Patil; saudari kembar Parvati Patil, sobat sejatinya dalam dunia gosip-menggosip.

Eh, tunggu dulu. Meski aku pernah berkencan dengan Lavender Brown dan Padma Patil, jangan keburu nafsu menstempelku sebagai hidung belang karatan dong.

Bukannya hidung belang itu julukan bagi laki-laki keji yang bermain dua kaki di saat bersamaan? Mengencani dua wanita berbeda di waktu yang sama? Aku jelas-jelas bukan hidung belang dong, sebab aku tak bertingkah seperti itu. Aku baru berpacaran dengan Padma setelah putus dari Lavender.

Oho, kenapa aku bisa berpacaran dengan perempuan lain padahal katanya aku mencintai Hermione setengah mati?

Ehem, begini ya, pembaca tercinta. Hal tersebut aku lakukan karena didorong rasa penasaran. Aku ingin tahu apakah aku bisa melupakan atau mengalihkan hatiku dari Hermione jika aku mendekati gadis lain.

Ternyata, semuanya sia-sia belaka. Hatiku sudah kadung menjadi milik Hermione. Setiap kali berpacaran dengan Padma atau Lavender, aku selalu teringat Hermione. Untung saja, aku tak pernah keceplosan salah memanggil nama. Kalau itu terjadi bisa-bisa aku sudah dimutilasi massal oleh dua betina galak itu.

Suara ringkikan tawa Lavender menyadarkanku dari lamunan masa lalu. Mencibir untuk terakhir kali, aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar toko. Menjauh dari si dungu Weasley, satu-satunya penyihir yang kubenci karena sukses mendapatkan hati Hermione.

Hati gadis yang sudah aku cintai sejak enam tahun lalu...


Setelah enam tahun menunggu kesempatan berbincang-bincang, akhirnya peluang langka tersebut aku dapatkan juga. Untuk itu, sepertinya aku harus berterima kasih pada guru Ramuan, Profesor Horace Slughorn yang berbaik hati menyelenggarakan acara makan malam Klub Slug.

Ya, Klub Slug.

Berkat perkumpulan elit itulah aku bisa duduk semeja, makan bersama dan berdiskusi panjang kali lebar dengan Hermione. Memang sih, aku belum bebas berbicara berdua sebab si Jidat Pitak Harry Potter juga terdaftar sebagai salah satu anggota.

Tapi setidaknya berkat agenda makan malam itulah Hermione akhirnya menyadari keberadaanku. Si penyihir menawan yang selalu memperhatikannya sejak enam tahun lalu.

Kegembiraanku karena bisa satu meja dengan Hermione sepertinya terpancar keluar dari wajah gantengku. Terbukti ketika lenganku yang tengah mengaduk-aduk es krim cokelat disentil Blaise Zabini, siswa Slytherin yang rupanya sudah tak tahan melihat roman mukaku yang melongo seperti kingkong ompong.

"Tutup mulutmu yang menguak lebar itu, McLaggen. Menjijikkan tahu," desis Zabini sinis, menyorot keji ke arah Hermione yang tengah asyik menjelaskan profesi orangtuanya.

Aku hanya mengangkat bahu dan menyeringai kecil menanggapi omelan Zabini. Sebagai sesama penyihir berdarah biru, aku tak ada masalah dengan Zabini. Apalagi, remaja Italia berkulit gelap itu tak menyukai Hermione. Aku baru punya urusan dengan Zabini jika penyihir bangsawan bermata sipit panjang itu berani mengendus-endus gadisku.

Gadisku...

Gadis tercinta yang tengah bersemangat menjabarkan seluk-beluk dunia dokter gigi, profesi kedua orangtuanya, calon mertuaku di masa depan.

Saat Hermione mengisahkan tentang seorang bocah yang nekat menggigit tangan ayahnya, mulutku yang menganga langsung mengatup kencang seperti kerang. Aku menggemeretakkan gigi menahan amarah. Berani betul bocah tengik itu melukai calon ayah mertuaku. Jika aku bertemu dengannya, aku tak akan segan-segan mempermak anak ingusan sialan itu sampai terkencing-kencing di celana.

Jika Hermione sepertinya cuek dan tak menghiraukan tatapan menyeluruhku, si jidat terbelah Harry Potter tampaknya menyadari tingkahku. Berkali-kali jejaka berkacamata bundar itu melempar lirikan maut ke arahku. Kerlingan penuh peringatan yang hanya kuanggap sebagai angin lalu.

Syukurlah Potter tak bisa berlama-lama menginterupsi kegemaranku mengawasi Hermione sebab kedatangan Ginny Weasley membuat perjaka bermata sehijau uang Dollar itu gelagapan dan salah tingkah. Ha, tindak-tanduk yang membuatku yakin kalau diam-diam Santo Potter menyukai adik perempuan sahabatnya.

Mengalihkan perhatian dari Potter yang tengah menjamu Ginny Weasley dengan sepanci es krim vanila, aku mengunci manik hijauku dengan iris cokelat hangat Hermione.

Saat tatapan kami bertubrukan, aku tak kuasa menahan seringaian. Senyum sensual yang sepertinya dianggap mesum dan mengerikan oleh Hermione sebab sejurus kemudian gadis berhidung penuh bintik itu memalingkan mukanya yang merah padam.

Untunglah kesedihanku karena lagi-lagi diabaikan tak bertahan lama. Profesor Slughorn yang sedari tadi sibuk menginterogasi si pemalu dari Ravenclaw, Marcus Belby, kini mengalihkan perhatian padaku. Memilin kumis anjing lautnya, guru bertubuh subur itu menanyakan kabar terakhir pamanku, pejabat penting Kementerian Sihir Inggris, Tiberius McLaggen.

Pertanyaan tersebut tentu saja kusambar dengan gegap gempita. Berharap bisa membuat Hermione terkesan, aku memamerkan kehebatan pamanku. Termasuk hubungan dekatnya dengan Menteri Sihir, Rufus Scrimgeour dan Wakilnya, Bertie Higgs.

"Aku sering berburu bersama pamanku, Sir. Baru-baru ini kami berburu rubah dan Nogtails di Norfolk," jelasku bangga, menepuk dan membusungkan dada kokohku setinggi-tingginya.

Seperti yang sudah kuprediksi, Profesor Slughorn yang terpesona dengan penjabaranku langsung menyodorkan aneka makanan lezat plus memperlakukanku dengan penuh rasa hormat.

Sayangnya, Hermione, target utama yang ingin kujerat tak bertindak serupa. Manik cokelat cerdasnya menyipit tak suka dan ujung bibirnya merengut masam. Sinyal permusuhan yang membuat kegembiraanku mengempis seperti balon gas kehabisan udara.

Menyandarkan punggung di bangku empuk, aku menghela napas singkat. Lagi-lagi usahaku untuk menarik perhatian Hermione tak membuahkan hasil maksimal. Gadis yang sangat kucintai itu lebih memilih bercengkrama akrab dengan dua teman dekatnya.

Memejamkan mata, aku menguatkan semangat untuk tak lekas menyerah. Aku masih punya banyak waktu untuk memikat hati Hermione. Lagipula, peluangku semakin besar sebab kami bergabung di grup yang sama. Kelompok prestisius yang memungkinkanku mempertontonkan seluruh kehebatan yang terpendam.

Selaras dengan berkibarnya tekad baru, Profesor Slughorn mengakhiri pertemuan kami. Berjanji untuk kembali menggelar pertemuan seminggu lagi, penyihir penggemar permen nanas itu mempersilahkan kami untuk kembali ke asrama masing-masing.

Menyambar kesempatan yang ada, aku buru-buru menempel Hermione yang berjalan di antara Potter dan Ginny. Mengabaikan pelototan garang Potter dan tatapan penasaran Ginny, aku dengan penuh percaya diri merendengi Hermione yang sesekali mendelik curiga ke arahku.

Setibanya di depan lukisan Nyonya Gemuk yang tengah goyang kayang sebelum tidur, aku mengucapkan kata sandi dan segera masuk diikuti oleh ratuku dan dua dayang-dayangnya yang menyedihkan. Potter yang tampak kelelahan tanpa basa-basi segera menuju ke kamarnya setelah sebelumnya mengucapkan selamat tidur pada dua kawan akrabnya.

Melihat Hermione hendak menyusul Ginny yang sudah menaiki tangga, aku langsung bergerak sigap dan menggamit lengannya. Tak menghiraukan ekspresi terkejut di wajahnya, aku memasang senyum simpatik dan mengajaknya berbicara empat mata di Ruang Rekreasi.

"Oh, tak bisakah pembicaraan ditunda sampai besok, McLaggen? Aku capek sekali hari ini," kelit Hermione, mengucek-ucek matanya yang mulai dihiasi lingkaran hitam ala panda. Bulatan gelap yang muncul karena gadisku terlalu perfeksionis serta giat belajar tanpa mengenal waktu.

Terbiasa mengumbar aksi ramah, aku meremas lembut pundak Hermione yang kaku. Bibirku terus mengilaskan seringai hangat seiring dengan pergerakan jemariku di punggungnya.

"Apa yang kau lakukan, McLaggen?" desis Hermione tak sabar, berusaha menepis tanganku yang tengah memijat dan memperbaiki simpul otot yang acak-acakan.

"Seperti yang kau lihat dan rasakan, memijat bahumu yang pegal," jawabku santai, meningkatkan tensi pijatan dengan gerakan memutar yang sensual.

"Aku tahu itu. Tapi, bagaimana kalau pacarmu murka melihatmu memijat perempuan lain?" Hermione kembali bertanya, terus menggeliat menjauh dari terkaman jari-jari kekarku.

Menaikkan alisku yang elegan (untuk yang satu ini aku tak mengada-ada lho. Baru-baru ini alisku memang terpilih sebagai alis terseksi se-Hogwarts versi survei Perkumpulan Cewek-cewek Kurang Kerjaan) aku tergelak pelan mendengar respon Hermione. Alamak, apakah Hermione cemburu dengan kisah petualangan cintaku yang lebih banyak hiperbolanya?

"Tenang saja, Hermione. Pacarku tak akan marah sebab dialah yang sedang kupijat mesra saat ini."

Tanggapanku yang santai tapi mengena membuat mulut Hermione membuka dan menutup tanpa suara, persis seperti penyihir yang terkena hantaman Mantra Silencio. Mengerucutkan bibir semaju mungkin, Hermione menepis keras tanganku, membuatku sedikit terkejut karenanya.

"Kau benar-benar gila ya, McLaggen. Rupanya semua yang dikatakan Lavender tentangmu benar adanya," sahut Hermione ketus, melipat lengannya di dada dengan ekspresi menghina.

Ups, aku lupa kalau bekas pacarku yang gegar otak, si Lavender Brown sekamar dengan Hermione. Sial, pasti jalang keganjenan itu telah mencuci otak Hermione dengan gosip-gosip tak sedap yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

"Memangnya apa yang Lavender katakan padamu?" tanyaku pura pura lugu seraya menyilangkan jari kaki untuk mengharapkan keberuntungan. Mudah-mudahan saja Hermione tak banyak termakan isu brengsek yang dibuat-buat.

"Lavender bilang kau hobi mempermainkan perasaan perempuan," sembur Hermione lantang, mengetuk-ngetukkan kaki kanannya di karpet bermotif singa tidur. Kencangnya sentakan kontan merontokkan bulu-bulu karpet, membuat si singa tidur kehilangan surai megar yang selama ini menjadi identitas pribadinya.

"Kau juga suka mencampakkan dan membuang wanita seperti sampah jika sudah puas bermain-main dengan mereka," lanjut Hermione lancar.

Memasang muka syok, aku melambaikan tangan kosong ke udara, tanpa sengaja menembus selubung transparan hantu Nick si Kepala-Nyaris-Putus yang sedari tadi menguping pembicaraan kami.

Malu karena aksi ngintipnya ketahuan, hantu bernama komplet Sir Nicholas de-Mimsy Porpington itu buru-buru ngacir keluar ruangan sambil berpura-pura menyapa lukisan Nyonya Gemuk yang tengah bergulat adu panco dengan lukisan ksatria gila, Sir Cadogan.

Mengalihkan perhatian dari aksi aneh Nick si Kepala-Nyaris-Putus, Hermione kembali mendongakkan hidungnya ke arahku. Menantangku untuk memberikan sanggahan terkait kabar spektakuler yang diungkapkannya barusan.

"Waduh, itu semua tak benar, Hermione. Aku putus dengan mereka karena sudah waktunya putus. Kau tahu, seperti benang layangan yang putus jika tersambar petir," ucapku cengengesan, menggaruk-garuk kepala melihat mata Hermione kian menyipit segaris.

"Lavender bilang kau sering jelalatan dan tebar pesona. Kau juga doyan menjamah tubuh-tubuh pacarmu," tuntut Hermione tak mau kalah, uap panas kemarahan mengebul dari dua lubang hidung.

Rambutku yang kata orang sekaku paku semakin bertambah tegang mendengar cercaan Hermione. Halooo? Menjamah tubuh seenak jidatku? Itu pasti cuma khayalan Lavender dan Padma semata.

Sepanjang aku pacaran dengan mereka, aku tak pernah meraba-raba maupun melakukan perbuatan maksiat lainnya. Yah, paling cipika-cipiki alias cium pipi kanan cium pipi kiri. Atau yang paling drastis, ciuman bibir selintas lalu. Tapi, gerayang-menggerayangi?

Ha! Berani taruhan, itu pasti cuma angan-angan Padma dan Lavender yang tak kesampaian.

"Hei, itu cuma isu, Hermione. Mereka hanya mengada-ada. Selama berkencan, aku tak pernah menjelajahi atau meraba-raba badan mereka," sanggahku blak-blakan.

Merangkulkan lengan ke pundak Hermione yang mendengus, aku berbisik rendah di kupingnya. "Lain soal jika aku bersama denganmu, Hermione. Saat ini saja aku ingin membelai mesra dan memujamu habis-habisan," rayuku nakal, tak lupa mengedipkan sebelah mata untuk menambahkan efek dramatis.

"Crookshanks!"

Alisku menukik bingung mendengar respon Hermione yang cuma berupa satu kalimat 'Crookshanks'.

Crookshanks? Bukannya itu nama kucing gendut milik Hermione? Kucing bermuka penyok dan berkaki bengkok yang selalu memandangku tajam seakan-akan aku ini jelmaan tikus gembrot? Ngapain Crookshanks dimasukkan ke dalam dialog percakapan kami yang mulai menghangat?

Keherananku mengapa Crookshanks diikutsertakan terjawab ketika bayangan oranye besar menerjang dan membuatku terjungkal. Telentang tak berdaya di karpet yang tipis gara-gara hentakan kaki Hermione, aku hanya bisa terperangah saat Crookshanks menggeram-geram di dekat mukaku. Membuat tampang gepengnya jadi semakin mekar seperti diperbesar dengan mikroskop.

"Shuh, sana pergi," usirku gelagapan, nyaris mati kutu karena kucing jingga yang lebih cocok disebut anak macan itu tetap nangkring di dadaku. Mendekam dan melingkar nyaman, memberi waktu bagi majikan perempuannya untuk melenggang menuju kamarnya di atas.

"Selamat malam, McLaggen. Ketimbang aku yang sudah mengantuk, lebih baik kau belai mesra dan kau puja tubuh berbulu Crookshanks," ujar Hermione, mengilaskan senyum manis yang untuk kesempatan ini jadi terlihat seperti seringai sadis.

Bersamaan dengan suara pintu kamar dikunci, Crookshanks mendengkur puas dan menjilati wajahku. Membuatku nyaris bersin karena sambaran kumis tebalnya yang panjang lentik.

Melenguh pelan, mata hijauku bertubrukan dengan pupil kuning jingga Crookshanks. Untunglah, manik yang biasanya bersinar galak itu kini berpijar jinak, membuatku merasa sedikit aman untuk mengusap-usap bulu lebatnya yang lembut.

Yah, pikirku muram, memandangi Ruang Rekreasi yang sepi, setidaknya aku sudah mendapatkan hati binatang peliharaan Hermione. Crookshanks yang sangar saja bisa kutundukkan, apalagi Hermione.

Dengan pikiran segar seperti itu, aku pun memejamkan mata rapat-rapat. Mendengkur bersama-sama Crookshanks di karpet Ruang Rekreasi yang bulu-bulunya sudah hilang timbul...


Usai kejadian di Ruang Rekreasi, hubunganku dengan Hermione memang belum mengalami perkembangan berarti. Beda halnya dengan ikatan persahabatanku dengan Crookshanks. Sejak malam itu, kucing jantan doyan makan tersebut selalu mengeong manja setiap kali melihatku masuk Ruang Rekreasi.

Tingkah Crookshanks yang mendadak jadi memujaku tentu menimbulkan banyak dengung tanda tanya. Si kepala merah Weasley yang notabene selalu dimusuhi Crookshanks saja bertanya-tanya jurus apa yang kupakai sehingga kucing berekor sikat botol itu mau beramah tamah denganku.

"Well, itu semua tergantung amal perbuatan, Weasley," jawabku ringan ketika pemuda berwajah penuh bercak itu menanyakan keganjilan tersebut. Menepuk keras-keras bahu Weasley hingga membuatnya nyaris terguling ke tungku perapian, aku kembali berkoar-koar santai.

"Dan tentu saja daya pesona yang tak pernah ada dalam genetikamu."

Menyeringai senang melihat perubahan ekspresi Weasley, aku bersiul-siul dan memasukkan tangan ke dalam saku celana. Sepertinya hari ini bakal menjadi hari kemenanganku. Aku bisa terus melihat roman muka tolol itu seandainya bisa mempecundangi Weasley di uji coba Kiper baru. Uji coba yang aku yakin pasti dimenangkan olehku.

Ternyata, harapan cuma tinggal harapan. Aku, Cormac McLaggen yang jelas-jelas tersohor karena piawai bermain Quidditch harus dipermalukan di depan umum. Empat lemparan Bludger yang melayang ke arahku bisa kutepis dengan mudah. Namun, di lemparan kelima, aku seperti disambar Mantra Confundus yang membuatku linglung dan tak bisa mendeteksi arah bola.

Belum habis rasa malu karena salah mengantisipasi lemparan, kemarahanku makin membubung ketika si bego Weasley terpilih sebagai Kiper baru Quidditch Gryffindor.

Ya ampun, ini benar-benar konspirasi berjamaah, saudara-saudara!

Harry Potter selaku Kapten sudah pasti lebih menganakemaskan sahabat baiknya. Pun begitu halnya dengan Ginny Weasley, adik perempuan Weasley yang sudah tentu meluluskan ambisi abangnya dengan memberi lemparan kacangan yang gampang dihalau.

Dikipasi prasangka negatif seperti itu, tanpa tedeng aling-aling aku langsung menggebrak Potter dan mengeluhkan sikap berat sebelahnya. Hasilnya? Bisa ditebak saudara-saudara! Potter langsung menyanggah habis-habisan semua pradugaku.

Sebenarnya, yang paling menyakitkan bagiku bukanlah dalih Potter yang berbusa-busa melainkan hilangnya kesempatanku untuk unjuk gigi di depan Hermione. Aksi pamer yang sudah kurancang masak-masak sampai tak tidur semalaman.

Kekecewaanku kian bertambah ketika dari sudut mataku yang memerah karena amarah aku melihat Hermione berlari dari tribun penonton. Melompat girang, Hermione memeluk Weasley yang tengah menepuk-nepuk dada, persis seperti orang utan sinting yang pernah hampir ditangkap pamanku, Tiberius McLaggen saat kami kemping di hutan belantara Kalimantan.

Seyogyanya, adegan rangkul-merangkul tersebut tak membuatku merana sebab sejak tahun pertama, mataku sudah bintitan menyaksikan dua orang itu berpeluk-pelukan di setiap kesempatan.

Namun, kali ini penderitaanku makin menggunung sebab Hermione merangkul Weasley dengan segenap perasaan cinta yang dimilikinya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana gadis berambut kusut masai itu mendekap Weasley dengan kapasitas sebagai teman terbaiknya di dunia.

Menelan ludah yang rasanya sepahit bisa laba-laba raksasa Acromantula, aku mencangklong sapu balap Firebolt edisi terbatas yang sengaja dibuat untukku. Meninggalkan lapangan latihan Quidditch dan dua sejoli yang tengah berpelukan erat seakan-akan tak ada hari esok untuk mereka.

Setibanya di ruang ganti pemain, aku meletakkan sapu balap kesayanganku di sudut loker dan mulai melepaskan kostum Quidditch yang aku kenakan. Seragam yang dibuat khusus untuk menyambut hari ini. Hari di mana seharusnya aku bisa menunjukkan jati diriku yang sebenarnya pada Hermione.

Melangkahkan kaki ke kamar mandi, aku membuka kran dan mulai membilas bersih tubuhku. Selama menyabuni badan tegapku dengan sabun antiseptik, pikiranku menerawang ke satu sosok yang selama bertahun-tahun ini menghantuiku.

Hermione Granger...

Lagi-lagi Hermione mengacuhkanku. Untuk kesekian kalinya gadis bergigi tupai itu memamerkan persahabatan hangatnya yang memuakkan di depanku. Persahabatan erat yang membuat dadaku seakan-akan dililit tali tambang ekstra besar.

Sudah, lupakan saja dia. Cari gadis lain yang sepadan denganmu. Gadis cantik berdarah murni yang sesuai dengan kasta keluargamu.

Seperti masa-masa sebelumnya, sisi egoku kembali menjerit gila-gilaan. Memerintahkanku untuk mengubur hasratku pada Hermione, pada penyihir kelahiran Muggle yang kegeniusannya setara dengan penyihir darah murni Skotlandia, Rowena Ravenclaw.

Memejamkan mata rapat-rapat, menikmati siraman titik-titik air di wajah, otak kerenku membayangkan sosok Hermione yang melekat lekat di benak selama ini. Desir lembut air mengiringi ingatanku tentang tawa cerah Hermione yang membahana dan senyum mengembang yang menghanyutkan.

Senyum dan tawa yang bukan ditujukan untukku tapi hanya untuk dua teman laki-lakinya yang menjengkelkan, Weasley dan Potter.

Kalau begitu, tunggu apalagi? Ayo, alihkan perhatianmu ke perempuan lain yang mencintaimu sebesar kau mencintainya.

Menghantamkan kepalan tangan di dinding kamar mandi yang basah, aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berjuang mengusir bisikan ego laki-laki yang menguasaiku. Desakan yang meraung-raung menuntutku untuk secepatnya melupakan Hermione.

"Tidak! Aku Cormac McLaggen selalu dididik untuk pantang menyerah. Hal seperti ini tak bisa membuatku mundur dari pertempuran!" makiku lantang, memperbesar volume air untuk melenyapkan semua busa sabun yang tertinggal.

Mematikan kran air, aku melangkah tegak keluar dari kamar mandi. Sembari mengeringkan tubuh dan memakai seragam Hogwarts, senyuman tegas terukir di bibirku.

Apapun yang terjadi, tahun ini aku harus berhasil merebut cinta dan hati Hermione Granger. Satu-satunya penyihir yang cocok untuk menjadi Nyonya McLaggen di masa depan...


Dewi Fortuna rupanya mendengar kumandang tekad yang aku utarakan di kamar mandi ruang ganti pemain. Terbukti ketika dua minggu usai ikrar tersebut, Profesor Slughorn mengundangku dan seluruh anggota Klub Slug untuk menghadiri perayaan Natal istimewa. Pesta Natal yang akan dihadiri pejabat penting termasuk kenalan dan bekas anak didiknya, penulis ahli vampir, Eldred Worple serta drakula dehidrasi, Sanguini.

Guna menyemarakkan pesta tahunan tersebut, Profesor Slughorn membebaskan personel klubnya untuk membawa teman serta pasangan dari sesama anggota klub atau dari asrama lain.

Sedetik setelah pengumuman langka itu dibeberkan, aku langsung kejatuhan tawaran dari salah satu siswi favorit Profesor Slughorn, Flora Carrow. Gadis Slytherin yang sepanjang pertemuan tak henti-hentinya mengedipkan mata hijau dengkinya ke arahku.

"Cormac, datang sebagai pasanganku di pesta Natal nanti ya?" rajuk Flora, tanpa malu melingkarkan lengan rampingnya di pundakku. Menepuk-nepuk punggungku dengan gerakan sok akrab, Flora berancang-ancang mendudukkan pinggul kerempengnya di pangkuanku. Tindakan yang langsung kutangkal dengan buru-buru bangkit dari bangku.

"Aku sudah punya pasangan untuk ke pesta dua puluh Desember nanti," jawabku berbohong, menyingkirkan tangan comel Flora yang mulai kehilangan arah dan meraba-raba ke mana-mana.

Manik hijau zamrud Flora menyipit tak suka mendengar responku barusan. Menegakkan diri dan menyilangkan tangan di dada, dara berkulit seputih bunga magnolia itu menatapku lekat-lekat.

"Siapa? Bukan Padma Patil atau Lavender Brown kan? Atau jangan-jangan kau mengajak Ginevra Weasley? Yah, dia memang seksi sih, selevel dengan seleramu," koar Flora sebal, menyambar jubah Hogwarts miliknya yang tersungkur di kursi.

Aku hampir muntah di tempat mendengar tanggapan konyol tersebut. Astaga, Padma Patil dan Lavender Brown? Otakku pasti sudah rusak berat jika sampai mengajak dua mantan sialanku itu ke pesta pribadi seperti ini.

Begitu juga halnya dengan Ginny Weasley. Kuakui, secara fisik dia memang cantik tapi dia bukan tipeku. Ginny Weasley tak pernah membuatku berdebar-debar atau panas dingin setiap kali aku melihatnya. Beda halnya dengan Hermione Granger yang mampu membuatku kelimpungan saban kali aku menatapnya.

"Bukan. Pasanganku bukan mereka," ungkapku tegas, beranjak menuju pintu keluar ruang Klub Slug, menjauh dari salah satu teman sepermainanku di masa kecil.

Flora, seperti layaknya siswi Slytherin, tak mau mengalah sebelum keinginannya tercapai. Mencekal lenganku dengan kekuatan setara beruang gunung kelaparan, gadis berambut cokelat itu mendelikkan mata lebar-lebar, mengingatkanku akan mata peri rumahku yang sebesar bola Bludger.

"Jadi, siapa pasanganmu?" desis Flora histeris. Di sampingnya, saudari kembarnya, Hestia Carrow merengut masam. Aku yakin rayuannya untuk mengajak Blaise Zabini datang berpasangan ke pesta ditolak mentah-mentah oleh cowok berkulit gelap itu.

Hestia mungkin berdarah murni, status utama yang selalu menjadi bahan pertimbangan Zabini, namun cewek bertampang ketus tersebut bukanlah tipe gadis idaman Zabini. Dengar-dengar sih Zabini menyukai Ginny Weasley. Namun status Ginny sebagai darah pengkhianat membuat pemuda kaya raya itu menyembunyikan minatnya.

"Cormaac! Siapa pasanganmu?" bentak Flora bengis, membuat banyak kepala yang masih tertinggal di ruang Klub Slug menengok ke arah kami. Tak tahan digerecoki gadis secerewet Flora, aku langsung menjawab tanpa pikir panjang. Memberitahukan satu nama yang memang ingin aku ajak ke pesta bersama-sama sebagai pasangan.

"Hermione Granger."

Teriakan tak percaya Flora terdengar nyaring di ruangan luas itu. Pantulan gemanya bahkan membuat Profesor Slughorn yang tengah menata koleksi foto-foto bekas muridnya di lemari pajangan terpental keluar ruangan.

"Kau tak mungkin mengajaknya! Dia kan Darah Lum-"

"Kalau kau berani menyelesaikan ucapanmu, kupastikan lidahmu tak utuh lagi," ancamku berang, mengepalkan tangan sekencang-kencangnya. Meskipun Flora merupakan anak baptis ibuku, aku tak segan-segan mengulitinya hidup-hidup jika berani meledek Hermione dengan sebutan berbau rasisme.

Flora rupanya menyadari kesungguhan niatku. Menciut ketakutan, gadis tinggi langsing itu buru-buru bersandar dan merapatkan tubuh ke saudara kembarnya, Hestia yang langsung mengalungkan tangan dengan gerakan protektif di pinggang saudarinya.

"Jangan bohong, Cormac. Kau tak mungkin mengajaknya," bantah Flora tak mau kalah. Sikap ngotot yang mau tak mau membuatku memutar mata. Merlin, bagaimana caranya membuat cewek kepala tembok ini mengerti dan menyerah?

"Itu benar. Cormac dan aku akan pergi ke pesta Natal sebagai pasangan."

Aku terperanjat mendengar pernyataan yang meluncur dari belakang punggungku. Menengok cepat, mata hijauku langsung bertatapan dengan iris cokelat Hermione yang berkilat. Mengilaskan senyum termanisnya, Hermione melingkarkan tangan di lenganku, membuat tubuhku seketika menegang terbakar hasrat.

"Cormac sudah menjadi pasanganku. Jadi, Miss Carrow, sebaiknya kau mengincar cowok lain," tukas Hermione bersemangat, mengangkat lubang hidung berbintik-bintiknya setinggi mungkin.

Jika Flora melongo dan menganga tak percaya, aku hanya bisa terdiam membeku seperti patung-patung Kaisar Romawi yang seksi dan berbodi super-aduhai. Aku masih belum bisa percaya seutuhnya kalau Hermione, gadis yang aku idam-idamkan selama ini bersedia menjadi pasanganku di pesta Natal Klub Slug.

"Cormac, Miss Granger. Kalau tak keberatan bisakah kalian keluar sebab ruangan ini mau dikunci. Kalian juga, Miss Carrow."

Teguran hangat Profesor Slughorn membuatku tersadar dari trans yang memusingkan. Mengangguk-angguk tak jelas, aku beringsut keluar dari ruangan klub, diikuti Hermione yang masih menempelkan tangannya di lenganku.

Setibanya di depan koridor ruang Klub Slug, cengiran girangku belum juga menghilang. Kalau misalnya saat ini aku ditembak dengan kutukan Avada Kedavra, mungkin aku mati dalam keadaan bahagia. Bahagia karena bisa berdekatan dengan si dia yang kupuja-puja.

"Nah, kalau begitu, sampai ketemu lagi tanggal dua puluh Desember nanti, Cormac," Hermione melambaikan tangan dan melesat pergi meninggalkanku yang masih tercengang-cengang kegirangan.

Saking senangnya, aku bahkan tak mencerna ucapan Hermione yang tergolong janggal. Ucapan yang menyiratkan seakan-akan kami tak tinggal di atap asrama yang sama. Tak berniat ambil pusing, aku pun bersiul-siul nyaring, beranjak menyusul Hermione menuju Menara Gryffindor.

Sesampainya di Ruang Rekreasi, suka citaku kian beranak pinak. Belum tiga langkah masuk dari lubang lukisan si Nyonya Gemuk yang kali ini tengah bermain kuda lumping, aku mendengar Hermione membanggakan diri sebagai pasanganku di pesta Natal Klub Slug. Pengumuman yang membuat Lavender dan kompatriotnya si Parvati Patil terkejut bukan main.

Senyumanku makin melebar ketika Weasley, saingan abadiku nyaris tersedak Tongkat Loli Pedas yang dikulumnya. Ekspresi kecut Weasley makin membuatku tak tahan untuk menari jingkrak-jingkrak di tengah ruangan.

Ha! Akhirnya si Weasley memahami bagaimana sakitnya rasa cemburu. Emosi jiwa yang sudah akrab denganku selama enam tahun terakhir ini.

Perjanjian datang ke pesta sebagai pasangan tak urung membuatku merasa diuntungkan. Aku pun makin agresif mendekati Hermione. Setiap pagi, aku setia menunggu Hermione di Ruang Rekreasi hanya untuk pergi sarapan bersama-sama. Usai makan pagi pun aku tak pernah luput menempel di samping Hermione. Menjejerinya seperti seorang suami pengabdi.

Hermione sendiri sepertinya tak keberatan dengan parade kemesraan yang kutampilkan. Tak jarang ia mengelus jemariku atau membanjiriku dengan senyum manisnya yang memabukkan. Senyuman seemas madu yang membuat matahari bersinar-sinar di padang hatiku.

Di lain pihak, Lavender sepertinya tak mau kalah saing denganku. Gadis yang terobsesi pada pelajaran Ramalan itu terus-menerus menggelayuti Weasley seperti ikan teri tersangkut kail. Aksi mereka bahkan lebih ganas dari adegan mesra yang kupersembahkan. Tanpa mempedulikan tatapan jengah penonton, Lavender sering menyambar bibir Weasley dan melakukan adu gulat vertikal di koridor-koridor sekolah.

Jika aku selalu terbahak habis-habisan menonton tingkah mesum pasangan heboh itu, Hermione terlihat tenang-tenang saja. Ekspresi hambar dan seringai datar senantiasa terpajang di wajah manisnya. Perilaku Hermione yang adem-ayem tersebut membuatku berani mengambil kesimpulan kalau ia tak lagi menyimpan perasaan istimewa pada si jerami Weasley.

Akhirnya, saat yang dinanti-nanti tiba juga. Di malam dua puluh Desember, aku yang sudah memakai jas pesta mewah tak henti-hentinya hilir-mudik di Ruang Rekreasi, menunggu Hermione yang masih berdandan di kamarnya.

Potter sendiri sudah hengkang sedari tadi bersama pasangannya. Siswi gila Ravenclaw, Luna Lovegood yang tadi kulihat memakai busana pesta berkelap-kelip mirip lampu diskotik.

Malam ini, Ruang Rekreasi tak banyak dipadati murid-murid. Hanya ada lima siswa tahun ketiga yang bergelung di dekat perapian sembari bermain kartu Exploding Snap. Gaung ledakan kartu sesekali mengisi keheningan ruangan, bersaing dengan derak lapar kayu bakar yang menyala-nyala di perapian.

Kucing bandel Hermione, Crookshanks yang biasanya mendekam di kursi bulat empuk tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin makhluk cerdas blasteran hewan berbulu dunia sihir, Kneazle itu tengah berburu tikus got atau sedang menggelar musim kawin dengan Mrs Norris, kucing kesayangan penjaga sekolah Argus Filch.

Pun begitu juga halnya dengan Weasley. Pemuda bermata sebiru langit yang setiap malam selalu nangkring di Ruang Rekreasi kali ini tak mempertontonkan lubang hidung besarnya. Aku bertaruh Prefek cowok Gryffindor itu ngumpet di dalam pispot karena tak mau gosong terbakar cemburu melihatku pergi bersama Hermione ke pesta.

Derap kaki menuruni tangga memaksaku kembali fokus ke dunia nyata. Menengadahkan wajah, aku langsung tercekat menatap sosok anggun Hermione yang melenggang gemulai.

Demi otot perutku yang kencang dan rata, malam ini Hermione sungguh-sungguh memesona. Gaun setengah lutut krem merah muda yang dipakainya membuat tubuh mungilnya berpendar-pendar penuh cahaya. Riasan wajah yang tak terlalu tebal kian menonjolkan sisi manisnya. Sisi yang membuatku nyaris membanjiri permadani Ruang Rekreasi dengan muntahan air liur.

Tersenyum kecil merespon keterpanaanku, Hermione menyodorkan tangan ke arahku. Membalas senyumannya, aku menyambut uluran tangannya dan menundukkan wajah untuk mencium tangannya. Kecupan hangat yang membuat wajah Hermione disaput rona merah muda.

Menggandeng tangan Hermione, dengan jantan aku mengiringinya pergi ke ruang pesta yang diselenggarakan di kantor Profesor Slughorn. Sepanjang perjalanan, aku yang sedikit gugup berusaha memancing percakapan. Berhubung Hermione irit bicara, aku mendominasi pembicaraan dengan mengungkapkan aneka kelebihanku. Termasuk prestasi Seratus Tangkapan Hebat yang pernah kuraih.

Saking getolnya mempertontonkan keunggulan, aku tak sadar ketika mistletoe perlahan-lahan merambati area sekitar kami. Dalam waktu singkat, tumbuhan merambat berbuah putih yang telah diperkuat pupuk sihir menjerat dan menghambat pergerakan kami.

"Oh tidak. Mistletoe. Apa yang harus kita lakukan?" keluh Hermione cemas, mengepalkan tangannya saat tumbuhan sihir itu melingkar dan menjalar-jalar di atas kepalanya.

Kepanikan Hermione membuatku menelan tawa. Tuhan di surga rupanya memberkati perjuanganku mendekati Hermione. Buktinya, mistletoe ini berbaik hati mengurungku bersama Hermione. Memberiku peluang mencium gadis yang sangat kucintai.

"Sebagai penyihir terpintar di angkatan, kau tentu tahu resep jitu untuk lolos dari penjara mistletoe bukan?" tanyaku nakal, tak kuasa menyembunyikan seringaian serigala menggoda.

Dua alis Hermione melesat ke atas mendengar reaksiku. Bibir indahnya, bibir yang sejak lama menghiasi alam mimpiku mengerucut ke depan, menunjukkan sinyal ogah-ogahan yang kentara.

"Tentu aku tahu, Cormac. Tapi kan-"

Aku yang sudah tersulut gairah tanpa pikir panjang menyentak pinggang Hermione, memaksanya merapat ke dadaku. Tak mempedulikan lengkingan kagetnya, aku langsung menyegel bibirnya dengan bibirku dalam ciuman yang panjang, panas dan bergairah.

Kendati sulur-sulur mistletoe yang merayapi kami mulai menghilang, aku belum berhenti menjarah bibir Hermione. Mengunci tubuhnya dengan lengan kanan, aku melumat dan melahap bibir Hermione dengan bersemangat. Tangan kiriku tak mau ketinggalan berpartisipasi, mengusap lembut leher dan garis rahang Hermione.

Meninggalkan mulut Hermione untuk memberinya kesempatan bernapas, aku menyusuri jejak bibirku di lehernya yang berdenyut. Sembari mencium dan menggigit lembut, aku mendesahkan namanya berulang-ulang. Erangan bergairah yang terputus ketika Hermione mendorong dadaku dengan sekuat tenaga.

Aku yang masih terbenam dalam hasrat tak bisa berbuat banyak ketika Hermione berderap pergi meninggalkanku. Terbang secepat kuda gila, Hermione melesat pergi ke ruang pesta. Meninggalkanku yang masih sibuk mencerna setan apa yang membuat Hermione kabur terbirit-birit seperti itu.

"Hei, McLaggen. Ngapain kau bengong di situ?"

Hardikan tajam Blaise Zabini efektif menyadarkanku dari kebingungan yang melanda. Berdeham salah tingkah, aku pelan-pelan membalikkan badan dan bertatapan langsung dengan raut heran Zabini. Di sampingnya, senior Ravenclaw, Cho Chang tersenyum malu-malu.

"Kau datang dengan Cho Chang?" tanyaku asal-asalan, berharap bisa melupakan kegundahan atas aksi ngacir Hermione barusan. Pertanyaan bego yang pastilah dianggap sinis oleh Zabini. Terbukti ketika penyihir angkuh bertulang pipi tinggi itu menatapku dengan pandangan meremehkan.

"Ya, seperti yang kau lihat, McLaggen," tandas Zabini, mengangkat tangannya yang terjalin dengan jemari lentik Cho yang untuk kesempatan kali ini dihiasi kuteks bermotif naga tidur menguap.

Menyeringai arogan, Zabini tanpa basa-basi meninggalkanku. Pasangannya, si Cho masih punya sedikit tata krama. Melempar senyum singkat, Prefek Ravenclaw itu mengikuti Zabini yang langkahnya sok dipanjang-panjangkan.

Mendengus gusar, aku membuntuti pasangan beda usia itu. Dasar Zabini, penyihir sialan itu tak menganggapku sebagai teman sejak aku memasuki asrama Gryffindor. Padahal, sewaktu kecil kami benar-benar lengket dan tak terpisahkan, persis seperti kembar beda telur. Tapi sekarang, melihat muka gantengku saja Zabini langsung bereaksi seperti habis menelan pupuk kandang satu kontainer.

Saat kami tiba di ruangan pesta yang sudah dipadati banyak tamu, mataku langsung mengembara mencari bayangan Hermione. Usaha basa-basi Profesor Slughorn yang berusaha memperkenalkanku ke undangan terhormatnya kusambut dengan uluran seadanya. Titik fokus perhatianku masih terpusat pada Hermione yang tengah berbicara serius dengan Potter di sudut ruangan.

Tersenyum ramah, aku undur diri dengan alasan hendak menjarah makanan di meja panjang. Melepas kepergianku dengan berat hati, Profesor Slughorn melampiaskan kekesalan dengan menyuruh-nyuruh Neville Longbottom mengangkut baki berisi minuman Butterbeer dan Wiski Api.

Bergerak cepat menuju pojok ruangan, aku kembali menelan kekecewaan ketika Hermione menghilang seakan-akan dirinya ber-Disapparate. Kesal karena gagal menghadang Hermione, aku langsung menelan segerobak camilan yang disorongkan seorang pelayan.

Potter yang terkesima melihatku menggasak senampan makanan bulat bundar mendadak buka suara. Terbatuk-batuk kecil, Potter memberitahuku bahwa benda yang kusantap barusan adalah dragon tartare, penganan yang dibuat dari daging naga mentah. Kuliner aneh yang dijamin membuat napas pemakannya beraroma bangkai naga busuk.

Tak ayal, pemaparan menjijikkan itu membuat perutku berontak. Tepat di saat aku memuntahkan isi lambung, guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Profesor Severus Snape muncul di hadapanku. Muntahanku yang banyaknya tak ketulungan kontan mengotori sepatu hitam butut Profesor Snape yang perlu disol dengan Mantra Reparo tingkat tinggi.

Buntutnya, Profesor Snape berkeriut marah. Mengempiskan hidung bengkoknya, penyihir berambut penuh minyak itu menjatuhiku detensi sebulan penuh. Sanksi sadis yang membuatku tak bisa pulang ke McLaggen Manor saat liburan Natal nanti.

Lelah bermain kucing-kucingan dengan Hermione sepanjang acara, aku memutuskan pergi lebih awal. Memasang tampang kalah, aku merayap menuju Menara Gryffindor sembari merenung gundah. Merenungkan semua perjuanganku untuk mendapatkan cinta dan hati Hermione.

Bahuku yang merosot muram kembali tegak berdiri ketika lantunan suara Hermione mengalun di kupingku. Berindap-indap tanpa suara, aku mendekati Hermione yang tengah berbincang intensif dengan Potter. Menajamkan kuping, aku berupaya menangkap esensi pembicaraan mereka.

"Merlin! Cormac McLaggen kegatelan sekali. Ia sepertinya punya tentakel lebih banyak dari cumi-cumi raksasa di Danau Hitam."

Dahiku mengernyit mendengar sindiran tersebut. Apa mungkin ciuman agresifku membuat Hermione mencicit ketakutan sampai-sampai diriku yang sempurna ini disamakan dengan cumi-cumi raksasa berlendir?

"Kau juga yang salah. Mengajak McLaggen ke pesta," Potter menyeringai kecil, mengacak-acak rambut jabriknya. Rambut berantakan yang sepertinya tak pernah disentuh sisir sejak diciptakan ke dunia enam belas tahun lalu.

Desahan pelan Hermione terdengar jelas di bordes yang sepi. Mengepit lengan Potter, Hermione memberi tanggapan yang membuatku naik pitam. Jawaban yang menjadikan gelegak kecemburuan dan konspirasi balas dendam kembali mendidih di dasar hatiku.

"Tadinya aku ingin mengajak Zacharias Smith. Tapi tidak jadi."

Zacharias Smith? Si bawel Hufflepuff itu? Si cowok pirang yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya? Pemuda sok tukang kritik yang belum pernah merasakan panasnya tonjokan superku?

Rancangan aksi balas dendam yang bakal kugelontorkan ke Zacharias Smith membuatku tak sadar dengan kalimat sayup-sayup yang diucapkan Hermione. Kalimat menyakitkan yang baru aku sadari sepenuhnya beberapa bulan kemudian.

Kalimat pengakuan yang berujung pada sumpah mengerikan yang terus aku sesali setiap hari...


Selepas pesta Natal yang berjalan kurang lancar, aku tetap gigih memperjuangkan rekonsiliasi hubunganku dengan Hermione. Di pagi hari awal Januari, usai sesi liburan Natal yang terpaksa kujalani di Hogwarts, aku sengaja menemui Hermione di Ruang Rekreasi. Berdiri berhadap-hadapan, secara jantan aku meminta maaf atas ciuman lancangku di pesta Natal bulan kemarin.

Pada awalnya, aku mengira Hermione bakal sulit membuka pintu maaf. Untungnya, ketakutanku tak terbukti. Selain menerima kata maafku, Hermione juga mengajakku berkencan dengannya. Ajakan menggiurkan yang membuatku membeku selama beberapa menit.

"Kencan? Maksudmu pacaran begitu?" tanyaku bego, menggaruk-garuk rambut kawatku yang tak gatal dan selalu berbau seharum pepohonan segar.

Mengangguk berkali-kali, Hermione mengilaskan senyum menghipnotisnya. Senyuman yang selama enam tahun ini selalu kuharap-harapkan. Menggenggam jemariku yang gemetaran karena rasa senang, Hermione mendekatkan kepala semaknya ke lenganku yang terbalut jubah hitam Hogwarts.

"Iya, seperti itu. Bagaimana kalau kencan pertama kita berlangsung di Hogsmeade, pekan depan?" bisik Hermione malu-malu.

Selayaknya seorang McLaggen yang terjerat berahi duniawi, aku tak menjawab pertanyaan Hermione dengan kata-kata melainkan dengan perbuatan. Tanpa permisi, aku mendekap Hermione erat-erat dan mengulum bibirnya dengan bernafsu. Mencium dalam-dalam, aku menelan semua protes dan erangan yang meluncur dari mulut mungilnya.

"Ehemm!"

Dehaman dan dengusan keras yang dibuat-buat membuat ciuman panasku terpotong di tengah jalan. Menggeram kesal, aku menggigit lembut bibir bawah Hermione. Menjilat sudut mulutnya untuk terakhir kali, aku melepaskan pelukanku, membiarkan Hermione berjuang menata napasnya yang terengah-engah.

"Bermesraan di pagi hari sih boleh-boleh saja, tapi jangan di depan lorong lukisan dong. Kami jadi tak bisa leluasa keluar masuk," cibir Lavender pedas, mengencangkan belitan tangannya di pinggang Weasley.

Jika Hermione memerah malu, aku cengar-cengir tak berdosa menyaksikan perubahan ekspresi dan pergantian warna muka Weasley. Dari merah membara menjadi sepucat susu basi dan berakhir dengan warna ungu terong busuk. Waduh, sepertinya si Weasley benar-benar meradang dengan ciuman membaraku barusan.

"Lebih baik kita pergi ke Aula Besar, Lav," seru Weasley ketus, mencolek pundak Lavender yang mengikik kesenangan. Melirik judes, Weasley mengangkat muka tinggi-tinggi dan melangkah maju. Tak menyadari jegalan kaki yang kulayangkan secepat kilat.

"Wadoww!"

Aku tertawa berderai-derai melihat Weasley terguling ke luar lubang pintu. Di belakangnya, pacar barunya, Lavender merepet panik. Menghambur maju, Lavender mati-matian memanggul pacarnya yang tengah mengaduh-aduh kesakitan.

"Rasain, siapa suruh berjalan sambil mengangkat muka. Jadi tak melihat ada kerikil di bawah sepatu kan," sindirku halus di sela-sela kikik geli yang melompat dari tenggorokan.

Mendecak-decakkan lidah, Hermione mengirimiku sorot setengah geli setengah tak percaya. Membenahi posisi tas punggung yang kelebihan beban, Hermione menatapku penuh tanda tanya.

"Kau itu sepertinya tak cocok berada di Gryffindor. Setelah kuamati, semua sifatmu layak membuatmu terdampar di Slytherin."

Mengambil ransel Hermione yang beratnya ampun-ampunan, aku menaikkan sebelah alis. Membawa dua tas dalam satu cangklongan, aku merangkul tangan Hermione dan mengajaknya meniti lorong lukisan Nyonya Gemuk yang pagi ini tengah berlatih goyang koplo.

"Sifat-sifat seperti apa?" tanyaku sok polos, mencermati wajah cerdasnya yang berbinar-binar. Wajah penuh harapan yang membuatku diliputi kehangatan tak terkira.

"Arogan. Licik. Mau menang sendiri. Megalomania. Kegatelan," balas Hermione, mengacungkan jari-jarinya saat menyebutkan tabiatku yang dipelajarinya diam-diam.

Tergelak pelan, aku mengalungkan lenganku yang menganggur di pundaknya, mendekapnya semakin erat di dalam rengkuhan. Merasakan bahu Hermione menegang sekaku talenan, jemariku mengusap-usap lembut. Di setiap belaian, aku mengirimkan sinyal perasaan istimewa yang kusimpan untuknya. Perasaan yang meluap-luap seiring dengan pertambahan usia dan masa.

Setelah sekian lama kuelus mesra, punggung keras Hermione mulai melunak. Dengkuran puas seperti anak kucing melesak dari kerongkongannya. Erangan lirih yang membuat imajinasi nakalku melayang ke mana-mana.

"Merlin, Cormac McLaggen kegatelan sekali. Ia sepertinya punya tentakel lebih banyak dari cumi-cumi raksasa di Danau Hitam."

Sindiran Hermione memaksaku untuk mengendalikan libido yang sudah melonjak ke ambang maksimum. Menahan diri untuk tak merenggut bibir Hermione dalam ciuman paksa yang menuntut, aku mengalihkan hasrat dengan menciumi puncak kepala Hermione yang seharum vanila.

Mengusap-usapkan pipi di rambutnya, aku menggumamkan namanya berkali-kali. Nama seorang gadis yang sangat berarti bagiku. Seorang gadis yang membuatku mampu melakukan apapun termasuk mengkhianati tradisi keluargaku.

Seperti layaknya priyayi McLaggen lainnya, seharusnya aku masuk ke Slytherin. Sejak zaman nenek moyangku, Slytherin merupakan sarang bersekolah abadi bagi keluarga McLaggen yang berdarah murni. Namun, adat istiadat itu harus terputus di tanganku yang memilih bergabung ke asrama saingan Slytherin, Gryffindor.

Awalnya, saat berada di kompartemen Hogwarts Express bersama rombongan teman sejak kecilku, Blaise Zabini dan si kembar Carrow, semangatku untuk mengenakan dasi hijau Slytherin masih sekuat baja luar angkasa.

Namun, keinginan untuk belajar di Slytherin terkikis ketika seremoni Topi Seleksi dimulai. Saat nama Hermione dipanggil, mataku tak pernah luput mengawasi pergerakannya. Tatkala Topi Seleksi mengucapkan Gryffindor, hatiku langsung berubah haluan. Tekad untuk masuk Gryffindor dan tinggal seatap dengan Hermione apapun yang terjadi terus menyala di dalam benakku.

Begitulah, saat namaku dipanggil dan Topi Seleksi diletakkan di atas kepalaku, aku terus-menerus membisikkan kalimat 'Jangan Slytherin. Tolong masukkan aku ke Gryffindor saja'.

Permohonanku sempat membuat topi rombeng tersebut terkejut mengingat semua anggota keluargaku selalu berlabuh di asrama ular perak penjunjung superioritas darah murni. Namun, kuatnya tekadku membuat topi buluk milik Godric Gryffindor tersebut mengalah dan mengabulkan permintaanku.

Saat aku diputuskan masuk Gryffindor, bisik-bisik kaget bergema di ruangan. Si kembar Carrow yang sudah duduk di meja Slytherin bahkan menumpahkan teko jus jeruk mereka, membasahi seragam Kapten Quidditch Slytherin, Marcus Flint yang terkenal sangar dan brutal.

Blaise Zabini yang masih teronggok di antrean menatapku keheranan. Sedetik kemudian, roman bingungnya berganti kebencian. Dan, detik itu pulalah hubungan persahabatanku dengan penyihir blasteran Italia-China itu retak untuk selamanya.

Tapi, renggangnya pertemanan maupun kemarahan orangtuaku tak ada artinya dengan kebahagiaan yang kuraih. Kendati beberapa tahun sebelumnya aku gigit jari karena tak bisa berdekatan dengan Hermione, kesabaranku kini berbuah manis.

Hermione akhirnya menjadi milikku. Milikku yang tak bisa diganggu gugat...

Menghentikan langkah di depan kelas Mantra, Jimat dan Guna-guna, aku menangkup wajah Hermione dengan kedua tangan. Setelah puas memandangi detail wajahnya, aku menundukkan kepala, mencium lembut hidung serta kelopak matanya.

Selama menikmati keharuman dan kelembutan kulitnya yang seperti beledu, aku membisikkan isi hatiku padanya. Pernyataan cinta kasih tak terbatas yang kusimpan selama ini.

"Aku sangat mencintaimu, Hermione. Selalu dan untuk selamanya."

Menyapukan bibirku di bibir Hermione yang bergetar, aku mengacak rambut lebatnya. Merangkul pundaknya erat-erat, aku membimbing Hermione masuk ke dalam kelas. Kebahagiaanku yang mengangkasa membuatku luput memperhatikan ekspresi di wajah Hermione.

Ekspresi bersalah dan berdosa yang baru aku ketahui alasannya beberapa bulan kemudian...


Rupanya, bukan hanya aku dan Hermione saja yang merasakan indahnya percintaan masa remaja. Si Weasley dan Lavender juga latah mencicipi pengalaman nikmat serupa.

Pasangan ajaib itu bahkan lebih heboh dari kami. Jika aku hanya mencuri-curi ciuman dari Hermione di tempat tersembunyi, Lavender dan Weasley tak sungkan adu bibir di tempat umum.

Meski sering meringis jijik melihat aksi ciuman tersebut, Hermione tak banyak berkomentar. Jika kupancing tentang perasaannya pada Weasley, gadisku yang cerdas itu lebih banyak mengalihkan perhatianku ke sudut lain. Terkadang Hermione mengajukan pertanyaan mengenai keluargaku di saat aku mulai mengorek informasi mengenai hubungannya dengan si idiot Weasley.

Meski sedikit merasa aneh, aku berusaha berpikiran positif. Mungkin gadisku tak mau membahas Weasley karena jengah dengan tingkah mesum Weasley yang tak malu berbuat asusila di depan umum.

Begitulah, disokong rasa bahagia, aku mengenyahkan segala macam pikiran buruk mengenai Hermione dan Weasley. Daripada memikirkan hal yang tidak-tidak, aku lebih memfokuskan diri untuk membahagiakan gadisku.

Setiap kali bertandang ke Hogsmeade, aku selalu memanjakan Hermione dengan membelikan semua barang yang diinginkannya. Saat minum-minum di kedai Three Broomsticks pun aku selalu memesan minuman kesukaan Hermione, Butterbeer dengan sedikit cipratan air jahe.

Pada mulanya, Hermione sempat terheran-heran mengetahui aku sangat memahami dirinya sampai ke detail terkecil sekalipun. Saat ia mempertanyakan keheranannya, aku tersenyum hangat dan memeluknya erat-erat. Berbisik lembut di telinganya, aku mengungkapkan fakta bahwa aku selalu mengawasinya lekat-lekat sejak tahun pertama kami.

"Apa kau tahu bahwa di setiap hari ulang tahun dan malam Natal, aku selalu memanjatkan doa yang sama? Doa agar aku bisa mendapatkanmu," aku bergumam lembut, menciumi dan mengusap-usap pipi halusnya yang merona merah jambu.

Hermione terlihat berkaca-kaca mendengar pengakuanku. Menyurukkan wajah di dadaku yang berdetak teratur, Hermione terisak tanpa suara. Tangis pelan yang saat itu kukira sebagai sedu sedan bahagia.

Praduga yang ternyata sama sekali berbeda dengan fakta yang sebenarnya. Fakta yang disembunyikan Hermione dariku. Fakta yang akhirnya terbongkar sehari setelah malam kematian Kepala Sekolah Profesor Albus Dumbledore.

Fakta di siang terkutuk yang menjadi tirai pembuka hancurnya perjalanan hidupku...


Di malam tiga puluh Juni, tidur pulasku terganggu dengan gedoran beruntun di depan pintu. Mengerjapkan mata, aku menguap lebar dan menyingkap selimut merah marun yang membungkus tubuh bugarku. Keempat teman sekamarku yang lain, yang juga terbangun paksa menggerutu panjang-pendek seraya membenahi piyama bermotif tapal kuda mereka yang awut-awutan.

Merenggangkan tangan, dengan malas-malasan aku mengambil tongkat sihir yang kuletakkan di kabinet rotan kasar di samping ranjang. Pergerakan malasku berubah waspada tatkala Seamus Finnigan melolong panik dari balik pintu.

"Bangun! Hogwarts dalam keadaan gawat. Profesor Dumbledore meninggal dunia!"

Gerutuan teman sekamarku berubah menjadi dengung terkejut. Terbirit-birit membuka pintu kamar, kami langsung dihadang wajah Finnigan yang sepucat asap.

"Meninggal? Apa Profesor Dumbledore sakit?" tanyaku ragu-ragu, menghitung dalam hati umur penyihir bermata biru atraktif tersebut. Jika perhitunganku tak salah, Profesor Dumbledore tahun ini menginjak usia seratus lima belas tahun. Usia yang sebenarnya tergolong muda belia bagi kalangan penyihir seperti kami.

Menggelengkan kepala, Finnigan mengeluarkan suara tercekat seperti tikus celurut terjepit. Menunjuk daun jendela yang terbuka, pemuda asal Irlandia itu membeberkan fakta yang membuat kami terperangah tak percaya.

"Profesor Dumbledore wafat karena serangan Pelahap Maut. Lihat saja Tanda Kegelapan di angkasa sana."

Menghambur bersama-sama menuju jendela, kami terbelalak menyaksikan gambar tengkorak dengan ular menjulur dari mulutnya.

Tanda Kegelapan...

Simbol jahanam yang identik dengan sosok penyihir hitam paling ditakuti sedunia. Penyihir kejam yang berpuluh tahun lalu menjadi momok mengerikan bagi dunia sihir, termasuk penyihir ras murni yang enggan mendukung rezim lalimnya.

"Ya Tuhan, bagaimana bisa Pelahap Maut menerobos puri Hogwarts?" salah satu teman sekamarku yang berambut cokelat kemerahan mengeluh ketakutan. Menjatuhkan diri di ranjang, teman sekamarku mengeluhkan nasib buruk yang akan menimpa penyihir kelahiran Muggle seperti dirinya.

"Jika Dumbledore mangkat dan Pelahap Maut merajalela, aku pasti tamat."

Keluhan lesu tentang masa depan penyihir kelahiran Muggle menyentakkan kesadaranku. Malam ini, Hermione yang aktif dalam gerakan Laskar Dumbledore pasti terlibat pertikaian dengan Pelahap Maut. Bagaimana jika ia gagal melawan Pelahap Maut? Bagaimana jika ia terluka terkena salah satu Kutukan Tak Termaafkan?

Dipecut kecemasan mendalam, aku melaju kencang menuju Aula Besar. Sesampainya di sana, aku langsung disambut kerusakan mengerikan yang mendirikan bulu roma.

Bangku-bangku yang biasanya tersusun rapi di antara empat meja panjang kini terbalik berserakan. Kandil-kandil besar berisi lilin sihir lenyap tak berbekas. Yang paling mengenaskan, singgasana emas milik Profesor Dumbledore pecah berkeping-keping. Pecahan kayu emasnya bercampur baur dengan serpihan meja dan bangku staf pengajar yang hancur terguling.

"Hermione! Hermione!"

Aku meraung seperti kerasukan setan, mencari dan meneriakkan nama Hermione di tengah-tengah kerumunan murid berbagai asrama yang menangis pilu di Aula Besar.

Kepanikanku baru teredam ketika Kepala Asrama Gryffindor, Profesor Minerva McGonagall berlari tergopoh-gopoh. Mengelap air mata yang beruraian, Profesor McGonagall meminta kami pergi ke pelataran untuk menghapus Tanda Kegelapan secara bersama-sama.

Di dalam keheningan mencekam, seluruh penghuni kastil (minus anak-anak Slytherin yang berbisik-bisik di sudut halaman) beramai-ramai mengacungkan tongkat sihir ke udara. Dipandu Profesor McGonagall, kami mengirimkan cahaya putih yang lambat-laun membesar dan mengusir simbol menjijikkan tersebut.

Seirama dengan lenyapnya Tanda Kegelapan, selubung gelap yang membungkus kompleks Hogwarts memudar, digantikan temaram rembulan. Seleret cahaya keperakan itu menerangi jenazah Profesor Dumbledore yang terbaring kaku di bawah Menara Astronomi. Jasad tanpa roh yang tengah ditangisi Potter dan dua teman baiknya, Hermione serta Weasley.

Melihat tangisan Hermione yang mengiba, aku didera keinginan menghambur dan memeluk lekat-lekat. Namun, asaku untuk mengurangi beban kesedihannya terpaksa aku kubur ketika Weasley yang tergugu menarik Hermione dalam rengkuhan.

Membuang muka, aku berusaha menjinakkan amarah dan kecemburuan yang merajai otak. Aku berusaha merapalkan kata-kata penghiburan bahwa pelukan itu hanya ungkapan kesedihan antar sahabat.

Meski Weasley baru putus dari Lavender dua hari lalu, aku tetap percaya pada Hermione. Aku yakin, Hermione tak akan pernah berkhianat dan menusuk dari belakang.

Tak lama setelah Tanda Kegelapan menghilang, Profesor McGonagall dibantu staf pengajar lain meminta seluruh murid segera kembali ke asrama masing-masing. Menengok dari balik pundak, aku memandangi Hermione yang tengah berpelukan erat dengan Weasley. Menarik napas dalam-dalam, aku dengan berat hati melangkah masuk ke dalam kastil.

Sepanjang malam itu, aku dan rekan sekamarku tak bisa tidur. Begitu juga halnya dengan anak-anak Gryffindor lain yang memilih bergosip di Ruang Rekreasi, membahas kabar burung tentang kebangkitan kembali Si-Kau-Tahu-Siapa.

Ketika Hermione dan Weasley kembali ke Ruang Rekreasi jelang subuh, aku tetap tak bisa memeluk dan mengutarakan keprihatinan. Dipandu si rambut merah Ginny Weasley, teman-teman perempuan Hermione langsung memboyong Hermione ke kamar di lantai atas.

Menatap sosok Hermione yang menghilang di atas tangga, aku mendesah lelah. Sepertinya aku harus bersabar dan menunggu momen tepat untuk menunjukkan peran sebagai seorang kekasih budiman dan perhatian. Mungkin, seusai sarapan nanti pagi aku bisa menghibur dan memberi semangat pada Hermione yang tengah berduka.

Usai membulatkan rencana, kantuk pun menyerang, memaksa tubuhku beringsut ke kamar untuk beristirahat sejenak. Istirahat yang ternyata berujung pada sesi tidur pulas berjam-jam.

Terbangun karena geraman Crookshanks yang mendengkur di atas dada, aku kelabakan sewaktu menyadari matahari sudah meninggi. Mengumpat keras, aku mengangkat Crookshanks dan bergegas membersihkan diri di kamar mandi.

Memungut tongkat sihir, aku mengeringkan diri dan memakai seragam Hogwarts dengan kecepatan gila-gilaan. Hari ini memang tak ada pelajaran mengingat tahun ajaran telah berakhir, tapi aku tak mau kehilangan peluang menyenangkan hati Hermione. Bagiku, setiap detik, setiap menit dan jam sangat berarti untuk membuat gadisku tersenyum kembali.

Meninggalkan Crookshanks yang masih melingkar di atas bantal, aku membanting pintu hingga menutup. Berlari menuruni tangga, aku membenahi simpul dasi merah bergaris-garis yang kedodoran.

Siang itu, Ruang Rekreasi tak berpenghuni, begitu juga halnya dengan kamar tidurku. Teman sekamarku pasti enggan membangunkanku karena aku pernah menghajar mereka sewaktu aku dibangunkan paksa di tahun kedua. Saat ini, teman-teman sekamarku dan murid lainnya pasti sedang berdiskusi sambil menyantap makan siang di Aula Besar.

Saat berbelok di selasar menuju Aula Besar, aku berhenti mendadak melihat Hermione tengah berdiri berdua bersama Potter di dekat balkon koridor. Punggung Hermione terlihat merosot dan layu. Begitu juga dengan bahu Potter yang gemetar, getaran yang pastilah disebabkan duka cita mendalam.

Berjingkat-jingkat mendekat, aku berusaha tak mengagetkan mereka. Dalam setiap langkah, aku bisa mendengar pembicaraan mereka yang tersaput hembusan angin musim panas.

"Apa kau serius mau ikut bersamaku mencari Horcrux Voldemort, Hermione?"

Aku sedikit tersentak mendengar pertanyaan janggal Potter. Horcrux Voldemort? Apa maksudnya? Kenapa Hermione harus pergi bersama Potter untuk memburu benda aneh itu? Apa mereka bermaksud melawan bayang-bayang kebangkitan Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut?

Dari belakang, aku lihat punggung sayu Hermione menegak sedikit. Untaian rambut lebat Hermione berkibar ditimpa belaian angin yang menderu. Di bawah tatapan penasaranku, Hermione meremas jemari Potter yang terpancang di beton balkon.

"Aku serius, Harry. Aku akan pergi mencari Horcrux bersamamu dan Ron."

Emosiku sedikit naik mendengar keterangan barusan. Pergi bersama Potter masih bisa kumaklumi tapi bertualang bersama Weasley? Jangan mimpi aku mau merestui. Mana bisa aku mengizinkan kekasihku jalan-jalan bersama jembalang bego yang pernah dicintainya.

"Lalu, bagaimana dengan McLaggen? Kau kan pacaran dengannya."

Ha! Si Potter rupanya pintar juga. Ia masih ingat bahwa aku, Cormac McLaggen merupakan pacar satu-satunya Hermione. Sebagai kekasih sejati, aku tentu punya andil dalam menentukan langkah kehidupan Hermione selanjutnya, bukan?

Lenguhan berat Hermione yang terbawa angin merasuk ke kuping. Entah kenapa saat itu debar jantungku semakin bertalu-talu. Tanpa bisa dijelaskan dengan kata-kata aku merasa dicekam ketakutan tak beralasan.

"Aku akan putus dengannya, Harry. Itu solusi terbaik."

Jawaban Hermione kontan menjadikan duniaku terbalik. Putus denganku? Bagaimana mungkin Hermione memilih jalan sesat seperti itu? Bagaimana mungkin Hermione mendepakku setelah semua hal dan peristiwa menyenangkan yang kami bagi bersama?

Mataku yang berair karena tikaman rasa sakit menyipit sewaktu Potter mengusap-usap rambut berantakan Hermione. Surai cokelat lebat yang selama enam bulan terakhir ini selalu aku puja dengan penuh cinta.

"McLaggen pasti marah-marah. Kau sih, mendekatinya seperti itu. Jadi runyam begini kan. Belum lagi dengan Mantra Confundus yang kau lemparkan saat uji coba Kiper."

Mantra Confundus di uji coba Kiper?

Memoriku langsung melayang ke momen di mana aku dipermalukan habis-habisan di uji coba Kiper baru Quidditch. Jadi, prediksiku bahwa aku diserang Mantra Confundus bukan praduga palsu semata?

Tapi, untuk apa Hermione menyerangku dengan Mantra Confundus? Apa mungkin Hermione melakukan hal memuakkan itu untuk memuluskan mimpi si sableng Weasley?

Di saat otak dan batinku berperang memikirkan alasan logis di balik rapalan Mantra Confundus itu, kalimat selanjutnya yang melesat dari bibir Hermione benar-benar meledakkan amarah yang mendidih dalam darah.

"Mau bagaimana lagi, Harry. Tadinya aku berniat membuat Ron cemburu. Tapi-"

Raungan murka yang meloncat bersamaan dengan pengakuan tersebut membuat kedua sahabat yang tengah berbicara empat mata melonjak terkejut. Mengepalkan tangan sekuat-kuatnya, otakku berdesing mencerna fakta yang disodorkan Hermione. Gadis yang selama ini aku kira mencintaiku apa adanya.

"Tadinya aku berniat membuat Ron cemburu."

Pernyataan itu membuatku tersadar dari belenggu cinta buta yang membelit selama ini. Jadi, Hermione mendekatiku dan bersedia menjadi pacarku hanya untuk membuat Weasley cemburu Setelah Weasley melajang karena putus dari Lavender, Hermione dengan santainya bersiap putus dariku. Mencampakkan diriku seperti rongsokan tak berguna.

Hermione yang kaget melihat kedatanganku tampak memucat. Beringsut-ingsut, tampak ngeri melihat aura kemarahan yang berkobar dari setiap molekul tubuhku, Hermione memanggil namaku. Panggilan yang dulu sempat membuatku berbunga-bunga.

Dulu, sebelum aku tahu gadis seperti apa si Hermione Jean Granger itu.

"Cormac," ujar Hermione pelan, mengulurkan tangan ke arahku yang memerah menahan luapan amarah. Berjengit takut-takut dan dipenuhi rasa bersalah, Hermione berupaya mengurangi jarak di antara kami.

"Jangan panggil aku dengan nama kecilku, Granger," aku menyentak kasar, menepis tangan Hermione yang terjulur.

Hermione hanya mengembik ngeri mendengar geraman brutal dalam intonasi suaraku. Potter yang masih berdiri kaku di tempat bergerak sedikit dalam sikap defensif. Walau terlihat tak mau ikut campur dalam masalah internal kami, anak laki-laki kurus dengan dengkul menonjol itu tetap memasang kuda-kuda. Bersiap-siap menyelamatkan teman perempuan terbaiknya dari bencana yang mungkin terjadi.

"Cormac, maaf. Aku tak bermaksud-"

"Ya, kau jelas punya maksud, Granger! Kau sengaja berpacaran denganku hanya untuk membuat Weasley cemburu dan menaruh perhatian padamu. Kau munafik hipokrit, Granger!" aku menghardik tajam, tak menghiraukan bayangan air mata di iris cokelat Hermione.

"Bukan. Kau salah, Cormac. Aku-"

"Oho, aku salah begitu? Dan kau si genius yang selalu benar? Granger, kau membuatku muak!" aku membentak garang, meludah ke lantai batu di antara kami, tak menggubris seruan marah Potter maupun kesiap syok Hermione.

"Tadinya aku ingin mengajak Zacharias Smith. Tapi tidak jadi."

Sekelebatan kenangan yang terjadi seusai pesta Natal Klub Slug seolah melengkapi kepingan teka-teki yang berserakan. Rupanya, setelah gagal memperdaya Zacharias Smith untuk membuat Weasley cemburu, Hermione mengalihkan sasaran tembak padaku. Dan bodohnya, aku langsung menelan perangkap memuakkan itu bulat-bulat.

Menunjuk wajah Hermione yang pias, aku berteriak jijik, menarik perhatian sejumlah siswa yang baru selesai menghadiri jamuan santap siang.

"Sana, pergi cari Horcrux sialan itu. Musnahkan Voldemort kalau kau bisa. Asal kau tahu, Darah Lumpur sepertimu lebih baik mati, Granger. Aku pasti tertawa paling keras di pemakamanmu nanti!"

Suara jeritan para murid yang tercengang karena kalimat rasis tak termaafkan meluncur dari mulutku berpadu dengan auman berang Potter. Menghambur maju dalam satu sentakan tajam, Potter bergulat mencengkeram kerah kemejaku. Mata hijau cemerlangnya bersinar bengis, ludahnya menyembur tatkala ia mendesakku untuk meminta maaf atas hinaan barusan.

"Kau brengsek, McLaggen! Ayo, minta maaf pada Hermione!"

Merenggut lepas tangan Potter yang bersemayam di kerah kemeja, aku melotot tak terima. Mendelik meremehkan ke figur Hermione yang berlinangan air mata, aku mengulangi sumpahku. Sumpah brutal yang akhirnya menjebakku dalam penyesalan tak berujung.

"Aku serius, Granger. Makhluk sepertimu lebih baik mati saja. Aku pasti tertawa merangkak-rangkak di kuburanmu nanti!"


"Aku serius, Granger. Makhluk sepertimu lebih baik mati saja. Aku pasti tertawa merangkak-rangkak di kuburanmu nanti!"

Memejamkan mata yang perih karena kebanyakan menangis tanpa suara, aku membanting karaf kristal Wiski Api yang sudah kosong ke panel dinding warna gelap yang tertutup permadani gantung lembut.

Mendarat telak di lantai marmer yang terpoles mengilat, denting pecahan botol kristal tersebut terdengar nyaring di kamar tidur yang terbilang luas. Serpihan beling berserakan di atas lantai, bercampur baur bersama pecahan vas bunga azalea merah muda yang sudah lebih dulu aku lempar ke tembok.

Memijat pelipis yang berdenyut sakit, aku mengutuki hari di mana aku menyumpahi kematian Hermione. Demi nama Merlin, saat itu aku memang dibekap emosi tak berujung sehingga nekat mengeluarkan sumpah mematikan seperti itu. Sumpah jahanam yang membuatku berdarah-darah dicekam rasa bersalah.

Membuka mata, aku mengalihkan tatapan ke halaman depan Daily Prophet yang memuat pengumuman tentang pencarian tiga buronan paling dicari saat ini. Harry Potter, Hermione Granger dan Ron Weasley.

Sejak Lord Voldemort menjajah Kementerian Sihir Inggris dan membantai Menteri Sihir, Rufus Scrimgeour, Daily Prophet langsung menjadi corong media Voldemort. Harian yang dulunya independen kini aktif memberitakan kiprah mengerikan Voldemort, termasuk selebaran pencarian Trio Emas Gryffindor.

Menghembuskan napas kalah, aku memandangi jendela kaca indah yang menjulang megah. Sejak tahun ajaran ketujuh dimulai, aku telah dihantui kengerian terkait nasib Hermione yang buron bersama dua sobat kentalnya. Sepanjang pelajaran pun, otakku tak bisa berkonsentrasi. Aku sering ketakutan memikirkan apakah Hermione bisa makan enak dan tidur layak selama masa pelarian.

Pikiranku yang semrawut kian diperparah dengan kondisi Hogwarts yang makin menyedihkan. Sejak tumbangnya Kementerian Sihir Inggris, Lord Voldemort menempatkan cakar di Hogwarts melalui taji Pelahap Maut kepercayaannya, Amycus dan Alecto Carow.

Berbekal hati nurani mereka yang dipenuhi borok bernanah, Carrow bersaudara memberlakukan peraturan sekolah yang keji dan semena-mena. Jika ada murid yang membangkang, detensi Kutukan Cruciatus dengan mudahnya dilayangkan Pelahap Maut tak berperikemanusiaan tersebut. Entah sudah berapa kali sejumlah anggota Laskar Dumbledore terkena kutukan mengerikan karena berani melakukan berbagai pelanggaran.

Beberapa waktu lalu saja, Ginny Weasley nyaris disiksa habis-habisan karena ketahuan hendak mencuri pedang Godric Gryffindor yang disimpan di kantor Kepala Sekolah. Untungnya siksaan itu tak terjadi sebab Profesor Snape yang menjabat sebagai Kepala Sekolah memutuskan mengganti hukuman Cruciatus dengan sanksi kerja paksa di Hutan Terlarang.

Meski demikian, semua tragedi dan kekejian di Hogwarts tak sepadan dengan nasib yang menanti Hermione. Bagaimana jika Hermione tertangkap nanti? Bagaimana jika sumpahku menjadi kenyataan? Hermione tewas dalam usaha perburuan Horcrux keparat itu?

Bayangan menyaksikan mayat Hermione yang membiru dan penuh luka membuatku nyaris memuntahkan semua isi perut. Seharusnya aku tak mengucapkan sumpah menjijikkan itu. Sumpah laknat yang keluar karena dorongan sakit hati.

Bunyi derit pintu dibuka mengusik imajinasi nestapa tentang bayangan kematian Hermione. Tanpa mengalihkan muka pun aku sudah tahu kalau yang datang berkunjung ke kamarku ini adalah ibuku. Harum parfum lembut yang khas makin terasa pekat selaras dengan langkah halus sepatu berhak tinggi dan tajam yang bergerak mulus ke arahku.

"Cormac, apa yang kau pikirkan, Nak?" ibuku bertanya lembut, menyandarkan telapak tangan terawat di bahuku yang merosot.

Mengangkat bahu, aku terdiam seribu bahasa. Mengambil botol Wiski Api ketiga, aku bersiap menuangkan seluruh isinya sebelum jemari lentik ibuku mencekal pergerakan.

"Hentikan, Cormac. Kau sudah kebanyakan minum Wiski Api," sela ibuku tegas, menerbangkan jauh-jauh botol minum kristal berisi cairan beralkohol itu ke lemari di sudut kamar.

"Mother, kalau kau cuma ingin mengganggu, sebaiknya keluar saja," aku mengatupkan gigi, menggoyang-goyangkan kaki secara serampangan. Meremas bidang bahuku yang lunglai, ibuku menundukkan wajah sempurna yang terpulas kosmetik kelas atas. Sudut bibir merah merekah ibuku yang mulai dihiasi garis kerut samar membentuk seutas senyum prihatin. Pancaran rasa iba tersorot gamblang dari sepasang bola mata ungu perak yang berkilat penuh tanda tanya.

"Oh Sayang, apa yang terjadi padamu? Seharusnya kau bersenang-senang di liburan Paskah kali ini," ujar ibuku lembut, mengusap-usap rambut kawat yang mengusut dengan penuh cinta kasih.

"Aku tak bisa bersenang-senang, Mother. Tak bisa!" aku meracau brutal, menangkupkan telapak tangan di wajah, bersusah-payah membendung tangisan frustrasi yang mendesak keluar.

"Kenapa, Cormac. Katakan pada ibumu," bisik ibuku menenangkan, terus membelai rambut kawatku dengan perhatian penuh. Usapan keibuan yang sedikit banyak bisa memupus isak tangis yang tersangkut di ujung tenggorokan.

Kendati bujukan ibuku terlihat menggiurkan, aku bersikeras menyimpan masalahku sendiri. Bagaimanapun juga, ibuku tetaplah penyihir berdarah murni yang tak akan pusing-pusing memikirkan nasib penyihir kelahiran Muggle seperti Hermione. Selain itu, status ibuku sebagai istri petinggi Kementerian Sihir Inggris pastilah membuatnya acuh tak acuh pada kondisi nelangsa Hermione di luar sana.

Lagipula, aku juga tak yakin ibuku bisa mengerti kegalauan dan penyesalan yang menghanguskan jiwa. Rasa sesal tak terkira karena pernah menginginkan kematian Hermione. Sumpah kematian yang setiap hari mengiris-iris hati nurani.

Setelah liburan Paskah yang lebih banyak diisi dengan meratap dan menyesali sumpah gegabah, aku kembali ke Hogwarts dengan ogah-ogahan. Wajahku yang sudah suntuk kian bertambah kusut tatkala Hogwarts Express dihentikan secara paksa oleh sekawanan Pelahap Maut tak berotak. Rupanya, gerombolan sampah busuk tersebut berniat mencari Potter dan dua teman seperjuangannya.

Ketika Pelahap Maut menerobos dan menggeledah kompartemen, kemarahanku yang sudah di ubun-ubun meletup keluar. Tanpa takut aku mengancam akan mengadukan tindakan kurang ajar mereka ke ayahku yang notabene merupakan sosok berpengaruh di jajaran pejabat Kementerian Sihir Inggris yang baru.

Neville Longbottom, penyihir pelupa berwajah bundar yang dari tahun ke tahun makin pemberani pun mendukung aksi kalapku. Dengan gagah berani, anak pasangan Auror andal, Frank dan Alice Longbottom menghardik para begundal dengan sebutan kasar yang bisa membuat kuping ibu-ibu manapun copot.

Untungnya, Pelahap Maut yang bertugas tak mengambil tindakan ekstrem atas kekurangajaran tersebut. Predikat kami sebagai anak-anak penyihir berdarah murni yang darahnya harus dijaga membuat kawanan kriminal kambuhan itu merangsek keluar kompartemen dengan kedongkolan mendalam.

Setibanya di Hogwarts, mendung di hati makin menjadi-jadi. Dari kisikan Flora Carrow, aku mengetahui kalau Pelahap Maut yang tadi menyetop Hogwarts Express tak sekedar mencari Potter dan kawan-kawan melainkan bertujuan menculik Ginny Weasley, penyihir berdarah murni yang dianggap berkhianat karena membantu pergerakan Potter.

Jika Ginny berhasil selamat, beda halnya dengan Luna Lovegood. Flora yang bercerita dengan wajah berbinar-binar menyatakan kalau siswi Ravenclaw yang senang memakai anting lobak itu telah diculik dan disekap di ruang bawah tanah Malfoy Manor saat liburan Paskah kemarin.

"Bukan cuma si sinting Loony Lovegood saja yang ditawan di sana. Dengar-dengar Darah Lumpur Granger juga disiksa di Malfoy Manor," bisik Flora antusias, menempelkan bibir beracun ke cuping kupingku.

Penjelasan Flora kontan membuat emosi bergejolak. Dengan segenap kekuatan tangan, aku mengguncang-guncangkan Flora hingga kepala berambut cokelatnya terangguk-angguk cepat seperti mainan rusak.

"Apa maksudmu, Flora? Hermione disiksa di rumah Malfoy?" aku menggerung tak sabar, memendam keinginan kuat untuk menjambak rambut panjang Flora sampai botak.

"Iya, aduh, Cormac... aku pusing kalau begini," ratap Flora, mati-matian menggapai-gapaikan jemari untuk menghentikan guncangan tangan yang membuat tubuh tinggi langsingnya kelimpungan.

Melepas bahu Flora tanpa aba-aba sehingga membuat jalang brengsek itu jatuh terguling ke lantai batu, aku melesat mencari Malfoy untuk mencari tahu kebenaran kabar menyakitkan tersebut.

Sepanjang perjalanan, aku mengaum meneriakkan nama Malfoy. Di setiap langkah kaki, benakku dipenuhi khayalan mengerikan tentang sosok Hermione yang bersimbah darah. Di dalam alam pikiran, aku melihat mata cokelat Hermione meredup dan membelalak hampa. Wajah indah dan cerdasnya yang penuh tawa berganti ringisan kesakitan. Tubuh kecil menggugahnya yang selalu berenergi terbenam layu dalam lautan darah.

"Tidak!" aku menggebrak marah, meninju baju zirah yang ada di samping tangga mosaik. Kerasnya hantaman membuat setelan baju besi itu berkelontangan dalam berbagai serpihan.

Tatkala aku terengah-engah menata napas yang ngos-ngosan, aku melihat Malfoy berjalan pelan menuju koridor lantai tujuh. Tanpa membuang waktu, aku bergegas berlari menghampiri Malfoy dengan kecepatan yang bisa membuat kuda terbang pemegang gelar juara maraton mencibir iri.

"MALFOOY!"

Teriakan marahku membuat Malfoy mengarahkan wajah runcing pucat ke arahku, bersamaan dengan kepalan tinju yang mendarat mulus di muka. Terjengkang berdebam di lantai, Malfoy meringis memegangi hidung mancungnya yang patah akibat hantamanku.

"Brengsek kau, Malfoy! Kau menyiksa Hermione di rumahmu kan!" aku meraung berang, mencengkeram dan mengangkat Malfoy dari atas lantai. Kepalan tinjuku yang sudah sesenti lagi bersarang di muka tampannya terhenti ketika Malfoy berteriak sedih.

"Ayo, tinju aku sampai mati, McLaggen! Lebih baik aku mati karena tak bisa melindungi dan menolong gadis yang kucintai!"

"Apa maksudmu?" aku bertanya tercekat, pelan-pelan melepaskan belitan tangan di kemeja putih Malfoy yang kusut. Menurunkan tinju yang tadi berjarak satu senti dari wajah, aku mencermati profil Malfoy yang kuyu.

Bola mata kelabu perak Malfoy yang biasanya berkilau cemerlang kini bersinar buram, persis seperti bulan purnama bulat penuh yang kehilangan cahaya. Lingkaran hitam bertengger di bawah mata, guratan sedih yang menyatakan kalau pemuda kaya paling berkuasa itu didera kesedihan tak tergambarkan.

Yang paling parah, wajah tampan sempurna Malfoy yang sempat membuat gadis-gadis Hogwarts meneteskan air liur seperti anjing rabies kini cekung dan suram. Singkat kata, Malfoy yang saat ini bertengger di hadapan tak ubahnya seperti mayat hidup berjalan yang seharusnya diawetkan di lemari kaca museum.

"Aku pria paling pengecut yang pernah hidup. Aku tak bisa berbuat apapun untuk menyelamatkannya. Aku tak mampu melindunginya dari kekejaman tanteku sendiri," bisik Malfoy pelan. Gumaman halus yang untungnya terdengar jelas di kupingku yang berkedut.

"Kau... kau mencintai Hermione?"

Menatap mataku yang terperangah, ujung bibir Malfoy menukik ke atas, mengguratkan senyum tertahan. Bahu bidangnya yang dulu tegap merosot seiring dengan hembusan napas letih yang mengalir lirih.

"Terkejut, McLaggen? Ya, aku mencintai Granger sejak tujuh tahun lalu. Sejak pertama kali aku melihatnya di peron sembilan tiga perempat."

Menyandarkan tubuh di pilar raksasa, Malfoy meneruskan pengakuan. Pengungkapan kenyataan yang membuatku berdengap tak beraturan. Ya Tuhan, Draco Malfoy si penyihir rasis nomor satu diam-diam mencintai Hermione, penyihir kelahiran Muggle yang selama bertahun-tahun ini diperlakukan seperti kotoran di sepatu.

"Tapi, bukankah kau sangat membenci Hermione?" aku berseru tak percaya, mengenang kembali siasat kenakalan Malfoy yang sering membuat Hermione hipertensi.

"Hanya itu yang bisa kulakukan agar ia menyadari kehadiranku. Yah, bisa dibilang itu juga bentuk pelampiasan karena tak bisa bersatu dengannya. Kau tahu, gara-gara status darah dan sebagainya," tutur Malfoy pelan, meringis nyeri dan merapalkan Mantra Episkey untuk memperbaiki bentuk hidung yang patah.

Mengarahkan sorot kelabu perak ke arahku yang masih ternganga-nganga, Malfoy membenahi buhul dasi hijau bergaris yang hampir lepas akibat jambretan tanganku tadi.

"Saat para Snatcher membawanya ke rumahku, aku sangat ketakutan. Saat Tante Bellatrix menyiksanya, aku hampir mati gila karenanya. Kau tak tahu betapa hancur dan menderitanya aku karena tak bisa menolong gadis yang kucintai."

Menutup mulutku yang menganga, aku menarik kemeja Malfoy dan mendekatkan wajahku ke wajahnya yang pias.

"Lalu, di mana Hermione sekarang? Kalau dia masih disekap di rumahmu, aku akan-"

Menyentak lenganku, Malfoy bergerak mundur untuk melepaskan diri dari cekikan tanganku. Menatap dengan sepasang kolam perak cair yang redup, Malfoy mendesiskan napas panjang.

"Untunglah Granger selamat sebab bekas peri rumahku, Dobby menolongnya. Tapi, aku tak tahu di mana sekarang ia berada."

Menutup wajah dengan tangan, bahu Malfoy berguncang karena emosi terpendam. Untuk beberapa saat, tak ada satu potong kalimat pun yang keluar dari mulutnya. Setelah akhirnya Malfoy mengangkat muka, guratan kesedihan dan penyesalan tak tertahankan terukir jelas di wajah runcing pucatnya.

"Jadi, jika kau ingin membunuhku sekarang, ayo segera lakukan. Aku benar-benar pecundang karena sudah gagal melindungi Granger."

Menggelengkan kepala, aku balas menatap Malfoy dengan sorot kalah. Malfoy mungkin memang pecundang tapi aku lebih keji darinya. Akulah yang menyumpahi Hermione dengan seruan kematian.

"Akulah yang pecundang, Malfoy. Kau tak pernah menyumpahi Hermione mati. Sedangkan aku-"

Dengusan keras Malfoy menginterupsi kalimatku. Memainkan ketopong baju zirah yang bergelimpangan dengan ujung sepatu, Malfoy menyeringai masam.

"Apa kau lupa kalau di tahun kedua aku juga pernah menginginkan kematian Granger? Saat itu aku bahkan berteriak di depan umum, menyumpahi Granger agar mati di tangan Ular Basilisk."

Penjelasan Malfoy membangunkan kembali memori kelam yang sempat tertidur. Ya, jika tak dilindungi dua ajudan gendutnya, Vincent Crabbe dan Gregory Goyle, muka Malfoy pasti sudah bopeng kucabik-cabik.

Saat itu, kemarahan dan kesedihanku karena gagal menganiaya Malfoy kian bertambah ketika akhirnya Hermione menjadi korban. Untungnya, ramuan Mandrake kreasi matron Ruang Kesehatan Madam Poppy Pomfrey mampu menyelamatkan tubuh Hermione yang membatu.

"Kalau mengingat hal tersebut, sepertinya kita berdua tak cocok untuk Granger. Hanya bajingan bejat yang tega meminta kematian gadis yang dicintainya," seru Malfoy pelan, beranjak menuju susuran koridor.

Bersandar di dekat pilar, aku menengadahkan wajah dan menatap kandil besar yang penuh dengan lilin harum berwarna emas. Malfoy memang benar, aku benar-benar brengsek karena tega mengeluarkan sumpah mengerikan seperti itu. Permintaan kematian yang berubah menjadi bumerang mengerikan bagi hidupku.

"Kau tahu, McLaggen. Seandainya saja ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki keadaan, aku pasti bersedia mengorbankan segalanya."

Usai mengucapkan kalimat pamungkas yang diselipi senyum getir, Malfoy membalikkan punggung dan melangkah pergi. Sampai siluetnya yang muram menghilang, kata-kata pamungkasnya masih menari-nari di dalam benakku.

"Seandainya saja ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki keadaan, aku pasti bersedia mengorbankan segalanya."

Memandangi deretan awan yang berarak di angkasa, aku menghembuskan napas perlahan-lahan. Ya, Malfoy, kali ini aku sepakat denganmu. Aku pun rela mengorbankan segalanya termasuk nyawaku sendiri jika diberi kesempatan untuk memperbaiki keadaan...


Sebulan setelah pertemuanku dengan Malfoy, peluang untuk memperbaiki keadaan mulai terbuka untukku. Di malam awal bulan Mei, secara tiba-tiba Hermione dan dua teman sejatinya muncul di Ruang Kebutuhan. Saat pertama kali melihat Hermione muncul dari balik pintu lukisan Ariana Dumbledore, aku hampir pingsan kegirangan.

Meskipun terlihat kumal tak terurus dan sedikit kurus, secara garis besar Hermione baik-baik saja. Senyuman tegar dan sinar mata bersemangat masih terpelihara di raut wajah mungilnya. Tak menghiraukan deretan murid-murid yang tengah mengerubungi Potter, aku berusaha mendekati Hermione untuk meminta maaf atas kesalahan dan sumpah serapah yang aku lontarkan dulu.

Saat lajuku tinggal beberapa langkah itulah aku melihat kenyataan telak yang memukul batinku. Tangan Hermione yang selalu kuimpikan menjadi wadah cincin pusaka klan McLaggen terjalin erat dengan jemari kasar Weasley. Genggaman mesra itu menjadi bukti tersirat bagiku bahwa kedua insan tersebut telah menjalin ikatan cinta.

Menelan ludah, aku memalingkan muka, bergegas menuju ke sudut ruangan untuk menyendiri dan berpikir. Sebelum sempat mencapai tempat tujuan, suara Hermione yang sedikit serak menghentikan pergerakanku.

"Cormac, tunggu."

Membalikkan badan, aku berjuang menatap Hermione dengan ketegaran khas laki-laki yang kumiliki. Keteguhan yang semakin menipis seiring dengan menebalnya keyakinan kalau gadis pujaanku itu telah berpindah ke lain hati. Sesuatu yang pantas kuterima mengingat dosa-dosaku selama ini.

"Halo Hermione. Apa kabar?" tanyaku asal-asalan, memasukkan kedua tangan di dalam saku celana untuk membredel keinginan menarik Hermione ke dalam pelukan.

"Aku baik-baik saja, Cormac. Begini, ada hal yang ingin kubicarakan. Aku-"

Dengkingan panik Ginny Weasley menghentikan penjelasan Hermione. Tersengal-sengal kehabisan napas, Ginny memaparkan kalau seluruh siswa disuruh berkumpul di Aula Besar untuk diinterogasi terkait keberadaan Potter dan kawan-kawan di Hogsmeade, malam ini.

Seusai pengumuman tersebut, kepanikan langsung melanda seluruh penghuni Kamar Kebutuhan. Beramai-ramai, sisa-sisa anggota Laskar Dumbledore serta murid-murid yang pro pergerakan Potter menghambur menuju Aula Besar. Di tengah-tengah kehebohan, mataku masih terpancang pada sosok Hermione yang terombang-ambing dalam dilema.

"Hermione, ayo tunggu apalagi. Kita harus bersiap-siap mencari Kamar Rahasia," sembur Weasley kalut, menyambar tangan Hermione yang tengah meremas-remas ujung baju.

Mengangguk sekali, Hermione menyambut uluran tangan Weasley yang langsung menggereknya tanpa ampun. Menengok dari balik bahu, mata cokelat Hermione yang berkelip bimbang terkunci ke arahku. Melempar senyum singkat, Hermione mengucapkan permintaannya untukku. Permohonan yang ternyata merupakan kata-kata terakhirnya untukku.

"Ada yang ingin kubahas denganmu, Cormac. Tunggu aku ya..."


Rupanya, instingku yang menyatakan bahwa permintaan Hermione merupakan kata-kata terakhirnya benar-benar terbukti. Saat berkumpul di Aula Besar bersama-sama siswa asrama lain, aku tak mengira kalau pertempuran melawan Voldemort akan berlangsung malam itu juga. Tatkala Potter keluar dari barisan Hufflepuff, genderang perang pun resmi ditabuh.

Berkolaborasi dengan para guru dan murid-murid yang ingin bertempur, punggawa Orde Phoenix yang menyelundup melalui lubang lukisan Ariana merapatkan barisan untuk melawan gempuran Lord Voldemort dan kroni-kroni Pelahap Maut-nya.

Seiring pertambahan waktu, perang semakin meluas dan berbahaya. Pertahanan Hogwarts bobol dan membuat gerombolan Pelahap Maut melenggang bebas memasuki kastil. Korban nyawa pun mulai berjatuhan, baik dari kalangan siswa maupun sejumlah prajurit Pelahap Maut.

Kendati aku tak tergabung dalam Laskar Dumbledore mengingat saat laskar itu dibentuk aku belum intim dengan Hermione, kemampuan sihirku tak bisa dipandang remeh.

Sedari kecil, ayah dan pamanku sering melatihku dengan berbagai kutukan dahsyat dan mantra tingkat tinggi. Kata ayahku, seorang pewaris tunggal seperti diriku harus dibekali sihir mumpuni supaya bisa mempertahankan nama suci keluarga.

Berkat pembelajaran sejak kecil itulah aku bisa mencabut nyawa beberapa serdadu Pelahap Maut. Selama bertikai melawan bandit kelas kakap tersebut, mataku tak pernah lepas mencari sosok Hermione yang tak kelihatan batang hidungnya sejak kerusuhan di Kamar Kebutuhan.

Melayangkan kutukan mematikan ke Pelahap Maut yang mengejarku, aku terus berlari mencari Hermione untuk memastikan keselamatannya. Di tengah perjalanan menuju Aula Depan itulah aku akhirnya berjumpa kembali dengan Hermione. Pertemuan yang baru kusadari merupakan detik-detik terakhirku bersamanya.

"Lavender! Tidaak! Confringo!"

Jeritan Hermione membuatku kalap dan langsung menumbangkan Pelahap Maut terakhir yang menguntitku dengan satu gebrakan. Seirama dengan limbungnya tubuh manusia gila yang mengekoriku, aku menyaksikan mantra Hermione membentur tubuh manusia serigala maniak, Fenrir Greyback yang sedang menyantap tubuh Lavender.

Kencangnya Mantra Peledak membuat Greyback terpental jauh dari tubuh Lavender yang terbenam darah. Detik berikutnya, Hermione membuktikan kualitas dirinya sebagai seorang Gryffindor sejati yang setia kawan dan pemberani. Tanpa menghiraukan semua perlakuan buruk Lavender padanya, Hermione berjuang keras menyelamatkan nyawa teman sekamarnya.

Berniat membantu Hermione yang tengah berkutat menyadarkan Lavender, aku melesat maju. Sayangnya, sebelum aku sempat mendekat, seorang Pelahap Maut bertopeng perak menghadang pergerakanku.

"Wah, wah, wah. McLaggen junior. Apa kata pamanmu nanti jika aku membawa kepalamu untuk dipertontonkan di Atrium Kementerian Sihir?" Pelahap Maut itu terkekeh kejam. Melepas topeng perak yang menutupi wajah, Pelahap Maut tersebut mempertontonkan tampang familiernya yang selalu kulihat setiap liburan musim panas.

"Minggir, Walden Macnair. Aku tak ada urusan denganmu," hardikku ganas, menatap nanar profil pegawai Komite Pemusnahan Makhluk Berbahaya yang sering bermain Quidditch bersamaku.

"Oho, aku masih punya bisnis tertunda denganmu, Cormac. Seharusnya sebagai penyihir darah murni kau membela Lord Voldemort," dengus Macnair congkak, melambai-lambaikan tongkat sihir dengan gerakan menantang.

"Oh ya? Jadi sekarang kau membela penyihir tanpa hidung itu? Bukannya dulu kau bilang Voldemort bukan majikanmu? Kau benar-benar oportunis pengecut, Macnair!" tuntutku berang, mengenang cerita pamanku mengenai Macnair yang selamat dari terali besi Penjara Sihir Azkaban karena mengaku terperdaya Kutukan Imperius Voldemort.

"Tutup mulutmu, bocah! Expulso!"

Gerak refleks yang terlatih membuatku berhasil menghindari mantra yang mampu meledakkan objek sekeras apapun. Kuatnya hantaman mantra Macnair membuat dinding di belakangku jebol tak bersisa.

Konsentrasiku untuk membentengi diri sekaligus melancarkan serangan balasan pecah ketika ajudan wanita Voldemort, Bellatrix Lestrange mendadak muncul di dekat Hermione yang tengah membantu Lavender berjalan. Memamerkan seringai sinting, kerabat dekat Draco Malfoy itu langsung membombardir Hermione dengan rangkaian ilmu hitam.

Melempar Lavender yang setengah sadar ke samping kanan, Hermione dengan gagah berani membalas setiap kutukan mematikan yang disemburkan Bellatrix Lestrange. Dibantu Weasley yang baru tiba, Hermione mampu membuat penyihir berpelupuk mata tebal itu jatuh tersudut.

"Pertunjukan menarik, bocah. Tapi, kita masih punya bisnis di sini," seru Macnair jengkel, tak terima kehadirannya diabaikan. Dibakar rasa khawatir dan jijik mendengar kebawelan Macnair, aku langsung merapalkan mantra non-verbal yang kuingat, Mantra Diminuendo. Sekejap setelah mantra itu menghajarnya, tubuh Macnair yang tinggi besar langsung menciut sekecil boneka.

"Adios, Macnair," aku berseru garang, melempar boneka hidup menjengkelkan itu dari lubang tembok yang tadi dibuatnya.

"Bombarda Maxima!"

Benturan keras disusul ambruknya pilar-pilar Aula Depan membuatku terguling jauh seperti bola sepak. Terbatuk-batuk keluar dari reruntuhan, mataku mengerjap mengawasi keadaan sekitarku yang luluh-lantak.

Weasley, yang tadi hampir mematahkan taring Bellatrix Lestrange terkapar penuh luka di lantai batu. Kepala dan tubuhnya terkoyak lebar terkena pecahan batu dan pilar yang runtuh akibat mantra rapalan Bellatrix Lestrange.

Tapi, yang paling membuatku panik bukanlah Weasley yang berdarah-darah dan tak bergerak, melainkan Hermione yang tengah dipiting Bellatrix Lestrange dari belakang.

Menekankan tongkat sihir di batang leher Hermione, Bellatrix Lestrange tertawa terbahak-bahak. Tangannya yang tak memegang tongkat sihir mencengkeram kuat lengan Hermione yang meronta tak terkendali.

"Kali ini tak ada peri rumah sialan yang bisa menyelamatkanmu, Darah Lumpur," seru Bellatrix Lestrange puas, berteriak lantang di dekat kuping Hermione yang berdarah.

Menjambak rambut cokelat lebat Hermione yang kotor, Bellatrix Lestrange mendorong punggung Hermione ke depan seiring dengan irama kutukan mematikan yang dinyanyikan dengan nada suka cita.

"Avada Kedavra!"

Jeritanku bercampur baur dengan teriakan kemenangan Bellatrix Lestrange. Seolah-olah diformat untuk gerakan lambat, aku melihat tubuh Hermione melengkung ke belakang. Mata cerdasnya terbelalak menatapku yang berlari kesetanan ke arahnya. Selaras dengan gerakan tangannya yang menggapai udara, hembusan napas terakhirnya pun terlepas keluar.

Sebelum tubuh tanpa roh Hermione membentur lantai batu, aku berhasil menangkapnya. Dalam kondisi terguncang, aku mendekap erat Hermione di pelukan. Menyibak rambut cokelatnya yang basah, mataku yang berair memandangi paras Hermione yang memucat. Mata cokelatnya yang membelalak kosong membuat batinku kian tersayat-sayat.

"Wah, wah, wah. Berduka atas kematian Darah Lumpur kotor rupanya."

Mendongakkan wajah, aku menatap benci sosok Bellatrix Lestrange yang menjulang congkak di hadapanku. Mengencangkan pegangan di tongkat sihir, aku berniat membalas dendam atas kematian Hermione.

"Aku serius, Granger. Makhluk sepertimu lebih baik mati saja. Aku pasti tertawa merangkak-rangkak di kuburanmu nanti!"

Menghalau ingatan kejam tentang sumpahku, dengan hati-hati aku meletakkan jasad Hermione di lantai batu. Hermione sudah meninggal dan tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini. Namun, sebelum menyusul Hermione, aku akan memastikan Bellatrix Lestrange ikut serta dalam arak-arakan ke neraka.

Melihat kuda-kudaku, Bellatrix Lestrange menaikkan alis hitam yang melengkung sempurna. Memelintir tongkat sihir dengan gerakan melecehkan, Pelahap Maut wanita paling disegani itu meludah ke lantai bernoda darah.

"Sayang sekali bangsawan darah murni sepertimu rela mati demi pelacur Darah Lumpur seperti itu. Tapi, jika itu keinginanmu, bersiaplah," desah Bellatrix Lestrange sinis, mata kejamnya yang sehitam kegelapan malam berkilat dalam kebencian murni.

Belum sempat kami bertukar mantra dan kutukan, raungan murka Draco Malfoy terdengar dari arah belakang Bellatrix Lestrange. Membuat ancang-ancang kami terpangkas untuk sementara.

"Dia milikku, McLaggen! Crucio!"

Menghantamkan Kutukan Cruciatus, Malfoy mencabik-cabik tubuh tantenya dengan kutukan penyiksa. Jampi-jampi hitam yang sempat membuat wanita sakit jiwa itu megap-megap kehabisan napas sebelum kembali mengambil-alih kendali dalam waktu singkat.

"Beraninya kau, Draco. Kau ingin bermain-main denganku?" desis Bellatrix Lestrange berang, membidikkan tongkat sihir ke jantung keponakan kesayangannya.

"Dulu aku tak berani melawanmu, Tante. Tapi sekarang beda," seru Malfoy parau, getar kesedihan terasa kuat di setiap kalimat yang diucapkannya.

"Jadi, si kecil Draco berani melawan tantenya sendiri?" sindir Bellatrix Lestrange, menirukan gaya bicara balita cadel yang menjijikkan. Menyeringai seram, wanita psikopat berambut keriting hitam itu menusukkan pandangan beracun ke arah Malfoy yang memasang posisi menyerang.

"Jika kau sudah bosan hidup, terima ini. Avada-"

"Avada Kedavra!"

Seperti Nemesis, dewi pembalasan Yunani, rambut pirang panjang Narcissa Malfoy berkibar-kibar tatkala wanita jangkung itu merapalkan kutukan kematian yang tepat menghantam punggung kakak kandungnya.

Bersamaan dengan jatuhnya tubuh kaku Bellatrix Lestrange ke lantai, Narcissa Malfoy langsung memeluk putranya yang berdiri terperangah. Menangis sesenggukan di bahu putranya, wanita berparas bangsawan itu menumpahkan isi hatinya.

"Oh Tuhan, Draco... Draco. Aku harus membunuhnya... kalau tidak kau... Draco..."

Mengusap-usap bahu ibunya yang menggigil, Malfoy menggumamkan kata-kata menenangkan. Kalimat penghiburan yang terpotong seiring dengan pekikan histeris Ginny Weasley dan Luna Lovegood yang muncul dari balik bordes yang hancur berantakan.

"Tidak! Hermione! Ron!"

Menerjang menuju jenazah Hermione yang kaku, kedua teman perempuan Hermione itu menangis terisak-isak. Helaan tangis itulah yang terakhir kali kudengar sebelum kegelapan total membuatku tak sadarkan diri...


Halo semuanya…

Perkenalkan, namaku Hermione Jean Granger, penyihir kelahiran Muggle paling genius abad ini.

Hei, bukannya sombong atau narsis, tapi begitulah kenyataan yang ada. Yah, setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang di sekitarku. Kata mereka, kepandaianku dalam ilmu sihir bahkan setara dengan pendiri asrama Ravenclaw, Rowena Ravenclaw yang cantik legendaris.

Sayangnya, meskipun nilai akademikku menyilaukan mata, aku benar-benar bloon kalau berurusan dengan lawan jenis. Hubungan pertamaku dengan Seeker timnas Bulgaria, Viktor Krum misalnya. Saat diajak berpasangan dengannya di Pesta Dansa Natal di tahun keempatku bersekolah, aku memang benar-benar bangga dan bahagia.

Namun, harapanku untuk menjalin asmara yang mengesankan dengan Krum pudar sebab idola Durmstrang itu tak bisa menjaga mata dan tangan. Oh iya, Krum tak pernah banyak omong jika menemaniku belajar di perpustakaan. Tapi, tangannya itu lho, tak pernah malas bergerilya ke sembarang tempat terlarang.

Tak mau jadi bulan-bulanan hasrat remaja puber yang usianya tiga tahun di atasku, aku memutuskan hubungan dengan Krum. Untungnya, pemuda berbahu agak bungkuk itu mau mengerti dan menerima status baru kami sebagai sahabat pena semata.

Lepas dari Krum, ketololanku mengenai masalah pria bukannya berkurang malah makin menjadi.

Contohnya kali ini...

Sudah jelas-jelas Ron tak menaruh minat padaku tapi mengapa aku masih juga berharap lebih padanya? Sudah jelas-jelas Ron hanya berminat pada si seksi montok Lavender, tapi mengapa mataku masih tertumbuk padanya? Pada anak laki-laki yang selalu menganggapku remeh dan gemar menyebutku Nona-Serba-Sok-Tahu-Segala?

Tepat kiranya jika pepatah mengatakan bahwa cinta itu buta. Benar-benar buta. Contohnya ya aku ini. Tetap terbutakan oleh pesona Ron meski pemuda pemuja klub Quidditch Chudley Cannons itu hanya sepintas lalu memandangku.

Bicara soal pandang-memandang, sedari tadi aku sudah gerah diamat-amati oleh Cormac McLaggen. Ya, Cormac yang itu. Si bajingan tengik Gryffindor. Bujang muda yang kata Lavender brengseknya ampun-ampunan.

Kadang-kadang aku sering bertanya-tanya mengapa Cormac seolah tak lelah menatapku tanpa berkedip. Bayangkan, sudah hampir enam tahun terakhir ini kebiasaan anehnya berlangsung.

Awalnya sih aku sempat ngeri juga dengan pandangan menohok tak kenal ampun itu. Namun, lama kelamaan aku terbiasa dan tak takut lagi. Apalagi Ron dan Harry senantiasa mendampingiku ke mana pun aku pergi.

Kembali ke masalah Ron. Aku tahu kalau Ron tak sepintar tiga kakaknya yang lain, Bill, Charlie dan Percy. Tapi, masak sih dia tak bisa merasakan getar cinta yang kukirimkan padanya? Walau aku belum menyatakan perasaan, setidaknya Ron kan bisa menghormati hatiku dengan tidak bermesraan bersama Lavender di depan mataku.

Tapi, harapan cuma tinggal harapan. Sejak menyadari minat Lavender padanya, Ron berubah jadi jumawa. Ia sering memberi angin dan asa pada jalang hiperaktif itu.

Seperti detik ini juga misalnya. Tanpa malu-malu Ron menggandeng lengan Lavender dan mengajaknya memborong Bubuk Kegelapan Instan yang tengah didiskon besar-besaran.

Tak sanggup lagi menahan air mata sakit hati, aku bergegas kabur dari toko Sihir Sakti Weasley, meninggalkan sejoli yang tengah membeli bergalon-galon bubuk sihir asal Peru.

Keluar dari toko yang hiruk-pikuk, aku menikmati keheningan suasana di bar butut Hog's Head. Di akhir pekan sibuk seperti sekarang ini, semua toko di Hogsmeade penuh sesak, dan cuma di Hog's Head yang sepi inilah aku bisa menenangkan batin yang berkecamuk.

Sebenarnya, Hog's Head tidak higienis dan menyalahi standar kesehatan, namun apa boleh buat. Harus ada pengorbanan untuk mendapatkan kesenangan, bukan? Dengan berbekal Mantra Scourgify, setidaknya aku bisa memastikan gelas minuman bersih dari aneka bakteri yang menempel.

Mengambil posisi di bangku pojok yang minus kutu busuk, aku menghirup Butterbeer jahe pelan-pelan. Sadar sepenuhnya akan tatapan intensif dari Cormac, yang mengekori sejak keluar dari toko Sihir Sakti Weasley. Ya Tuhan, entah apa maunya makhluk berambut kawat itu. Apa ia tak bisa bersikap jantan dan mengungkapkan keinginan ketimbang memelototiku seperti itu?

Sesaat setelah pikiran itu melintas, kulihat Cormac bangkit dari kursi, membuatku tersedak muffin aprikot yang tengah aku kunyah. Merlin, apa Cormac membaca pikiranku yang memintanya untuk bertindak ksatria?

Dengan hati berdebar, aku mengawasi langkah tegap Cormac. Diam-diam aku menyetujui pendapat mayoritas gadis-gadis Hogwarts yang menyatakan bahwa penampilan fisik Cormac layak diberi nilai Outstanding alias Istimewa.

Selain jangkung dan berperut belah enam, paras Cormac terbilang ganteng dan menawan. Untuk otak, setidaknya remaja berambut pirang itu tak bego-bego amat. Setiap tahun, Cormac pasti berada di rangking lima besar nilai terbaik.

Di saat Cormac tinggal enam langkah lagi mencapai tempatku berdiam, pintu kedai sempit Hog's Head yang nyaris copot mengayun terbuka. Melambaikan tangan dengan antusias ke arahku, dua teman perempuanku yang paling oke sedunia, Ginny Weasley dan Luna Lovegood berderap maju.

Dari ekor mata, kulihat Cormac mematung sebelum berbalik ke tempat semula. Ke tempat di mana ia terus menatapku terus-menerus hingga acara minum-minumku selesai.

"Hermione, kau sadar tidak kalau Cormac McLaggen dari tadi memperhatikanmu?"

Berbisik di kupingku, Ginny melirik Cormac yang tengah memainkan sedotan bergaris-garis hitam putih. Berdeham pelan, aku mengangguk sepintas lalu, membalas pertanyaan Ginny dengan suara rendah.

"Ya, aku sadar, Gin. Sudahlah, tak usah diambil pusing. Sudah sejak dari tahun pertama dia begitu."

Mengangkat alis tanda terkejut, mulut Ginny membentuk huruf O bulat sempurna. Di seberang Ginny, Luna masih tetap melamun sambil bersenandung pelan, sama sekali tak menyentuh jus mengkudu yang dipesannya.

"Benarkah? Aneh sekali dia. Apa dia punya tujuan tertentu padamu, Hermione?"

Mengangkat bahu, aku kembali mengunyah muffin aprikot yang hari ini terasa agak pahit plus penuh pasir dan kerikil. Bagiku, kekhawatiran Ginny terlalu berlebihan. Cormac paling cuma berani memandang dan tak bisa berbuat lebih, seperti yang biasa dilakukannya di tahun-tahun terdahulu.

Rupanya, keyakinanku bahwa Cormac hanya mampu menatap tanpa berkata-kata cuma optimisme semu belaka. Sejak mengetahui bahwa aku dan dia sama-sama tergabung di Klub Slug, Cormac makin agresif mendekatiku. Tak sekadar memandang maupun mengantarku ke asrama seusai pertemuan, bangsawan berkulit putih bersih itu juga gencar melakukan rayuan fisik.

Kendati Crookshanks sering menggelayuti, Cormac tetap punya jalan untuk menyentuh tubuhku. Kadang-kadang, saat aku sedang belajar sendirian di Ruang Rekreasi, Cormac mendatangiku dari belakang. Mencium rambutku sebelum mengangsurkan secangkir kopi susu yang dipesannya dari peri rumah yang bekerja di dapur Hogwarts.

Kuakui, perhatian Cormac sedikit banyak membuatku tersanjung. Kapan lagi sih bisa diperlakukan seperti ratu oleh seorang pria tampan? Namun, hatiku tak bisa dibohongi. Aku masih menyukai Ron dan bersedia melakukan apapun untuk membahagiakannya. Apapun. Termasuk merapalkan Mantra Confundus untuk merusak konsentrasi dan orientasi pikiran Cormac di tes uji coba Kiper baru Quidditch Gryffindor.

Sebenarnya, saat melihat mendung membalut wajah Cormac, aku sempat dirasuki perasaan berdosa. Aku tahu, cara curang seperti ini tak adil bagi Cormac. Namun, wajah gembira Ron memupus rasa bersalahku. Bagiku, senyum bahagia Ron jauh lebih berarti mengingat sedari dulu Ron sangat mengidam-idamkan posisi inti di Quidditch Gryffindor.

Namun, layaknya bumerang, posisi utama di Quidditch Gryffindor makin menjauhkanku dari Ron. Popularitas yang menggelembung membuat Ron jadi buruan utama gadis-gadis Hogwarts, terutama Lavender yang terobsesi setengah mampus padanya.

Tak tahan lagi menyaksikan kedekatan Ron dengan Lavender yang kian menggelora, aku mengambil jalan ekstrem, jalur yang tanpa kusadari membelitku dalam dilema. Untuk membuka mata Ron sekaligus membuatnya cemburu, aku mengajak Cormac pergi ke pesta Natal Klub Slug sebagai pasangan.

Seperti yang kuduga, usahaku berhasil. Ron yang mengetahui aku pergi dengan Cormac uring-uringan luar biasa. Sayangnya, kegembiraanku karena berhasil membuat Ron cemburu rusak ketika Cormac tanpa permisi menciumku di bawah sulur mistletoe.

Oke, oke, aku akui ciuman Cormac sangat memuaskan. Dengan kemampuan seorang ahli, bibir Cormac menguasaiku bertubi-tubi, membuat diriku nyaris meleleh menjadi genangan air.

Di saat aku hampir terhanyut, kesadaran menghantamku ketika tangan Cormac dengan profesional menjelajahi kulit di balik gaun pestaku. Terus melumat bibirku tanpa jeda, jari Cormac menari-nari nakal di area pinggangku.

Tindakan kebablasan itu plus rumor yang disemburkan Lavender mengenai hobi Cormac yang biasa melepehkan seorang gadis setelah puas dipakainya secara otomatis membuatku terbirit-birit menyelamatkan diri.

Selama pesta Natal berlangsung pun, aku dan Cormac seperti bermain petak umpet. Sebisa mungkin aku menghindari bertemu muka dengannya. Harry yang mengetahui duduk permasalahan sebenarnya menyalahkanku karena mengajak cowok kegatelan seperti Cormac. Tapi, mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya cara untuk membuat Ron menyadari perasaannya padaku.

Tekadku untuk memanfaatkan Cormac demi membuat Ron cemburu kian membara ketika seusai pesta Natal itu aku memergoki Ron dan Lavender tengah berciuman panas di sofa panjang. Menahan air mata, aku berlari menaiki tangga kamar asrama putri, bersumpah dalam hati untuk membuat Ron terbakar cemburu seperti yang kurasakan saat itu.

Rencana jahatku berjalan lancar sebab seusai liburan Natal, Cormac mendatangiku untuk meminta maaf atas ciuman tanpa izinnya di tanggal dua puluh Desember silam. Tak mau membuang kesempatan, detik itu juga aku meminta Cormac untuk menjadi kekasihku. Permintaan yang disanggupinya dengan bonus ciuman membara. Ciuman-ciuman hangat yang terus diberikannya padaku sepanjang masa pacaran kami.

Seperti pepatah senjata makan tuan, skenarioku untuk membuat Ron cemburu dengan memanfaatkan Cormac mulai mencekik leherku sendiri. Tanpa bisa kuhindari, aku mulai jatuh cinta sungguhan pada pemuda bermata hijau keemasan itu.

Apalagi, seiring berlalunya waktu, banyak sisi lain dari Cormac yang mencuat ke permukaan. Seperti misalnya, aku jadi mengetahui kalau Cormac membatalkan niat masuk ke Slytherin karena ingin satu asrama denganku.

Dari segi intelektual pun kami seimbang. Tak seperti penampilan luar yang berandalan, cakrawala Cormac bisa disejajarkan dengan ilmuwan. Ia selalu nyambung jika diajak berdiskusi topik berat sekalipun. Aku yang selama ini tak punya teman berdebat dalam pelajaran merasa hidupku kian lengkap dengan kehadirannya.

Dari segi kasih sayang, Cormac layak disebut sebagai pacar idaman. Tak cuma hadir setiap kali aku butuh bantuan, Cormac juga sangat setia dan pengertian. Setiap kali kami berdiskusi dan mengobrol bersama, Cormac seringkali menatapku dengan penuh pemujaan. Belaian mesra dan usapan lembutnya makin melengkapi untaian kalimat cinta yang sering diungkapkannya untukku.

Dari sekian banyak pernyataan cintanya untukku, aku paling tersentak dengan pengakuan yang diungkapkannya di malam akhir Juni. Saat itu, ketika aku menanyakan mengapa ia seolah-olah mengerti diriku sepenuhnya, Cormac menciumiku dengan lembut sebelum berkata seperti ini.

"Aku sangat mencintaimu, Hermione. Selalu dan untuk selamanya. Apa kau tahu bahwa di setiap hari ulang tahun dan malam Natal, aku selalu memanjatkan doa yang sama? Doa agar aku bisa mendapatkanmu?"

Tak ayal, mendengar pengakuan tulus tersebut, aku hampir tak bisa membendung air mata kebahagiaan. Air mata gembira yang bercampur dengan tangis penyesalan. Aku sama sekali tak menyangka Cormac yang tadinya hanya kujadikan umpan kini menjadi satu-satunya pria paling penting bagiku. Pria yang benar-benar kucintai dari lubuk hati.

Mengelus garis rahang Cormac yang tegas, aku tersenyum masygul. Untuk kebaikan kami, aku akan merahasiakan serapat mungkin alasan awal diriku mendekatinya. Jika ia tak tahu, Cormac tentu tak akan terluka dan kami bisa hidup bahagia selamanya.

Sayangnya, manusia boleh berencana namun Tuhan jugalah yang menentukan. Kematian Profesor Dumbledore di malam akhir bulan keenam itu menjadi titik balik kejatuhanku. Harry, sahabat terbaikku di dunia memintaku untuk ikut dengannya dalam proses pencarian jimat jiwa abadi Lord Voldemort, Horcrux.

Meski seakan-akan memakan buah simalakama, aku memantapkan diri untuk mengikuti petualangan Harry memburu Horcrux. Aku yakin Cormac bersedia menungguku selama aku bertualang. Bukankah selama beberapa tahun terakhir ini ia selalu sabar menantiku? Jadi menunggu setahun atau dua tahun mungkin tak terlalu memberatkannya.

Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Cormac mendengar pengakuan tentang asal muasal aku mendekatinya. Ironisnya, ia tak mendengar lengkap pernyataanku.

Kemarahan membuatnya memangkas penjelasanku. Padahal, saat itu aku ingin menegaskan bahwa pada mulanya aku memang berniat nista, tapi tanpa bisa kuhindari aku benar-benar jatuh cinta padanya.

Lidahku bertambah kelu ketika Cormac mengata-ngataiku dengan julukan Darah Lumpur. Sebutan hina yang kekuatan penghancurnya makin bertambah tajam karena terlontar dari mulut pemuda yang paling kusayangi. Air mataku membludak tatkala Cormac menyumpahi kematianku sekaligus berjanji bakal tertawa paling lantang di hari pemakamanku.

Selama ekspedisi menemukan Horcrux, sumpah Cormac yang terlecut karena didorong dendam dan sakit hati sering menghantuiku. Tanpa sepengetahuan Ron dan Harry, aku sering menangis diam-diam memikirkan Cormac. Oh, sengsara sekali rasanya berpisah tanpa bisa meminta maaf dan menyatakan perasaanku yang sebenarnya.

Penderitaan karena tak bisa meminta maaf itu jauh lebih dalam daripada penyiksaan yang kuterima saat ditahan di Malfoy Manor. Ketika Bellatrix Lestrange menguliti kulit lenganku dengan belati sihir hitam, yang kupikirkan hanyalah Cormac. Hanya Cormac. Lelaki yang benar-benar kucintai sepenuh hati.

Di saat aku berpikir akan mati tanpa sempat meminta maaf, Dobby datang menyelamatkan kami. Saat menjalani penyembuhan di markas kedua Orde Phoenix di Shell Cottage, pikiranku masih bergelung seputar Cormac. Masih berkutat seputar dosa-dosaku yang belum dibersihkan oleh ucapan maafnya.

Doaku untuk diberi kesempatan mengucapkan maaf akhirnya terbuka. Harry yang mengetahui kalau Lord Voldemort menyimpan salah satu Horcrux di Hogwarts mengajak kami untuk menyerbu kastil besar di dataran Skotlandia tersebut.

Saat pertama kali menjejakkan kaki di Ruang Kebutuhan, hal yang pertama kali kucari bukanlah tatapan syukur teman-temanku melainkan pandangan hangat dari iris hijau emas Cormac.

Setelah menengok kiri-kanan, aku berhasil menemukan Cormac yang tengah berjalan pelan ke arahku. Tapi, pergerakan metodis dan hati-hatinya terhenti setelah mata indahnya menangkap jemari Ron yang terjalin dengan jari-jariku.

Oh Merlin, Cormac pasti salah sangka dan mengira aku telah berkencan dengan Ron. Memang, selama kami mengembara, Ron berulangkali memintaku untuk menjadi pacarnya. Namun, permintaan itu kutolak sebab aku tak lagi menyukai Ron. Saat ini hanya Cormac yang kuinginkan untuk menjadi pendampingku. Hanya dialah yang aku izinkan menjadi penguasa hatiku selamanya.

Perjuanganku untuk menetralisir keadaan lagi-lagi terganggu ketika Ginny memerintahkan seluruh siswa yang ada di Ruang Kebutuhan untuk berkumpul di Aula Besar. Desakan Ron untuk segera pergi ke Kamar Rahasia demi mengumpulkan taring Ular Basilisk kian memecah konsentrasi.

Melambaikan tangan ke Cormac, aku memintanya untuk menungguku sebab ada hal penting yang ingin aku utarakan. Permintaan yang tak kusangka menjadi permohonan terakhir yang tak pernah bisa aku lunasi.

Seusai mengumpulkan taring Ular Basilisk, aku dan Ron bertemu Harry yang memberitahu kami kalau ia baru saja mendapat lintasan pikiran tentang salah satu Horcrux Voldemort, si ular betina Nagini. Usai memberitahu kami, Harry bergegas pergi mencari diadem Ravenclaw, salah satu Horcrux yang disimpan Lord Voldemort di relung kastil.

"Hermione, ayo kita berpencar untuk mencari Nagini. Aku ke koridor atas dan kau ke Aula Depan," tandas Ron tegas, meremas pundakku sebelum melompat menaiki tangga koridor.

"Hati-hati, Ron!" seruku lantang, menatap punggung besar Ron yang menghilang di balik bordes. Memaksa kaki untuk berlari sekencang mungkin, mataku mencari-cari siluet Nagini, ular betina raksasa milik Lord Voldemort. Ular yang diyakini Harry merupakan salah satu jelmaan Horcrux terkuatnya.

Dalam proses pencarian ular asal Albania itu, kupingku menangkap jeritan histeris Lavender yang berbaur dengan gonggongan serak Fenrir Greyback, manusia serigala yang menawanku di Malfoy Manor bulan lalu. Menambah kecepatan lari, aku berteriak kalut ketika Greyback menerjang dan menggigit leher Lavender.

"Lavender! Tidaak! Confringo!"

Mantra Peledak yang aku lontarkan setidaknya bisa membuat serigala kanibal itu mental dan jatuh pingsan. Bergegas menghampiri Lavender yang menggelepar, aku mati-matian merapalkan Mantra Rennervate untuk menyadarkan teman sekelas yang selama ini memusuhiku habis-habisan.

"Oh tidak, Lavender. Bertahanlah," aku berseru panik, berulang-ulang melafalkan Mantra Ferula untuk membebat luka menganga di leher Lavender. Luka yang membuat darah kental berdeguk-deguk keluar tanpa henti.

"Kuatkan dirimu, Lavender. Kau pasti selamat," ujarku terengah-engah, memapah tubuh lunglai Lavender di tulang bahu. Saat berjuang membantu Lavender berjalan itulah mataku menangkap sekelebat bayangan hitam yang menjulang beberapa meter di depanku. Bayangan hitam yang dalam sekejap memadat membentuk figur wanita tukang siksa, letnan utama kepercayaan Lord Voldemort, Bellatrix Lestrange.

"Wah, wah, wah. Kita bertemu lagi, Darah Lumpur," Bellatrix Lestrange menyeringai keji, mempertontonkan deretan gigi bengkok berlumut yang berbaris tak teratur.

Secepat mungkin, aku langsung memasang Mantra Pelindung untuk membentengi diriku dan Lavender dari serangan beruntun Bellatrix Lestrange. Kuatnya sihir hitam yang dilemparkan wanita kejam berkostum kelam itu memaksaku untuk melepas peganganku dari tubuh Lavender.

Daya juangku untuk mematahkan cakar Bellatrix Lestrange makin bertambah ketika Ron yang baru datang membantu pergerakanku. Berkat pertolongan Ron, aku bisa membuat ajudan wanita terbaik Lord Voldemort itu terjepit.

Melihat gerakan Bellatrix Lestrange yang kian melemah, tekadku untuk memenangkan pertempuran kian melambung. Aku harus menang agar bisa secepatnya bergabung dengan Cormac yang kulihat tengah berjuang melawan Walden Macnair, algojo brutal yang empat tahun lalu dikirim untuk memenggal kepala Hippogriff milik Hagrid, Buckbeak.

Imajinasiku untuk sesegera mungkin merangkul Cormac menjadikan pertahananku sedikit bocor. Memanfaatkan kelengahanku, Bellatrix Lestrange meneriakkan Mantra Bombarda Maxima. Mantra yang dalam sekejap meruntuhkan area bangunan di sekitar kami.

Di tengah kepulan asap debu, tanganku dengan panik mencoba menggapai tongkat sihirku yang terpental jauh ke samping. Di saat tanganku menggenggam tongkat kayu pohon anggur, hak runcing sepatu bot hitam Bellatrix Lestrange menginjak telapak tanganku.

Secepat ular mencaplok mangsa, Bellatrix Lestrange menarik rambutku dan memitingku dari belakang. Menodongkan tongkat sihir di lereng leherku, Bellatrix Lestrange mendesis bengis. Hembusan napas busuk berbau belerang peroksida-nya membuat kupingku kian berdenyut-denyut.

"Kali ini tak ada peri rumah sialan yang bisa menyelamatkanmu, Darah Lumpur."

Menjambak rambut cokelatku dengan kekuatan ekstra, tangan kotor Bellatrix Lestrange mendorong punggungku ke depan seiring dengan lantunan melodi kematian yang disenandungkan dengan penuh kegembiraan.

"Avada Kedavra!"

Kulitku terasa melepuh terbakar saat sinar panas menghantam punggung. Mataku yang membelalak kesakitan menangkap sosok Cormac yang berlari kesetanan.

Rasa sesal karena tak bisa meminta maaf dan mengungkapkan cinta pada Cormac membuat sebutir air mata bergulir dari sudut mata. Tetes bening berjatuhan membasahi pipi yang dipenuhi jelaga dan darah. Pipi yang dulu sering dikecup dan dibelai Cormac dengan penuh kasih sayang.

Menggapai-gapai udara, berusaha menjangkau tangan Cormac yang terulur, tubuhku melengkung ke belakang. Erangan tercekik terlepas dari tenggorokan yang berdengap nyeri.

Satu-satunya yang aku ingat sebelum kegelapan total melahap bulat-bulat adalah jeritan pilu Cormac dan sapuan lengan hangatnya.

Lengan hangat yang dulu sering merangkul tubuhku dengan penuh rasa cinta...


"Mau ke makam di atas bukit lagi, McLaggen?"

Dengan gerakan lambat, aku mendongakkan wajahku yang menunduk, menatap lesu muka penuh cambang kusut yang mengawasiku dengan sorot iba. Di samping raksasa berewokan itu, Fang, si anjing besar penuh liur mendengking pelan seolah menyadari gelombang lara yang kumiliki saat ini.

"Begitulah, Hagrid," jawabku sambil lalu, terus melangkah menuju makam Hermione yang terletak di bukit dekat pondok Hagrid. Bukit penuh rumput dan bunga yang di masa lalu sering menjadi lokasi favorit Hermione untuk bercengkrama bersama dua sobat sejatinya, Potter dan Weasley.

Meninggalkan Hagrid yang masih membisu, aku terus bergerak seperti mayat hidup. Desir angin bulan September menusuk kulitku yang terbungkus jubah tebal Hogwarts. Menggenggam erat sebuket bunga tulip merah, bunga perlambang cinta abadi, aku merapatkan jaket dan terus menapaki lereng bukit tempat di mana Hermione disemayamkan.

Bersimpuh di makam Hermione yang masih dipenuhi banyak rangkaian bunga, mataku yang basah kian mengabur. Mengusap dan mengecup lembut nisan Hermione, aku meletakkan rangkaian bunga tulip merah di dekat nisan. Satu-satunya bunga yang dianggap Hermione sebagai bunga paling romantis sedunia.

Terus membelai ukiran nama Hermione di nisan, aku mengenang momen di mana Hermione bercerita panjang lebar mengenai simbol makna di balik tulip merah. Saat itu, di awal musim semi yang cerah, aku dan Hermione bergelung berdua di dekat Danau Hitam. Duduk berselonjoran di batang pohon kekar, menikmati hembusan angin yang menyejukkan hati.

"Apa kau tahu Cormac kalau tulip merah menyimpan legenda cinta?" ujar Hermione, mengusap-ngusapkan pipi di dadaku yang terbungkus kemeja putih sekolah.

"Oh ya? Legenda apa?" tanyaku ingin tahu, menciumi puncak kepala Hermione yang sewangi mentari pagi. Wangi yang membuat hari-hariku terasa bersemi.

Mendongakkan muka cerahnya, Hermione bercerita tentang kisah di balik tulip merah, bunga berkelopak cantik yang berasal dari dataran Persia dan Turki.

Alkisah, di zaman dahulu kala, seorang pangeran Turki bernama Farhad jatuh cinta pada seorang gadis desa bernama Shirin. Tatkala Shirin tewas dibunuh, Pangeran Farhad yang sangat terpukul melompat dari atas tebing curam bersama kuda tunggangannya. Dari setiap tetes darah Pangeran Farhad yang tersebar di bawah jurang, muncul bunga-bunga tulip merah pekat. Sejak saat itulah, tulip merah disebut-sebut sebagai bunga perlambang cinta sejati.

Cinta sejati.

Cinta yang dibawa sampai mati...

Menengadah, menatap mentari yang mengintip malu-malu dari balik awan, aku nyaris merenggut rambut kawatku yang kusut karena jarang aku urus. Seperti halnya Pangeran Farhad yang terluka ditinggal mati belahan jiwa, aku pun berulang kali mencoba mencabut nyawaku sendiri. Namun, usahaku itu selalu digagalkan orangtua dan teman-teman terdekatku.

Pada akhirnya, tak seperti Pangeran Farhad yang kemurnian cintanya bisa melahirkan bunga tulip merah, aku tak bisa mengikuti jejak Hermione ke alam baka.

Ibuku, wanita yang melahirkanku terus-menerus meratap. Memohon tanpa henti agar aku berpikir sehat dan kembali meneruskan hidupku. Katanya, jalan hidupku masih panjang dan dunia sihir sangat membutuhkan kontribusiku.

Ketika itu, aku nyaris tertawa sampai pingsan mendengar racauan ibuku. Kehadiranku sudah pasti tak dibutuhkan dunia sihir. Satu-satunya yang diperlukan dunia sihir untuk berkembang pasca kejatuhan tiran Lord Voldemort adalah penyihir genius seperti Hermione Granger. Penyihir berhati luhur yang mampu membawa jagat sihir ke masa kejayaan.

Merapikan tumpukan buket bunga yang berserakan di makam Hermione, aku mengingat kembali masa-masa pemakaman Hermione empat bulan lalu. Saat itu, seminggu setelah Perang Besar di Hogwarts yang berujung pada musnahnya Lord Voldemort, jasad Hermione dimakamkan.

Kondisi Hogwarts yang belum sepenuhnya pulih tak menghalangi minat warga dunia sihir untuk melayat dan mendoakan kepergian Hermione. Area bukit penuh sesak oleh guru, kenalan, orangtua dan murid-murid Hogwarts yang selamat dari pertempuran. Cuaca bulan Mei yang cerah seolah mengejek kabut mendung yang bergelayut di wajah para pelayat.

Di barisan belakang, aku melihat Draco Malfoy berdiri terpekur. Wajah pucatnya tampak makin pias seolah kehilangan cahaya. Di sampingnya, sang bunda, Narcissa Malfoy terus merangkul lengan anaknya yang goyah. Sesekali, wanita tinggi pirang yang jasanya dalam membunuh Bellatrix Lestrange menyelamatkan nyawa suaminya dari ancaman sel Azkaban mengusap mata biru kristal yang lembap dengan saputangan putih bersulam.

Di barisan depan, orangtua Hermione yang bercucuran air mata dipapah erat oleh orangtua Weasley. Weasley sendiri, yang selamat meski mengalami luka fatal saling berangkulan dengan Lavender yang menangis sesenggukan. Besar kemungkinan jalang tukang gosip yang tak bisa dipercaya itu menyesali semua perlakuan buruk yang dulu pernah diperbuatnya pada Hermione.

Aku sendiri? Yah, selama proses pemakaman yang penuh tangisan dan sedu sedan, aku dijaga ketat oleh dua orangtuaku plus pamanku yang memergoki aksi bunuh diriku yang pertama. Seperti garuda mengincar mangsa, tak sekalipun mereka melepaskan pengawasan dari tubuhku yang lemah tak bertulang.

"Jadi, beginilah aku, Hermione. Masih belum bisa menyusulmu. Tapi, aku tak akan menyerah untuk melakukan sesuatu agar keadaan berubah," aku mengangkat bahu dengan lemah, menatap lirih nisan putih yang dipenuhi aroma bunga.

Meskipun tak lagi berniat bunuh diri, aku tak serta merta berpangku tangan. Dua minggu setelah kematian Hermione, aku menghabiskan banyak waktu mencari keberadaan ahli waris keluarga pemilik Batu Bertuah, mendiang Nicolas Flamel.

Sayangnya, meski generasi terakhir Flamel sudah kutemukan, mereka tak bisa membantuku sebab Batu Bertuah terakhir sudah dihancurkan oleh Flamel dan istrinya, Perenelle.

Gagal mendapatkan eliksir kehidupan dari Batu Bertuah, bulan berikutnya aku mengguncang-guncangkan bahu ceking Potter, memaksanya untuk memberiku Batu Kebangkitan yang dimilikinya.

Celakanya, lagi-lagi nasib baik tak berpihak padaku. Kata Potter, Batu Kebangkitan berharga itu sudah hancur saat dirinya beradu kutukan dengan Lord Voldemort.

Kegagalan itu hampir membuatku meraung frustrasi. Di sela-sela depresi tingkat tinggi, surat panggilan masuk Hogwarts kembali menyambangi. Memang, usai Perang Besar, puri Hogwarts yang telah dipugar kembali dibuka untuk mendidik para penyihir, termasuk diriku yang belum menyelesaikan tahun terakhir dengan maksimal.

Berharap bisa menemukan jalan untuk mengubah keadaan, aku memberanikan diri menuntut ilmu di Hogwarts. Butuh tekad kuat untuk terus bertahan di kastil kuno ini mengingat setiap sudut selalu mengingatkanku akan Hermione. Menyadarkanku akan memori indah di masa lalu.

Masa lalu...

Seperti bohlam neon dinyalakan di otak, pemahaman penting berkelebat di benak. Masa lalu! Ya, itu dia satu-satunya jalan agar aku bisa menyelamatkan Hermione.

Kembali ke masa lalu!

Mengecup nisan Hermione untuk terakhir kali, aku berderap menuju kastil, bergegas menemui Kepala Sekolah Profesor Minerva McGonagall. Satu-satunya penyihir yang masih memiliki Pembalik Waktu setelah semua Pembalik Waktu yang tersimpan di Departemen Misteri Kementerian Sihir Inggris hancur tak bersisa di tangan Laskar Dumbledore.

"Profesor McGonagall, saya butuh bantuan Anda," teriakku tersengal-sengal, nyaris kehabisan suara karena memaki-maki patung gargoyle di depan pintu yang tetap membeku sampai kata kunci masuk ruangan berhasil aku lontarkan.

"Mr McLaggen, ada apa?" Profesor McGonagall melompat dari balik meja kerja. Iris kucingnya yang dihiasi kacamata persegi menyipit keheranan melihatku mendobrak ruang kerja tanpa permisi.

"Saya butuh Pembalik Waktu milik Anda. Saya memerlukan benda itu untuk menyelamatkan Hermione," seruku tak sabar, menahan keinginan menggoyang-goyangkan pundak keriput penyihir tua yang masih terperangah menatapku.

"Pembalik Waktu? Tidak, tidak, Mr McLaggen. Alat itu tak bisa dipakai sembarangan. Akan ada konsekuensi berat yang menanti," sela Profesor McGonagall tegas, bersiap kembali ke meja kerja yang dipenuhi tumpukan buku dan perkamen berbau jamur.

"Tolonglah, Profesor. Aku bersedia menanggung risiko apapun," ujarku keras, mencekal lengan jubah hijau zamrud Profesor McGonagall, membuat penyihir berambut hitam keabu-abuan itu memekik kaget.

Desakan menggebu menolong Hermione membuatku membuang harga diri yang ada. Bergerak cepat, aku langsung bersujud di kaki Profesor McGonagall, tak memperdulikan kesiap terkejut dari lukisan-lukisan hidup yang bertengger di ruang kepala sekolah.

"Mr McLaggen, tolong berdirilah. Jangan keras kepala seperti itu," ujar Profesor McGonagall resah, mengangsurkan tangan untuk membantuku berdiri.

"Kumohon, Profesor. Sekali ini saja, kumohon tolong aku," pintaku memelas, menolak uluran tangannya dan bersikukuh bersujud di kaki Kepala Asramaku itu.

"Sudahlah, Minerva. Pinjamkan saja Pembalik Waktumu padanya."

Suara ramah dan sangat akrab itu membuatku mengangkat muka, bertatapan langsung dengan lukisan Profesor Dumbledore yang terpajang di belakang meja kerja. Seperti sosoknya di dunia nyata, lukisan Profesor Dumbledore tetap memiliki aura kharismatik dan berwibawa yang membuat lukisan-lukisan kepala sekolah lain terdiam membeku.

"Tapi, Albus. Aku tidak yakin kalau-"

Melambaikan tangan, Profesor Dumbledore menghentikan omelan mantan murid yang kini menggantikan posisinya. Di balik lensa kacamata bulan separo, pupil biru muda Profesor Dumbledore bersinar penuh pengertian.

"Aku yakin kalau Mr McLaggen bisa bertanggung jawab atas keputusannya. Beri dia kesempatan kedua, Minerva."

Berkomat-kamit tak jelas, Profesor McGonagall akhirnya mengalah. Berbalik menuju lemari tempat penyimpanan, guru Transfigurasi itu merapalkan Mantra Pembuka Segel dan mengeluarkan kalung jam pasir mini dari salah satu laci.

"Ini, Mr McLaggen. Gunakan sebaik mungkin. Ingat, jangan coba-coba melakukan tindakan drastis yang bisa mengacaukan kemenangan kita."

Menatap bahagia Pembalik Waktu yang teronggok di tangan, aku mengangguk mantap. Aku berjanji tak akan melakukan adegan ekstrem yang berpotensi menggagalkan kemenangan Orde Phoenix atas Lord Voldemort. Satu-satunya yang ingin aku ubah adalah momen di mana Bellatrix Lestrange menikam Hermione dengan Kutukan Maut.

Sekeluarnya dari ruang kepala sekolah, aku langsung menuju ceruk sepi untuk memutar balik waktu. Sesuai instruksi putaran yang diberikan Profesor Dumbledore, ibu jari dan telunjukku memutar jam pasir mini itu. Saat itulah sekelebat cahaya hitam mencekal lenganku, bayangan hitam yang secara otomatis mengikutiku dalam putaran waktu penuh spektrum cahaya.

Setelah melalui putaran kaleidoskop, tubuhku akhirnya menjejak lantai batu. Di sampingku, bayangan hitam yang seenaknya menggelayuti memadat membentuk sosok pirang pucat yang amat aku kenal.

Draco Malfoy...

"Ya Tuhan, Malfoy. Ngapain kau ikut kemari?" semprotku kaget, tak mengira si pirang platina nekat menguntit ke masa lalu.

Mengawasi sekitar kami yang masih sepi, Malfoy mencengkeram tongkat sihir kuat-kuat. Puas memastikan tak ada seorang pun di dekat kami, wajah runcing Malfoy yang semakin tirus pasca kematian Hermione memandangiku dalam-dalam.

"Bukannya dulu aku pernah bilang kalau seandainya saja ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki keadaan, aku pasti bersedia mengorbankan segalanya? Dan, inilah saatnya," ungkapnya tegas, terus mengawasiku seakan-akan aku ini bocah pemilik IQ jongkok.

"Terserahlah, tapi jangan ganggu rencanaku," seruku dengan gigi menggemeretak. Memasang kuda-kuda, aku menengok waspada tatkala benturan pertarungan memasuki indra pendengaran.

Melirik jam sihir di tangan kanan, Malfoy mendesis tak sabar. Mengerling sekilas, kulihat Malfoy melafalkan jampi-jampi untuk menghasilkan barang dari udara, sebuah pena bulu dan perkamen kecil yang langsung ditulis dengan tergesa-gesa.

"Untuk apa itu?" tanyaku penasaran, ingin tahu isi surat yang ditulis Malfoy. Surat yang langsung digenggam erat-erat di tangan kirinya. Mengabaikan pertanyaanku, Malfoy berlari kencang, berteriak memintaku segera menyusulnya menuju Aula Depan.

"Sekarang saatnya, McLaggen. Sebentar lagi pertempuran Hermione dengan tanteku berlangsung."

Mengumpat keras karena hampir melupakan misi awal gara-gara surat misterius Malfoy, aku langsung melesat mengikuti Malfoy yang sudah menghilang. Sialan si Malfoy itu, mentang-mentang punya kemampuan terbang ala Pelahap Maut ia meninggalkanku seperti kacung bego di sini.

Selama berlari menuju Aula Depan, aku teringat peringatan Profesor McGonagall bahwa diriku di masa lalu tak boleh bertemu dengan diriku sekarang. Mengingat-ingat di mana posisiku saat itu, aku langsung berbalik arah dan menuju tangga koridor lantai dua.

Mengendap-endap tanpa suara, dari belakang aku melihat sosokku di masa lalu tengah melayangkan berbagai kutukan ke arah Pelahap Maut yang mengerubuti. Setelah diriku di masa lalu berhasil melumpuhkan Pelahap Maut, tanpa ampun aku langsung melemparkan Mantra Stupefy ke punggung diriku di masa lalu yang tengah berlari sekuat tenaga.

Untungnya, ketakutanku bahwa aku yang sekarang bakal ikut-ikutan pingsan terkena Mantra Stupefy tak terbukti. Menerbangkan diriku di masa lalu dan menguncinya secara aman di salah satu ruang kelas kosong yang telah kumantrai sihir, aku kembali melaju menuju Aula Depan. Menuju lokasi di mana Hermione tewas terbunuh.

Sialnya, baik dulu maupun sekarang sepertinya Walden Macnair tak pernah berhenti mengganggu. Belum empat langkah berlari, bawahan pamanku itu menghadang pergerakanku. Tak mau ketinggalan pertunjukan, tanpa seremoni duel aku langsung mengutuknya dengan Mantra Diminuendo yang langsung mengubah Macnair menjadi sekecil boneka.

Meninggalkan Macnair yang meraung kebingungan di lantai berbatu, aku melesat sambil mengumpat keras. Waktuku untuk menyelamatkan Hermione sudah hampir habis dan jika kali ini aku gagal, Hermione pasti tak akan selamat.

Kecemasanku makin berlipat ketika raungan Mantra Bombarda Maxima terlontar dari tenggorokan berlendir Bellatrix Lestrange. Berhasil menyelamatkan diri dari guncangan dan hujan pilar berbatu, aku berderap menuju Bellatrix Lestrange yang tengah menarik rambut Hermione yang terduduk menahan sakit.

"Hermionee!"

Aku menjerit histeris, kian mengencangkan langkah kakiku. Ya Tuhan, seandainya saja aku punya kemampuan terbang dan seandainya saja tembok Hogwarts tak dikunci dengan mantra anti Apparition, aku pasti bisa menyelamatkan nyawa Hermione tepat pada waktunya.

"Cormac," Hermione mendesah lirih, mata cokelat hangatnya berkaca-kaca menatapku. Di belakang punggungnya, Bellatrix Lestrange terkikik mengerikan, makin mengencangkan tusukan tongkat sihir di tenggorokan Hermione.

"Kali ini tak ada peri rumah sialan yang bisa menyelamatkanmu, Darah Lumpur," ejek Bellatrix Lestrange murka, menjambak rambut Hermione lebih keras lagi.

Oh Tuhan, lipatan terdalam batinku melolong ngeri, terus berjuang mengikis jarak antara diriku dan Hermione. Jambakan itu, itulah aktivitas terakhir Bellatrix Lestrange sebelum menusuk punggung Hermione dengan Mantra Avada Kedavra.

"Avada Kedavra!"

Meraung pilu hingga tenggorokanku nyaris pecah, aku jatuh terduduk karena syok ketika Bellatrix Lestrange mendendangkan Kutukan Tak Termaafkan itu. Oh Tuhanku, untuk kedua kalinya aku terlambat menyelamatkan nyawa Hermione.

"Tidaak! Dracoo!"

Teriakan histeris Narcissa Malfoy membangunkanku dari pusaran kekalutan. Menengadahkan wajahku yang bermandikan air mata, aku melihat ibu kandung Malfoy bersimpuh di bawah kaki Bellatrix Lestrange. Menangisi tubuh kaku anaknya yang membelalak hampa.

Menatap benci ke arah Bellatrix yang masih ternganga, Narcissa Malfoy mengacungkan tongkat sihir tepat ke jantung kakaknya. Mata biru es Narcissa yang berair memandang garang saat helaan kalimat sendu mengalir terputus-putus dari balik rekah bibir yang dibasahi air mata penderitaan.

"Anakku... putra tunggalku..."

Membelalakkan mata hitam menonjol yang berkantung, Bellatrix Lestrange menatap paras adiknya yang bersinar penuh dendam. Belum sempat memuntir tongkat sihir, Bellatrix Lestrange terkesiap kaget saat adiknya mendesis lantang.

"Avada Kedavra!"

Bersamaan dengan jatuhnya tubuh Bellatrix Lestrange di lantai batu, Narcissa Malfoy memeluk anaknya yang terbujur tak bernyawa. Menangis meraung-raung meratapi kematian putra semata wayangnya.

"Tidak! Hermione! Ron!"

Teriakan Ginny Weasley dan Luna Lovegood menyadarkanku dari situasi mati rasa yang membelit. Berbeda dengan masa silam di mana kegelapan menyelimuti, kali ini aku menyaksikan dengan jelas momen saat Ginny memapah tubuh lunglai Ron. Di dekatnya, Luna berjuang sekuat tenaga menyadarkan Hermione yang terbujur pingsan di dekat reruntuhan batu.

Terbangun dari kebekuan yang mendera, aku langsung menghampiri Luna dan menepis tangan putih pucatnya. Tak menggubris pandangan heran Luna, aku memeluk erat-erat tubuh Hermione.

Mendekap lekat, aku merasakan debur jantung Hermione yang berdetak stabil. Merapikan rambut cokelat lebat yang berantakan, aku menikmati suhu tubuh Hermione yang hangat. Indikator nyata yang menandakan hidupnya jiwa Hermione.

Jiwa yang diselamatkan pemuja rahasianya.

Draco Malfoy...


"Mau ke makam di atas bukit lagi, McLaggen?"

Dengan gerakan lambat, aku mendongakkan wajah dari balik rambut wangi Hermione yang sedari tadi kuciumi. Menatap muka penuh cambang kusut yang mengawasiku dengan sorot cerah, aku tersenyum lebar. Di samping raksasa berewokan itu, Fang, si anjing besar penuh liur mendengking senang saat bulu hitam lebatnya diusap-usap sepasang tangan mungil.

"Begitulah, Hagrid," jawabku ramah, merangkul erat istriku yang melingkarkan tangan kecilnya di pinggangku. Setelah berbasa-basi bermenit-menit, kami melangkah menuju bukit penuh rumput dan bunga, tempat di mana makam Draco Malfoy berada.

Sepanjang perjalanan menuju makam Malfoy, batinku terasa sesak dipenuhi rasa haru dan terima kasih yang tak terungkapkan. Malfoy telah melakukan pengorbanan cinta yang tak pernah bisa aku balas.

Berkat pengorbanannya, Hermione bisa selamat dari gerbang kematian. Lebih dari itu, berkat pengorbanan Malfoy, aku dan Hermione akhirnya bisa bersatu dalam ikatan suci.

Bersimpuh di makam yang dipadati rangkaian bunga, jemari kami mengelus lembut nisan Malfoy yang terbuat dari batu pualam terbaik. Meletakkan buket bunga krisan, bunga simbol persahabatan, aku memejamkan mata, berbicara dengan Malfoy secara perlahan-lahan di dalam hati.

Di sampingku, istriku tercinta yang sangat memahami pentingnya ritual ini bagiku meremas lembut pundakku sebelum beranjak menuju rumpun bunga anyelir, tempat di mana Hagrid, Fang dan putraku bermain.

Ya, putraku, Malfoy. Putra yang kunamai seperti nama depanmu, Draco.

Draco McLaggen...

Seperti arti namamu, Draco yang berarti naga, putra tunggalku juga tak bisa diam dan selalu bergerak lincah seperti seekor naga kecil. Tapi, tenang saja, tak seperti dirimu yang arogan dan iseng, Draco McLaggen memiliki jiwa tulus seperti ibunya. Manis, suka menolong dan setia kawan.

Eh, apa? Oh, oke, oke baiklah. Kau juga punya sikap suka menolong. Contoh konkretnya kau bersedia mengorbankan jiwamu untuk menyelamatkan nyawa Hermione. Betul sekali, Malfoy, pengorbananmu untuk kami benar-benar luar biasa.

Hermione saja sering menangis setiap kali mengenang isi surat yang kau tulis untuknya. Isi surat yang kau genggam di tangan kirimu itu. Surat yang berisi curahan hatimu dan peringatan kerasmu untukku.

Bukan cuma Hermione yang sering terisak mengingat suratmu, Malfoy. Aku juga kerap terharu membaca ulang surat wasiatmu. Bahkan, aku sampai hafal di luar kepala. Tak percaya? Mau kubacakan ulang dalam hati? Oke, begini kan isi surat yang kau tulis?

Dear Hermione...

Yah, mungkin kau akan bertanya-tanya mengapa aku memanggilmu Hermione, bukan Granger seperti yang biasa aku ucapkan selama ini. Tapi, ini kesempatan terakhirku untuk menyebutmu dengan nama kecilmu itu. Nama yang selama bertahun-tahun mengisi relung hatiku.

Ya, Hermione. Sejak tahun pertama kita bersekolah, aku sudah tertarik padamu. Setiap tahun perasaan itu makin bertambah dalam. Kepintaranmu, keberanianmu, sikap setia kawan dan kemanisan parasmu membuatku hampir mati tergila-gila.

Mungkin kau akan kembali bertanya-tanya mengapa sikapku padamu buruk sekali, padahal katanya aku menyukaimu. Well, begini Hermione. Sudah lumrah kan kalau bocah laki-laki mengganggu anak perempuan yang disukainya? Selain itu, hanya dengan menjahilimu-lah aku bisa mendapatkan perhatianmu sepenuhnya.

Aku akui, kadang-kadang kebandelanku melewati batas, seperti ucapan Darah Lumpur atau sumpahku yang menginginkan kematianmu di tahun kedua kita. Untuk itu, aku benar-benar menyesal, Hermione. Jika waktu bisa diputar ulang, aku pastikan kita berkenalan secara baik-baik sehingga kita bisa menjadi teman dekat yang tak terpisahkan.

Memutar ulang waktu...

Yup, kali ini aksi edan itulah yang sedang kujalani bersama Cormac McLaggen. Iya, Cormac yang itu. Playboy sableng sok cakep yang sialnya berhasil mendapatkan hatimu. Cowok yang sejak kematianmu berubah jadi mayat hidup yang gampang meledak.

Err... kalau dipikir-pikir, aku juga sama seperti cowokmu, sih. Sejak kematianmu, aku juga tak ubahnya seperti zombi yang mati enggan hidup pun tak mau. Hari-hariku habis hanya untuk meratapi kematianmu, Hermione.

Tapi, hari ini, tak ada lagi ratapan penyesalan. Aku sudah berjanji untuk memperbaiki keadaan jika diberi kesempatan. Dan, kesempatan itu akhirnya datang.

Aku akan memastikan kau selamat, Hermione. Kau lebih layak hidup di dunia ini dibandingkan diriku. Kau lebih pantas berdampingan dengan McLaggen yang mencintaimu dibandingkan diriku, yang pada akhirnya harus menikah dengan wanita lain pilihan orangtuaku.

Oh tidak, tidak, Hermione. Bukan perjodohan tak kuinginkan itulah yang membuatku mantap mengorbankan nyawaku untukmu. Bagiku, selama kau hidup dan berbahagia, aku pasti bahagia.

Aku mencintaimu, Hermione. Benar-benar mencintaimu, jadi pengorbananku ini kurasa sangat setimpal.

Penuh Cinta,

Draco Malfoy

P.S: Ini khusus untuk si bangsat McLaggen. Hei Bung, kali ini kau telah diberi kesempatan kedua. Kalau kau gagal melindungi Hermione atau kembali menyakiti hatinya, aku pastikan hidupmu tak akan tenang. Arwahku akan menghantuimu jika Hermione menangis sengsara karena dirimu. Oke, ingat itu baik-baik!

Nah, begitulah isi suratmu kan, Malfoy? Kaget ya ternyata aku hafal sampai ke titik koma? Yah, tak usah terkejut begitu dong. Kan dari dulu kau sudah tahu kalau aku ini pintarnya ampun-ampunan.

Bicara tentang pengampunan, ibumu, Narcissa Malfoy akhirnya mengampuni dirinya sendiri karena gagal menyelamatkanmu. Di awal-awal tahun kematianmu, ibumu memang sempat depresi. Namun, cinta kasih tulus ayahmu mampu membimbingnya keluar dari jurang frustrasi. Kini, mereka menghabiskan masa senja mereka dengan mengurus 'cucu-cucu angkat mereka', termasuk Draco McLaggen, anakku yang tampan banget itu.

Ngomong-ngomong tentang Draco McLaggen, putraku tahun ini menginjak usia lima tahun. Jika biasanya penyihir baru bisa menunjukkan bakat sihirnya di umur tujuh tahun, anakku sudah bisa melakukan sihir sederhana di masa balitanya. Padahal, dia tak pernah aku masukkan ke lembaga pendidikan khusus anak usia dini, lho.

Ha, siapa dulu dong bapaknya.

Iya, iya, tenang saja deh, Malfoy. Meski kepala dan egoku besar, aku pasti bisa melindungi dan membahagiakan Hermione sebaik mungkin. Kau bisa lihat kan dari surga kalau Hermione menjalani hari-harinya dengan penuh kegembiraan?

Jadi Malfoy, kau tak perlu khawatir. Kau tidur tenang saja di surga dan tak usah repot-repot menghantuiku. Pengorbananmu pasti tak akan kusia-siakan.

Semburan bunga pansy yang jatuh di atas kepala memutus perbincangan rahasiaku dengan Malfoy. Menatap bangga, aku mencermati anakku yang tergelak riang sewaktu menaburkan kelopak pansy beraneka warna di atas kepalaku.

"Draco, jangan ganggu ayahmu, Sayang. Daddy belum selesai bicara dengan Paman Draco," ujar Hermione lembut, merunduk dan menggendong putra kami yang menyeringai lebar.

Bangkit berdiri, aku mengambil-alih putraku yang masih tergelak-gelak senang dari gendongan Hermione. Mencium pipi Hermione yang wangi, aku berbisik mesra di kupingnya.

"Aku sudah selesai bicara dengannya. Apa kau juga ingin berbicara dengan Malfoy, Hermione?"

Mengangguk sekali, Hermione balas mengecup mesra pipiku sebelum berjongkok di dekat nisan Malfoy. Mengelus lembut ukiran nama Malfoy yang terbuat dari butiran emas, Hermione pun memulai perbincangan dalam hatinya...


Halo, Draco. Apa kabar?

Aku harap keadaanmu di surga baik-baik saja, seperti halnya kondisiku di dunia saat ini. Kau tahu, ini semua berkat dirimu, Draco. Kau telah memberikan pengorbanan berarti untuk memastikan kebahagiaanku.

Apa kau tahu Draco, saat tantemu meneriakkan Mantra Avada Kedavra, aku sudah yakin bakal bertemu malaikat kematian. Namun, di detik terakhir, kau yang mendadak muncul mendorong tubuhku ke samping, menjadikan dirimu sebagai perisai hidup bagi diriku.

Saat tersadar setelah berjam-jam pingsan, aku diberitahu tentang kematianmu sekaligus surat yang kau tulis untukku. Surat yang kau genggam di tangan kirimu. Surat yang ditemukan ibumu, Narcissa Malfoy yang seharian itu terus menangisimu.

Saat membaca suratmu, air mataku tumpah tak terkendali. Aku tak menduga kau diam-diam menyukaiku. Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai cowok kejam yang suka menyiksa orang-orang lemah. Bahkan, saat ditawan di rumahmu, aku berulangkali mencerca, mencaci-maki dirimu dengan julukan Pelahap Maut terkutuk yang sepantasnya terbakar hangus di dasar neraka.

Ironis bukan, mengingat kemampuan terbang secepat kilat khas Pelahap Maut itulah yang membuatmu bisa muncul tepat di belakang punggungku. Talenta pembunuh yang hari itu kau manfaatkan untuk menyelamatkan hidupku.

Ya, betul sekali Draco. Kau telah menyelamatkan hidupku. Berkat pengorbananmu, aku bisa menjelaskan hal sesungguhnya pada Cormac. Aku bisa meminta maaf karena berniat menjadikannya umpan permainan perasaan. Aku juga bisa menyatakan cintaku yang sesungguhnya pada dirinya.

Cinta yang kami abadikan dalam ikatan suami istri enam tahun lalu. Umm, aku yakin kau pasti melihat upacara pernikahan kami yang digelar di beranda Hogwarts ini dari atas surga kan, Draco? Aku yakin waktu itu kau pasti menyeringai lebar mentertawakan wajahku yang merona karena bisa bersatu dengan Cormac.

Ngomong-ngomong tentang Cormac, ia benar-benar sosok terbaik dalam hidupku. Bersamanya aku merasa utuh dan dibutuhkan. Kami saling melengkapi, seperti hati yang dibelah dan bersatu kembali. Selama kami menikah, Cormac banyak berjuang dan berkorban untuk membahagiakanku. Aku yakin semua itu tulus dari dalam hatinya. Bukan karena ancaman teror hantu gentayanganmu, lho.

Oh ya Draco, kau bilang kebahagiaanku pasti membuatmu bahagia. Nah, supaya kau lebih bahagia, aku memberi nama putraku dengan namamu, Draco. Aku dan Cormac berharap dia bisa tumbuh seperti dirimu.

Eh, tunggu dulu, bukan tumbuh menjadi bocah nakal seperti dirimu dulu. Maksudku, kami berharap Draco bisa tumbuh menjadi pria dewasa yang berhati luhur sepertimu. Pria patriot yang mampu memberikan pengorbanan terbaik untuk seseorang yang paling disayanginya.

Um, sepertinya hanya itu yang bisa aku perbincangkan hari ini. Mungkin bulan depan, kita bisa ngobrol lebih banyak lagi.

Oh iya dong, Draco. Sesibuk apapun, kami tetap akan mengunjungi makammu di bukit bunga Hogwarts ini. Setiap tanggal dua, tanggal kematianmu, kami pasti datang berkunjung. Yah, walau isi pembicaraan kita tetap sama dan itu itu saja dari bulan ke bulan. He, aku harap kau tak bosan ya.

Ngomong-ngomong tentang lokasi kuburanmu, aku benar-benar terharu saat mengetahui alasan mengapa kau menginginkan dikubur di bukit berbunga ini. Katanya, kau ingin dimakamkan di tempat favoritku, tempat di mana aku sering bercanda bersama teman-temanku. Bukit di mana kau sering mengamatiku diam-diam dari balik bayangan pohon.

Ya ampun, Draco. Ternyata sejak kecil kau punya jiwa penguntit juga ya. Sampai rela bersembunyi berjam-jam di balik pohon hanya untuk mengamatiku yang sedang piknik bersama Ron dan Harry di atas bukit.

Kalau dipikir-pikir, sepertinya hobi ngintipmu tak akan hilang kan? Saat ini saja aku yakin kau sedang menatapku dari atas surga sana. Memandangiku dengan sepasang mata kelabu perak yang sempat membuat gadis-gadis Hogwarts hilang akal.

Yah, jadi begitulah Draco. Jika kau bertanya apa aku bahagia, maka jawabannya adalah iya. Ya, aku sangat bahagia. Dan itu semua karena dirimu.

Karena pengorbanan cintamu yang luar biasa...

Mengelap wajahku yang sembab, aku menatap iris hijau Cormac yang memandangiku dalam diam. Menerima uluran tangannya, aku membenamkan diriku ke dalam rengkuhan hangat Cormac. Di bahunya, putra kami tertidur pulas, rupanya ia lelah berlari-lari bersama Fang dan Hagrid yang beberapa menit lalu kembali ke pondok mereka di bawah bukit.

Untuk sesaat, kami saling berangkulan tanpa suara. Menikmati desau angin yang mengusap halus kulit dan rambut kami. Membelai nisan Draco untuk yang terakhir kali, aku dan Cormac melangkah menjauh dari makam pualam putih yang dipenuhi buket dan rangkaian bunga.

Seiring dengan langkah kaki kami, gemerisik angin makin kentara. Di kupingku, angin yang berbisik seolah berubah menjadi suara lembut Draco.

Suara seorang pria yang sudah memberikan pengorbanan cinta untukku.

"Jika kau bahagia, aku pasti juga bahagia, Hermione..."

TAMAT