Disclaimer:
Sampai kapan pun Vocaloid bukan milik saya.
.
.
.
DLDR
Selamat membaca.
.
.
.
Connecting With You
.
.
.
[Rin POV]
Aku tak pernah suka pesta. Disana hal buruk selalu menimpaku. Semua orang sudah tahu hal itu dan memakluminya. Karena itu, mereka tidak pernah memaksaku untuk datang. Namun, kakakku──Rinto Kamine──sedikit berbeda. Dalam hidupnya tak pernah mengenal arti kata ˈtidakˈ. Dia orang yang paling semangat mengajakku ke pesta. Sebelum aku mengatakan ˈiyaˈ, mulutnya tak kan pernah berhenti berkicau dan matanya akan selalu mengawasiku. Seperti seorang penguntit, dia mengikutiku kemana pun aku pergi. Melihat tingkah laku kakakku yang menyebalkan, mulutku berkhianat dan mengatakan ˈiyaˈ. Seharusnya aku memplester mulut pintarku itu karena sekarang kesialan itu datang menyapaku dengan santainya.
"Dia Len Kagamine, tunanganmu."
Itulah yang dikatakan Kak Rinto. Dia memperkenalkanku pada seorang laki-laki kelas atas berwajah datar. Aku sama sekali tidak mengenalnya dan baru bertemu dengannya. Kak Rinto bilang dia adalah temannya yang paling baik. Lalu apa hubungannya denganku? Mau teman Kak Rinto ataupun bukan. Aku tidak terima di tunangkan dengan orang yang tidak kukenal. Tentu saja aku menolaknya. Tapi, tidak sekarang. Aku masih punya perasaan untuk tidak mengacaukan pesta orang lain dengan kemarahanku.
Dasar kakak pembawa sial.
Mungkin sejak awal, kakakku lah penyebab kesialan ku selama ini di pesta. Seingatku, dimana aku tertimpa bencana, disana selalu ada kakakku. Harusnya aku lebih cepat menyadari itu. Aku tak bisa berkomentar apa pun selain menatap laki-laki itu──yang kata Kakak bernama Len Kagamine──dengan tampang bodoh.
Bagaimana bisa dia menerima kalimat konyol kakakku?
Apa dia terlibat dengan hal konyol ini?
O-oh, ingin rasanya aku menyiram wajah tampan kakakku dengan jus jeruk. Kak Rinto dengan seenaknya mengumumkan berita tidak benar di depan banyak orang. Sekarang bagaimana caranya aku meluruskan semua ini? Dia dengan seenaknya menjadikan pesta orang lain menjadi miliknya. Mendengar suara tepuk tangan yang heboh diikuti kata selamat membuatku ingin pingsan. Semua orang bahagia di atas penderitaanku.
Aku ingin menjerit histeris saat Kagamine──aku bisa mati tersedak jika memanggilnya dengan nama depan──menyematkan sebuah cincin di jari manisku. Dia menyeringai misterius dan berbisik di telingaku.
"Kau milikku sekarang."
Ayaaaaahhhhhh! Ibuuuuuuuuu! KAKAK MENJUALKU!
.
.
.
Rin Kamine resmi bertunangan dengan Len Kagamine.
.
.
.
Aku tak bisa berhenti menatap horror tulisan yang menjadi berita utama koran pagi ini. Apanya yang resmi bertunangan? Aku di jebak. Semua ini murni ulah Kak Rinto. Tunggu sampai aku melaporkannya pada ayah. Akan kupastikan dia mendapat hukuman yang setimpal karena telah membuatku menderita.
"Rin, apa berita itu benar?"
Teto──teman sekaligus sahabatku bertanya. Mata merahnya menatapku khawatir. Dia duduk di bangkunya──tepat di depanku──duduk menyamping, menghadap ke arahku.
Aku menarik pita kelinciku berlawanan arah dengan frustasi, "Tidak," Lalu menjatuhkan kepalaku di atas meja, menimpa koran yang sedang kubaca. "Semua salah. Aku dijebak. Kak Rinto... dia pelakunya."
Teto meringis prihatin. "Lihat sisi baiknya Rin. Kau punya Kakak yang perhatian. Dia sangat baik mencarikanmu jodoh. Mungkin dia tahu kalau kau terlalu lambat dalam hal ini."
Aku langsung melotot ke arah Teto yang nyengir minta maaf. "Dia itu tidak ada baiknya. Otakmu pasti sudah dicuci olehnya."
Tatapan Teto yang awalnya biasa-biasa saja berubah menjadi sedih. Gawat, harusnya aku tidak melotot padanya. "Berapa lama kau menangis?"
Karena Teto bisa mengetahui apa yang terjadi padaku semalaman.
Tangan kanan Teto mengusap bagian bawah mata kananku. Menyapu satu tetes air mata yang turun. Sejak kapan aku jadi secengeng ini? Apa hanya karena sebuah pertunangan yang tak masuk di akal itu bisa merubahku menjadi cengeng? Itu... tidak mungkin kan?
Aku berusaha memberi Teto senyum terbaikku. Namun gagal. Maaf, Teto... aku sangat menyesal telah memperlihatkan senyum sedihku ini. "Cukup untuk membuat satu kotak tisu habis." Jawabku sambil tersenyum getir.
"Rin, kau sudah diambang batas." Teto terkejut dengan mata melebar bulat. Nada suaranya tertahan, dia berusaha untuk tidak menjerit dan menarik perhatian banyak orang. Walau aku merasa sudah diperhatikan sejak menginjakkan kakiku di sekolah.
"Sepertinya kau butuh udara segar atau segelas air dingin. Mau ke kantin?" Tawarnya.
Aku menggelengkan kepala, menolak ajakkannya. "Kantin wilayah Kak Rinto. Dia selalu ada disana sebelum jam masuk."
Dia mengangguk mengerti dan melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. "Ya, kakakmu tahu tempat yang bagus untuk mengisi kekosongan. Oh, waktu pun sedang tidak berpihak pada kita. Sebentar lagi bell masuk." Ucapnya seraya mencari sesuatu di dalam tasnya. "Kuharap aku bisa melakukan sesuatu terhadap mata indahmu itu Rin."
Aku terkekeh kecil melihatnya sedikit panik hanya karena melihat mataku yang membengkak akibat menangis. Dia menghela napas menyerah ketika tidak berhasil menemukan kotak rias di dalam tasnya. "Make up ku selalu tertinggal di waktu yang tidak tepat. Beruntung sekali aku."
"Apa aku terlihat begitu... mengerikan?"
"Ya, sangat mengerikan. Perhatikan penampilanmu juga Rin sayang. Kau boleh menangis sebanyak yang kau mau. Tapi, kau harus tetap terihat manis seperti biasanya. Kau tidak ingin kan semua orang mengira kalau kau menderita hanya karena sebuah pertunangan?"
Aku meringis mengingat kegilaan Teto terhadap tampil rapih dan menawan. Aku tahu Teto mengkhawatirkanku. Tapi, dia lebih mengkhawatirkan penampilanku dibandingkan dengan pertunangan gila yang kualami. Aku sudah lama mengenalnya dan tidak mungkin melupakan hal terpenting dalam hidup Teto. Dia tak berkomentar apa pun lagi setelah melihatku menggedikkan bahu acuh.
"Pastikan matamu tetap terjaga Rin. Hari ini Pak Guru Kiyoteru masuk." Pesan terakhirnya sebelum merubah posisi duduknya menghadap papan tulis dan menyiapkan apa pun yang diperlukan untuk kegiatan belajar nanti. Teto teman yang paling rajin yang kukenal.
Melihat kesamping, jendela kelas dengan jelas memantulkan bayanganku. Aku terlihat cukup berantakan. Aku menyentuh rambutku yang panjang sepunggung dan merapihkannya dengan pelan. Dalam hati aku bernapas lega karena bukan Teto yang merapihkannya. Dia selalu mencari kesempatan untuk menata rambutku. Aku lebih suka membiarkannya terurai, tanpa diikat apanpun kecuali oleh pita putih dan empat jepit di poniku. Selanjutnya kurapihkan pita putih yang mengikat rambut kuningku ini karena kegiatan menarik pita tadi pitanya jadi sedikit longgar dan kusut. Inilah salah satu keuntungan duduk di samping jendela. Mendapat cermin gratis.
Bell berbunyi bertepatan saat pita kelinciku dinyatakan rapih. Pak kiyoteru masuk dan dia tidak sendirian. Dia membawa...
...Kagamine?
Apa yang sedang dia lakukan disini?
Teto melirikku melalui ekor matanya, meminta konfirmasi. Aku menggelengkan kepala, sama sekali tidak tahu.
Aku bisa merasakan satu kelas menatap kearahku. Mereka pasti sudah membaca beritanya. Tidak ada satu orang pun yang akan melewatkan berita anak-anak kelas atas. Pantas mereka menatapku dengan tatapan penuh arti setiap bertemu pandang denganku. Beginilah nasib punya kakak sedikit tidak waras. Kakak aku berjanji akan memasukkanmu ke rumah sakit jiwa nanti.
"Nah, Kagamine. Kau bisa duduk di sebelah Kamine. Kamine bisa angkat tanganmu."
Aku tidak salah dengar kan?
Aku menggerakkan tanganku sedikit ragu sambil melempar tatapan memohon. Namun, tatapanku dibalas dengan wajah tegas Pak Kiyoteru seakan tidak menerima penolakan. Aku pun tersenyum kecut. Cukup mengerti maksudnya dan kenapa aku bisa tidak menyadarinya? Hhh... Pak Guru sama saja seperti Kak Rinto. Sama-sama berusaha mendekatkanku dengan si muka datar yang sedang menyeringai angkuh ke arahku. Mata biru langitnya berkilat tajam menyorakkan kemenangannya.
Hebat. Kakakku benar-benar hebat. Kak Rinto kau pantas mendapat pujian. Kegigihannya patut dipuji. Dia sangat berani melibatkan guru tergalak disekolahku. Aku ingin tahu apa yang diberikan Kak Rinto pada Pak Kiyoteru sampai mau mengikuti rencana konyolnya itu. Ha-ha... sesuram inikah masa depanku? Aku tidak bisa membiarkan semua ini berjalan sesuai dengan rencananya. Baiklah kak, jika ini yang kau inginkan aku terima tantanganmu.
"Aku tidak mau duduk bersebelahan dengannya." Dengan tangan yang masih menggantung di udara, aku pun mengeluarkan kata-kata protesku dengan lancar. Tidak lupa membalas tatapan tajam Kagamine dengan semua kebencian yang menumpuk sejak kemarin.
Pak Kiyoteru tersenyum mengerikan, matanya sampai menyipit. "Aku tak pernah mengajarkan muridku pilih-pilih teman."
Aku tak boleh kalah. Bagaimana pun caranya aku harus menang?
"Ya, Pak Guru benar. Aku bukan anak sekolah dasar lagi yang perlu diajarkan bagaimana caranya berteman. Aku sudah duduk dibangku tingkat atas. Aku bisa menerima siapa pun yang mau berteman denganku. Tapi, tidak dengannya, aku benar-benar tidak bisa duduk berdekatan dengannya. Dia berada dalam zona bahaya pertemananku. Jadi, aku ingin tahu apa keputusanku ini bisa diterima. Masih banyak bangku kosong disini."
Ya, dikelasku masih ada lima bangku kosong dan semuanya itu seharusnya ada dibelakang. Lagi pula sejak kapan bangku disebelahku kosong? Aku melirik sinis kebelakang, melihat seseorang yang dengan tenangnya tersenyum seperti orang bodoh. Bukankah dia penghuni bangku disampingku? Kenapa tiba-tiba dia pindah kebelakang? Apa dia juga terlibat? Sial, berapa banyak orang suruhan kakakku disekolah ini sih?
Pak Guru membenarkan letak kacamatanya yang sedikit bergeser. "Kudengar Kagamine adalah tunanganmu. Tidak ada salahnya kalian duduk bersebelahan dan kurasa tidak baik menempatkannya dalam zona bahaya pertemananmu, Kamine." Katanya enteng mulai mengatur caraku dalam berteman. Tidak ada yang salah dengan cara pandangku. Kagamine memang pantas ditempatkan di zona berhaya. Dia musuhku sejak peresmian pertunangan gila ini.
"Berita itu cuman omong kosong Pak." sahutku dengan tatapan menerawang jauh menebak-nebak balasan seperti apa yang kudapat nanti.
"Benar begitu Kagamine?"
Hei, jangan tanya padanya! Tanyakan saja padaku. Dengan tegas aku akan menjawab ˈYa! Semua itu omong kosong yang diciptakan kakak ku!ˈ
"Tentu saja tidak. Berita itu benar. Kami memang sudah bertunangan." Jawab Kagamine sambil menyeringai licik ke arahku. Aku ingin menarik rambut pony tail-nya sampai putus. Kepalanya itu terbuat dari apa sih? Masa dia terima begitu saja ditunangkan dengan orang yang tidak dikenal. Apa dia tidak punya perasaan?
"Kamine." Pak Kiyoteru memanggil namaku dengan nada penuh peringatan. "Belajarlah untuk jujur."
Aku menjatuhkan kepalaku di meja dan mematahkan pinsilku menjadi dua bagian. Bagus, sekarang semua orang menertawakan kekalahanku. Padahal aku tahu sebagian dari mereka berharap bisa duduk bersebelahan dengan Kagamine. Terutama para perempuan yang menatap iri ke arahku. Aku bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau aku menawarkan untuk bertukar tempat duduk pada mereka. Bisa-bisa terjadi pertumpahan darah.
Tsk.
Kagamine berjalan ke arahku setelah mendapat intruksi dari Pak Kiyoteru. Dia berhasil mendapatkan bangku kosong di sampingku. Sebelum duduk, dia mendekatkan kepalanya ke telingaku. "Kau tidak bisa lari dariku, Rin." Bisiknya pelan.
Telingaku langsung berdenging. Semua orang menjeritkan sesuatu. Bahkan Teto sampai berdiri kaget. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku yakin anak-anak di kelas sedang heboh melihatku dan Kagamine dalam jarak dekat.
Tapi... Apa ada yang salah dengan itu? Dia kan cuman membisikkan kalimat pedas yang membuat tensi darakku naik.
Kehebohan itu berakhir setelah Pak Kiyoteru memukul meja bersamaan dengan Kagamine yang menjauhkan kepalanya dariku. Dia duduk dengan tenang di bangkunya seakan tidak pernah terjadi keributan apapun disekelilingnya. Padahal dialah sumber keributan tersebut.
Dasar muka rubah!
Entah kenapa kepalaku mendadak pusing. Aku seperti sudah kehilangan berliter-liter darah secara misterius. Apa anemiaku kambuh?
"Oh, dan satu hal lagi, jam istirahat nanti kau antar Kagamine keliling sekolah, Kamine."
Kalimat Pak Guru tidak baik untuk telingaku karena sekarang aku dilanda badai kekesalan.
Aku melotot tidak terima.
Anemiaku benar-benar kambuh. Aku butuh beberapa pil penambah darah karena kemalanganku masih berlanjut. Apa aku harus beradu argumen ˈlagiˈ?
"Kenapa harus aku?"
Pertanyaanku di jawab tatapan malas Kagamine yang seakan mengatakan ˈKarena kau tunanganku.ˈ dan untuk apa kau melihat ke arahnya? Yang bicarakan kan Pak Guru. Ya kan? Ada yang salah denganku! Pasti!
"Karena sekarang kau teman sebangkunya." Pak Guru menjawab dengan baik.
"Aku bukan temannya, Pak. Duduk disebelahku tidak memberi jaminan kalau dia bisa menjadi temanku."
"Sudah kubilang sebelumnya. Kau tak boleh pilih-pilih teman, Kamine. Apa perlu kuingatkan kalau kenyataannya dia adalah tunanganmu?"
Lagi-lagi bencana itu diangkat. Salahku mengiyakan ajakan Kak Rinto.
"Pak Kiyoteru, bisa buat ini lebih mudah. Aku menolak mengantarnya karena jam istirahatku sudah di pesan oleh Bu Guru Yuki." Aku mencoba memberi alasan yang masuk akal.
"Benarkah?"
Aku mengangguk semangat. Berharap Pak Guru menyerah dan menunjuk orang lain.
"Baiklah, Kalau begitu, ini semakin mudah. Bu Guru Yuki bisa menunda atau membatalkan jam yang di pesannya."
Percuma saja aku mengangguk tadi. Sekarang aku mengerti kenapa aku tidak pernah suka guru satu ini dan kalau bisa aku tidak ingin terlibat masalah apa pun dengannya. Dia tidak pengertian.
Aku menghela napas pasrah. "Lakukan apa yang Pak Guru suka. Aku menyerah."
"Terima kasih, Kamine. Kau murid terbaikku."
Perang adu mulut kami pun selesai dalam waktu satu jam. Pak Kiyoteru bisa mengajar dengan tenang sekarang. Sementara aku... merasa ingin mati sekarang juga. Tidak ada yang bisa membantuku jika lawan yang kuhadapi adalah guru tergalak di sekolah. Itulah alasannya kenapa teman sekelasku diam saja. Mereka lebih suka menjadi penonton sehingga bisa menertawakanku secara diam-diam jika ada yang lucu. Mereka sangat suka hiburan. Jam istirahat nanti aku akan mendapat banyak pujian.
"Tidakkah kau merasa beruntung?"
.
.
.
"Kau terlihat tidak tertarik dengan apapun yang kutunjukkan tadi."
Aku mengantar Kagamine seperti yang diamanatkan Pak Kiyoteru setelah menerima berbagai macam pujian dari teman sekelas. Mereka mengagumi siapa pun yang berani menghadapi guru galak satu itu. Seperti yang kuduga, Kagamine bukanlah orang yang ramah. Dia membiarkanku bicara seorang diri seperti orang gila. Sopan sekali dia.
"Kalau tidak suka, katakan saja." Aku jelas marah padanya dan halaman belakang sekolah yang sepi sangat cocok untuk dijadikan sebagai medan perang. Aku sudah sangat siap jika dia mengajakku bermain tangan.
Kagamine menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, ini menyenangkan." Katanya santai dengan nada merendahkan. "Melihatmu kesulitan tentunya." Lanjutnya ditutup dengan seringai ciri khasnya.
Graukk!
AKKHHH!
Tahu tidak rasanya di gigit kucing liar? Mungkin seperti itulah yang dirasakan Kagamine setelah tangan kanannya kugigit dengan penuh kelembutan. Suara teriakkanya seperti perempuan, melengking tinggi.
Dia melotot marah dan aku tertawa lepas. "Hahaha... suara teriakanmu... sangat indah... pfttt..."
"Perhatikan suaramu Rin." Dalam desisan tajam, dia memberi peringatan. Aku terbatuk kecil menahan sesuatu yang menggelitik area perutku. Wajahnya saat memperingatkan itu sangat Shota.
Manis sekali.
"Err... baik... baik... aku minta maaf." Kataku hati-hati. Biarpun Shota, auranya patut diperhitungan. Auranya itu seperti ingin mengulitiku hidup-hidup.
"Tapi, sebagian ini juga salahmu. Kalau kau tidak bersikap seperti itu, hal seperti tadi mungkin tidak akan terjadi."
Aku mengeluarkan pembelaan dan menunggunya mengeluarkan kata ajaib apapun yang bisa membuatku mengibarkan bendera perdamaian. Namun, dia cuman melihatku dengan tatapan datarnya.
Ternyata aku menghadapi es batu dari kutub utara. "Mana permintaan maafmu?" Tuntutku.
Kagamine menaikkan sebelah alisnya. "Kau ingin kugigit?" tanyanya tidak yakin.
Aku mendengus lucu. Sepertinya dia salah paham dengan maksudku. "Begini... aku bukannya ingin digigit supaya bisa mendapatkan permintaan maaf darimu. Point terpentingnya, kau membuatku kesal."
Dia mengangguk. "Ya, lalu?" Namun, bukan itu yang ingin kudengar.
"Lalu apa kau tidak merasa bersalah setelah membuatku kesal?" tanyaku dengan tatapan menerawang jauh. Dia ini sebenarnya alien dari planet mana sih?
"Tidak. Melihat wajah kesalmu itu sangat menyenangkan. Kau tahu?" Kagamine memberi jawaban yang bagus. Sebagus hatiku yang memanas. "Lagipula, aku sudah mengingat semua tempat yang ada disini. Bukan salahku kau merasa kesal. Itu salahmu sendiri karena tidak bertanya dan tidak mencari tahu."
Dia benar-benar sombong dan angkuh. Mulutnya sangat pintar memutar balikkan fakta. Aku tidak percaya kalau dia teman Kak Rinto yang paling baik. Aku lebih percaya kalau dia teman Kak Rinto yang paling menyebalkan. Intinya, aku melakukan hal yang sia-sia sejak tadi. Positif. Kagamine bukan manusia. Dia iblis yang menjelma menjadi alien. Ada yang lebih buruk dari itu? Katakan saja, mungkin bisa kupertimbangkan.
Aku tertawa meremehkan. "Benarkah? Bisa beritahu aku bagaimana caranya kau mengingat tempat serumit ini?"
Huh. Aku ingin tahu bagaimana caranya dia bisa mengingat sekolah yang seperti labirin ini. Bahkan aku yang sudah lama disini pun masih sering tersesat.
"Peta. Pihak sekolah memberiku peta, lengkap dengan penjelasannya. Aku bisa mengingat apapun dalam sekali lihat."
Wow. Sekarang dia memamerkan kepintarannya. Harusnya dia tidak terdampar di kelasku. Kurasa dia lebih cocok berada di kelas bangsawan seperti Kakakku. Perlu diketahui, Crypton Academy bukanlah sekolah biasa. Tapi, sekolah yang dikhususkan untuk kalangan elit—walau yang bersekolah disini tidak semuanya berasal dari kalangan atas. Jadi, wajar saja kalau ada pembagian kelas yaitu kelas biasa dan kelas bangsawan. Kelas biasa berisi semua kalangan yang ada dimasyarakat dan kelas bangsawan berisi orang-orang terpilih yang ditetapkan akan menjadi penerus di keluarganya seperti Kakakku. Banyak kebijakan yang sulit kumengeri di kelas itu seperti diperbolehkan memasuki kelas di siang hari ataupun malam hari dan kebanyakan mereka itu sangat menyebalkan. Aku benar-benar tidak suka dengan tatapan mereka saat melewati kelas biasa. Tatapan mereka itu seakan mengatakan kalau mereka itu hebat dan sempurna. Sangat cocok untuk tuan sombong didepanku ini. Kenapa dia tidak masuk kelas itu saja? Bukankah dia penerus perusaan raksasa Kagamine? Apa motif sebenarnya masuk ke sekolah ini? Tidak mungkin kan kalau dia datang kesini hanya untuk mencari masalah denganku?
Aku menatapnya penuh selidik dan menghela napas, menghilangkan semua pemikiran konyolku. "Kalau tahu begini jadinya, lebih baik aku tiduran diatap saja tadi. Ugh... kakiku yang malang, maafkan aku." Keluhku meratapi kaki yang pegal. Aku tidak mau melanjutkan pembicaraan yang menunjukkan seberapa hebatnya dia.
"Kau bicara dengan kaki?" tanyanya tiba-tiba mengagetkanku. Dia menatapku dengan tatapan seolah-olah aku ini makhluk luar angkasa. Hei, disini kau aliennya!
"Ya, kenapa? Kau mau mecobanya? Mungkin kakimu bisa mengeluarkan suara dan membentakmu." Balasku sinis.
"Konyol." Jawab Kagamine setelah mendengus geli.
Aku memalingkan muka, tidak terima dengan jawabannya. "Huh, kuharap aku mendapat bayaran yang setimpal untuk semua ini."
"Kau ingin kutraktir?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Aku mengangguk, "Ya. Cukup ajukan penggantiku pada Pak Tua itu. Kuanggap kita impas."
"Tidak. Yang lain terlalu berisik."
Apa dia tidak sadar kalau keberadaannyalah yang membuat suasana berisik. Lihat saja berapa banyak kumpulan anak perempuan yang diam-diam meneriakkan namanya saat kami berkeliling tadi. "Dasar aneh."
"Rin... kubilang jaga suaramu." Ini peringatan kedua yang kudapat darinya tentang hal sama. Menjaga nada bicara. Kalau tidak suka dengan nada bicaraku. Harusnya dia tidak membuatku kesal.
"Kau kan memang aneh. Kau buat keributan di pesta entah milik siapa dan dengan seenaknya menjadikanku tunanganmu. Lalu sekarang pemandumu. Kau mengejarku sampai kesini dan berada dikelasku. Caramu bicara dan berpikir, jelas sangat tidak cocok berada di tempat seperti itu. Statusmu juga, kau penerus perusahaan raksasa Kagamine. Aku tidak akan terkejut kalau kau sebenarnya sudah menjabat sebagai direktur atau bahkan lebih tinggi dari itu. Hanya saja... aku tidak mengerti kenapa kau bisa berada di tempat seperti ini? Sebenarnya apa yang kau inginkan?" Kataku dalam satu tarikan napas. Siapa pun pasti marah kalau kehidupan tenangnya tiba-tiba diusik oleh orang asing yang menyebalkan.
Dia tersenyum menyeringai. "Kau ingin tahu apa yang ku inginkan?" Balasnya menatap manik biru cerahku lurus. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku mengangguk pelan, sedikit tidak yakin. Kenapa aura mengerikan miliknya tiba-tiba menghilang? Ada apa dengan perubahan suasana disini?
Kagamine menatapku dalam membuatku sedikit gugup. Dia ingin mengatakan apa sih?
Aku tanpa sadar mundur satu langkah kebelakang saat melihat tangannya berniat menyentuh rambutku yang dimainkan angin. Dia sepertinya mengerti kalau aku tidak ingin disentuh dan menarik tangannya, memberiku jarak. Namun, tidak melepas tatapannya. Sementara angin tetap bermain dengan rambutku dan berperan aktif dalam mempermainkan suasana hatiku, mengejutkanku berasamaan dengan kalimat Kagamine yang diluar dugaan. "Kau. Aku ingin kau menjadi milikku... selamanya." Katanya tegas dan penuh keyakinan.
Eh? Apa?
Aku mengerjapkan mataku kaget. Sesaat aku lupa bagaimana caranya bernapas. Aku tidak bisa percaya dengan ucapannya. Dia pasti bohong kan? Ini pasti cuman mimpi atau mungkin aku sedang berhalusinasi melihatnya menatapku dengan lembut sambil mengatakan hal seaneh itu. Bagaimana bisa? Dia tidak mengenalku kan? Aku baru bertemu dengannya saat di pesta. Tidak mungkin dia tertarik padaku. Tapi, tatapannya saat mengatakan itu terlihat nyata. Siapa sebenarnya dia?
"A-aku... aku... " Aku tidak tahu harus berkata apa. Manik biru cerahku bergerak gelisah mencari objek yang bisa dijadikan senjata untuk mengeluarkanku dari situasi yang tidak menyenangkan ini. Kagamine hanya menatapku lurus dalam diam. Dia terlihat menunggu balasanku. Aku mengigit bibir bawahku pelan, mencari kekuatan. Lalu menatapnya dengan tatapan menantang. "Aku bukan barang yang bisa kau miliki. Akan aku pastikan pertunangan ini batal dan kau kembali ke tempat asalmu. Tidak peduli seberapa banyak sekutumu, aku pasti akan menghancurkannya. Weee..." Kataku diakhiri dengan menjulurkan lidah dan berlari pergi meninggalkannya. Tidak peduli dengan tanggapannya seperti apa setelah mendengar deklarasi perangku. Aku sudah terlanjur kesal dan dibuatnya bingung. Kata-katanya itu benar-benar mengerikan. Aku tidak mau peduli lagi apa alasannya berada disini. Mau tertarik padaku atau pun tidak, itu bukan urusanku. Lagi pula aku bukan barang yang seenaknya dia miliki. Sekarang yang harus kupikirkan adalah bagaimana caranya mewujudkan kalimatku itu. Aku mengatakannya tanpa rencana.
Bodoh. Bodoh. Bodoh. Terbuat dari apa otakku ini?
Manik biru cerahku menatap sekeliling dengan napas terengah-rengah. Koridor dekat ruang guru menjadi akhir dari pelarianku. Aku berlari cukup jauh ternyata.
"Kau sedang apa disini?"
Setidaknya kakiku membawaku ke tempat yang benar. Aku beruntung.
Akhirnya aku bertemu dengan si pembuat masalah. Aku sudah lelah menghindarinya secara terang-terangan sejak insiden itu. Dia baru saja keluar dari ruang guru. Cih, dugaanku benar, dia melibatkan para guru.
Aku mendengus singkat tidak berniat menjawab pertanyaannya itu lalu menginjak kakinya dengan sisa tenaga yang kupunya. Dia mengaduh kesakitan. Itu balasan pertama dariku.
"Aku benci Kak Rinto! Kau musuhku sekarang!"
Setelah mengatakan kalimat kejam itu, aku berlalu pergi dengan kaki yang dihentak-hentakkan. Keinginanku untuk menginjak kakinya masih tersisa. Ayah dan ibu seharusnya mengajarkan kata menyerah padanya. Sampai kapan pun aku tidak mau menerima rencana konyolnya itu.
Kak Rinto mengirimkan ku pesan kutukan. Dia tidak terima ku injak dan terus menanyakan alasanku menjadikannya musuh.
"Dasar bocah."
Kumatikan handphoneku dan kumasukkan ke dalam tas milik Teto. Dari jauh, Teto menggelengkan kepalanya menyerah. Dia tahu apa yang akan kulakukan saat aku marah. Hampir tidak terhitung berapa banyak benda yang kumasukkan ke dalam tasnya itu. Tas Teto sudah kuanggap sebagai tas pelampiasan. Tasnya kecil dan muat dimasukkan benda apapun. Aku jadi tidak perlu khawatir kalau kekurangan tempat. Tas Teto itu ajaib seperti kantung doraemon.
"Tolong simpan handphoneku sampai Kak Rinto sadar kalau mengutuk adiknya sendiri itu tidak sopan." Kataku sambil memasukkan roti jeruk kesukaanku sebagai tanda terima kasih ke dalam tas Teto tentunya. Dia suka roti.
"Sekarang kau bicara dengan tas?"
Si pembuat masalah kedua telah datang rupanya. Aku tidak mau tahu apa yang dilakukannya setelah kutinggal tadi. Setidaknya Kagamine tahu waktu untuk kembali ke kelas karena sebentar lagi jam istirahat selesai dan aku terlalu malas mencarinya seandainya dia tidak kembali. Aku berusaha mengabaikan keberadaannya dan menganggapnya sebagai udara. Kagamine pun sepertinya cukup pengertian, dia tahu kapan harus mengelem mulut pedasnya itu—
"Kau pucat."
—Atau tidak.
Aku ingin menyangkal ucapannya itu. Tapi kegelapan terlalu cepat menarikku. Aku tidak bisa melihat apapun selain gelap. Terakhir yang kulihat adalah wajah panik Kagamine, disusul dengan suara jeritan anak-anak sekelas.
"RIN!"
.
.
.
To Be Continue
.
.
.
Nggak bisa janji kalau harus update cepat ._.v
Tapi, diusahakan tidak selama The Rules (Itu sih kelamaan) xD
Semoga suka dengan cerita baruku ini, penerapan karakter disini hampir sama dengan The Rules, suka banget sama Len yang sombong *dihajar*
Terima kasih sudah membaca sampai 'To Be Continue'(?)
-Cherry Monochrome-
20/01/2016
