Sejauh apa pun kita berlari.
Meski kita menolak untuk menerima.
Cinta selalu datang, tak peduli dIinginkan atau tidak.
Dan kadang, semua bisa bermula dari sebuah luka.
.
.
Aku menggeram. Meremas amplop putih tebal di tangan sebelum akhinya membuka pintu kayu cokelat tanpa kuketuk terlebih dahulu. Sengaja kudorong pintunya sedikit bertenaga hingga terbuka lebar, membuat pria yang tengah memajang lukisan seketika menoleh. Kudapati sepasang mata hitam menatapku heran. Tetapi aku tak peduli. Terus saja aku berjalan mendekatinya. Aku tahu tindakanku ini sangatlah tidak sopan, bahkan mungkin keterlaluan, tetapi pemilik rumah ini juga tidak kalah keterlaluannya. Jadi kupikir, sah-sah saja dengan yang kulakukan sekarang.
"Katakan padaku alasannya," kataku saat sudah berdiri di sampingnya.
"Alasan?" tanyanya, tampak begitu kebingungan.
Kutunjukkan amplop putih beserta lembaran uang di dalamnya. Namun yang kudapatkan justru kerutan yang makin dalam di keningnya. Aku mendengus tak percaya. Siang kemarin adalah pertemuan terakhir kami, jadi mustahil kalau dia tidak mengerti, atau jangan-jangan dia sedang berpura-pura tidak tahu?
"Kau tidak ingat? Kau lupa siapa aku?"
"Tentu aku ingat siapa dirimu," jawabnya tenang. Dengan santainya pria itu melanjutkan pekerjaannya. Menepuk kedua tangannya saat lukisan itu berhasil terpajang, baru kemudian menghadapkan tubuhnya padaku, dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi aku memang tidak mengerti, alasan apa yang kau maksud?"
Aku menghela napas kesal. Embusannya bahkan sampai menyibak sebagian poniku. Demi Tuhan! "Mengapa kau membayarkan sisa upahku?"
"Bukankah alasan itu sudah sangat jelas? Aku akan membayar sisanya setelah kerjasama kita berakhir."
"Bukan begitu peraturannya, Tuan Shimura! Kau melunasi pembayaranku jika aku selesai melakukan pekerjaanku."
"Dan pekerjaanmu sudah selesai," balasnya, masih terlihat tenang. "Jadi bagian mana yang kurang kau mengerti, Nona Yamanaka?"
Pertanyaan santai itu menghantam tubuhku keras, sampai-sampai aku menghelakan napas lagi. "Yang tidak kumengerti adalah, apa yang telah kuselesaikan jika aku bahkan baru memulai, lalu kau sendiri tidak mendapatkan lukisan dengan aku sebagai modelnya. Itu pekerjaanku, Tuan Shimura." Kutempelkan amplop tebal itu ke dadanya, dengan keras, tak peduli dia merasakan sakit atau bahkan meninggalkan bekas merah di sana. "Jadi ambil kembali semua uangmu. Anggap saja perjanjian kita batal. Kalau perlu, sekalian anggap saja kita tidak pernah melakukan kerjasama apa pun."
Pria itu bergeming, bahkan membiarkan amplop itu terjatuh, tetapi aku tidak peduli. Segera aku berbalik pergi. Namun baru beberapa langkah, kuputuskan untuk menatap pria itu lagi. Rasa-rasanya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan semua yang ada di dalam kepalaku.
"Oh, dan satu hal yang harus kau tahu. Jangan pernah seenaknya melakukan segala sesuatu seakan kau pikir hal itu tidak akan menyakiti perasaan orang lain. Setidaknya pikirkan bagaimana jika hal itu menimpa dirimu sendiri."
Kukira pria itu masih akan diam saja, tetapi rupanya dia membalas perkataanku dengan kalimat yang tidak pernah kusangka sebelumnya.
"Kau mengatakan ini untukku, atau untuk seseorang yang kaupikirkan saat aku sedang melukismu?"
Aku nyaris tercengang. Bagaimana dia bisa tahu? Namun secepat kilat kuubah keterkejutanku dengan dengusan tawa, "Kurasa kalian berdua sama saja."
Setelahnya aku langsung memelesat pergi. Tidak perlu kulihat bagaimana ekspresinya saat aku mengucapkan kata-kata yang seakan menghakiminya. Aku memang tidak berhak menilai orang yang baru kukenal, tapi sepertinya aku tidak menyesal mengambil kesimpulan itu. Ya, menurutku mereka memang sama, baik wajah, juga sikapnya.
Dan kupikir, itu adalah kali terakhir aku berurusan dengannya. Nyatanya setelah sebulan kejadian menyebalkan itu berlalu, aku harus kembali melihat batang hidungnya di sini.
Mengapa dari sekian banyak kafe di Kyoto, pelukis itu harus memasuki kafe tempatku bekerja? Demi Tuhan! Apa ini yang dinamakan kebetulan? Oh, tidak, sudah pasti ini kesialan buatku. Sialnya lagi, saat dia mengangkat tangan, hanya aku yang sedang tidak bertugas. Sepertinya aku memang harus memeriksakan keberuntunganku di tahun ini, walau pada kenyataannya aku juga bukan tipe orang yang percaya ramalan-ramalan semacam itu.
"Selamat datang," sapaku pada akhirnya—mau tak mau aku harus melakukannya agar tidak dipecat. Dia mendongak dan aku melihat keterkejutan di wajahnya, meski tidak bertahan lama. Tapi itu memberikanku keyakinan bahwa sepertinya dia tidak tahu aku bekerja di sini. "Pesanan Anda?"
Lantas dia menyebutkan pesanannya. Dua caffe latte. Perlu diingat, aku tidak mau memusingkan mengapa dia memesan dua minuman sedangkan dia hanya sendirian. Itu bukan urusanku. Sekarang lebih baik segera kuberikan saja pesanannya agar pria itu cepat angkat kaki dari tempat ini.
Kuletakkan dua gelas caffe latte di atas meja kayu bundar, dan rupanya dia masih sendirian. "Silakan dinikmati."
"Duduklah," katanya tiba-tiba. "Kaupikir aku meminum semua ini sendirian?"
Aku mengernyit. "Maaf?" Barusan dia bilang apa? Memangnya dia pikir aku sedang piknik di sini? Lagi pula siapa dia beraninya memberi perintah padaku. "Aku di sini bekerja. Bukan dibayar untuk menemanimu."
Dengan tenang dia menunjukan layar ponselnya padaku. "Aku sudah bicara dengan pemilik kafe ini, dia temanku. Kebetulan aku ke sini karena ada janji dengannya, dan dia terlambat datang ... jadi duduklah."
Sejenak aku menahan napas, menahan kekesalanku sebenarnya. Pelukis menyebalkan ini baru saja membuat persetujuan seenak dengkulnya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, bosku juga menyetujuinya tanpa meminta persetujuanku. Ada apa dengan para pria ini!
Namun aku hanya bisa mengembuskan napas kesal sembari duduk di hadapannya. Kutaruh nampan bulat di pangkuan. Aku belum mau dipecat.
Lalu pria di depanku memerintah lagi. "Minumlah."
Rasa-rasanya aku ingin sekali memukul nampan hitam ini ke wajahnya, tapi logikaku yang kelewat baik ini selalu mengingatkanku untuk tidak melakukannya.
"Apa kau selalu begini?" tanyaku, mengabaikan perintahnya barusan. "Melakukan semua hal seenaknya?"
"Apa pertanyaan itu untukku atau masih untuknya juga?"
Wow! Berani sekali pria ini mengusik-usik "dia" yang bahkan tidak dikenalinya.
Aku tersenyum, tetapi kemarahanlah yang kuselipkan di lengkungan bibirku. "Jangan hanya karena kau bisa menebak, kau jadi merasa tahu segalanya tentangku. Itu menyebalkan, Tuan Shimura."
"Baiklah," balasnya santai seakan itu sudah cukup meredamkan kekesalanku. Bahkan tidak kutemukan secuil pun rasa bersalah tergambar di wajahnya. Benar-benar.
Pria itu kemudian menyesap minumannya, dan keadaan berubah hening. Bukan hening dalam artian yang sesungguhnya. Aku bahkan dengan jelas mendengar lantunan lagu yang terputar dari central speaker kafe, juga suara bisik-bisik kecil dari obrolan pengujung lain yang duduk tak jauh dari kami. Tapi hening di sini adalah karena tidak adanya suara yang keluar dari mulut pelukis itu, begitu pun aku.
Mata hitamnya kini sibuk menatap kaca besar di samping kanannya, melihat orang yang berlalu-lalang di luar kafe sambil sesekali kembali menyesap minumannya. Aku jadi tidak mengerti, sebenarnya apa yang diinginkan orang aneh ini? Apa sekarang dia menyuruhku untuk menyaksikannya menghabiskan minuman? Oh, ini mengesalkan!
Sengaja saja aku berdeham agak keras. Sontak mata hitam itu menatapku. Tiba-tiba aku terseret ke masa lalu. Mata hitam yang sama. Mata hitam yang dulu pernah menjeratku. Dan aku benci melihatnya.
"Jika tidak ada yang ingin kaubicarakan sebaiknya aku kembali bekerja saja."
"Minumlah. Aku mentraktirmu."
"Untuk apa?"
"Apa bagimu semua yang kulakukan harus memiliki alasan?"
Aku mengangguk cepat, "Tentu. Cukup waktu itu saja kau berkata bahwa aku tidak menarik untuk dilukis, kemudian kau pergi, lalu sudah ... tiba-tiba aku menerima sisa upahku tanpa pernah kau menjelaskan apa-apa. Padahal aku sudah mengikuti semua perintahmu, dan kurasa, aku juga tidak melakukan kesalahan apa pun."
Pria itu tersenyum. Tapi buatku senyuman itu sungguh sangat aneh. Seperti senyum yang dipaksakan atau senyum yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan. Entahlah, aku bingung menjelaskannya, yang jelas aku tidak suka senyumnya barusan.
"Tubuhmu memang menuruti semua arahanku, tapi tidak dengan wajahmu," jelasnya. "Awalnya kau memang memberikan ekspresi yang aku inginkan, tetapi semua itu tidak bertahan lama. Kau menambahkan adanya kepahitan dari rasa sakit. Kurasa perasaan itu terus menyiksamu, atau mungkin berhasil mengambil alih hingga wajahmu berubah sendu. Aku tahu kau mencoba menahan kegetiran, sayangnya matamu tidak sanggup menahannya. Mungkin jika kuteruskan, kau akan menangis, semisal pun tidak, perlu juga kau tahu, Nona, kalau bukan ekspresi itu yang aku butuhkan."
Tanpa sadar aku mengigit bibir, tak mampu membantah kata-katanya. Dia bahkan bisa menjabarkan semua perasaan yang memang aku rasakan saat itu, dan mungkin benar, aku akan menangis jika terus menerus bergelut dengan pikiranku sendiri. Mengingat-ingat kenangan yang sebenarnya sangat ingin kulupakan. Dan entah bagaimana, pria yang duduk di hadapanku sekarang memiliki rupa yang sama dengan pria yang sangat ingin kulupakan. Bukan sama seperti saudara kembar, tetapi ... bagaimana aku menjelaskannya. Sekilas terlihat mirip, seperti doppelganger!
Lalu katakan bagaimana aku sanggup menahan kepedihan bila pria itu terus menerus menatapku, begitu serius, membuatku seakan-akan melihat kalau orang itulah yang tengah menatapku. Pria yang membuatku terluka.
"Tapi bukan berarti kau bisa begitu saja meninggalkanku. Maksudku, kau bisa mengatakannya langsung padaku saat itu, dengan begitu aku bisa memberikan ekspresi yang kau inginkan."
"Benarkah? Kurasa bila aku melakukannya, aku lebih yakin kalau kau akan mengulanginya lagi. Dan itu hanya akan membuang-buang waktuku saja, Nona Yamanaka."
"Lagi-lagi seenaknya saja. Bukankah itu menurut pemikiranmu sendiri?
"Jadi kau bisa menjaminnya?" tanyanya, lebih mirip seperti tantangan. Dia bahkan sudah melipat kedua tangannya di dada. "Baiklah, kita akan melakukannya lagi. Tapi berikan ganti rugi bila ternyata perkataanku benar."
Gila! Dia pikir kenapa aku yang bukan seorang model mau menjadi model lukisannya? Tentu saja karena aku butuh uang! Seharusnya aku memang tidak pernah mendengarkan saran Tenten, temanku yang menawarkan pekerjaan ini. Aku memang memenuhi hampir semua ciri-ciri model yang dicarinya, bayarannya juga lumayan mengiurkan, dan syaratnya cukup aman untuk kulakukan, tetapi kalau urusannya sampai begini panjang, lebih baik kutolak saja sedari awal.
Aku mengikutinya, melipat tangan di depan dada. "Tidak mau. Aku sudah bilang tadi, cukup waktu itu saja. Aku tidak mau mengulanginya." Setengahnya aku sadar, perkataannya benar. Aku sendiri tidak yakin bisa melepaskan diri dari kenangan. Setengahnya lagi, aku tidak mau dia membacaku sesuka hati. "Dan berhentilah bersikap sok tahu mengenaiku, aku benci itu."
"Kalau begitu minumlah. Anggap saja itu sebagai permintaan maafku."
Sontak aku terkekeh. Seriously? Dia pikir bisa semudah itu? Jangan harap!
Pria di depanku terdiam, tampak sedikit tak nyaman. Oh, jadi dia bisa juga merasa seperti itu. Mata hitamnya menyorotku tajam. Tapi buatku itu menjadi pertanda bahwa aku harus menghentikan lantunan tawaku, dan juga mengakhiri perbincangan tidak penting ini.
"Kau barusan meminta maaf?" Aku melemparkan senyum manis sebelum melanjutkan, "Sayang sekali aku tidak meminum kopi, Tuan Shimura."
Segera aku bangkit, bergegas pergi meninggalkannya, tanpa aku pedulikan bagaimana ekspresi di wajahnya.
...
Beberapa hari, tidak, mungkin puluhan jam kemudian, aku pun tersadar, sikapku pada pelukis itu sedikit keterlaluan. Entah sebenarnya dia meminta maaf sungguhan atau karena keterpaksaan, kurasa tetap saja aku terlalu kasar menyikapi permintaan maafnya. Sebenarnya kalau kupikirkan lebih dalam lagi, bukankah waktu itu dia juga memperlakukanku begini? Tetapi sudahlah. Aku tidak ingin terus memikirkannya karena wajahnya akan mengingatkanku padanya. Pria yang juga meninggalkanku tanpa sepatah kata, tanpa penjelasan apa-apa. See ... sikap mereka juga sama buruknya, bukan?
Tepukan pada bahu menyadarkanku. Karin—salah satu pegawai di kafe ini—menyuruhku untuk membawakan satu cappuchino dan juga satu gelas kosong ke meja nomor tujuh. Sedangkan perempuan berambut merah itu mengambil nampan hitam milik pelanggan lain yang tadinya sudah siap kuantar.
Aku menatapnya penuh tanya dan Karin menyadari kebingunganku.
"Pelanggan itu menyuruhmu untuk mengantarkan pesanannya," katanya.
"Siapa?" tanyaku heran. Berani sekali dia meminta siapa yang harus mengantarkan pesanannya. Memangnya dia bos di sini.
"Pria yang waktu itu ... yang beberapa waktu lalu berbincang dengan Bos. Sudah sana, daripada kau mendapat masalah."
Aku berdecak dalam hati. Dia lagi ...
Segera aku menyusul Karin mengantarkan pesanan pelanggan. Beberapa teman kerjaku kini melemparkan tatapan iba. Hampir semua, termasuk managerku, juga tahu mengenai urusanku dengan pelukis itu, meski tidak semuanya dan tidak secara mendetail.
Sebenarnya kalau boleh memilih aku ingin merasahasiakannya saja, tetapi rasanya sangat sulit mengingat perbincanganku dan pelukis itu terjadi di depan mata mereka. Untungnya penjelasan singkatku bisa menyumpal mulut-mulut mereka yang gatal. Setidaknya aku jadi tidak diteror terus-terusan.
Kuhampiri pelukis yang memilih duduk di tempat yang sama sejak terakhir kali dia datang. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya kejadian itu sudah hampir dua minggu berlalu. Tetapi buat apa aku peduli!
"Silakan," ucapku sembari meletakkan pesanannya. Segelas cappuchino dan ... satu gelas kosong? Apa lagi sekarang?
"Duduklah," perintahnya. Anehnya, itu tidak mengejutkan lagi buatku.
Dengan enggan aku pun menurutinya, tentunya karena aku belum mau dipecat.
Pria itu lalu meletakkan sesuatu di hadapanku.
"Es krim, bukan kopi," katanya.
Lantas aku menatapnya, tetapi pria itu justru memalingkan pandangan, menatap ke kaca besar sambil menyesap minumannya.
"Lagi-lagi sesuka hati," kataku sinis, yang berhasil membuatnya mengarahkan mata hitamnya padaku. "Karena aku tidak meminum kopi lantas kaupikir aku menyukai es krim?"
"Untuk yang satu ini aku sudah mendapatkan bocoran."
"Hooo, jadi sekarang kau beralih profesi menjadi penguntit."
Mata hitamnya kini menatapku tegas. "Aku serius meminta maaf padamu, Nona."
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali. Sungguh tidak percaya dia benar-benar … meminta maaf? Benarkah dia Sai Shimura, si pelukis menyebalkan yang suka melakukan semua seenaknya? Tetapi melihat usahanya—dan aku juga ingat sikapku terakhir kali yang sedikit keterlaluan—aku pun memutuskan untuk mengakhiri perdebatan ini.
Lagi pula kejadian waktu itu sepenuhnya bukan salah Sai. Sikapnya mungkin salah, tapi aku juga tidak bisa mengendalikan diriku. Aku membiarkan kenangan itu menyeruak, terlebih saat aku menatap mata hitam Sai. Karena itu, tidak mungkin aku menyalahkan Sai hanya karena kemiripan wajahnya dengan wajah mantan kekasihku. Dan sikap Sai yang sungguh-sungguh meminta maaf menunjukkan kalau dia jauh sekali berbeda mantan kekasihku yang berengsek itu. Aku bukan bermaksud untuk menyamakan atau membanding-bandingkan seseorang, tapi aku yakin saat kau bertemu seseorang yang mirip, hal yang pertama terjadi adalah kau akan menganggap mereka sama. Kalau tidak, berarti itu hanya terjadi padaku saja.
"Siapa informanmu?"
"Demi keselamatannya, aku tidak bisa memberitahumu."
Aku meringis, pura-pura tidak terima dengan perkatannya, "Apa itu? Kau berkata seakan kalau aku tahu siapa orangnya, aku akan datang menghajarnya."
"Barusan kau sudah mengungkapkan tujuanmu."
"Hei, aku tidak begitu!" Tetapi satu tanganku sudah mengangkat nampan hitam seolah bersiap menghantamkannya pada Sai.
Beberapa detik kemudian kami sama-sama terkekeh. Sai lalu menyesap minumannya, dan aku mulai menyendok es krim, memindahkannya ke gelas kosong, kemudian bicara setelah beberapa kali memasukkan es krim ke dalam mulutku.
"Sebenarnya aku bertanya karena aku ingin memberitahu kalau informanmu itu salah besar. Aku tidak suka rasa stroberi."
Tatapan Sai berpindah pada isi di gelasku, dia mendengus geli, "Perbuatanmu sama sekali tidak mencerminkan ucapanmu."
Memang sih, barusan aku berbohong. Stroberi memanglah rasa es krim kesukaanku.
Aku pun tersenyum, sebenarnya merasa sedikit tersentuh dengan permintaan maafnya. Dia bahkan sampai repot-repot mencari tahu.
"Saat ini aku sedang berusaha menerima permintaan maafmu. Kau seharusnya tahu, butuh perjuangan besar untuk menghabiskan satu gelas penuh es krim dengan rasa yang tidak kusukai."
Sai balas tersenyum. "Terima kasih kalau begitu."
"Tidak. Tidak. Aku yang seharusnya mengucapkan itu. Terima kasih, Tuan Shimura."
"Apa butuh perjuangan besar juga untuk memanggil namaku?"
"Baiklah ... Sai." Kami bertatapan, ehm, cukup lama dari biasanya. "Dan kau juga boleh memanggil dengan namaku saja."
Sai mengangguk, lalu tersenyum lagi. Senyuman yang tulus. Dan membuatnya terlihat jauh lebih tampan. Oh, sial! Apa barusan aku memuji pelukis itu? Ini tidak baik. Sama sekali tidak baik.
Buru-buru kutandaskan es krim di dalam gelas. Kututup kotak es krim yang masih berisi setengah krim berwarna merah muda. Merapikan perlengkapan makan yang baru saja kugunakan. Dan aku menyadari Sai tengah menatapku penuh tanya.
"Kuharap kau tidak tersinggung, tapi aku tidak enak dengan yang lain bila terlalu lama menemanimu."
Untungnya Sai mengangguk. "Aku mengerti."
Aku menghela napas lega, sedikit memajukan tubuh, lalu berbisik. "Tapi ... kau sudah izin bosku soal ini, kan?"
Kami tertawa, Sai bahkan tertawa sedikit lebih lama dari yang biasanya. Aku memang belum tahu seberapa lama Sai bisa tertawa karena aku belum mengenalnya. Tetapi pemandangan ini membuatku tersadar kalau ternyata Sai tidak sekaku yang kukira, tidak juga semenyebalkan yang kuduga.
"Tentu saja," ucap Sai. "Maaf sudah menahanmu di sini."
"Tak apa. Sekali lagi terima kasih atas es krimnya ... Sai."
Lengkungan tipis itu hadir lagi di wajahnya.Benar. Aku memang belum mengenalnya.
...
Pertemuan kami tidak berhenti sampai di situ. Nyatanya Sai masih sering mengunjungi kafe. Dan di setiap kedatangannya aku pasti menemaninya—tentunya karena permintaan Sai yang katanya sudah meminta izin pada bosku.
Dalam beberapa belas menit, seringnya kurang dari itu, kami berbincang tentang banyak hal. Kebanyakan hal-hal yang tidak terlalu penting sebenarnya. Kurasa semakin lama, justru akulah yang lebih banyak bicara. Tapi bukan berarti Sai pendiam. Dia akan mengatakan langsung apa yang ada dipikirannya, tidak peduli kalau perkataannya itu akan menyakiti lawan bicaranya atau tidak. Sikapnya itu terkadang cukup menguji kesabaran, tetapi semakin mengenalnya, semakin banyak pembicaraan di antara kita, aku mulai terbiasa.
Satu hal dari Sai yang menarik perhatianku adalah senyumannya. Aku harus mengakuinya, Sai sangat manis saat tersenyum. Senyumnya tidak lebar, hanya berupa lengkungan kecil, tetapi terlihat sangat lembut dan tulus. Sayangnya itu jarang sekali terjadi.
Dan entah bagaimana pula, aku mulai merasa terbiasa dengan kehadiran Sai. Terbiasa menghabiskan beberapa menit dengan obrolan ringan yang sering kali membuatku tertawa. Terbiasa mendapat senyuman yang kini kusadari membuat sesuatu di dalam hatiku berdesir. Terbiasa menatap matanya yang sekarang berhasil membuatku merona. Rasa-rasanya seperti aku sudah mengenal Sai cukup lama. Serasa aku menemukan kutub berlawanan yang langsung menarikku kuat.
Pernah aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku jatuh cinta padanya? Tetapi aku tidak pernah berusaha menjawab atau sekadar mencari jawaban. Aku lebih memilih untuk mengelak, karena awalnya aku mengira ketertarikan yang kurasakan hanya berdasarkan kemiripan wajah Sai dengan mantanku.
Aku tahu, aku tidak boleh menilainya begitu. Tetapi ketakutanku masih ada. Dan lagi, aku masih belum mengerti alasan Sai terus menerus mengunjungi kafe. Mengapa Sai sampai mau menghabiskan waktu di tengah kesibukannya untuk berbincang hal tak penting denganku? Apa semua itu dilakukannya hanya karena perasaan bersalah, atau mungkinkah dia sama sepertiku, merasa jatuh cinta?
Namun kuputuskan, aku tidak ingin tenggelam pada ilusi yang kuciptakan dengan menganggap bahwa Sai memiliki rasa yang sama. Jadi biarlah, kubiarkan seperti ini saja.
Siang ini Sai mengajakku mengunjungi studionya. Mengambil sesuatu katanya, aku mengiyakan saja, jadi kedatanganku kali ini bukan untuk menjadi model lukisannya, hanya sekadar kunjungan biasa. Sebenarnya tidak biasa untukku. Menurut kabar yang kudengar, tidak sembarangan orang diperbolehkan masuk ke dalam studio pribadi Sai. Wajar saja bila sekarang aku merasa sangat senang. Sai memperbolehkanku masuk ke dalam teritorialnya.
Sepertinya tidak ada yang berubah sejak terakhir aku datang. Sejak pertama membuka pintu, kau seperti disambut oleh gambar-gambar yang sangat menakjubkan, indah, atau apalah sebutannya bagi para pecinta seni lukis untuk memuji hasil karya luar biasa ini. Bila kali pertama datang aku hanya terfokus untuk berkerja, kali ini aku baru benar-benar melihat semua karya-karya milik Sai. Dan semua pujian itu memang layak didapatkannya.
Sai selalu menjaga ruangannya tetap rapi, meskipun ada juga beberapa lukisan yang belum tergantung, dibiarkan bertumpuk dan disandarkan di sudut ruangan. Bahkan sofa berwarna hijau gelap—yang merupakan satu-satunya sofa yang ada di ruangan ini, masih tidak juga berpindah tempat. Masih setia mendampingi meja kayu besar yang berisi peralatan lukis Sai yang kebanyakan tergeletak sembarangan. Itulah satu-satunya tempat yang sepertinya jarang tersentuh kerapian tangan Sai.
Di sisi meja yang lainnya masih diisi dudukan kanvas. Kulangkahkan kakiku ke sana. Aku sedikit penasaran apa yang tengah dilukis Sai. Sayangnya tidak ada apa-apa. Kanvas itu masih belum ternoda. Hmm, mungkin lukisan untuk perlombaan-apalah-namanya-itu sudah Sai serahkan.
Tiba-tiba aku teringat kembali dengan kejadian menyebalkan itu. Apakah aku memang sebegitu tidak menariknya untuk dilukis?
Merasa tidak perlu ambil pusing untuk mencari jawabannya. Aku memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Sai. Sang pelukis yang baru saja keluar dari ruangan lain, yang sepertinya berukuran lebih kecil dari tempat ini.
Kuhampiri Sai yang kini berdiri di dekat meja, tak jauh dariku. "Apa aku benar-benar tidak menarik untuk dilukis?"
"Tidak juga," jawabnya santai.
Sai kemudian sibuk dengan alat lukisnya. Entah merapikan atau menghitung, aku tidak mau tahu soal itu. Aku hanya ingin menuntaskan rasa penasaranku.
"Kalau begitu kenapa waktu itu kau berkata aku tidak menarik?"
Dia menatapku sekilas, "Kita sudah pernah membahas ini, Ino."
"Maksudmu karena ekspresiku waktu itu?"
"Dan itu bukan ekspresi yang kuinginkan." Sai menambahkan.
"Berarti kau masih mau melukisku?"
"Tidak," jawab Sai cepat, tanpa menatap ke arahku. Menyebalkan!
"Kenapa?"
"Karena hal itu terlalu sulit untukku."
"Kenapa?" Aku memandang Sai bingung.
Pria itu menghela napas, kemudian menghadapkan tubuhnya padaku. "Menatapmu untuk waktu yang lama itu sangat menyulitkan buatku."
Kalimat Sai memicu degup di jantungku, juga bibir yang bersiap melengkungkan senyum. Dan aku tidak ingin dia mengetahui itu, karenanya aku segera berbalik, berpura-pura melihat hiasan-hiasan yang terpajang di balik pintu kaca lemari hias tepat di belakang kami. Tetapi kemudian senyumanku memudar. Mataku kini tertuju pada salah satu bingkai foto. Aku hampir tidak memercayainya, tapi kuyakin itu foto dia … bersama Sai?
Tanpa pikir panjang segera kubuka, dan kuraih pigura itu tanpa seizin pemiliknya.
"Kau mengenalnya?" tanyaku sembari menunjukkan foto itu kepada Sai.
Sai tampak terkejut, tetapi dia belum membuka suara.
"Kau mengenalnya, Sai?"
"Ino—"
"Jawab!" desakku. Yang aku butuhkan hanya jawaban iya atau tidak. Itu saja!
Sai mendesah gusar, tetapi akhirnya menjawab. "Dia kakakku."
"Kakak?" Aku menatapnya tak percaya. Sai adalah adik dari mantanku? "Kau tahu tentang apa yang terjadi di antara aku dengan kakakmu?"
"Ya."
"Kau tahu! Dan kau tidak mengatakan apa-apa padaku!" Aku mengerang frustrasi. Emosi sudah melahapku. Seluruh darahku terasa mendidih, bahkan aku melempar begitu saja foto itu hingga membentur keras lantai. Kacanya terberai. Tapi aku tidak peduli! AKU TIDAK PEDULI!
"Jadi selama ini kau menipuku? Apa yang sebenarnya kaurencanakan? Kalian bersekongkol melakukan ini?"
Batinku terus mengulang kalimat bahwa Sai telah menipuku. Sai mempermainkanku. Dan kata-kata itu sukses menyayat perasaanku. Perihnya bahkan melebihi perih yang kurasakan saat aku tahu kakaknya mengakhiri hubungan kami begitu saja.
"Kenapa kalian berdua melakukan ini padaku? Kenapa kau lakukan ini padaku, Sai? Memangnya apa yang telah kulakukan padamu?"
Aku nyaris tidak dapat membendung air mataku, amarahku, semuanya. Pandanganku mengabur, air mulai melapisi seluruh permukaan mataku. Dan Sai masih diam saja!
"KAKAKMU YANG MENINGGALKAN AKU, BUKAN AKU!"
Kutepis kuat tangan Sai yang mencoba untuk meraihku. Dia sempat terkejut dengan perlakukanku, tapi aku sudah benar-benar tidak peduli lagi. Bersusah payah aku menahan agar air mataku tidak tumpah.
"Kau … kau tidak seharusnya melakukan ini padaku. Bukan aku yang menyakitinya, Sai. Bukan aku ..."
Namun jatuhlah sudah air mataku tanpa bisa kutahan. Aku tidak punya kekuatan lagi untuk menatap wajahnya. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Tidak di depan laki-laki berengsek seperti dirinya.
Aku telah tertipu mentah-mentah. Ternyata semua kebaikannya hanyalah topeng yang dia buat untuk menipu dan mempermainkanku. Seharusnya aku tidak membiarkannya masuk begitu saja. Seharusnya aku tidak membiarkan diriku jatuh padanya. Seharusnya aku memegang teguh kepercayaan bahwa Sai dan dia sama, mereka berengsek!
Sai berusaha meraihku lagi, tetapi kuputuskan untuk segera pergi, menulikan pendengaranku dari teriakan Sai yang memintaku untuk berhenti. Terus saja aku berlari sampai suara itu tidak kudengar lagi. Aku tidak ingin melihatnya lagi.
...
Setelah kejadian itu, jujur saja, aku selalu waswas setiap kali melihat pintu kafe terbuka. Benar. Aku tidak ingin melihatnya datang. Hari pertama, aku terbebas, Sai tidak mengunjungi kafe. Terus kuabaikan semua pesan dan panggilan darinya. Di hari berikutnya masih sama, selanjutnya, dan hari selanjutnya. Dan seharusnya aku senang.
Awalnya aku mengira ketidakhadirannya dapat mengobati sakit di hatiku lebih cepat. Lagi pula inginku yang memang tidak mau bertemu dan berbicara dengannya, tetapi yang terjadi justru lain lagi. Ketidakhadiran Sai malah meninggikan kekecewaanku. Kembali aku merasakan kehilangan tanpa adanya penjelasan. Mungkin saja begini memang lebih baik, tanpa perlu aku tahu agar aku tak semakin tersakiti.
Namun di sisi hatiku yang lain aku pun tahu, ada hal lain yang kumau.
Seminggu setelahnya aku berpikir untuk pasrah menerima. Seperti dulu, kubiarkan saja sakitnya. Mungkin pula waktu sekali lagi akan berbaik hati membantu mengikis sakitku sedikit demi sedikit. Sayang semuanya tidak sejalan seperti harapanku.
Keesokan harinya Sai datang.
Tentu saja, ini kafe. Siapa pun bisa datang, tetapi tetap, aku tidak ingin menemuinya. Buru-buru aku menarik Karin, memohon padanya agar aku tidak melayaninya.
Karin sempat menatapku curiga. Aku memang belum menceritakan masalahku pada Sai. Untungnya dia menyertujui. Meski aku tahu, aku tetap harus menceritakan ini padanya nanti.
Namun sekali lagi, saat kupikir semuanya berjalan sesuai keinginanku, Karin justru datang dan meminta maaf karena tidak bisa menolong. Melihat wajah Karin, aku pun tidak bisa menolaknya.
Kuterima sodoran nampan hitam berisi pesanan Sai, disusul helaan napas panjang. Hadapilah, Ino!
"Silakan." Aku terburu meletakkan minuman pesanannya di atas meja. Berharap bisa segera meninggalkannya. Tetapi Sai langsung mencengkeram tanganku, sebelum sempat aku menarik tanganku dari pegangan gelas.
"Kita harus bicara," ucap Sai tegas. Sama seperti tatapan matanya.
"Aku di sini untuk bekerja. Bukan untuk mendengarmu bicara," ketusku.
"Ino—"
"Lepas!"
Kami masih saling menatap, dan kemarahanku nyaris tak dapat kukendalikan. Mungkin Sai bisa melihatnya, karena itu dia mendesah gusar kemudian melepaskan cengkeramannya.
Aku segera pergi. Sejenak mencari tempat di mana tidak ada satu orang pun di sana. Kuusap cepat air mataku. Rupanya aku masih belum bisa menghadapi Sai. Masih terlalu sakit berada di dekatnya. Tapi aku tidak boleh menangis di sini. Sialnya, air mataku tidak mau berhenti.
Butuh beberapa menit hingga akhirnya aku keluar dari persembunyian. Sekali lagi menarik napas panjang sambil berharap Sai sudah tidak ada di sana, karena kuyakin, air mataku pasti akan tumpah bila melihatnya.
Sudah pasti hal yang kulakukan pertama kali adalah mengarahkan pandanganku ke kursi nomor tujuh. Lantas aku mendesah lega mendapati bangku itu tak berpenghuni. Meski kulihat minuman di atas meja masih utuh, tak tersentuh. Mungkinkah Sai sudah pergi sejak tadi?
Dan sekarang aku jadi tidak tahu harus merasa senang atau kecewa. Aku sadar telah kehilangan lagi penjelasan yang ingin kudengar ... tetapi bukankah memang ini yang kumau?
Perasaanku masih bercampur aduk hingga pekerjaanku selesai. Aku berpamitan pulang. Untungnya Karin masih belum mendesak bertanya, dia hanya mengelus punggungku, mungkin tampangku benar-benar terlihat kusut. Biarlah. Setidaknya aku bisa terbebas.
Kusembunyikan kedua tanganku ke dalam saku. Angin dingin musim gugur mulai mengigit. Aku bahkan bisa melihat napasku sendiri, lalu aku melihatnya.
Sai tengah menyandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Kepalanya tertunduk. Matanya terpejam. Dan pakaiannya masih sama seperti yang dikenakannya tadi siang.
Mungkinkah dia terus menunggu? Di udara sedingin ini?
Namun untuk apa aku peduli! Kupercepat langkah kakiku, tetapi hal itu justru membuat kedua matanya terbuka.
Sai berhasil meraih tanganku. "Ino, kita harus bicara."
Aku menarik tangan, percuma saja, dia tak melepaskanku.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Sai. Apa kalian berdua belum puas menertawakanku?"
"Dengarkan dulu penjelasanku, baru setelahnya kau bebas memarahiku, memukulku, atau bahkan membenciku sekalipun, tapi beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu." Sai tetap tidak membiarkanku lepas. Cengkeramannya justru semakin kuat. Namun karena itu pula aku bisa merasakan hawa dingin menyapaku. Bahkan menembus lapisan bajuku. Jadi, dia benar-benar menungguku? "Ini semua tidak seperti yang kaupikirkan. Aku sama sekali tidak pernah bermaksud untuk menipumu. Pada awalnya aku hanya bermaksud untuk melihat langsung siapa wanita yang dicintaiku oleh kakakku."
"Berhentilah mengatakan omong kosong."
"Aku mengatakan yang sebenarnya."
"Dan dia meninggalkanku!"
"Benar, tapi dia tetap mencintaimu sampai akhir hidupnya. Dia terpaksa melakukannya, Ino. Dia tidak ingin pergi dengan melihatmu menangis."
Apa katanya? Sampai akhir hidupnya? Jangan bercanda! "Apa lagi ini? Apa ini masih bagian dari rencana kalian?"
"Tidak pernah ada rencana apa pun, Ino. Percayalah!" Cengkeraman Sai berpindah ke bahuku. "Kecuali untuk perlombaan melukis itu. Aku memang mengarangnya. Aku melakukan itu supaya bisa bertemu denganmu."
"Dan kau berharap aku akan percaya begitu saja setelah semua yang kaulakukan padaku?"
"Apa dengan ini kau akan percaya?" Sai memperlihatkan layar ponselnya, menunjukkan gambar sebuah nisan bertuliskan nama seseorang yang kukenal. "Apa perlu kubawa kau ke sana sekarang juga, bila ini masih belum cukup membuatmu percaya."
Aku terdiam. Kami berdua terdiam. Aku menatap lama layar ponselnya.
Jadi … selama ini ... Tidak mungkin!
Dan selama ini pula aku sudah membencinya, menghujat, juga menyumpahinya tanpa pernah aku tahu apa yang tengah dialaminya.
Kebencianku padanya lantas luntur bersamaan dengan air yang sudah mengalir di pipiku. Aku sendiri tidak mengerti. Ada kesedihan yang jelas aku rasakan. Namun jauh di dalam lubuk hatiku ada perasaan lega mengetahui Sai tidak pernah menipuku.
Aku menunduk, menyembunyikan air mataku. "Bisakah … kau tinggalkan aku sendiri?" Aku terlalu kalut, dan aku tidak ingin Sai melihatku seperti ini. "Kumohon, Sai."
Namun dengan tegas Sai menolaknya, "Tidak."
Dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Mengelus punggungku penuh kelembutan, selembut kalimat yang dia bisikan di telingaku. "Jangan menangis sendirian, Ino ... Jangan lagi."
Dan aku pun membiarkan tangisanku pecah di dadanya, yang teredam di dalam dekapan hangatnya.
...
Tiga hari telah berlalu, dan aku memberanikan diri menghubungi Sai. Mengatakan kalau aku sudah siap. Di sinilah kami sekarang, menatap sebuah nisan yang bertuliskan nama seseorang. Dia yang dulu pernah menceriakan hari-hariku. Dia yang lalu meninggalkanku tanpa pernah aku tahu alasannya.
Tak lama kemudian Sai menepuk bahuku, berkata kalau dia menungguku di mobilnya. Aku hanya mengangguk, menatap kepergian punggungnya tanpa pernah dia tahu. Saat sudah tidak kutemukan lagi sosoknya, aku berjongkok, mengusap-usap nama yang tercetak di sana, lalu mengucapkan permintaan maafku.
Kebencianku padanya benar-benar lenyap tak bersisa. Meski buatku yang dilakukannya tetaplah salah, tetapi dia sudah melakukan hal yang menurutnya benar. Toh, pada akhirnya perpisahan ini tetap akan kujalani. Hubungan kita tetaplah berakhir. Dan semua sudah terjadi. Kurasa tidak perlu lagi ada hal yang kusesali. Karena itu kuusap air mata. Berharap ini adalah air mata terakhirku untuknya, kemudian kusampaikan ucapan perpisahan. Serta sebuah pengakuan bahwa ada pria lain yang sudah mengisi hatiku.
Setelah itu, aku menemukan Sai duduk menyandar di bagian depan mobil. Kuputuskan mengikutinya. Sekilas dia menatapku, tetapi kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke depan.
Kami sama-sama terdiam.
Setelah hening yang cukup lama, aku melirik Sai. Aku benar-benar benci keheningan ini. Entah bagaimana kesunyian ini membuatku berpikir kalau mungkin ini juga adalah perpisahanku dengan Sai. Karena kupikir, tidak akan ada lagi alasan untuk Sai datang menemuiku.
Aku menghela napas. Mungkin memang seperti inilah akhirnya.
"Apa kau masih ingin di sini?" Akhirnya Sai menatapku. "Tidak apa kalau memang begitu. Tapi aku harus pergi ... aku masih harus bekerja."
Tiba-tiba saja Sai menyodorkan gulungan kertas padaku.
"Apa ini?"
"Bunga," jawabnya.
Alisku mengerut, bunga katanya?
"Kakakku pernah bilang kalau kau sangat menyukai bunga."
Dalam hati aku membenarkan, tetapi yang kupenggang sekarang jauh dari apa yang kutahu adalah bunga.
Namun semua keraguanku terjawab saat aku membuka gulungan kertas itu.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Bagaimana tidak? Sai memang tidak memberikanku seikat bunga, tapi dia memberikanku begitu banyak bunga yang terlukis dengan indahnya. Padang bunga yang berhiaskan bunga tulip putih, mawar kuning dan bunga hyacinth ungu. Sai merangkai semuanya dengan teramat cantik. Bahkan sepertinya ini adalah bunga terindah yang pernah kuterima.
Dia bertanya, "Kau tahu arti bunga itu?"
"Tentu saja. Semua bunga ini melambangkan permintaan maaf."
"Bukan hanya itu. Bunga hyacinth ungu juga bisa mengartikan sebuah awal yang baru." Sai lalu tersenyum, menatapku begitu dalam. Membiusku untuk tenggelam di mata hitamnya. "Perlu kau tahu, aku tidak berniat untuk menyakitimu. Sungguh. Salahku yang tidak mengatakan semuanya karena pada awalnya aku sendiri tidak pernah berencana untuk mengenalmu lebih dekat. Terlibat denganmu lebih jauh. Tapi ternyata setelah kucoba, aku tidak bisa. Karena tanpa kusadari, aku sudah terjerat olehmu.
"Aku telah berjanji padanya untuk merahasiakan apa yang terjadi. Merahasiakan alasan mengapa ia meninggalkanmu. Dan aku telah melanggar janjiku sendiri. Tapi semua kulakukan karena aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kau pergi dan menjauh dariku." Entah sejak kapan Sai mengikis jarak, yang kutahu, dia sudah berdiri begitu dekat denganku. Kedua tangannya lalu menangkup pipiku. "Ino ... Aku menyukaimu."
Aku membeku. Sebenarnya aku tengah berusaha sekuat tenaga menahan kegembiraan, juga haru. Syukurlah bukan hanya aku yang jatuh cinta. Perasaan kami sama.
Sai pun menyandarkan keningnya—menyatukan kening kami.
"Kenapa kau diam saja?" bisiknya lembut.
"Aku ... Aku hanya takut terlambat masuk kerja."
Sai mendengus. "Kau merusak suasana."
"Oh, maaf," balasku setengah tertawa, dan mengalungkan kedua tanganku di pinggangnya. "Baiklah, jadi apa yang ingin kaudengar?"
Kening Sai tidak lagi menyandar padaku. "Kau masih berani bertanya?"
Decakan keras keluar dari mulutnya saat aku justru terkekeh menikmati ekspresi kesalnya. Segera kudekap tubuh Sai, menyandarkan nyaman kepalaku di dadanya, sebelum aku benar-benar merusak semuanya.
"Aku juga menyukaimu," akuku.
Dan aku kembali tertawa merasakan Sai balas memelukku, juga memejamkan mata saat Sai mengecup lembut kepalaku.
Namun sedetik kemudian aku menarik tubuhku. Pelukan kami melonggar. "Tunggu, jadi informan yang kau maksud itu, kakakmu?"
Sai mendecak lagi. "Kau benar-benar perusak suasana!" gerutunya sambil berjalan masuk ke mobil, mengabaikanku yang menatap kesal padanya.
Aku, kan, cuma bertanya!
