Moshi-moshi, minna-san!!

Terintimidasi teman-teman yang gila -dilempar sendal ramai-ramai- , akhirnya saya publish juga fict half yaoi ini.

Kenapa 'half'?

Karena seperti saya sebutkan di summary saya, pada dasarnya di sini Ed itu cewek!! –Hidup femEd!– Meski pada awalnya, saat dia sudah 'berhubungan' dengan Roy, dia itu cowok. Yah, karena satu dan lain hal, dia jadi cewek. Ya, gitu, deh. Baca saja sendiri, ya?

Harap maklum kalau kacau. Saya memang tidak bisa bikin fict beginian. Kalau tidak gara-gara intimidasi beberapa orang, saya pasti takkan pernah mempublish fict ini.

Habis... habis ini kan seperti menyangkal pernyataan saya selama ini!!!!

–Silakan tertawa, Shizuka!! Agatchi!! Dasar penyebar virus fujoshi!!–

Haah... –dengan berat hati dan sambil menghela nafas panjang- pada akhirnya, saya hanya bisa bilang:

Just enjoy this 'trip'.

Please read en review, ya?

Disclaimer:

Walau ku meminta, Fullmetal Alchemist dan semua karakternya akan selalu jadi milikmu, Hiromu Arakawa. –Kapan bisa jadi punyaku, ya?–

Juga buat judulnya, soalnya sedikit banyak terinspirasi Denting-nya Melly Goeslaw ama Right Here Waiting-nya Richard Marx, sih... :P

Summary:

Setahun berlalu dan segalanya tak lagi sama. Kau pergi, meski aku tak tahu kenapa, dan aku tak pernah lelah mencari. Saat akhirnya aku menemukanmu, walau dalam keadaan yang sama sekali berbeda, aku akan tetap berkata... aku mencintaimu. –RoyfemEd. Ada RoyEd-nya juga, sih... –

Denting Rindu

Denting Pertama

Sayang, kau di mana
Aku ingin bersama
'Kan kuputus semua untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama
Seperti dinginku di malam ini

("Denting" -Melly Goeslaw-)

Awan putih berarak perlahan di langit turquoise yang cerah. Matahari bersinar hangat. Angin berdesir pelan, merayap di antara semak-semak berry, membelai dedaunan pohon apel yang tumbuh tegak dengan buah yang merah menggoda di tengah padang rumput, menyibak rerumputan yang berwarna hijau segar, menerbangkan bunga-bunga dandelion dan menelusuri padang rumput, terus berhembus ke utara.

Seorang gadis merebahkan diri di bawah kerindangan pohon apel. Rambut pirang sepinggangnya, terkepang rapi bagai ular berwarna emas yang membelit tubuhnya yang terbalut rok terusan putih tanpa lengan. Angin yang bertiup lembut dan hangat membelai tubuhnya, mengusap wajahnya, dan memberantakkan poninya. Ia membuka matanya, menampakkan bola matanya yang berwarna emas, senada warna rambutnya, di balik kelopak matanya.

Di sampingnya tergeletak keranjang berisi apel hasil 'jarahannya', well, pohon apel itu memang bukan miliknya tapi milik bersama penduduk desa Winch, sebotol air minum dan beberapa buku tentang alchemy yang tampaknya sudah tua. Ia bangkit duduk, membereskan barang-barangnya, hendak beranjak pulang. Ia berdiri setelah semuanya rapi. Angin berdesir lagi. Kali ini dari arah timur. Dia mendongak, menatap langit timur. Wajahnya menyiratkan kesepian yang dalam, kerinduan yang purba.

Dia memalingkan wajahnya dan mulai berjalan, kembali ke rumahnya.

Kesunyian tak pernah begini menyenangkan

Ia sama sekali tak menekan

Ia malah begitu menenangkan

Nyaman

Walau pada akhirnya mengingatkan akan kerinduan

Yang amat ingin kulupakan

"Wah, Ed? Baru pulang?" sapa seorang pria paruh baya yang agak tambun, berperawakan tak terlalu tinggi dan berambut kelabu pada si gadis berambut pirang bermata emas.

Ed, si gadis, menoleh, mendapati sang pria paruh baya, yang tak lain tak bukan adalah James Howard, kepala desa tempatnya tinggal sekarang, menghampirinya. Ed bertempat tinggal di desa Winch, desa kecil nan damai yang terletak di kaki gunung Arsh, gunung yang membatasi Amestris dengan Aerugo, negara tetangganya, di barat.

"Yoo, Pak Kepala Desa. Tumben menyapaku. Ada masalah di balai desa, ya?" ujar gadis itu tepat sasaran.

Sang kepala desa hanya mesem dan cengar-cengir. Warga desanya yang satu itu memang punya intuisi tajam dan selalu terus terang. Kalau tidak mau dibilang cablak…

"Kamu ini memang selalu terus terang, ya," Howard terkekeh,"Susah diajak basa-basi."

Ed tersenyum. Walau matanya tak menunjukkan hal itu. Ada kepedihan yang sama, dengan yang ia tunjukkan saat angin timur bertiup di padang rumput tadi.

Karena kebohongan itu menyakitkan

Bagai kanker yang menggerogoti jiwamu

Takkan lenyap sampai maut menjemputmu

"Basa basi tak jelas kan cuma buang-buang tenaga." ujarnya sambil melambaikan tangannya.

"Ya, ya. Aku setuju."

Howard mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang diucapkan gadis itu.

"Jadi, ada perlu apa?"

Ed berjalan lagi. Howard mencoba menyejajari langkahnya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju desa.

"Sound system di balai desa rusak."

"Kok, bisa?" tanya Ed heran.

Perasaan sound system itu masih baru. Baru dua bulan. Mana mungkin rusak secepat itu.

Meski enggan, Howard terpaksa menjelaskan insiden konyol yang menghancurkan sound system baru desa mereka itu, "Pak Rottberg tak sengaja menumpahkan seteko kopi ke atasnya."

Spontan, Ed tertawa mendengarnya, membayangkan Pak Tua Rottberg yang kikuk itu menumpahkan seteko kopi panas ke atas sound system baru yang dibanggakan penduduk desa itu, mengingat desa-desa tetangga mereka belum ada yang punya, dan dimarahi orang-orang se-balai desa.

"Dia memang ceroboh... " ujar Howard lagi sambil menghela nafas panjang.

Tepat saat itu, sebuah sepeda meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah mereka. Howard sudah mengambil ancang-ancang lari jika sepeda itu tidak berhenti tepat waktu. Ed malah berdiri tak bergeming, dengan raut wajah disetel sekusut mungkin. Untungnya, sepeda itu mengerem tepat waktu dan berhenti tepat di depan mereka.

Pemuda tampan berambut coklat ikal bermata hijau yang menaiki sepeda itu, yang sudah ingin disumpahi Howard dari tadi, langsung tersenyum, tebar pesona, menyapa Ed, "Hai, Ed. Hari ini kamu cantik sekali, deh."

"Biasa, tuh." ujar Ed sambil terus berjalan.

"Sengaja bikin orang tua jantungan, ya, Will?!" omel Howard.

Keponakannya yang satu ini memang badung. Sudah begitu, sekali punya keinginan, dia takkan bisa dihentikan. Seperti saat ini. Will naksir Ed. Tak peduli Ed terus menolaknya, dia maju terus pantang mundur. Makin Ed cuek, makin dia penasaran.

"Hehe... maaf, Paman," ujarnya sambil cengengesan dan pasang tampang polos, "Eh, Ed, malam ini kamu ada waktu tidak? Mau kencan denganku?"

"Tidak ada. Dan aku tidak mau" ujar Ed tegas, menatap pemuda itu lurus dan berusaha mematahkan semangatnya dengan tatapan tajam, sebelum berpaling dan tak mengacuhkan pemuda itu, "Ngomong-ngomong, Pak Kepala Desa, kenapa tidak memanggil teknisinya saja? Kalau tidak salah, Pak Ern kan?"

"Lengan Ern cedera gara-gara jatuh waktu kemarin membersihkan cerobong asap rumahnya" jelas Howard sambil berjalan di samping Ed.

Sadar bahwa Ed tak mengacuhkannya, seperti biasa, Will memutar sepedanya, menuntunnya dan menyejajari langkah Ed. Bertanya lagi dengan nada suara semanis madu plus senyum yang pasti bisa membuat gadis-gadis lain meleleh.

"Kalau begitu, mau pergi ke Festival Musim Semi lusa bersamaku?"

"Tidak," kali ini Ed bahkan tak berpaling, "Tapi Pak Ern baik-baik saja kan?"

"Ya. Alphonse sudah memeriksanya tadi pagi. Katanya beberapa hari lagi juga akan sembuh" jawab Howard, samabil terus menduga-duga apa kali ini gadis itu bakal luluh dengan usaha pedekate keponakannya yang terkenal playboy itu.

"Ooh... "

Ed heran, kenapa tadi pagi Al tidak bilang apa-apa padanya, ya? Biasanya adiknya itu akan memberitahu setiap kejadian di desa yang ia tahu padanya.

"Sekedar makan siang?" tanya Will lagi, kali ini, setengah berharap.

Ed menghentikan langkahnya dan menatap Will lagi. Will dag-dig-dug. Bola mata emas Ed mempesonanya, lagi. Persis seperti saat ia pertama kali melihat Ed empat bulan lalu. Berkali-kali menatapnya, berkali-kali juga ia terpesona. Howard yang menonton jadi ikut dag-dig-dug sendiri.

"Sekali tidak, tetap tidak, Will," ujar Ed dengan dingin, dengan nada yang tak bisa dibantah kali ini, "Ayo, Pak Kepala Desa."

Mendengar ucapan Ed itu, Will membatu di tempat. Howard menepuk pundak sang pejuang cinta yang telah ditolak dengan sangat tragis, bersimpati, sebelum mengejar Ed, sang warga desa yang baru pindah ke desa ini 4 bulan lalu itu.


Ed dan Alphonse Elric baru pindah ke desa ini empat bulan yang lalu Tepatnya, mereka pindah di tengah musim dingin di mana salju, yang terus turun hingga penghujung musim. menyelimuti seluruh desa itu. Keduanya langsung menarik perhatian para penduduk desa yang memang jarang kedatangan orang asing itu. Bukan saja karena aneh ada dua kakak adik muda yang pindah ke desa ini, para pemuda cenderung merantau keluar desa, tapi juga karena Ed sangat cantik dan Al sendiri sangat tampan juga keduanya amat ringan tangan membantu para penduduk desa dengan keahlian mereka. Keduanya tak hanya menguasai ilmu kedokteran, yang membuat Fletcher sang dokter desa menghela nafas lega karena akhirnya ada yang bisa membantunya, tapi juga ilmu mekanik dan sedikit elektronik. Setiap ada barang yang rusak, radio yang mendadak tak bisa menyala, atau ada yang terserang demam mendadak, mereka pasti langsung dipanggil. Pendeknya, setiap ada masalah, mereka akan dengan senag hati membantu menyelesaikannya.

"Selesai, Pak" Ed menyeka keringatnya yang bercucuran dan berdiri dari kursinya.

Ternyata, kerusakan sound system itu lebih parah dari yang diduganya.

"Oh, ya?" tanya Howard sumringah.

"Bagian yang bisa diperbaiki sudah kuperbaiki. Sayangnya, ada bagian yang perlu diganti. Nih," ujarnya seraya menunjuk seonggokan komponen yang sudah ia preteli, "Aku yakin masih punya komponen-komponen ini di gudang di rumah. Kurasa nanti sore aku bisa kembali ke sini membawa semua komponen yang baru. Begitu tidak apa-apa kan?"

Howard menghembuskan nafas lega, "Tentu saja."

Ed memasukkan onggokan komponen itu ke dalam kantong kertas sebelum memasukkannya ke keranjangnya. Howard yakin keranjang itu pasti sangat berat sekarang. Anehnya, kenapa sepertinya Ed tidak merasa berat, ya? Tampaknya dia enteng saja membawanya. Membuat Howard heran saja.

"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu."

Ed beranjak dari tempatnya menuju pintu.

"Silakan" jawab Howard.

Baru saja ia memutar kenop pintu, Howard memanggil namanya.

"Ed?"

Ed menoleh.

"Ya?"

"Terima kasih banyak" ucap Howard tulus.

Ed tertegun sejenak, sebelum akhirnya tersenyum lebar.

"Apaan, sih, Pak? Biasa saja. Jangan sungkan begitu, ah! ," Ed melangkah keluar pintu, "Aku pulang dulu, ya!"

"Hati-hati di jalan, ya" ujar Howard sambil tersenyum dan melambaikan tangan, mengantar kepergian gadis itu, hingga siluetnya menghilang dari pandangannya.


Sebuah mobil berwarna hitam dipacu dengan kecepatan tinggi menuju gunung Arsh dari arah West City. Untungnya saat itu jalanan sedang sepi. Jadi, pengemudinya takkan mendapat sumpah serapah dari para pengguna jalan yang lain.

Mobil itu dikendarai seorang pria berambut hitam, dengan janggut tak terurus dan mata kiri tertutup eyepatch hitam. Dari balik mantel coklatnya, tampak seragam militer biru yang sudah kusut, mungkin karena dia terburu-buru pergi kemarin dan terus memacu mobilnya selama 8 jam tanpa henti. Meski tampaknya sudah kelelahan dan matanya yang bisa melihat hanya satu, kemampuannya mengendarai mobil tak perlu diragukan. Tiap belokan dilaluinya dengan mulus tanpa perlu mengerem dan menurunkan kecepatan. Mata onyx pria itu fokus menatap jalanan di depannya.

"Edward... ," gumamnya, "Tunggu aku."

Aku tak tahu kenapa kau lari

Aku tak tahu kenapa kau pergi

Satu yang kutahu pasti

Aku mencintaimu lebih dari jiwa ini

Karenanya tunggu aku

Atau aku akan mati tanpamu


"Wah... aromanya benar-benar enak!! Bikin laparr!!" seru Ed yang begitu masuk rumah langsung masuk dapur.

Tampaknya dia kelaparan setelah kerja keras memperbaiki sound system balai desa.

"Boleh nyicip kan?" tanya Ed sambil mencoba mencolek stew, yang masih dimasak di atas wajan, dengan tangan kosong.

"Tidak boleh!"

Sebuah sendok masak yang teracung dan bentakan spontan adik laki-lakinya menghentikan Ed. Sang adik yang berambut pirang cepak, namun sayangnya matanya berwarna hazel, tak seperti Ed yang berwarna emas, itu tampak amat sebal. Baru juga ditinggal ke kamar mandi sebentar, stewnya sudah terancam terkontaminasi entah-virus-apa-dia-sendiri-tak-yakin dari tangan kakaknya.

"Cuci tangan dulu sana! ," ujar sang adik lagi, "Kakak kan baru dari luar."

"Ya, ya... " ujar Ed, manyun, sambil beranjak ke keran cuci.

Al mengamati kakaknya sambil kembali menekuni stewnya, menjaganya dari tangan iseng kakaknya. Kadang-kadang Al heran. Ini sebenarnya yang lebih tua siapa, sih? Kenapa dia malah lebih dewasa dari kakaknya?

Dari dulu, Ed memang begitu. Suka gasrak gusruk, langsung maju begitu saja, terkadang tanpa pikir panjang. Urusan nanti diurus belakangan. Dan Al harus selalu jadi penahan. Mengingatkan sang kakak agar tidak kebablasan.

"Matangnya masih lama, ya?"

"Sebentar lagi juga matang" ujar Al seraya melirik jam dinding yang tergantung di setiap ruangan di rumah mereka itu.

Sebenarnya, sih, lebih cocok dibilang gubuk. Soalnya rumah mereka mungil sekali. Tipikal rumah untuk keluarga kecil. Dengan cat berwarna kuning gading dan pagar kayu yang dicat putih. Dan di depan rumah ada pohon oak yang besar. Kadang-kadang, Ed dan Al memanjat pohon itu di malam hari untuk memandangi langit dan ngobrol panjang lebar.

Ed mulai membongkari isi keranjangnya. Pertama-tama, dia mengeluarkan kantong kertas berisi komponen rusak dan menumpahkan isinya ke atas meja. Al melongok apa yang dilakukan kakaknya.

"Apa itu?"

"Komponen rusak dari sound system di balai desa. Perlu diganti. Makanya kubawa pulang. Mau kuperbaiki."

Al hanya mengangguk. Dan memperhatikan apa yang akan kakaknya lakukan.

Ed menepukkan kedua tangannya, lalu meletakkan telapak tangannya ke atas meja, tepat di depan onggokan komponen itu. Tiba-tiba, muncul sinar yang amat menyilaukan mata dari onggokan komponen itu. Detik berikutnya, tampak komponen-komponen itu sudah kembali baru.

Ed tersenyum puas.

"Selesai."

"Coba kakak transmutasi saja sound system itu di tempat… " gumam Al, memberi saran apa yang seharusnya kakaknya lakukan sambil menata stew yang sudah matang ke dalam mangkok.

Ed hanya tersenyum kecut.

"Kau tahu itu tak mungkin kan?" ujar Ed seraya memasukkan komponen yang telah kembali baru itu ke dalam kantong kertas lalu ganti mengeluarkan apel hasil 'jarahan'nya, hendak mencucinya.

Al tak bisa melihat ekspresi kakaknya saat itu. Kalau dia bisa melihatnya, dia pasti bisa melihat sakit dan rindu yang menyatu dalam bola mata emas itu. Rindu yang tak henti menyiksanya, tak bisa dihapusnya, juga tak mungkin disembuhkannya.

Rasa ini menggerogoti hati

Memangsa sanubari

Percuma kucoba melarikan diri

Karena ia tak pernah lelah menghampiri

Kapan kau akan puas menguntitku, hai, rindu?

Tak puaskah kau melihat neraka memburuku?

Air mengucur deras dari keran, mengaliri apel yang merah dan tangan Ed yang putih.

"Minggu depan hari peringatan kematian ibu kan?" tanya Al hati-hati.

Ed menoleh sambil menyeringai.

"Sepertinya kita harus diam-diam ke Liesenburgh, nih."

"Perlu menyamar?" tanya Al, bibirnya membentuk seringaian yang serupa.

"Tak ada yang mengenali kita kan? Buat apa coba?"

Meski bibir Ed membentuk seulas senyum, Al bisa merasakan kepedihan yang samar dalam nada bicara kakaknya. Dia diam.

Bukannya dia tak bisa merasakan kepedihan itu. Semua ini gara-gara dia. Tapi walau Al terus mengutuk dan menyalahkan dirinya sendiri. Ed akan tetap berkata ini bukan kesalahannya.

Ed akan bilang tak ada yang perlu disalahkan. Kalau ada yang bisa disalahkan, itu takdir. Takdir yang telah melukis hidup mereka dengan begitu tragis.

Saat Ed berusia 9 tahun dan Al berusia 8 tahun, mereka kehilangan ibu mereka. Ayah mereka, mereka tak tahu ada di mana. Yang mereka bisa hanya alchemy. Dan mereka, walau dengan kejeniusan yang bisa membuat para alchemist negara veteran tercengang karena bisa mempelajari alchemy yang sulit sekali itu dengan otodidak, dengan kenaifan dan kepolosan seorang anak kecil lantas berjanji untuk menghidupkan kembali ibu mereka dengan alchemy. Meskipun mereka tahu transmutasi manusia itu dilarang.

Mereka belajar keras, berguru kepada Izumi Curtis, yang dengan 'tegas' mengajari mereka tanpa ampun, mencuri-curi waktu menganalisis rumus rekonstruksi transmutasi manusia di tengah pelajaran matematika yang masih berkisar pada perkalian yang sebenarnya tidak mereka perlukan karena mereka sudah bisa melakukannya waktu berumur tiga tahun, mereka masuk sekolah hanya karena dipaksa Kepala Desa mereka, dan akhirnya bisa menyusun rumus transmutasi itu dengan sempurna 3 tahun kemudian.

Setidaknya menurut mereka.

Saat mereka melakukannya, mereka baru sadar kenapa transmutasi itu dilarang. Karena transmutasi manusia meminta lebih dari transmutasi biasa. Equivalent trade berlaku di sini. Dan bagi Ed dan Al, itu artinya tubuh mereka.

Ed kehilangan sebelah lengan dan Al kehilangan tubuhnya. Dengan mengorbankan kaki kanannya, Ed berhasil mentransmutasi jiwa Al ke dalam baju zirah. Jangan tanya apa Ed putus asa waktu itu. Dia bahkan hampir tak punya daya hidup. Kehilangan sebelah tangan dan kaki dan mempunyai adik yang jiwanya harus terkurung dalam baju zirah terlalu berat untuk siapapun, apalagi untuk bocah berumur 11 tahun sepertinya.

Dan ia datang, pangkatnya masih Letnan Kolonel waktu itu, menawarkan kesempatan pada Ed untuk menjadi alchemist negara. Ed yang sadar tak boleh menyerah sekarang, tidak setelah kehilangan mereka itu, bersedia setelah pertimbangan masak-masak. Tak peduli meski harus merendahkan diri menjadi anjing militer. Dia akan mengembalikan Al ke tubuhnya. Itu janjinya. Sumpahnya.

Dengan rekomendasi dari sang Letnan Kolonel, yang setahun kemudian telah menjadi Kolonel, dan memang karena kemampuan alchemy-nya yang sangat mengagumkan, Ed lulus dengan gemilang dan sukses meraih gelar sebagai alchemist negara termuda sekaligus sebuah nama baja. Fullmetal Alchemist.

Sang Kolonel terus membantu mereka mencapai tujuan mereka, walau kadang-kadang, bukan, seringnya ia tampak seperti memanfaatkan mereka. Lima tahun kebersamaan mereka dan tanpa disadari, Ed jatuh cinta padanya.

Sebuah cinta yang terlarang.

Karena mereka sama-sama laki-laki.

Tapi ternyata, dia juga mencintainya. Sayangnya, kebersamaan mereka setelah mereka saling mengetahui perasaan masing-masing itu tak berlangsung lama. Karena mereka terlibat kasus besar. Bukan, ini bukan sekedar kasus besar lagi. Melainkan sebuah konspirasi besar yang melibatkan negara ini. Untungnya, pada akhirnya, yang benarlah yang menang. Dan Al bisa kembali ke tubuhnya semula.

Dengan pengorbanan yang amat besar.

Dan Ed tak mau mengingatnya lagi.

Satu yang pasti, perubahan gendernya termasuk pengorbanan itu.

"Oya," Ed mengambil mangkok dan meletakkan apel-apel yang sudah dicucinya ke dalamnya, "Kudengar Pak Ern cedera. Bagaimana kabarnya?"

Al tersenyum, "Dia tak bisa memanjat ke atap rumahnya lagi seminggu ini."


Al duduk di ayunan yang dipasangnya di dahan pohon oak. Mata hazelnya menatap langit malam yang kelam tanpa bintang. Tak dipedulikannya dingin yang menusuk tulang. Matanya memang menatap langit yang tertutup mendung tebal itu tapi pikirannya melayang pada ucapan Ed waktu makan malam tadi.

"Pergilah ke Liesenburgh, Al. Kembalilah ke sana. Aku tahu betapa kau merindukan Winry. Jangan biarkan ia menunggu lebih lama lagi. Aku tidak apa-apa sendiri di sini, kok. Aku akan ikut bahagia kalau kau bahagia. Pergilah."

Al menghela nafas panjang. Entah berapa banyak lagi Ed harus berkorban untuknya. Dia tahu dulu Ed merasa bersalah karena berkat ide yang dicetuskannyalah Al kehilangan tubuhnya, dan jiwanya terpaksa harus ditransmutasi ke dalam baju zirah. Tapi sekarang berbeda. Saudara laki-lakinya berubah jadi wanita. Dan itu demi mengembalikannya ke tubuh semula.

Dan sekarang Ed menyuruhnya meninggalkannya?

Jangan bercanda.

Tidak.

Al tidak akan pernah meninggalkan Ed. Winry akan memahami keputusannya ini. Karena dia juga menyayangi Ed. Sama seperti Al. Winry juga ingin Ed bahagia. Dan Al akan melakukan apapun untuk membuat Ed bahagia.

Derap lari yang mendekat menyadarkan Al dari simulakrumnya. Sosok itu terus berlari ke arahnya. Mata Al melebar ketika menyadari siapa orang yang berlari ke arahnya itu.

Dia hampir tak mempercayai matanya.

Orang itu datang ke sini! Ke Winch! Kolonel Roy Mustang, sang Flame Alchemist, orang yang dicintai dan ditinggalkan Ed itu datang ke sini!

Al tak habis pikir bagaimana dia bisa menemukan mereka kali ini.

"Kol... "

Kata-kata Al terputus ketika pria itu mencengkeram bahunya.

"Mana Ed, Alphonse?! Di mana dia?! ," tanyanya dengan nafas ngos-ngosan.

Al menatapnya dingin. Keterkejutannya sudah hilang sepenuhnya.

"Anda tak bisa menemuinya. Dia tak ada di sini."

Dan Al memang tidak berbohong.

To be continued...

Hayoo...

Penasaran dengan lanjutannya nggak??

Penasaran, dong!! Kalau nggak nanti saya hiatus!! (ngancem) –dikeroyok massa-

Ehe... becanda. :P

- hatred, bisa gak, kalo ngeflame km log in dulu? biar kita bisa bicara, gak cuma kamu yang ngomong. mana ngomongnya gak jelas lg. tell me, where's my fault in this fict. if i can, i will fix it. q mau menerima flame, kok-

-ai-chan, thx for your review! review lg, yak? ^^-

Read and review, ya?

Luv,

sherry