Saat jam pelajaran olahraga, pemuda berambut hijau itu menatap langit di atasnya sambil berlari. Kosong. Hanya ada warna biru di sana dan terik matahari musim panas.
Sialnya lagi, lucky item-nya hari ini sungguh menyiksa mentalnya. Biasanya, dia mengenakan kacamata berbingkai hitam kesayangannya tapi kini dia harus mengenakan lensa kontak. Yup, lensa kontak adalah lucky itemnya hari ini. Meskipun menyiksa mental, dia tetap akan memakai lensa kontak ini sampai hari berganti untuk menghindari sial.
Si lensa kontak, selain membuatnya menjadi tampil beda, lensa kontak sewarna dengan manik zamrud matanya itu juga memancing gelak tawa tak berhenti pemuda berponi belah tengah, bermata setajam rajawali, sahabat masa kecilnya, yang bisa berlari sambil cekikikan tiap kali berpapasan dengannya.
Midorima mendengus sebal. "Bisakah kau diam, Bakao?!"
.
.
.
Midorima Shintarou, 16 tahun.
Kazunari Takao, 16 tahun.
Bukan siswa SMA biasa.
.
.
.
Mission 1 : Introduction
.
.
.
Disclaimer : Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Warning : AU, OOC, DESKRIPSI BELEPOTAN, CRIMINAL SCENE, NOT YAOI!
Enjoy!
.
.
.
Sesudah mengganti baju dan mandi selepas jam olahraga, pemuda berambut hijau itu kembali ke kelasnya. Dia duduk di bangkunya, menyumpal telinganya dengan sepasang pin earphone putih untuk menghalau tawa cempreng dari sahabatnya yang kini duduk di hadapannya.
"Mwehehehe," pemuda berponi belah tengah itu, sebut saja, Takao, berusaha menahan tawanya. Dia melihat ke arah pemuda berambut hijau itu, Shintarou, dan lagi, Takao tertawa sambil memukul-mukul meja.
Shintarou menyipitkan matanya, maksud melempar tatapan tajam untuk mengertak Takao secara non-verbal, tapi si poni belah tengah itu semakin kencang tertawa.
Teman-teman sekelasnya, menatap ke arah mereka. Bagaimana bisa si Green Ice Prince tahan dengan orang berisik macam Takao?
Shintarou melempar tatapan tajam pada semua makhluk yang menatapnya. Siswa lain, kembali ke kegiatannya masing-masing dan Takao masih saja memeluk perutnya dan tertawa.
"Mau sampai kapan ketawanya, Takao?" Shintarou bertanya dingin.
"Mwehehe.. Haha.." Takao menepuk pipinya untuk berhenti tertawa. "Oke, oke, maafkan aku, Shin-chan. Habis kau jadi aneh, maksudku, lucu, tanpa kacamata. Hehehe.."
Shintarou mendengus dan mengalihkan pandangannya ke jendela kelasnya.
Ahh, langitnya masih kosong. Hanya ada warna biru...
Biru? Tunggu!
"Takao," Midorima melepas sebelah pin earphone-nya. "Sudah berapa banyak ponsel yang kau kumpulkan?"
Takao melirik Shintarou tajam. Mata amber itu menyorotkan ekspresi serius. Dia menyeringai dan menopang dagunya.
"88. 12 lagi, 'kan?" jawab Takao serius.
Shintarou menarik sedikit bibirnya ke atas."Lumayan, bukan berarti aku bangga padamu, nano dayo. Kukira butuh sampai satu bulan."
Takao menyeringai. "Itu mudah. Dengan mata ini aku bisa melakukan apapun, termasuk mencopet lebih dari 10 ponsel dalam waktu 3 jam."
Dengan bangga, Takao menyisir rambutnya ke belakang.
Shintarou menghela nafas.
"Bagaimana dengan bomnya?" Takao bertanya dengan suara yang amat pelan setelah Shintarou mencopot pin earphone-nya.
"Hampir rampung, tinggal membentuk saja dan memasukannya ke dalam boneka buatan anak-anak panti bersama dengan ponsel-ponsel itu, 'no dayo." Shintarou menjawab sama pelannya. Takao lagi-lagi tersenyum.
"Jadi, operasinya dipercepat?"
Shintarou mengangguk.
"Dananya masih cukup, 'kan?" Takao bertanya lagi.
Lagi, Shintarou hanya mengangguk.
"Araki-sensei, tidak tahu soal operasi ini, 'kan?"
Shintarou menggeleng. "Aku menyimpan semua bahan kimianya di gudang."
"Jadi, dimulai hari ini?" Takao mengeluarkan ponselnya. "38 jam sebelum kembang api dimulai."
Takao mengangkat tinjunya sambil menyeringai. Midorima menempelkan tinjunya.
Rencana mereka dimulai dari sekarang.
.
.
.
[33 jam sebelum ledakan]
.
.
.
"Midorima! Kazunari! Mau sampai kapan kalian bolos latihan?! Kita masih harus mempersiapkan diri untuk Winter Cup, bodoh!" Yuuya Mijayi, kapten klub basket mereka yang baru, mencegat Shintarou dan Takao di gerbang sekolah.
Shintarou dan Takao saling bertatapan.
"Kami sedang melakukan proyek ilmiah, senpai. Jadi, sampai beberapa minggu ke depan kami tidak bisa latihan," Takao beralibi dengan sempurna.
"Bukannya aku peduli, nano dayo. Tapi kita janji kita akan tetap latihan." Shintarou menimpali.
Yuuya menghela nafas. "Pokoknya jika kalian tiba-tiba didamprat, jangan salahkan aku. Mengerti?"
Mereka berdua mengangguk.
"Pergilah, selesaikan proyek kalian." Yuuya meninggalkan mereka dengan sederet kalimat sinis.
Shintarou dan Takao meneruskan langkah mereka.
"Damprat saja kalau bisa, hehehe, aku tak yakin, kalau aku akan tetap ada di sini sampai musim panas. Iya, 'kan, Shin-chan?"
Takao tertawa miris sambil memandang langit sore musim panas.
Midorima tidak menjawab.
.
.
.
[29 jam sebelum ledakan]
.
.
.
Shintarou berada di gudang di belakang sebuah panti asuhan. Panti asuhan ini adalah rumahnya selama 6 tahun terakhir ini. Yah, dari tempat ini juga dia mengenal Takao.
Kini Shintarou sedang mengutak-atik setiap ponsel yang dicuri Takao.
Ponselnya beragam. Dari ponsel layar sentuh yang sangat canggih sampai ponsel flip sederhana. Rata-rata dari ponsel curian tersebut memiliki kunci berupa password atau pola bentuk.
Shintarou melepas kartu SIM ponsel tersebut dan memasangnya dengan sebuah kartu SIM baru. Dia meng-hard reset ponsel-ponsel tersebut dan mengaktifkan nomor baru yang ada di ponsel itu.
Shintarou mengambil ponselnya. Setelah memastikan tidak ada kontak di ponselnya, dia mulai memasukkan satu demi satu nomor kontak baru ponsel-ponsel itu.
"Shin-chan, tadaima!" suara si mata rajawali, Takao, terdengar. Shintarou tidak memedulikan Takao dan tetap fokus pada pekerjaannya.
"Ini 12 ponsel sisanya dan 100 boneka buatan anak-anak panti." Takao meletakkan plastik besar berisi boneka beruang manis berwarna pink di dekat pintu dan menghampiri Shintarou lalu menyerahkan tasnya.
"Bomnya bagaimana? Sudah selesai?"
Shintarou mengangguk.
"Kazuu-nii! Shintarou-nii!"
Sebagai anak panti tertua, Shintarou juga termasuk, wajar jika Takao dicari oleh anak-anak lainnya.
Takao menghela nafas.
"Aku akan urus anak-anak," Takao berdiri. "Kupastikan Araki-sensei nggak curiga."
"Pergilah, 'no dayo." jawab Shintarou tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel-ponsel curian itu.
.
.
.
[18 jam sebelum ledakan]
.
.
.
Sudah 11 jam mereka bekerja, yah, sebenarnya hanya 9 jam karena mereka juga tetap harus memenuhi tuntutan untuk tubuh mereka.
Shintarou menaikkan kacamatanya yang melorot sedikit sambil mengutak-atik ponsel yang diperoleh Takao.
Sebelum menempelkan plastik berisi bubuk potasium perklorat, Shintarou memastikan bahwa ponsel-ponsel itu bisa bergetar dengan kencang.
Lalu, Shintarou menempelkan bom rakitannya pada ponsel curian tersebut dengan selotip. Di belakangnya, Takao sedang menjahit punggung boneka yang baru saja dimasuki ponsel yang ditempeli dengan bom.
"Jahit yang betul, nano dayo. Bukannya aku peduli, tapi pastikan jahitannya rapi supaya tidak mencurigakan, 'no dayo!"
"Iya, iya." Takao menyahuti cuek.
"Bukannya aku peduli, tapi, apa kau sudah makan?" Shintarou bertanya dengan tsundere level 10.
Takao melengkungkan senyum lebar. "Mwa, Shin-chan mengkhawatirkanku, 'ya?" Takao menggoda Shintarou sambil menusuk pipi Shintarou dengan jarinya.
"Be-berisik, nano dayo!" Midorima menaikkan kacamatanya canggung. "Kembali bekerja!"
Takao kembali dengan alat jahitnya sambil tertawa-tawa. "Jangan malu-malu, Shin-chan. Kemarin siang, 'kan, kita sudah makan banyak. Jadi, jangan khawatir."
Shintarou mendengus sambil merekatkan bom dengan ponsel.
"Ini yang terakhir, nano dayo." Shintarou menyerahkan bom ponsel tersebut pada Takao.
Takao memberi isyarat pada Shintarou untuk meletakkan bom ponsel tersebut di sebelahnya.
"Bukannya aku peduli, nano dayo. Aku akan membantumu. Berikan aku bonekanya, 'no dayo."
Takao nyengir sambil menyerahkan satu boneka.
"Terima kasih, Shin-chan," ucap Takao sambil menyenggol Shintarou.
"Bukan berarti aku peduli, 'no dayo, tapi anggap saja ini ucapan terima kasih karena sudah membantuku meracik bomnya."
Takao, untuk kesekian kalinya, hanya bisa tertawa atas ke-tsundere-an Shintarou.
.
.
.
[15 jam sebelum ledakan]
.
.
.
Selagi Takao mengangkut plastik berisi boneka-boneka yang sudah disusupi bom rakitan hasil pekerjaan mereka dari gudang ke halaman depan, dimana gerobak sepeda yang biasa dipakai Takao untuk mengantar jemput Shintarou dari sekolah menunggu, Shintarou sedang menonton rekaman Oha-Asa tadi pagi di panti bersama anak-anak.
Berdoa saja, supaya tidak ada anak-anak yang tertular maniak keberuntungan seperti Shintarou.
"Shin-chan, aku ganti baju dulu, 'ya!" seru Takao sambil berlari menuju kamarnya.
Takao sedang bersiul-siul sambil mengganti baju dengan T-shirt, celana jeans, dan jaket tipis, Shintarou masuk ke kamar pemuda berponi belah tengah itu.
"Kau punya earphone berwarna merah? Hari ini lucky itemku, earphone merah." Shintarou bertanya.
Takao menunjuk tasnya. "Ada di situ, tuh." ucapnya sambil meretsleting jaketnya.
Shintarou merogoh tas sekolah Takao dan mengambil earphonenya.
"Ayo berangkat, nano dayo." Shintarou berjalan keluar sambil memakai earphone-nya dan Takao segera mengekor di belakangnya setelah mengambil topi dan cat semprot di pintu.
Di ujung tangga dekat dapur, mereka bertemu dengan sang pengurus panti yang sudah mereka anggap sebagai ibu mereka, siapa lagi kalau bukan Masako Araki.
"Kalian mau berangkat?" tanya wanita berambut hitam panjang yang biasa dipanggil Araki-sensei.
"Iya, sensei," Takao menjawab.
Araki-sensei memasukkan tangannya ke dalam saku apron. "Maaf jadi merepotkan kalian, 'ya? Seharusnya aku yang mengantar dengan mobil tapi, yah, kalian tahu sendiri, mobil kita sudah dijual untuk membiayai pembangunan kamar baru."
"Tidak apa-apa, sensei. Ini tidak merepotkan. Seandainya sensei tidak menemukan kami setelah kejadian itu... Kita nggak tahu bakal jadi apa," Takao menggaruk pipinya canggung sementara Shintarou mengeraskan rahangnya.
Araki-sensei menepuk bahu kedua pemuda itu.
"Jangan ungkit soal itu, kalau kalian tidak suka," Araki-sensei berucap lembut, sesuatu yang bukan seperti dirinya.
Takao melirik Shintarou.
"Kita sudah tidak apa-apa, 'kan, Shin-chan?"
Shintarou tidak menyahut.
Takao menyikut dada Shintarou dan Shintarou berjengit terkejut.
"I-iya, nano dayo," sambar Midorima kikuk sambil menaikkan kacamatanya.
"Kita pergi dulu, sensei," pamit Takao sambil membungkuk. "Ayo, Shin-chan."
Takao menarik tangan Shintarou setelah Shintarou berpamitan dengan Araki-sensei lalu pergi ke halaman depan.
"Shin-chan," Takao berjalan mendahului Shintarou. "Kau masih trauma sama kejadian itu?"
["Lari! Sialan, dimana dia?!"]
NGINNGGG...
"Argh," Shintarou jatuh berlutut.
["Cepat naik! Ayo!"]
NGINGG...
"A-arrghh! Arrrghhhhh!" Shintarou menjerit tak karuan sambil memegangi kepalanya. "Argghhh!"
"Shin-chan?" Takao mengguncang pemuda dengan tinggi 2 meter kurang itu. "Shin-chan!"
Shintarou menatap Takao histeris. Pupil di tengah manik zamrudnya menyorotkan ketakutan yang amat luar biasa. Kulitnya memucat dan Shintarou mulai menjambaki rambutnya frustasi. Nafas Shintarou pendek dan berat.
Tak ada pilihan lain.
Takao menarik kacamata Shintarou dan menamparnya.
"Shin-chan! Shin-chan, bisa dengar aku? Shin-chan!"
Nafas Shintarou kembali normal dan dia melepas jenggutan rambutnya.
"Bisa dengar aku, Shin-chan?" Takao kembali bertanya hal yang sama.
Shintarou menaikkan kacamatanya tegas. "Aku baik-baik saja, nano dayo."
Takao tersenyum. "Aku saja yang mengayuh," putus Takao. "Duduk saja di belakang seperti biasa. Cuma sampai taman, 'kan?"
Shintarou mengangguk dan duduk di dalam gerobak. Takao memakai topinya dan mulai mengayuh gerobak tersebut.
.
.
.
"Kise, berhenti dulu sebentar."
Seorang detektif dari kepolisian pusat Tokyo, memerintah sang bawahan untuk menghentikan mobil dinasnya.
"Aominecchi mau ngapain emang di taman?"
Sang bawahan, seorang detektif yang baru masuk divisi yang dipimpin oleh sang atasan yang dipanggil Aominecchi, bertanya.
"Pipislah, bego. Nungguin balik ke markas itu lama. Kau mau aku kencing di mobil apa?" protes makhluk yang dipanggil Aominecchi itu. "Oh, jangan panggil aku Aominecchi! Aku ini atasanmu tau! Aku Inspektur Aomine Daiki! Panggil aku Aomine-kanshikan! Kau paham, Kise Ryouta?!"
Kise meletakkan dagu sempurna di atas setir dan mengerucutkan bibirnya. "Aominecchi-kanshikan hidoi, ssu."
Aomine menatap Kise tajam. "Iya, iya, aku paham, ssu!" tangkas Kise cemberut.
Setelah Aomine turun dari mobil, Kise menyandarkan punggungnya pada jok mobil.
"Seandainya aku berhenti jadi model lebih awal, mungkin aku yang akan memimpin divisi 3 bersama Aominecchi yang memimpin divisi 2. Arghh, aku jadi malu sama umur, ssu!" Kise bermonolog nista.
Mari beralih dari si polisi tampan menawan, Kise Ryouta, ke polisi tampan tapi tidak menawan karena kulit gelap yang katanya eksotis, Aomine Daiki.
Polisi berumur 32 tahun berkulit gelap, berambut dan bermata biru gelap itu kini sedang mencari spot bagus untuk membuang air seninya. Salahkan toilet umum yang penuh dan disesaki orang-orang yang mengantri itu.
Setelah menemukan tempat yang cocok untuk membuat hasil filtrasi dan absorbsi ginjalnya, dia mengendurkan ikat pinggangnya, menurunkan retsleting dan HAL SELANJUTNYA TAK AKAN DIBAHAS MENGINGAT RATING!
Oke, stop.
Sambil menunggu seluruh air seninya terbuang, Aomine melihat kedatangan seorang pemuda tinggi berambut hijau dan bermasker gas yang membawa cat semprot.
Pemuda itu melirik Aomine sekilas, membuat Aomine jadi salah tingkah, lalu pemuda itu mengabaikan Aomine yang kencing sembarangan itu.
Pemuda itu mengocok cat semprotnya dan menekan spraynya, menuliskan sesuatu di tembok semen itu.
"Hei, hei," Aomine berkata sambil mengembalikan 'itu' ke tempatnya semula lalu menaikkan retsletingnya dan mengencangkan ikat pinggangnya.
Aomine menghampiri pemuda itu. "Mencoret-mencoret fasilitas umum bisa membuatmu terkena denda dan hukuman, lho," tegur Aomine.
"Kencing sembarangan juga bisa membuat Anda terkena hal yang sama, 'no dayo." balas pemuda itu cuek.
Skak mat.
Aomine mendengus.
"Baiklah, aku salah dan kau juga salah!" tangkas Aomine sambil melihat ke arah semprotan pemuda itu. "Ini, maksudnya apa?"
Pemuda itu tak menjawab. Ketika Aomine baru membuka mulut untuk bertanya, pemuda itu menutup cat semprotnya dan meninggalkan Aomine.
"DASAR BOCAH! SETIDAKNYA JAWAB DULU PERTANYAANKU SEBELUM PERGI, BOCAHH!" teriak Aomine kesal.
Aomine meninggalkan tempat itu dan kembali ke mobilnya.
"Ada apa barusan teriak, Aominecchi-kanshikan?" tanya Kise sambil memutar kunci mobil.
"Ada bocah sialan yang mencoreti tembok dan mengabaikanku," jawab Aomine sambil mendengus. "Anak zaman sekarang memang menyebalkan."
Kise tertawa lepas dan Aomine mendengus kembali.
Mobil itu mulai menyusuri jalanan Tokyo kembali.
.
.
.
Takao sedang berada di sebuah toko boneka di sebuah mall besar di pusat kota Tokyo. Dia juga sedang membantu sang pegawai toko boneka untuk mengatur boneka-boneka 'cantik' itu di pajangan.
Menyadari diperhatikan sedari tadi, Takao berdiri dan mengangkat sebelah tangannya ke pemuda berambut biru muda yang sedang berdiri tak jauh darinya.
Menyadari diperhatikan oleh sang distributor boneka, pemuda itu hanya bisa membungkukkan badannya. "Ah, terima kasih sudah membantu," sang pemilik toko boneka, lagi-lagi, membungkuk sopan.
"Haha, tidak masalah, kok, Kuroko-san," Takao mengibas-ngibaskan tangannya.
Kuroko mengambil satu boneka.
"Bonekanya jadi sedikit lebih berat, 'ya?" Kuroko menimang boneka tersebut. "Jahitan di punggungnya juga agak berantakan,"
"Haha, maaf karena anak-anak yang terampil menjahit sedang sakit. Jadi, jahitannya berantakan begini.."
Kuroko tersenyum. "Tak apa kok,"
Oh ya, ini struk pengirimannya. Maaf."
Takao mengeluarkan struk yang dibawahnya ada tanda tangan Araki-sensei. Pemuda yang dipanggil Kuroko itu mengernyitkan alisnya bingung.
"Untuk apa minta maaf, Kazunari-san?" tanya Kuroko.
"Bu-bukan apa-apa, kok, hehehe," Takao merapikan plastik yang dibawanya, "Terima kasih, Kuroko-san. Saya pergi dulu."
Takao membungkuk untuk pamit dan Kuroko membalas sama sopannya.
Takao keluar dari toko boneka dan berlari menuju toilet.
Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Shintarou.
"Shin-chan, misi pertama sukses!" lapornya.
'Baiklah, bukannya aku bangga padamu tapi, kerja bagus!' Midorima segera mengakhiri panggilan tersebut.
Takao keluar, mengambil plastik lainnya yang berisi selusin boneka dengan ledakan paling kuat.
.
.
.
Shintarou masuk ke dalam toilet di dekat ruang kontrol dan mengeluarkan laptop kesayangannya. Apa yang dilakukannya di tempat seperti ini?
Ah, tepat sekali.
Shintarou sedang mencoba masuk ke sistem keamanan mall dengan laptopnya.
Dia membuka command prompt, mengetikkan sederetan huruf dan simbol, dan tepat setelah dia menekan tombol enter, muncul sederet huruf dan simbol yang bergerak dengan cepat.
[Data founded.. Connecting to system...
Done.]
Layar laptop Shintarou dipenuhi 9 kotak berisi video rekaman yang berbeda. Dia mengklik tanda panah yang berada di pojok kanan bawah display dan interface berganti lagi.
Shintarou menaikkan kacamatanya dan membuka command prompt kembali. Dia mengetikkan sederetan huruf dan simbol lagi dan menunggu permintaannya selesai.
[Done]
Shintarou memastikan bahwa video yang sama, yang terjadi 10 menit lalu, akan terputar selama 10 menit ke depan.
Shintarou segera mengambil ponselnya dan menelepon Takao.
Panggilan segera diangkat oleh Takao.
"Takao, 10 menit!" perintah Shintarou.
'Aye, aye, Captain!'
Panggilan terputus.
Di sisi lain, Takao mulai berlari ke lantai 4 dengan boneka berisi C-4 di dalam plastik yang ada digenggamannya.
Takao meletakkan boneka masing-masing satu di setiap sudut tembok dan empat pada setiap pilar penyangga utama.
Dia turun ke lantai 3 dan melakukan hal yang sama.
Dia meletak boneka terakhir, di belakang pot tanaman palem.
"Sayang boneka sepertimu malah jadi bom," gumam Takao.
Takao segera berlari ke toilet terdekat.
10 menitnya sudah habis.
Ponselnya berdering kembali.
'Kau sudah melakukannya, 'no dayo?' Shintarou bertanya.
"Yap. Sesuai dengar perintahmu, Shin-chan!"
'Baiklah, berarti kita hanya perlu menunggu, 12 jam sebelum 'kembang api', 'no dayo,"
Takao menyeringai.
..
.
.
[15 minutes again]
.
.
.
Jam menunjukkan pukul 11.45 meniti satu per satu anak tangga gedung sekolah mereka sambil berlari. Di tangannya ada satu teropong dan sup kacang merah kalengan dingin juga kopi blender dingin.
"Maaf, aku datang terlambat, Shin-chan," ucap Takao dengan wajah tanpa dosanya. Dia melempar minuman kaleng tersebut kepada Shintarou dan mulai meneropong ke sekitar mall.
Takao melirik jam tangannya. "Tinggal 12 menit lagi."
Shintarou membuka penutup kaleng minuman tersebut dan menyesapnya pelan.
"Shin-chan, kau yakin ini akan menarik perhatian orang itu?" tanya Takao sambil menyedot minumannya.
"... Tentu saja, nano dayo!" Shintarou diam sebentar lalu mengangguk.
"Operasi ini aman, 'kan?" tanya Takao lagi.
"Aku harap begitu, 'no dayo. Tadi siang, aku bertemu polisi dengan tampang bodoh..."
.
.
.
"Hatchii!"
Aomine yang sedang minum di sebuah yatai dekat kantornya, bersin.
"Sepertinya ada yang membicarakanku."
Aomine lanjut minum.
.
.
.
"... Kurasa polisi itu tidak akan paham dengan kode yang kubuat, nano dayo." sambung Shintarou.
Takao menyedot habis kopinya.
"8 menit lagi,"
Shintarou menikmati langit musim panas dengan teleskop yang Shintarou bawa.
Di atas sana, dengan latar gelap langit malam yang cerah, bintang-bintang bertaburan, bahkan membentuk beberapa buah rasa bintang kecil.
Ah, kenapa dia baru tahu kalau ada yang seindah ini di dunia?
"Shin-chan, satu menit lagi!" Takao yang sedari tadi jadi penghitung mundur, berseru kegirangan.
Shintarou mengambil ponselnya dan mengatur sebuah panggilan dengan penerima lebih dari satu orang.
Dia menambahkan 100 nama kontak dan tinggal menunggu perintah.
"3... 2.. 1! Sekarang!"
Shintarou menekan tombol hijau bergambar gagang telepon. Takao mengarahkan teropongnya ke arah bangunan mall.
"Hyaa, asapnya keluar!" pekik Takao.
Satu detik kemudian...
BOOOMMM!
Satu demi satu ledakan terdengar. Langit malam mulai dihiasi api dan asap. Sirene mobil pemadam mulai terdengar. Disusul dengan belasan mobil pers yang berdatangan ke tempat kejadian.
BOOMMMM!
"Suteki..." gumam Takao. Iris ambernya berbinar di dalam teropong.
Shintarou menyaksikan ledakan itu sama berbinarnya.
BLARRR!
Lantai 4 mall tersebut berguncang. Kaca-kaca berjatuhan. Debu bertebangan menghiasi langit.
Takao yang menyaksikan hal ini tentu saja senang. Rencana mereka berhasil.
BOOOM! BLLAARRR!
"Satu menit sebelum bangunannya runtuh," ucap Shintarou sambil memandangi jam tangannya.
Di luar perkiraan Shintarou, gedung itu bahkan sudah rubuh setelah ledakan ke 15.
"Misi pertama sukses, Shin-chan."
Takao tersenyum.
Mereka berdua mengadu tinju mereka sebelum pulang.
.
.
.
To Be Continued.
.
.
.
Author's Note :
Nyaha, halooo!
Ini adalah fic kedua saya di fandom KnB! Masih membawakan genre crime.. Kali ini aku menjadikan si shooter nomor satu dan pasangannya si pemilik Hawk Eyes!
Oke, pertama aku minta maaf karena ada beberapa kata-kata serapan yang tidak kuItalic karena aplikasinya rusak dan aku publish di handphone :3
Ah, nggak bisa banyak bacot..
... REVIEW, PLEASE?
.
.
.
Shintaro Arisa, out.
