PAINTER
HUNHAN
ONESHOOT
Warning: typo(s), ooc, boys love, post without plot
"Kau tahu tentang kisah Bulan Berdarah?"
.
.
.
Ia menghembuskan nafasnya pelan.
Perasaan aneh merebut hatinya, merampasnya dan itu sedikit mengganggu pekerjaannya sebagai pelukis. Karna baginya, setiap lukisannya harus terkena cipratan perasaan khusus di dalamnya, tentu perasaan aneh campur aduk itu sedikit mengganggu fokusnya untuk menumpahkan perasaannya ke dalam lukisannya. Tentu saja, membuat lukisan serta menumpahkan perasaan aneh itu ke dalam lukisan buatannya, hasilnya pasti akan jelek sekali.
Yah, sejelek apapun lukisannya, ia mampu menjualnya pada manusia awam seni dengan harga mahal. Lukisan jeleknya tidak begitu berefek dengan penghasilan besarnya, tentunya.
Namun, pasti ada saja perasaan menyanggal di hatinya kala ia tidak bisa menumpahkan perasaannya pada lukisannya dengan benar. Ia kurang suka perasaan yang tidak plong itu.
Dan walaupun sebenarnya, ia tidak harus menuangkan perasaannya dengan sempurna karena ia lebih sering melukis demi memenuhi janji dibanding memenuhi kepuasan batin.
Karena pada akhirnya, apapun yang ia lukis tetap saja berakhir sama.
Tanpa perasaan maupun menggunakan perasaan.
Sehun bukan sosok orang yang dapat mengontrol perasaannya sendiri–apalagi kala perasaan aneh bin absurd itu memenuhi relung hatinya. Itulah mengapa ia merasa seakan perasaannya digerakan oleh sosok lain–bukan dirinya.
Mungkin memang benar, semua perasaan hanya sementara. Mungkin, hatinya bahkan segala perasaannya memang miliknya, namun ia belum bisa mengendalikannya dengan sempurna. Mengendalikan setiap perubahan perasaannya. Dari senang ke sedih, begitu pula sebaliknya.
Ia hanya memiliki satu orang yang dapat membantunya mengontrol semuanya.
Luhan.
Pemuda berparas manis yang memiliki kadar kecantikan lebih dari pada yang dimiliki perempuan pada umumnya.
Pemuda itu miliknya.
Miliknya.
Bolehkah ia beranggapan bahwa Luhan adalah miliknya walaupun keduanya hanya terbelit hubungan pacaran? Masalahnya, Luhan tidak terlalu suka di kekang dengan alasan itu. Ia tidak suka memiliki seorang pemilik, rasanya seperti anjing peliharaan. Yah, walaupun maksud Sehun bukan begitu.
Tapi, ada benarnya juga. Ketika rasa kepemilikan menyusup ke hatinya, Sehun akan mulai mengatur kekasihnya. Luhan tidak masalah selama ia tidak terkekang. Masalahnya, Sehun adalah sosok orang yang pencemburu tingkat tinggi, itulah mengapa Luhan sedikit kurang suka dengan kata aku milikmu, kau milikku. Romantis, sih. Tapi ia merasa seperti peliharaan yang dituntun kemana saja oleh majikannya.
Walaupun Luhan kian lama kian dapat mengerti Sehun dan Sehun juga mulai mengerti Luhan, hubungan mereka yang awalnya sering ribut kini berjalan lebih harmonis. Bersukur karena Luhan selalu menceramahi kekasihnya masalah hak dan kewajiban juga kebebasan untuk Sehun kala pemuda itu memarahinya karena alasan cemburu –walaupun Sehun sering menyangkal masalah hak, kewajiban, dan kebebasan dengan menyuruh Luhan membayangkan hal yang ia takuti dan masalah menghormati perasaannya sebagai seorang kekasih. Sikap posesif Sehun yang membuat Luhan tidak bisa berjalan dengan teman-temannya karena ketakutan Sehun jika saja Luhan lebih memilih temannya dari pada dirinya. Ayolah, banyak kisah tentang tikung menikung yang menyeramkan itu. Namun, ceramahan Luhan selama ini cukup membantu Sehun untuk bernafas normal kala pemuda itu keluar dengan teman-temannya. Luhan juga menghormati perasaan Sehun dan ia –kemauannya sendiri untuk–berteman dengan orang yang memang Sehun sudah kenal. Jadi kekasihnya itu tidak perlu takut untuk melepasnya jalan-jalan.
Yah, walaupun Luhan kurang setuju dengan kalimat aku milikmu, kau milikku, Sehun akan terus menganggap Luhan adalah miliknya dan hanya miliknya.
Hanya miliknya.
Dan ia benar-benar tidak sudi memberikan Luhan ke siapa saja.
Walaupun ia harus menanggung akibatnya.
Sehun mengangkat kepalanya kala ia mendengar bel rumahnya ditekan. Ia bisa mendengar langkah para pelayan yang mulai membentuk barisan dan membukakan pintu untuk tamunya.
Siapa?
"Sehun, kekasihmu" ucap suara berat yang tiba-tiba saja ada di sisi kamarnya, "Wah, dia cantik juga untuk ukuran laki-laki"
"Tutup mulutmu, Jongin. Dia milikku"
"Bagaimana jika nanti dia terpesona denganku dan kemudian kami saling suka?"
"Aku tidak tahu iblis juga punya perasaan bodoh begitu"
"Yang bodoh bukan perasaan, Sehun. Hati yang dirajai oleh cinta yang membuat perasaan terlihat bodoh. Karena pada dasarnya, hatimu yang membentuk segala perasaan"
Sehun mengibaskan tangannya, "Iblis macam kau tahu apa tentang perasaan manusia"
"Tapi memang begitu kan, coba kau cerna baik-baik" ucap Jongin seraya mengekori Sehun yang turun dan segera mendekati kekasihnya yang tengah duduk di salah satu sofa besar miliknya.
Sehun mengabaikan ucapan iblis itu, ia hanya menyuruh Jongin untuk tidak macam-macam dengan tatapan matanya.
Iblis? Yah, iblis. Iblis simpanan Sehun. Seorang iblis yang membantu Sehun mencapai kejayaan dan kekayaannya seperti detik ini. Rumah bak istana, beberapa unit mobil mewah di garasinya, namanya di angkat publik karena lukisannya termasuk lukisan termahal kelima di dunia yang laris di pasaran.
Jongin, iblis itu membantu Sehun karena Sehun memohon permintaannya kepada kaum Jongin, kepada kaum iblis kala rembulan dikerumuni gulungan awan merah semerah darah.
Sehun mendapatkan apa yang ia mau.
Dan Jongin juga mendapatkan apa yang ia mau. Makanan. Tumbal.
Bagi Jongin tidak ada yang lebih lezat dari pada daging dan darah seorang pendosa dan Sehun membantunya untuk menerima makanan lezat dengan gampang.
Sehun mulai merangkul kekasihnya, sementara Luhan menyandarkan kepalanya di bahu Sehun dengan manja.
Jongin dapat melihat bagaimana perasaan keduanya. Luhan dan Sehun memang saling menyayangi, mereka saling mencintai.
Kisah manis sepasang kekasih. Bagaimana jika mereka dipisahkan?
Apakah hal itu dapat menyempurnakan kisah manis mereka?
"Jongin" tiba-tiba ia mendengar suara Sehun, fantasinya buyar seketika, "Pergilah menjumpai makananmu"
"Baik"
"Hunnie, aku baru lihat anak itu hari ini. Siapa dia?" tanya Luhan, suara lembut itu mengalun melusup ke setiap gendang telinga yang masih berfungsi.
"Temanku"
"Ooohh .. begitu .." Luhan bergelayut manja di sisi Sehun. Sehun tidak mempermasalahkan hal itu, justru ia senang. Melihat tingkah laku kekasihnya yang begitu manis.
"Ayo kita ke kamarmu" ucap Luhan seraya menarik ujung kemeja Sehun.
"Ayo, naiklah. Aku akan menyusulmu"
Luhan menggelengkan kepalanya kemudian menjulurkan kedua tangannya, "Gendong"
Sehun menghela nafasnya pelan, kemudian mengangkat tubuh kekasihnya yang ringan itu. Menggendong Luhan ala koala, seperti yang Luhan minta, "Gendong depan".
Yah, pemuda itu menolak untuk digendong dengan cara yang lebih romantis, seperti bridal style.
"Harimu pasti melelahkan sekali"
"Saangaat melelahkan" Luhan melingkarkan tangannya di leher Sehun dengan begitu erat, rambut lembut berwarna coklat itu menggelitik leher Sehun, "Hunnie, kau sudah makan malam?"
"Tentu saja belum, mau makan bersama?"
Luhan menganggukan kepalanya, kembali menggelitik leher Sehun, "Tapi nanti saja"
"Kalau mau sekarang biar aku suruh para pelayan membawakan makanannya ke kamar kita"
"Baiklah" Luhan kini meletakkan dagunya di bahu Sehun, ia benar-benar merasa sebagai seorang bayi yang begitu nyaman bermanja-manja dengan ayah sendiri. Yah, Sehun lebih cocok di jadikan peran ayah dari pada kakak laki-laki karena kasih sayang yang diberikan Sehun padanya tidak sedikit.
Banyak, sangat banyak.
Sehun duduk di sisi ranjangnya, membiarkan Luhan duduk di pangkuannya dengan kaki yang mengikat pinggangnya dan kedua tangan yang tidak lelah memeluk lehernya.
"Kau tidak mau melihat wajahku, nih?" tanya Sehun kala kekasihnya tak kunjung mengubah posisi wajahnya –dagu Luhan yang bersandar di bahu Sehun.
Ketika Sehun mengatakan hal itu, Luhan terkikik. Tertawa kecil menanggapi kekasihnya. Tangannya merayap ke pipi kekasihnya, menangkup wajah Sehun kemudian Luhan meletakan keningnya di kening Sehun.
"Hunnie, aku lelah sekali. Seharian Baekhyun mengajakku jalan-jalan, kami berdua bermain di taman bermain yang baru jadi itu dari pagi hingga tadi. Eum, tidak berdua sih, ada Chanyeol di sana menemani Baekhyun. Tadinya, aku ingin menelfonmu, namun aku yakin kau pasti sibuk dengan lukisanmu"
"Aku bisa meninggalkan mereka jika kau memerintahkan aku begitu"
"Aku tidak mau mengatur-aturmu seperti itu, nanti kau malah jadi bosan denganku"
"Tidak, aku senang kau mengaturku"
"Bagaimana jika perasaan itu hanya sementara?" Luhan menyentuh dada kekasihnya dan tangan satunya yang mengelus rambut bagian belakang Sehun ketika ia mengucapkan apa yang ia rasakan beberapa hari belakangan ini.
"Kau percaya bahwa cintaku bukan untuk sementara, kan?"
"Tapi .. perasaan itu bisa berubah, Sehun. Tanpa kau pernah bisa memperkirakannya sebelumnya" suara Luhan melemah, ia cukup lega mengucapkan ketakutannya beberapa minggu ini. Yah, semenjak Baekhyun yang lebih sering menemani hari-harinya–dan ia jadi sering iri karena dimana ada Baekhyun disitu ada Chanyeol sementara Sehun sibuk dan tentu saja Luhan tidak bisa mengganggu kekasihnya itu seenak jidat–dan semenjak insiden putusnya Kyungsoo dengan Kris, retaknya hubungan sahabatnya padahal sebelumnya keduanya terkenal dengan kemesraan mereka.
"Jika kau memikirkan hal itu, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri" Sehun mengelus punggung kekasihnya yang melengkung karena posisi duduk Luhan, "Yang perlu kau tanamkan sekarang, kepercayaan bahwa aku memang benar-benar menyayangimu, mencintaimu" kemudian Sehun memeluk kekasihnya itu. Yah, Luhan memang memiliki perasaan yang lumayan sensitive, mungkin ia begini karena insiden retaknya hubungan sahabatnya itu. Sehun tahu bagaimana kisahnya, tentu saja karena Luhan selalu menceritakan apa yang ia dapat setiap hari. Membiarkan telinga Sehun dipenuhi oleh suara lembut yang mampu menenangkannya juga membuatnya begitu nyaman setiap harinya.
"Baik tuan" Luhan memeluk leher Sehun lagi, kali ini lebih erat, "Aku juga sangat mencintaimu. Jangan meninggalkanku. Pokoknya, jika kau meninggalkanku, besok paginya kau pasti mendengar berita bunuh diriku di koran" ancam Luhan yang secara tersirat mengucapkan bahwa ia lebih memilik menjadi masokis dari pada psycho.
Sehun tertawa kecil, "Iya, Hannie"
"Omong-omong, kau belum minta mereka membawakan makanannya, Hun" ucap Luhan, kini pemuda itu melepaskan pelukan tangannya di leher Sehun, "Aku lapaar~" kemudian Luhan bangkit dari pangkuan Sehun, memutuskan untuk segera memencet bel yang ada di sisi tembok Sehun.
Ketika ia rasa ia sudah selesai memerintahkan pelayan Sehun untuk membawakannya makan malam, ia memilih merebahkan dirinya di kasur Sehun. Ia sudah biasa menganggap rumah Sehun sebagai rumahnya sendiri.
Ah, Luhan benar-benar merasakan tulang punggungnya retak.
"Jangan tiduran dulu, Luhan, nanti malah ketiduran"
Luhan dengan cepat mengubah posisinya, kemudian duduk di kasur Sehun dengan mengerucutkan bibirnya lucu.
Luhan, satu-satunya orang yang dapat membuat Sehun tertawa–walaupun hanya tertawa kecil–secara berkali-kali. Tingkah kekanak-kanakan yang begitu lucu namun terkadang dapat berubah menjadi begitu dewasa, melebihi umurnya. Sikap yang akan mengontrol Sehun kala pemuda itu kehilangan kendali.
Sehun mencium sekilas bibir Luhan yang mengerucut, "Dalam lima detik bibirmu akan maju permanen"
Luhan cepat-cepat memasukan semua bibirnya, masih dengan wajah sebal yang sekali lagi berhasil membuat Sehun terkekeh.
"Ya ya, luruskan punggungmu dulu agar besok kita bisa jalan-jalan sampai puas tanpa mendengar retakan tulang punggungmu"
"Eh? Besok?"
"Bagaimana? Mau jalan-jalan denganku besok? Hanya kita berdua"
Luhan menganggukan kepalanya senang kemudian ia tersenyum lebar, berkencan termasuk kesempatan langka "Kalau begitu tiduran di sampingku, aku butuh guling"
Sehun hanya menurutinya. Ia juga butuh pelukan Luhan untuk menghilangkan rasa letih juga penatnya seharian ini.
Ketika Sehun akan tidur di samping Luhan, seseorang mengetuk pintunya.
"Luruskan pinggangmu setelah kita makan saja, oke?"
.
.
.
Jongin melihat lukisan hasil buatan Sehun. Mata merahnya dapat melihat bagaimana jiwa-jiwa yang terperangkap di sana perlahan tertelah ke dalam neraka.
Ya, jiwa mereka terperangkap. Pantulan diri mereka di abadikan sementara raga asli mereka dimakan oleh Jongin.
Ia bisa mendengar teriakan-teriakan nista dari para lukisan itu. Jongin tersenyum lebar, neraka pasti ramai sekali.
Setiap makhluk yang Sehun gambar, jiwanya akan di makan oleh lukisannya buatan Sehun, nyawanya melayang, lenyap, dan raganya dimakan oleh Jongin.
Sehun menikmati acara melukisnya yang akan selalu menelan jiwa, terlihat dari raut wajah datarnya yang sebenarnya menumpahkan perasaannya kedalam beberapa lukisan –yah, pria itu tidak selalu menumpahkan perasaannya, hanya kalau perlu saja, karena Sehun melukis hanya untuk janji yang pernah ia buat dengan Jongin.
Biasanya, Sehun menyekap model-model lukisannya yang akan jadi santapan Jongin di gudang bawah tanah.
Seperti salah satu korban yang masih disekap Sehun di gudang, matanya ditutup rapat dengan kain yang mulai basah karena air mata, mulutnya ditutup, tangan dan kakinya diikat. Jongin bisa mengerti bahwa orang itu butuh pertolongan darinya. Namun, Jongin hanya tersenyum kecil dan melintasi perempuan itu begitu saja.
Menurut penuturan Sehun, perempuan itu adalah seorang copet jalanan yang tiap malamnya menyerahkan dirinya untuk disentuh oleh orang-orang dengan mata yang tertutup nafsu di beberapa klub.
Wah, kenapa Sehun tidak sekalian membawa penikmat tubuh perempuan itu, ia pasti kenyang sekali malam ini.
"Kau beruntung pelukismu itu masih menunda waktu untuk melukismu" ucap Jongin kecil, "Mohon maaf lah pada penciptamu atas apa yang telah kau perbuat, jalang"
Kemudian, Jongin keluar dari gudang kecil itu. Membiarkan perempuan itu menangis hingga waktunya Sehun membunuhnya perlahan. Tidak sampai memberikan luka yang banyak, hanya butuh setetes darah perempuan itu yang artinya Sehun akan melukai salah satu bagian tubuh perempuan malang itu.
"Ah, Sehun sialan. Aku lapar" gerutu Jongin.
Yah, ia tidak sabar menyantap pendosa dengan tubuh indah itu.
Selama ini, Sehun memang mengumpulkan banyak pendosa untuk ia makan. Tidak susah tentu saja, banyak sekali manusia pendosa di muka bumi.
Bahkan Jongin hampir lupa bagaimana rasanya darah dan daging dari manusia dengan kadar dosa sedikit.
Bisakan menu itu menjadi makan malamnya besok?
Jongin menyeringai kala sesuatu memenuhi dirinya.
Iblis mana yang senang melihat kebahagiaan seseorang?
.
.
.
02.00 AM
Luhan sudah terlelap di sampingnya, tangan Luhan yang melingkar di pinggangnya mulai merenggang. Perlahan tapi pasti, ia mengangkat tubuh Luhan kemudian menggantikan dirinya dengan guling, membiarkan tangan Luhan memeluk guling yang sejak tadi ada di belakangnya.
Ia melangkah perlahan, mencoba tidak menimbulkan suara apapun yang dapat mengganggu Luhan tidur. Pemuda itu gampang sekali terbangun, besar sedikit saja suara langakhnya maka Luhan akan bangun.
Sehun mengenap-endap keluar dari kamarnya dan ia berhasil meninggalkan kamar tanpa membangunkan Luhan. Ia segera berjalan lambat menuju gudang bawah tanah, dimana ia menyekap korbannya.
Ketika ia turun tangga, sebuah tangan menepuk bahunya dengan keras. Sehun terperanjat, matanya menangkap si iblis berisik itu. Dengan cepat, Sehun menutup mulut Jongin agar tidak ada suara yang iblis itu ciptakan, "Jangan ribut, kekasihku sedang tidur" bisik Sehun, "Jika mau ini cepat selesai, jangan mengeluarkan suara apapun"
"Tapi–"
"Syuuttt!"
Jongin menghela nafasnya malam, kemudian segera mengikuti Sehun yang berjalan dengan begitu lambat di depannya.
"Ayolah kapan aku bisa makan kalau begini" Jongin berbisik
"Diam, Jongin"
Jongin tidak bisa apa-apa. Ayolah, iblis mana yang sabar berjalan lama seperti ini. Jika ia melebarkan sayapnya, ia yakin pasti ada barang yang tersenggol dan menciptkan keributan.
Hingga akhirnya, sepuluh menit berlalu dan keduanya berdiri di ambang pintu gudang bawah tanah Sehun.
Sehun, dengan aura wibawanya memasuki gudang dengan penuh angkuh. Kanvas, kuas dan cat yang selalu ia gunakan telah disiapkan dengan baik. Ia hanya butuh duduk di atas kursi kecil di depan kanvas putih itu.
Jongin menyeret perempuan itu, menempatkannya di atas meja yang telah di siapkan. Perempuan itu masih dengan isakannya duduk di atas meja yang terletak tepat di depan Sehun.
Jongin mulai melepaskan ikatan di tangan dan di kaki perempuan itu juga kain yang menutup mata dan mulutnya. Membiarkan perempuan itu melihat Sehun yang tersenyum lembut padanya.
"Maaf memintamu menjadi modelku dengan cara yang tidak baik, nona"
Perempuan itu membeku seakan terperangkap oleh pesona Sehun.
"Bisa berikan salah satu pose terbaikmu? Aku akan segera melukismu"
"Ba-bagaimana.."
"Terserah padamu nona" ucap Sehun, senyum palsu itu membius si mangsa. Membuat perempuan itu dengan patuh berpose di atas meja.
Sehun mendekati perempuan itu, berniat membenahi pose modelnya.
Juga berniat untuk mengambil setetes darahnya.
"A-akh.. apa itu?"
"Ah, maaf, aku tidak sengaja" ucap Sehun dengan tangan yang memegang palet lukis yang berujung tajam, Sehun sengaja menajamkannya agar darah itu langsung menempati sisi paletnya. Jika harus menggunakan silet atau cutter atau mungkin pisau, itu akan sedikit menyusahkan Sehun untuk menaruh darah si korban di paletnya.
Sehun kembali duduk setelah merasa semuanya sempurna.
Kemudian setiap warna di paletnya di campurkan sedikit darah dari si korban.
Dan Sehun mulai melukis.
Bakat Sehun dalam melukis memang dapat diacungi jempol, dengan waktu yang tidak banyak Sehun dapat menyelesaikan lukisannya.
Lukisan Sehun persis dengan apa yang ia lihat. Meja coklat yang persis bentuknya, perempuan berparas cantik itu juga persis dengan yang ada di lukisan Sehun, hanya saja Sehun sedikit melencengkan wajah si korban karena bisa ketahuan bahwa ia melukis perempuan itu –dan bisa saja menuai kontroversi, namun dari badan, bentuk tubuh, pose si korban dan semua latar pendukung yang dia lihat sama persis dengan yang ia lukiskan di atas kanvas.
Sudah tidak ada darah yang tersisa di paletnya dan lukisannya sudah selesai.
Jongin membuka khorden, membiarkan cahaya rembulan membantu ritual Sehun dan Jongin.
Tak lama kemudian, Jongin dan Sehun dapat mendengarkan pekikan keras kala jiwa si korban mulai di serap oleh lukisan Sehun. Detik berikutnya, perempuan yang entah siapa namanya itu tidak bisa lagi teriak, suaranya sudah dihilangkan. Dan detik berikutnya, jiwanya sudah sepenuhnya terperangkap ke dalam lukisan. Kecantikan posenya terpatri abadi di dalam lukisan Sehun.
Tinggal menunggu neraka menelan jiwa perempuan malang itu.
"Makanlah dengan tenang"
"Untuk lusa, boleh aku memilih menu makananku sendiri?"
"Tentu"
"Terimakasih, Oh Sehun"
Jongin menyeringai menatap si korban yang telah tak bernyawa dan detik berikutnya ia mulai memakan santapannya itu. Sementara Sehun memutuskan kembali ke kamarnya.
Perasaan itu selalu menyergapnya, bagaimanapun juga Sehun masih punya hati. Bagaimanapun juga ia kasihan dengan korbannya.
Tapi, obsesinya terhadap kekayaan dan pengakuan dari ayahnya menumbuhkan dirinya seperti manusia tidak berperasaan.
Perasaannya campur aduk lagi, ia benci itu. Ia mulai tidak bisa mengkontrol perasaannya.
Untung malam ini Luhan menginap di rumahnya.
Ia kembali memasuki kamarnya perlahan, kembali menempatkan dirinya di samping Luhan. Sehun menyingkirkan guling di tangan Luhan, membiarkan Luhan memeluk pinggangnya seperti sebelumnya.
Ia bisa merasakan tangan Luhan yang tiba-tiba memeluknya erat, entah apa mimpi pemuda itu.
Sehun membelai wajah kekasihnya lembut, menatap dan mengagumi wajah Luhan yang begitu sempurna.
Sehun meninggalkan kecupan di kening Luhan sebelum ia memutuskan untuk memeluk Luhan lebih erat, kemudian tertidur setelah ia membisikan Luhan bahwa ia benar-benar mencintai Luhan.
.
.
.
Baru kali ini Sehun bersemangat bangun pagi, sarapan berdua di ruang makan bersama Luhan seakan keduanya adalah pengantin baru. Yah, biasanya Jonginlah yang menemaninya makan walaupun Jongin hanya duduk dan melihatnya menyantap makanan karena si iblis itu tidak tertarik sama sekali dengan makanan manusia. Ada untungnya juga, Sehun jadi tidak perlu banyak buang duit untuk iblis itu.
Setelah sarapan, Luhan dengan semangat menarik tangan Sehun menuju mobil pemuda itu untuk segera ke taman bermain terbesar di Korea.
Sehun sangat suka bermain di taman bermain begitu, hanya saja karena kesibukannya ia mulai lupa bagaimana rasanya bermain di tempat itu.
Luhan benar-benar seperti malaikat yang kembali membangkitkan kenangan indahnya. Menutup perasaan buruk, meredam perasaan menyesal yang tak jarang ia rasakan setelah kembali menjatuhkan korban dengan lukisan kotornya, Luhan membangkitkan semua perasaan bahagianya.
Entah bagaimana hidupnya jika tidak ada Luhan saat ini.
Ia bisa melihat mata Luhan berbinar ketika mobilnya terparkir di lapangan parkir yang sudah disiapkan taman bermain yang mendapat predikat terbesar di Korea itu.
Sehun dengan cepat keluar dari mobil kemudian membukakan Luhan pintu, mempersilahkan Luhan keluar dari mobilnya seperti putri raja.
Luhan terkekeh pelan melihat tingkah Sehun, kemudian pemuda itu merangkul pinggang kekasihnya erat, "Ayoo~"
Sehun merengkuh tubuh kecil di sampingnya itu dengan sebelah tangan.
Detik berikutnya, keduanya saling adu kecepatan, siapa yang menang akan menentukan naik wahana apa saja selama di tempat bermain itu.
Secara fisik dan kekuatan, jelas Sehun lebih cepat dari Luhan. Itulah mengapa Sehun yang menang dalam adu kecepatan mereka kali ini.
"Karena kau yang menang, kau harus membelikan aku ice cream"
"Harusnya itu hukuman bagi yang kalah"
"Jadi kau tega melihatku kelelahan begini lalu menghabiskan uangku untuk membelikanmu ice cream?" ujar Luhan cerewet.
Sehun tertawa melihat tingkah Luhan, seperti jiwa anak tk yang terperangkap di raga berumur 17 tahun padahal umur aslinya sudah dua puluh tahun.
Dan disinilah Sehun, mengantri bersama Luhan untuk mendapatkan ice cream yang Luhan inginkan. Untung saja antriannya tidak terlalu panjang jadi tidak terlalu memakan banyak waktu.
Menit berikutnya, Luhan menarik tangan Sehun untuk menaiki biang lala.
"Ayo kita naik itu"
"Kan hari ini aku yang menentukan tempatnya, Luhaan"
"Sekali saja, ya ya.." Luhan mengeluarkan wajah melas dengan puppy eyes yang membuat Sehun benar-benar tidak bisa berkata apa-apa, "Please?"
"Baiklah~"
"Hore!" Sorak Luhan kemudian menarik Sehun dengan segenap tenaganya untuk segera mengantri.
Tidak terlalu panjang, pengunjung memang tidak terlalu banyak mengingat hari ini adalah hari senin. Kebanyakan orang bekerja, sekolah, kuliah, dan melakukan kegiatan lainnya. Sementara Sehun dan Luhan yang memutuskan bolos kuliah untuk menghabiskan hari berdua.
Mereka menunggu hampir setengah jam, padahal jika sedang ramai mereka bisa menunggu lebih dari satu setengah jam.
Luhan dengan semangat memasuki biang lala yang termasuk ke dalam list wahana favoritnya. Sementara Sehun menyusul di belakangnya.
Pintu tertutup. Sehun dan Luhan dapat merasakan pergerakan biang lala yang perlahan tapi pasti.
"Uwah, lihat Sehun. baru di sini saja pemandangannya sudah keren" ucap Luhan, "Aku tidak akan bosan melihatnya"
Sehun hanya diam, mengamati kekasihnya yang terkesima dengan pemandangan yang entah telah berapa kali ia lihat namun tetap saja Luhan mengaguminya seakan ini adalah kali pertamanya menaiki biang lala.
"Hunnie Hunnie, sambil menunggu biang lalanya bergerak dengan sempurna, ceritakan aku sebuah cerita" ucap Luhan dengan semangat, ia duduk di seberang Sehun dengan ice cream yang mulai habis di tangannya.
"Sini duduklah di pangkuanku"
"Tidak mau, nanti kau mengambil ice creamku" ucap Luhan, mengundang tawa kecil Sehun.
"Tidaak~ ayolah, sini"
"Aish, Sehunnie, ceritakan saja"
"Aku tidak mau jika Luhanie tidak duduk di pangkuanku" ucap Sehun dengan nada anak kecil yang membuat Luhan tidak bisa berkutik. Maka dari itu, Luhan hanya menghembuskan nafasnya pasrah menanggapi sikap Sehun yang sangat jarang dikeluarkan dan akan keluar hanya jika Sehun tengah bersama Luhan, ekspresi itu hanya keluar jika Sehun sedang di depan Luhan.
Luhan duduk di pangkuan Sehun seraya menyantap ice creamnya.
"Hannie, tahu cerita bulan berdarah?"
Luhan menggelengkan kepalanya
"Jadi, pada suatu malam, seorang pemuda miskin yang gemar membuat karya seni dari tangan terlatihnya merasa putus asa karena tidak ada seorangpun mau menerima karyanya. Mereka semua mengatakan bahwa karyanya sangat jelek untuk di jual. Mereka menjelek-jelekkan karya pemuda itu"
"Lalu?"
"Hingga akhirnya pemuda itu merenung di suatu malam, ia menatap langit dengan bulan penuh yang begitu terang. Perlahan, awan merah bergelung di sisi bulan, hingga akhirnya menutup cahaya rembulan dan mendominasi langit dengan warna merah semerah darah. Barang siapa saja yang meminta pertolongan pada bulan saat awan merah menutupinya, maka apapun permintaannya akan terkabulkan. Pemuda itu meminta agar semua orang mau menerima karyanya.
Permintaannya terkabulkan. Pemuda itu sukses dengan karyanya. Namun di balik kesuksesan banyak nyawa yang hilang karena pemuda itu mempersembahkan banyak orang untuk dijadikan tumbal yang akan di persembahkan untuk si pengabul permintaannya.
Sosok iblis tak berperasaan dengan sayap membentang lebar seakan mampu mengurung bumi dengan sayap hitam kemerahannya.
Iblis itu suka memakan para pendosa–"
"Hunniee.. ceritakan yang lain. Itu mengerikan" Luhan mengerucutkan bibirnya, tubuhnya berguncang di atas Sehun.
Sehun mencium bibir Luhan sekilas kemudian tertawa lepas sementara Luhan menggerutu karena Sehun seenaknya saja menceritakan cerita seram seperti itu.
Andai Luhan tahu, ia hanya bermaksud untuk menceritakan kisah hidupnya.
Hari itu, keduanya menghabiskan waktu bersama hingga langit mulai mengeluarkan warna oranye. Keduanya saling melempar tawa. Jauh di lubuk hatinya, Sehun benar-benar berterima kasih pada Tuhan karena membiarkan Luhan tetap disisinya setelah apa yang ia perbuat. Sejujurnya, Sehun memang ingin berhenti dari ritual itu. Namun ia belum siap kehilangan semuanya.
Bagaimana jika Luhan tidak menerimanya karena ia miskin tiba-tiba?
Perasaan itu bisa berubah tanpa kau bisa memprediksikannya sebelumnya
Karena jika ia berhenti, ialah tumbalnya. Begitulah perjanjiannya dengan si iblis, Jongin –yang berarti Sehun lebih memungkinkan untuk langsung meninggal dari pada merasakan kemiskinan lebih dulu, lagi pula Sehun tidak tega meninggalkan kekasihnnya, ralat, bukannya tidak tega, jelas Sehun sangat amat tidak mau lepas dari malaikatnya.
Memangnya orang seperti aku pantas mendapatkan malaikat seperti Luhan?Sehun berujar di dalam hatinya, seketika ia merasa begitu kotor di depan Luhan yang begitu suci dan bercahaya.
Ia memeluk kekasihnya, prinsip Luhan adalah miliknya –dan tidak ada satupun alasan yang dapat mematahkan prinsipnya itu–telah mendarah daging pada dirinya.
Sebelum rembulan menyapa, Sehun dan Luhan pulang. Tentu saja pulang ke rumah Sehun. Tidak masalah bagi Luhan karena orang tuanya juga sudah tahu bahwa ia sedang bersama Sehun.
Sehun yakin Luhan lelah sekali, terlihat dari wajah pemuda itu ketika mereka berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Walaupun Luhan menyerukan bahwa ia sangat bahagia dan menikmati setiap detik yang ia lalui bersama Sehun, tetap saja Luhan terlihat kelelahan setelah apa yang mereka lakukan seharian.
Senyum manisnya tidak akan pudar, senyuman Luhan adalah satu-satunya obat penenangnya. Luhan begitu berarti baginya.
Ia tidak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Luhan. Bagaimana jadinya jika Luhan tidak lagi memberikan senyumnya untuk Sehun seorang.
Sehun tidak bisa membayangkannya, itu terlalu mengerikan.
Jongin menyapanya ketika keduanya sampai di rumah, menanyakan apakah mereka senang dengan hari yang mereka jalani.
Iblis itu menyapa mereka kemudian mempersilahkan mereka masuk. Jongin menggiring dua manusia itu ke ruang makan untuk menyantap makan malam. Luhan tersenyum kala ia merasa seperti tamu special di rumah Sehun.
Bahkan, iblis pun terhipnotis dengan senyuman manisnya.
Hingga Jongin akhirnya memutuskan untuk pergi dari hadapan dua manusia itu setelah membeku karena senyuman lembut Luhan.
Siapa yang percaya bahwa sosok yang sebelumnya tidak percaya dengan terpesona pada pandangan pertama akhirnya membatu karena senyuman seorang manusia?
Tentu saja Sehun melihat itu semua. Bagaimana Jongin membeku karena senyuman Luhan, bagaimana Luhan yang baik hati memberi senyuman indahnya untuk si iblis, Jongin.
"Bagaimana jika nanti dia terpesona denganku dan kemudian kami saling suka?"
Cemburu membakarnya. Matanya menatap Jongin penuh dengki sementara Jongin hanya menyeringai kecil.
Sehun, permainan ini akan semakin seru.
.
.
.
Kala Luhan merebahkan tubuhnya di kasur, Sehun ikut merebahkan dirinya di samping Luhan kemudian memeluk tubuh kekasihnya itu dengan posesif. Ia memindahkan tubuhnya untuk menindih Luhan agar menggampangkannya mengecup bibir kecil yang begitu manis milik Luhan. Yang mengandung sebuah adiksi tersendiri untuk Sehun.
Luhan hanya miliknya.
Hati dan cinta Luhan hanya untuknya.
Sehun mengecupnya posesive seakan tengah mengutarakan sesuatu yang Luhan kurang pahami. Namun sedikit demi sedikit ia bisa merasakan perasaan Sehun yang sedang tidak baik.
Mungkin karena kelelahan, pikir Luhan.
Sehun memperdalam ciumannya, kian lama kian lembut. Karena detik kian bertambah, ia mulai mendapatkan ketenangannya lagi dari Luhan.
"Hunnie .. berat .." rintih Luhan ketika Sehun menuntaskan ciumannya untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Sehun bangun dari tubuh kekasihnya, kemudian mendudukan raganya di samping Luhan, "Ma-maaf.."
"Ada apa denganmu?"
Sehun menggelengkan kepalanya.
Luhan tahu kekasihnya sedang mengalami perasaan yang tidak beres. Luhan tahu kala Sehun memang sedang membutuhkan sesuatu darinya.
Ia mendudukan dirinya di pangkuan Sehun, mengalungkan tangannya di leher Sehun dengan begitu erat dan kembali mengecup bibir kekasihnya, membiarkan Sehun mendapatkan obat penenangnya.
Hingga akhirnya malam itu berlangsung begitu panas.
Sementara di luar, si iblis mendengar semua desahan dan rintihan dua insan yang saling mencintai itu.
Biarkan Sehun mendapatkan kebahagiaan terakhirnya.
.
.
.
Sehun menghabiskan waktunya dari pagi hingga malam di klub lukisnya. Sebenarnya, ia cukup resah karena Luhan tidak kunjung mengabarkannya dari tadi. Baekhyun yang biasanya dengan Luhan ada di klub lukis menemani kekasihnya. Menurut penuturan Baekhyun, Luhan sedang menghabiskan harinya di rumahnya karena kelelahan dua hari berturut-turut bermain di taman bermain. Kyungsoo juga bilang begitu.
Namun tidak biasanya Luhan tidak menelfonnya.
Biasanya, pukul sembilan malam Luhan akan menelfonnya. Namun ini sudah pukul sebelas dan ia sama sekali tidak mendapatkan kabar dari Luhan.
Apakah Luhan kelelahan sampai pemuda itu benar-benar tidak punya waktu untuk sekedar mengabarinya?
Atau karena Luhan sedang tidak ingin mengganggunya karena Luhan pasti berpikir bahwa ia sedang sibuk–yah, seharusnya Luhan tahu Sehun sibuk menunggu kabar darinya.
Tidak, paling tidak Luhan mengirimkan pesan singkat untuknya hanya untuk sekedar mengingatkannya makan.
Tapi ini tidak ada sama sekali.
Sehun memutuskan untuk meraih kunci mobilnya. Cepat-cepat, Sehun keluar dari kamarnya.
Namun Jongin dengan seringaiannya berdiri di depan kamarnya. Menyapanya dengan senyuman mengerikan itu.
"Aku ingin jam makanku dimajukan"
Sehun mengangkat alisnya, ini belum tengah malam.
Ia baru saja akan mengeluarkan suaranya untuk menolak keinginan Jongin namun iblis itu menarik tangannya kencang hingga ia hampir saja jatuh saat di tangga. Jongin menariknya dengan begitu cepat menuju gudang bawah tanah, tempat dimana Sehun biasa menyekap korban dan melukis si korban.
"Aku sudah bilang akan menentukan menu kali ini kan?"
Sehun membeku di ambang pintu ketika melihat Luhan di sekap di sana. Duduk berlutut menghadap dirinya dengan kaki dan tangan yang terkitat dan mulut yang tertutupi kain merah. Matanya basah karena menangis. Pancaran ketakutan menusuk relung hati Sehun telak.
Artinya, Luhan lah tumbal selanjutnya.
Sehun hanya menatap kekasihnya kosong, otaknya penuh pertimbangan, segala perasaan bercampur dengan didominasi keegoisan untuk memiliki segalanya –kehidupan yang bahagia, kekayaan, dan Luhan.
Namun, ketika tatapan Luhan bertubrukan langsung dengan tatapannya, ia dapat merasakan dirinya yang kosong.
"Aku tidak akan melukis kekasihku sendiri" Sehun mengepalkan tangannya, hendak meninju Jongin dengan tangan pucatnya.
"Luhan~" suara Jongin terdengar begitu mengerikan, "Kekasihmu ini cantik Sehun" ia mengagumi wajah ketakutan Luhan, mengelilingi tubuh Luhan dengan seringaiannya, "Aku tidak akan memakannya, dia terlalu baik"
"Aku tidak akan pernah melukis Luhan"
"Ingat perjanjian kita di bawah bulan darah, Sehun"
Mata Luhan membulat sempurna sementara Sehun hanya menampangkan wajah datarnya.
Luhan mengetahui semuanya. Walaupun tidak terlalu detail, tapi sepertinya Luhan mulai mengerti situasinya sebagai tumbal.
"Dia sudah tahu sepertinya" Jongin mengangkat dagu Luhan
Dan dengan sigap, Sehun menendang iblis itu menjauh, "Jangan menyentuh kekasihku"
"Kau yakin Luhan akan tetap menganggapmu sebagai kekasih setelah apa yang selama ini kau perbuat,Sehun?"
Sehun terdiam, ia termenung akan ucapan iblis itu.
Sehun dapat melihat wajah kecewa Luhan, ia bisa melihat wajah ketakutan Luhan. Ya, mana mungkin Luhan akan menerimanya lagi sebagai seorang kekasih?
"Cepat lukis dia, Oh Sehun atau kau yang harus menggantikannya" Jongin menyeret tubuh Luhan hingga duduk di sebuah meja panjang.
"Pilihan kedua terdengar lebih baik" Sehun duduk di tempatnya, berhadapan dengan kanvas.
"TIDAK!" suara Luhan memekik terdengar menusuk jantungnya. Ia bisa melihat Jongin yang mulai melepaskan ikatan tangan dan kaki Luhan juga penutup mulutnya.
Mata Sehun bertatapan langsung dengan sepasang lensa bening Luhan, mata itu seakan memohon agar membangunkannya dari mimpi buruk. Tubuhnya bergetar karena kaget dan senyum yang tidak lagi terlukis di bibirnya.
Sehun mendekati kekasihnya, berjalan pelan tidak dengan keangkuhannya yang biasa ia tonjolkan, tidak dengan kewibawaannya.
Jemari Sehun menyentuh permukaan kulit Luhan, membuat pemuda yang merasakannya merinding. Ya, keduanya merinding, bergidik hanya karena kulit mereka bersentuhan, seakan aliran listrik mengalir menyetrum keduanya, membangkitkan perasaan bahagia yang tengah mati terkubur jauh di dalam lubuk hati keduanya.
"Maafkan aku .."
"Tidak apa, asalkan setelahnya kau bisa hidup bahagia, jadikan aku tumbalmu, Sehun" ucap Luhan.
Sehun menjulurkan jemarinya ke tengkuk Luhan, menyatukan keningnya dengan kening Luhan, ia menggeleng kecil, ia tidak mau menjadikan Luhan sebagai tumbalnya.
"Tidak .. aku tidak akan bahagia tanpamu"
"Begitu juga denganku"
Luhan menangis lagi, memberikan luka yang lebih dalam untuk Sehun. seakan ada tangan yang meremas hatinya. Seakan setiap panah perang yang begitu tajam menusuk jantungnya telak, menghancurkannya.
Sehun tidak bisa menahan air matanya. Ia benar-benar mencintai kekasihnya, ia tidak mau berpisah.
Namun, takdir berkata lain.
"Kita akan bertemu di alam baka nanti" ucap Luhan
"Aku ingin kau ditelan surga, Luhan, bukan neraka"
"Asalkan bersamamu, itu tidak apa-apa" Luhan mendekap Sehun erat, lebih erat dari biasanya. Kemudian menyandarkan wajahnya di dada Sehun, menangis di sana.
Luhan bisa merasakan tangan Sehun mengelus rambut bagian belakangnya juga punggungnya, berusaha memberikan ketenangan yang tidak akan menghampiri.
"Cepatlah Sehun, kau terlalu lama"
"Jongin, ambilkan aku cutter di kamarku tolong" ucap Sehun, "Aku tidak akan kabur, aku janji"
"Ku pegang janjimu"
Jongin pergi dari tempatnya, mengambilkan apa yang Sehun butuhkan. Padahal bisa saja Sehun menggunakan paletnya untuk mengambil darah Luhan.
Namun, Sehun memang tidak akan menggunakan darah Luhan dalam lukisannya.
Sehun melonggarkan pelukan Luhan di tubuhnya, pemuda itu menarik dagu Luhan agar wajah cantik Luhan menghadap ke arahnya.
"Aku mencintaimu, Luhan" Sehun mengecup bibir kecil Luhan dengan air mata yang menetes, menjadi bukti bahwa perkataannya benar-benar dari dalam hatinya yang paling dalam.
"Aku juga mencintaimu, Sehun"tangan Luhan bergerak memberi kenyamanan di bagian tengkuk Sehun.
Sehun mengecup bibir Luhan lebih lama, kemudian beralih ke pipi pemuda itu dan terakhir di kening Luhan.
Kemudian, pemuda jangkung itu membelakangi Luhan, ia mengambil paletnya.
Menggoreskan bagian tajam itu di tangannya, menuliskan luka begitu dalam di tangan kirinya. Membiarkan darah mengalir ke atas paletnya.
"Sehun! A-apa yang–"
"Shht, diam Luhan .. jangan katakan ini pada Jongin" Sehun menoleh kemudian mengedipkan sebelah matanya dan memberikan senyuman kecilnya untuk Luhan.
Luhan bergetar di tempatnya.
"Sehun .."
"Semuanya akan baik-baik saja, aku janji"
Sehun menaruh paletnya. Detik berikutnya, Jongin datang dengan cutter yang Sehun minta.
Sehun meraih cutter itu, kemudian kembali mendekati Luhan.
"Teriak saja jika sakit, pegang bahuku erat-erat" instruksi Sehun. Luhan mengangguk. Ia hanya menurut. Karena Sehun sudah berjanji padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Luhan percaya sepenuhnya pada Sehun.
Ia menggores punggung Luhan dengan cutter kemudian membiarkan sedikit bekas darah mewarnai ujung cutter itu. Luhan memekik tertahan dengan tangan yang menggengam erat bahu Sehun.
"Maaf .." lirih Sehun
"Tak apa"
"Sekarang, duduk seperti biasa" instruksi Sehun lagi sekali.
Kini, Sehun kembali duduk di tempatnya. Kuasnya kembali bermain di atas kanvas. Cutter dengan sedikit darah Luhan diletakannya di dekat paletnya, menaruh bekas darah Luhan di bagian bawah paletnya –dan darahnyalah yang ada di bagian atas palet, memanipulasi Jongin.
Sehun mulai menggerakan tangannya, menyatukan darah yang ada di paletnya dengan cat warnanya, memberikan aksen merah pekat pada setiap cat warnanya. Matanya menatap ke depan –ke balik kanvasnya, namun yang ia perhatikan bukan Luhan.
Melainkan Jongin.
Sehun dengan cepat mencampurkan semua warna dengan aksen gelap yang mendominasi. Mengoleskan warna-warna itu di kanvas dengan cekatan.
Hingga akhirnya pemuda itu menghela nafasnya, kemudian tersenyum kecil. Lukisannya selesai.
"Tinggal menunggu waktu" Jongin mendekati pelukis yang memberikan banyak keuntungan baginya, tangannya bergerak menyentuh kepala Sehun, mengacak rambut rapi itu pelan.
Kemudian matanya melirik kearah lukisan Sehun setelah ia merasakan sepertinya ada yang tidak beres.
Dan Jongin tidak percaya dengan apa yang Sehun lukis.
"Manusia pengkhianat!" serunya.
Terlambat, Jongin tidak bisa menghentikan Sehun.
Gambaran Sehun sudah selesai. Tidak ada meja dan Luhan di dalam lukisannya, hanya ada sosok Jongin yang tengah berdiri di sisi ruangan.
"Kau akan menerima balasannya, Manusia sialan!" iblis itu mengumpat tepat sebelum ia lenyap tertelan ke dalam lukisannya.
Yah, pada dasarnya iblis memang hanyalah seonggok jiwa. Mereka berbeda dengan manusia.
Sehun menghela nafasnya, kemudian menatap Luhan dengan penuh kelegaan. Ia berjalan pelan mendekati Luhan, kemudian mendekap pemuda itu erat.
Setidaknya, biarkan kenyamanan ini ada sampai akhirnya iblis menariknya ke neraka.
.
.
.
