A/n:

Fanfic ini terinspirasi dari sebuah film yang berjudul Stardust. Ada novelnya sebenarnya, karya Neil Gaiman. Tapi, saya belum pernah baca novelnya. Yang terinspirasi di sini hanya cerita tentang bintangnya. Untuk plot tentu saja saya buat sendiri. Setting yang saya pakai di sini semi western. Entah kerasa apa nggaknya ... u,u oke, sudah cukup bacotnya. Hahahaha.

.

.

Naruto milik Masashi Kishimoto

Selamat membaca! :)

.

.

Dia adalah gadis gila. Itu adalah impresi pertamanya dan hal tersebut masih berlaku hingga sekarang. Dia bahkan lebih gila dari pada gadis-gadis lain di desa, yang suka melakukan hal ekstrem, seperti mengaku-aku aku menghamili mereka agar mereka bisa mendapatkan aku. Menjijikan. Mereka hidup seakan-akan visi yang mereka miliki hanyalah menikahi seorang pria. Tch.

Siasat yang dia gunakan lain lagi. Dia bilang, dia bukan manusia. Dia bintang. Ya, bintang yang menjadi aksesori gemerlap langit malam yang selalu kelam. Gadis itu mengaku dia jatuh di perkebunanku secara tidak sengaja hingga beberapa hektar tanah yang sudah ditumbuhi tanaman bercerai-berai layaknya dirusak binatang buas. Itu jelas aneh, sangat aneh. Sama sekali tidak bisa diterima logika. Tidak nyata. Imajinatif. Terserah apa pun itu. Aku pun masih tidak paham dengan jelas bagaimana mungkin gadis bertubuh sekecil dia bisa merusak perkebunanku hingga separah itu. Apalagi kalau tujuannya hanya untuk menarik perhatianku saja. Dia memang gila.

Baiklah. Sebenarnya aku lebih gila, karena aku menerima semua pengakuannya meski aku tidak memercayainya. Aku tidak bisa menolaknya seperti aku menolak gadis-gadis gila lainnya. Kakinya yang saat itu patah membuatku menaruh sedikit simpati padanya. Kupikir itu hanya satu dari sekian akal bulus yang dia miliki. Namun, aku salah. Kakinya benar-benar patah. Dan itu membuatku terpaksa membantunya. Aku tidak memikirkan apa pun saat itu selain menolongnya, karena aku ingat Ibu pernah mengalami hal yang sama.

Kalau semua yang terjadi saat itu memang tidak mengindikasikan pada penarikan perhatian, aku berpikir bahwa Sakura—nama gadis itu—diserang hewan buas hingga kakinya patah. Dan kekacauan yang terbentuk di atas tanah kepemilikanku ini diakibatkan oleh hewan buas tersebut. Kepala Sakura terbentur dengan keras hingga dia berdelusi aneh-aneh. Itu cukup masuk akal buatku, jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa dia adalah sosok bintang yang menembus atmosfer hingga berhasil masuk ke dalam lapisan bumi, dan tumbukannya dengan tanah menyebabkan kehancuran. Heh, yang benar saja.

Ya, aku memang tidak percaya dengan kata-katanya. Aku pun meremehkan imajinasinya yang dangkal. Oh tidak, justru tidak dangkal. Tapi, terlalu imajinatif. Isi kepalanya benar-benar cocok jika diceritakan ke dalam novel-novel yang dulu begitu Ibu sukai. Mungkin, Sakura pun mengonsumsi terlalu banyak karangan yang disalurkan melalui tulisan itu sehingga bisa berkhayal dengan begitu besar.

Ibuku sering menceritakan kutipan-kutipan dari cerita yang dia baca, meski aku lebih menikmati ketika Ibu menceritakan apa saja yang pernah ayahku katakan tentang aku. Dan kurasa tak ada satu pun cerita yang berkaitan dengan sosok bintang yang terperangkap di dalam tubuh manusia ketika aku kecil dan masih suka dicekoki cerita sebelum tidur. Entahlah, aku tidak yakin. Ingatanku tidak sekuat itu. Tapi, aku mengingat bahwa garis bintang bisa menjadi patokan dalam menentukan musim atau sifat-sifat manusia. Setiap susunan bintang itu mewakili setiap bulan.

Aku sama sekali tidak percaya pada diriku atas apa yang tengah aku lakukan sekarang. Aku tenggelam di tengah-tengah tumpukan buku tentang bintang. Tidak, ini bukan berarti aku percaya dengan kata-kata Sakura. Dia memintaku untuk membantunya kembali ke langit. Itu konyol. Aku bahkan tidak bisa terbang. Makhluk yang bisa terbang hanya burung dan beberapa serangga. Dan aku jelas tahu bahwa hewan-hewan itu sama sekali tidak bisa membantu Sakura. Serta, itu tidak perlu dilakukan karena dia bukan bintang.

Aku mencoba mencari lembaran fiksi yang bercerita tentang apa yang Sakura pikir sedang dia alami untuk menutup mulutnya menggunakan resolusi yang ada. Aku akan mengikuti permainannya saja. Aku sudah lelah beradu pendapat tentang logika dan dongeng dengannya. Aku harus melakukan sesuatu agar delusi gilanya berakhir. Tapi, nihil. Aku tidak menemukan apa pun tentang itu. Semua yang kutemukan adalah hal-hal yang sudah aku ketahui dari ibuku. Tidak ada legenda atau mitos aneh tentang bintang. Sama sekali. Tapi, aku menemukan sesuatu yang berkontradiksi dengan argumen imajinatif Sakura; yaitu bintang jatuh sudah bersifat mati ketika manusia di bumi melihatnya. Bahkan mati selama berjuta-juta tahun. Kalau aku katakan ini pada Sakura, dia pasti akan menentang habis-habisan dan tetap berpegang teguh pada argumen bahwa dia adalah bintang jatuh yang masih hidup.

Terserah. Aku hanya bisa berharap aku terlepas dari segala permainan aneh ini. Dan yang bisa kulakukan hanyalah ini, membuka buku-buku dan bertindak seakan aku menyerah dan percaya pada kata-katanya. Meski kenyataannya adalah aku akan mencekoki kepalanya dengan resolusi tentang masalah bintang yang terjebak di bumi—yang merusak otaknya sekarang—kalau ada.

Suara lembaran kertas yang saling bergesek terus mengisi ruangan ini. Hampir semua yang ada di sini adalah buku milik ibuku, dan bukunya memang kelihatan kuno. Tidak ada lagi yang pernah menyentuh buku-buku ini selain ibuku, dan ibuku memang sudah tiada semenjak umurku delapan tahun, empat belas tahun yang lalu. Itulah penyebab aku harus membersihkannya dari debu terlebih dahulu. Ibuku memang wanita yang rajin dan banyak ingin tahu. Aku tidak meniupi buku-buku itu untuk mengenyahkan debu, aku menolak melakukan itu. Aku sudah membawa selembar kain pembersih untuk itu.

Aku melemaskan punggung dan menyenderkannya pada kursi. Aku tidak menemukan solusi apa pun untuk menghilangkan pikiran aneh dari otak Sakura. Aku sudah melakukan ini sering sekali, nyaris setiap hari dan aku masih saja belum mendapatkan hasil. Dampaknya harus aku juga yang menanggung, karena dia masih harus tinggal di rumahku sampai dia normal. Entah kenapa aku tidak bisa bersikap tega dengan cara mengusirnya. Lagipula selama ini dia tidak bertindak agresif seperti gadis-gadis lain. Dia justru terkena cipratan abusif dari para gadis yang sepertinya iri padanya. Tch, merepotkan!

Mataku sudah lelah dan kepalaku sudah terasa berat. Aku sudah tidak bisa membaca buku lagi dengan keadaan seperti ini. Setelah merapikan buku dan meletakkannya di tempat sebelumnya, aku segera meninggalkan perpustakaan dan masuk ke rumah. Aku akan makan dan segera beristirahat. Aku tahu aku sangat membutuhkan itu untuk menghadapi sifat Sakura yang dominannya menjengkelkan.

Aku tidak menemukan Sakura di mana pun ketika sudah kembali ke rumah. Dia pasti masih tidur di halaman belakang. Ini masih sore memang. Tapi, dia bilang bintang memang tidur di siang hari karena saat malam harus bersinar secara berkesinambungan. Ya, dia memang terlalu mendalami peran. Meski sebenarnya itu tidak ada dampaknya padaku karena aku tetap tidak percaya.

Aku meneguk air mineral setelah piringku sudah kosong. Mataku melirik ke arah jendela. Kelihatan gelap, langit sedang mendung. Aku melihat ke luar dan mendapati Sakura masih berbaring dengan mata yang tertutup di sana. Semenjak kakinya sembuh, dia selalu melakukan itu. Aku harus segera membangunkannya sebelum dia kehujanan.

"Sakura."

Dia tetap bergeming. Aku panggil sekali lagi dengan suara yang lebih keras, dan tanggapan masih belum kudapatkan. Ada setetes air yang membasahi ujung hidungku. Hujan sudah mulai turun. Aku mengguncang bahu Sakura dan masih tidak berhasil. Huh, dia memang selalu begini. Tidak pernah terusik apa pun saat tidur, bahkan jika terkena air sekalipun.

"Tch. Kau memang menjengkelkan." Dan gila. Tapi, ada sesuatu dalam dirinya yang dapat menahanku untuk bertindak jahat padanya.

Aku terpaksa menggendongnya untuk membawanya ke dalam. Satu tanganku memegangi bahunya, sebelahnya lagi kuselipkan di bawah lutut. Wajahnya sama sekali tidak terlihat terganggu. Dia tidur seperti anak kecil. Mimik mukanya setenang air. Jika aku melihat wajah Sakura yang sedang tertidur, kadang-kadang aku berpikir apakah wajahku pernah kelihatan setenang itu atau tidak.

Tiba-tiba tangannya mencengkeram kain yang melapisi dadaku erat-erat. Aku tertegun sebentar, kemudian melangkahkan kaki dengan lebih lebar untuk menghindari hujan. Kuletakkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ketika menarik tangan, aku kesulitan untuk menegakkan tubuh karena tangannya masih mencengkeram pakaianku erat-erat. Bahkan tubuhku terasa ditarik olehnya. Aku memegang tangannya dan berusaha melepas cengkeraman jemarinya. Ketika mulai melonggar, aku segera menarik mundur tubuhku dan menjauhi tempat tidur.

"Sasuke ..."

Dia terbangun? Aneh. Tumben sekali. Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Matanya masih tertutup. Wajahnya pun masih kelihatan nyaman. Dia tidak terbangun. Oh, mungkin dia mengigau. Aku kembali memutar tubuh dan hendak menutup pintu.

"Tidak, dia berbeda. Sasuke itu baik."

Aku menaikkan sebelah alis. Bicara apa dia? Sikapnya kian hari kian aneh saja. Dan kurasa kata-katanya salah. Aku tidak mendakwa dia berdusta karena dia sedang bicara dalam tidur, itu sama sekali tidak terkendali oleh otak. Kupikir dia memang terlalu polos jika masih menganggapku orang baik. Ya, dia memang bersikap polos dan bertingkah laku layaknya anak kecil selama ini. Sikapku padanya jarang sekali betul-betul baik. Bibirku masih pedas hingga saat ini.

Terserahlah. Kuharap pendapatnya tentangku itu tidak akan membuatnya merasa dibohongi. Kalau pun dibohongi, ia terbohongi oleh pikirannya sendiri. Secara teknis aku tidak bersalah.

Aku meninggalkan kamarnya dan segera menutup pintu. Jika dilihat dari posisi matahari, dua jam lagi Sakura bangun. Dan saat itu tentu saja aku masih bangun. Aku biasa tertidur ketika bulan sudah naik seperempat langit.

Dua jam cukup untuk menenangkan diri sebelum hidupku direcoki Sakura lagi. Namun, ketika dia sudah bangun, rasanya aku membutuhkan waktu lebih lama.

"Sasuke! Kenapa kau memindahkan aku!"

Aku mengerang. Bukannya tadi dia bilang aku ini baik? Sekarang, hal baik yang kulakukan malah dia salahi!

"Sudah kubilang, Sakura. Di luar hujan. Kau bisa lihat sendiri bekasnya sekarang." Bahkan rasanya aku masih bisa mencium wangi tanah yang basah.

Dia menyilangkan tangan di depan dada dan mengerucutkan bibir. Matanya melirik ke luar. Dia pasti sudah menemukan bukti nyata dari pembelaanku. Lagipula, kalau tidak hujan, aku tidak akan repot-repot mau menggendongnya.

"Tapi, kau seharusnya bilang dulu!" Dia kelihatannya masih marah. Tapi, mukanya tidak kelihatan benar-benar marah. Polos sekali. "Aku sudah bilang aku tidak suka! Aku lebih memilih tidur di luar saja!"

Sudah kubilang kalau dia gila? "Bukannya kaubilang kau membenci hujan?" balasku. Dapat. Dia tidak bisa melawan lagi sekarang. Dia bilang dia benci hujan karena menghalangi sinarnya. Huh, aku kadang-kadang mengagumi imajinasinya yang tinggi. Dan di lain waktu itu membuatku muak.

"Hujan itu menyebalkan, Sasukeee! Mereka menghalangi terangku."

Nah, kan. Apa kubilang. Aku merotasikan kedua bola mata. Argumennya menjengkelkan, dan dia selalu mengulangnya. Telingaku rasanya sudah panas.

"Kalau kau tidak kupindahkan, kau pasti sudah basah kuyup dan terbangun di bawah tumpahan air hujan," kataku. Gigiku menggertak menahan kesal. Aku tidak tahu Sakura bisa menangkap nada marah implisit pada suaraku atau tidak. Dan sepertinya memang tidak. "Kau seharusnya berterima kasih padaku."

Dia tidak menjawab. Kerucutan bibirnya semakin meruncing. Dia menjatuhkan tubuh di atas kursi yang tepat berada di hadapanku. Kudengar napasnya sedikit terengah. "Terima kasih," bisiknya.

Aku tersenyum puas. Heh, kalau begini aku tidak jadi marah. Dia sudah mengakui kesalahannya secara tidak langsung.

"Kusarankan kau tidak perlu berbaring di luar malam ini."

Dia mendelik ke arahku. "Aku tidak mau!"

Aku menatap matanya tajam. "Di luar basah. Bahkan tidak ada bintang sama sekali. Dan aku tidak mau kau mengotori pakaian milik ibuku dengan cara seperti itu."

Selama dia tinggal di rumahku, dia memang selalu memakai pakaian milik ibuku. Aku mengizinkannya, karena jelas sangat tidak mungkin dia mengenakan pakaianku. Dia akan kelihatan lebih gila lagi. Apalagi jika dia memakai pakaian yang sama terus setiap harinya.

Sakura menunduk dan memegangi terusan yang dikenakannya. "Tapi ..." Suaranya terdengar seperti rengekan. Telingaku mendadak sakit. Oh, mungkin delusinya bukan karena cerita rekaan. Tapi, karena obsesinya terhadap bintang.

"Kau bisa melihat lewat jendela kamarmu. Dan aku bersumpah tidak ada yang bisa kaulihat." Ya, awan masih menutupi langit. Menutupi sinar bulan dan bintang. Aku meringis, tiba-tiba aku teringat Sakura yang memecahkan kaca jendela karena ingin melihat langit dengan lebih jelas ketika hari ketiga dia tinggal di sini. "Dan kali ini kau tidak boleh merusak apa pun."

Dia cemberut. "Ya sudah."

Bagus. Dia menurut. Dia tidak keluar sama sekali atau memecah jendela mana pun sampai mataku mulai disergap kantuk. Yang terakhir kulihat sebelum aku masuk kamarku adalah Sakura sedang membaca buku yang diambilnya dari perpustakaan keluargaku. Dia kelihatannya memiliki rasa ingin tahu yang besar, seperti ibuku. Sebenarnya aku tidak mengizinkan buku dibawa ke luar perpustakaan, tapi aku sudah terlalu lelah untuk menegurnya.

.

Temperatur pagi ini sangat dingin. Hari ini libur. Aku bisa menggulung tubuhku menggunakan selimut dan melanjutkan tidur yang terganggu karena dingin yang menghunjam kulitku. Aku meringkukkan tubuh. Hangat dan nyaman.

"Sasuke!"

Mataku terbuka lebar-lebar ketika mendengar suara gadis menyebalkan itu. Aku memutar tubuh dengan malas. Dia duduk di pinggir tempat tidurku. Apa yang dia lakukan di sini!?

"Sakura, apa yang—"

"Sasuke, kautahu sesuatu tentang daun semanggi?" Dia memotong perkataanku. Bagus sekali. Dia sudah bertanya aneh-aneh, padahal mataku pun belum terbuka sepenuhnya.

"Keluar," geramku.

Sakura masih tak berkutik. Wajahnya masih dipenuhi tanya.

"Kubilang keluar!" Suaraku meninggi. Dia masih bergeming.

"Aku sudah menunggu kau terbangun lama sekali."

Aku meletakkan bantal di atas kepala. Dia merengek tapi aku tak mendengarnya dengan begitu jelas. Demi apa pun, aku ingin kembali tidur! Aku tidak mau awal hariku dirusak oleh rentetan pertanyaan aneh dari Sakura.

Aku sedikit melonggarkan dekapan bantal. Aku mendengar suaranya dengan lebih jelas.

"Ya sudah. Aku akan menunggu sampai Sasuke terbangun lagi."

Bagus sekali. Dia jadi lebih mudah menurut akhir-akhir ini. Aku bukannya menyuruh-nyuruh atau apa. Tapi, dia tinggal di rumahku. Dan di sini hanya peraturanku yang berlaku. Menuruti kata-kataku adalah tuntutan berharga mati untuknya. Baiklah, aku sedikit berlebihan.

Aku menggeser kepala agar hidungku tak tertutupi apa pun. Setelah aku bisa bernapas dengan benar, aku kembali melanjutkan tidurku. Aku terbangun beberapa saat setelahnya. Aku yakin ini sudah siang karena suhunya sudah tidak dingin lagi.

Aku merentangkan tangan. Tunggu. Tempat tidurku tidak kosong. Aku segera memutar tubuh dan mendapati gadis berhelaian merah muda sedang tidur di sampingku. Wajahnya hanya berjarak tipis dengan wajahku. Aku mendadak merasa sangat, sangat gugup. Darahku berdesir dan mengalir lancar ke arah wajah hingga pipiku terasa sangat panas. Ini gila!

"Apa-apaan kau!?"

Aku segera menarik mundur tubuhku sampai ujung tempat tidur. Kakiku menyentuh lantai, aku memutuskan untuk berdiri. Apalagi yang ada di dalam otaknya sekarang?! Sebelumnya dia tidak pernah seberani ini! Dia tidak pernah kelihatan sedang menarik perhatianku dengan cara merayuku atau apa pun. Dan sekalinya dia melakukan hal yang aku kategorikan ke dalam merayu, dia langsung tidur di atas tempat tidurku! Di sampingku!

Matanya terbuka perlahan-lahan. Aku mendadak semakin gugup. "Ah, Sasuke, kau sudah bangun." Dahiku mengernyit. Ini pertama kalinya dia terbangun setelah aku bangunkan. Meski kali ini secara tidak langsung. "Maaf, aku ketiduran di sini. Habisnya kautidur lama sekali."

Jadi, dia belum keluar kamarku lagi semenjak aku tertidur?! Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku kehabisan kata-kata. Mataku memerhatikan pergerakannya yang kini mulai duduk di samping tempat tidur. Tangannya menggosok wajahnya.

Dia menatap wajahku. Aku menghindari matanya. "Sasuke, aku hanya ingin bertanya. Kautahu sesuatu tentang semanggi berdaun empat?"

Aku mendengus. Jadi, dia menungguku bangun hanya untuk bertanya itu? Dan dia sendiri pun bangun hanya untuk itu? Aku ingat dia sempat bertanya itu juga tadi pagi. "Sedikit." Aku memutuskan untuk menjawabnya saja. Aku benar-benar tidak bisa marah saat gugup. Sial!

"Ceritakan apa pun yang kau ketahui tentang itu!" Dia tidak kelihatan seperti gadis yang baru terbangun dari tidurnya. Matanya berbinar. Aku tertegun dan kembali mengalihkan tatapanku lagi.

Aku duduk dan memerhatikan wajahnya untuk mencari apa tujuannya. Dia kelihatan benar-benar penasaran. Aku mengangkat bahu sedikit. Kurasa dia benar-benar ingin tahu. Tingkah lakunya yang seperti ini membuatku berpikir bahwa dia adalah anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh orang dewasa. Apalagi kepolosannya saat terbangun di sampingku tadi. Benar-benar anak kecil. Rasanya aku ingin menceramahinya bahwa yang tadi dia lakukan tidak boleh diulangi lagi. Sungguh. Tapi, aku sedang tidak ingin marah.

Dalam hitungan sepersekian detik, kepalaku diisi kilas balik tentang ibuku dan aku. Ibuku juga suka sekali semanggi berdaun empat. Tapi, dia tidak pernah berhasil menemukannya. Dia hanya memiliki yang berhelai tiga. Aku sering melihatnya menempelkan daun itu pada lembaran kertas hingga daun itu mengering dengan sendirinya. Meski tak pernah menemukan semanggi berdaun empat sampai akhir hayatnya, ibuku sudah menyediakan sebuah benda yang nantinya akan menjadi tempat istimewa bagi daun itu. Sebuah kalung berbandul kaca. Kaca itu memiliki dua lapisan, bisa dibuka. Celah di antara kaca itulah yang nantinya akan menjadi tempat penyimpanan semanggi berdaun empat. Ibuku mewariskan pencarian daun itu padaku, namun aku belum melakukannya hingga sekarang. Tapi, kalung itu masih ada.

Mata Sakura masih dipenuhi tanda tanya. Aku memutuskan untuk menceritakan semua yang kutahu. Setiap helainya memiliki satu arti. Kepercayaan, harapan, keberuntungan, dan ... cinta. Ada juga yang menafsirkannya sedikit berbeda. Kesehatan, kekayaan, kejayaan, dan cinta. Aku hanya menjelaskan arti dari tiga helai. Entah kenapa tenggorokanku terasa tersaput ketika hendak mengatakan helaian terakhir, yang mewakili cinta. Maka, aku memutuskan untuk menyimpannya saja.

"Dan daun yang keempat?"

Aku membersihkan tenggorokan. "Kenapa kau begitu tertarik?" Aku menolak menjawab. Baru kulihat dia tertarik pada hal selain pulang ke langit. Setidaknya yang satu ini bukan khayalan.

"Aku tadi membaca buku di perpustakaanmu dan menemukan sebuah tulisan tangan yang indah di sela-sela salah satu buku." Dia menyodorkan carikan kertas kecil itu. Itu tulisan ibuku. Tulisannya adalah "Semanggi berdaun empat. Langka, tapi merupakan sebuah keberuntungan jika dimiliki."

Aku terdiam. Sedikit merasa terkejut Sakura menemukan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Rinduku pada Ibu semakin mengakut. Aku melipat carikan kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku. Kemudian aku menatap wajah Sakura untuk mencari pengalihan.

"Di daerah sini ada daun semanggi?"

Aku mengangguk. "Tapi, yang berdaun empat itu sangat jarang."

"Sasuke, kau mau tidak menemaniku mencari daun itu? Aku ingiiin sekali melihatnya secara langsung!" Mata beriris hijau milik Sakura semakin berbinar. Sekilas aku merasa tersedot ke dalamnya.

Mungkin, ini waktunya aku melakukan apa yang sudah diwarisi ibuku saat dulu. "Ya."

.

Aku memasang pelana pada kuda sembari menunggu Sakura. Hari ini dia tidak tidur. Dia memang terlalu memaksakan diri. Rasanya aneh juga. Biasanya dia sulit sekali dibangunkan. Dan kali ini dia malah bisa menahan diri agar tidak terlelap.

Dia muncul dengan pakaian yang dia kenakan ketika pertama kali bertemu denganku. Pakaiannya sedikit berbeda dengan pakaian milik ibuku atau gadis-gadis lain di desa. Biasanya, roknya akan mengembang besar, di bagian pinggul pun memiliki tekstur yang sedikit keras. Jika aku tidak salah, namanya korset. Aku tidak tahu jelas apa itu. Tapi, yang Sakura kenakan sekarang adalah terusan yang kainnya halus dan jatuh. Tak ada tekstur keras ataupun bagian yang mengembang. Rambutnya diurai dan jatuh ke punggungnya. Dia memang tidak pernah mengenakan topi lebar atau menata rambutnya sama sekali, pun tidak pernah mengenakan sarung tangan seperti wanita lain pada umumnya. Aku berpikir bahwa dia adalah gadis dari desa, bahkan negara lain, karena pakaiannya yang berbeda dan aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya. Aku masih tidak percaya bahwa dia adalah bintang.

Pelana sudah selesai kupasang. Aku membantu Sakura ketika menginjak sanggurdi dengan cara mengulurkan tangan. Dia mengenakan rok sehingga sedikit kesulitan. Ibuku memang tidak memiliki celana panjang, dia wanita yang sangat anggun. Setelah Sakura berhasil naik, aku segera menjaga keseimbangan. Entah refleks atau apa, tapi kedua tangan Sakura melingkar di perutku.

Aku mengulurkan tangan untuk meraih tali. Sakura mengeratkan pegangannya pada perutku. Kudaku meringkik. Jantungku berdetak lebih kencang ketika kuda hitam ini mulai melompat membelah jalan. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya.

Sakura kelihatan tidak terganggu meski banyak orang yang melemparkan tatapan aneh pada kami. Sama halnya denganku. Aku tidak peduli. Hal yang bagus Sakura ada di belakangku sekarang. Semenjak gadis ini tinggal di rumahku, tidak ada lagi gadis agresif yang menggangguku. Namun, Sakura terkena tindakan abusif kadang-kadang. Aku akan berusaha agar hal itu tidak terulang lagi.

Kami turun dari kuda ketika danau sudah memasuki indra penglihatan. Aku tahu semanggi hanya tumbuh di daerah lembap. Maka, pinggiran danau adalah lokasi yang tepat.

Selagi aku mengikat tali kudaku pada pohon, Sakura sudah berlari menghambur ke arah danau. Aku sudah memberi tahu letak spesifik tumbuhnya semanggi. Dia berjongkok. Sepertinya dia sudah menemukan apa yang dia cari. Aku menyusulnya dan berdiri di sampingnya.

"Sasuke, ini daun semanggi, kan?" Sakura menjulurkan tangannya. Di antara jepitan ibu jari dan jari telunjuknya, ada sebuah semanggi berdaun tiga.

Aku mengangguk. Tanganku dimasukkan ke dalam saku celana. Aku menggenggam erat-erat benda yang ada di sana.

Wajahnya kelihatan puas. Dia menyelipkan rambut berwarna tak lazimnya ke balik cuping telinga, kemudian menyusupkan daun semanggi itu di sana. Dia merangkak mendekati danau, sepertinya dia sedang bercermin.

Mata kami bertemu ketika dia memutar tubuhnya. Aku merasa tertangkap sedang memerhatikannya semenjak tadi. Tapi, tidak ada satu pun di antara kami yang memutuskan pandangan. Dia berdiri dan berjalan mendekati aku.

Dia melepas semanggi dari telinganya. "Daun ini cantik sekali. Bagaimana menurutmu?"

Aku mengikuti arah pandangnya. "Bagus."

"Hanya itu?"

"Hn."

Sakura terdiam dan mengangkat dagu. "Kalau begitu, apa yang menurutmu cantik?"

Aku terkejut mendengar pertanyaannya. Jawaban yang muncul di kepalaku saat ini hanya satu, ibuku. Tapi, saat aku menatap wajah Sakura, melihat ke dalam matanya, mengingat bagaimana sifat polosnya, jawabanku bertambah satu lagi.

Aku membuka mulut, hendak menjawab. Tapi, suaraku tidak keluar. Pita suaraku tidak bergetar. Sakura masih menatap wajahku. Ekspresinya penuh harap. Dia menunggu jawaban.

Aku berdehem dan berusaha menjawab. "Sesuatu yang kau lihat di permukaan danau," bisikku.

Sakura kelihatan penasaran. Kepalanya sudah dia condongkan ke arah danau. Refleks aku memegang tangannya dan menariknya menjauh dari danau. Aku tidak mau Sakura mengerti maksud kata-kataku.

"Sasuke?"

"Kau bilang mau mencari semanggi berdaun empat, kan?"

Sakura tidak berkomentar lagi. Dia mengikuti langkah kakiku dengan ringan. Aku mencari tanah lembap yang sedikit jauh dari danau. Langkah kakiku berhenti ketika melihat batu yang menjulang besar, diselimuti lumut dan beberapa helai daun semanggi di permukaannya. Aku bilang pada Sakura dia bisa mencari di sini. Sementara aku meninggalkannya sebentar, ingin melihat tempat ini lebih jauh. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku datang ke mari, hingga rasanya seperti pertama kalinya.

Aku duduk jauh dari posisi Sakura sekarang. Ujung kakiku menginjak tepat perbatasan antara tanah kering dan tanah lembap. Aku melepaskan pandangan pada danau yang luas. Angin sejuk yang bertiup dari genangan air mengusap wajahku. Aku memejamkan mata.

Suara Sakura yang terdengar sedang senang itu menabuh gendang telingaku. Dia benar-benar bertindak seperti anak kecil. Atau memang dia belum pernah menghadapi masalah apa pun dalam hidupnya sehingga hidupnya terlihat tanpa beban begitu saja? Entahlah, itu adalah hal yang tidak mungkin. Jika dilihat dari perawakannya, umur Sakura pasti tidak jauh dariku, bisa sama atau lebih muda. Aku belum pernah bertanya soal itu padanya. Dan gadis pada usia begitu tidak mungkin tidak pernah mengalami masalah. Mungkin, ini hanya Sakura yang memang ringan dalam menjalani hidup.

Tempat ini mendadak menjadi lebih menenangkan daripada sebelumnya. Sudah lama aku tidak hidup di tempat yang dipenuhi atmosfer bahagia seperti sekarang. Dan yang membentuk atmosfer itu adalah gadis gila itu. Sakura.

Aku membuka mata ketika merasakan sesuatu menyentuh bahuku. Itu tangan Sakura, siku tepatnya. Kedua tangannya menangkup di depan dada. Dia menurunkan tangkupan tangannya, aku melihat tangannya sudah dipenuhi daun semanggi.

"Ada yang berdaun empat?"

Dia menggeleng. Dia duduk di sampingku, menyimpan semua helaian daun itu di atas kain yang melapisi tubuhnya. Dia menarik dagu, menatapi daun-daun yang tumbuh di dekat kakinya. Tiba-tiba dia terlonjak.

"Sasuke, itu semanggi berdaun empat!"

Aku mengikuti indikasi jari telunjuknya. Tepat di antara kedua kakiku. Bagaimana aku bisa melewatkan sesuatu yang begitu dekat denganku seperti ini? Aku menarik kakiku agar daun itu kelihatan lebih jelas. Ya, Sakura benar. Itu memang semanggi berdaun empat yang langka. Aku membiarkan dia memetik daun itu. Dia mendekatkan benda itu pada wajahnya. Matanya mengobservasi. Aku ikut mengikuti arah pandangnya. Ini adalah pertama kalinya aku melihat semanggi berdaun empat secara langsung, bukan dari ilustrasi lagi.

Aku memasukkan tangan kananku ke dalam saku. Kugenggam erat-erat benda yang berada di sana. Kuputuskan untuk mengeluarkannya dan menunjukkan fungsi benda itu yang sebenarnya. Aku meminjam daun semanggi berhelai empat dari Sakura, kemudian menaruhnya di antara dua lembar liontin kaca. Daun itu kelihatan jauh lebih bagus di dalam kalung ini. Aku diam ketika memerhatikannya.

Sakura tak berkata apa-apa selama aku memasukkan daun ke dalam bandul. Arah pandang kami tertuju ke tempat yang sama, pada kalung itu. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan pada kalung ini sekarang. Ini jelas tidak cocok dikenakan seorang pria. Mataku melirik ke arah Sakura. Kutarik kalung itu hingga Sakura tak bisa lagi melihatnya.

"Sakura, angkat rambutmu," kataku.

"Kenapa?"

"Lakukan saja."

Dia mengikat rambutnya menggunakan tangan dan mengangkatnya hingga tak ada satu helai pun yang menempel di lehernya. Aku mengangkat kalung itu dan meletakkannya di sekekiling leher Sakura. Desah napasnya membelai kulit leherku. Bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Setelah tanganku menjauh, Sakura menurunkan rambutnya. Tangannya berpindah pada liontin kalung yang berada di ujung tulang selangkanya.

"Ini untukku?"

Aku mengangguk. Mataku menghindari tatapannya.

"Terima kasih, Sasuke."

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya karena tatapanku sudah berpindah pada danau. Keheningan menyelimuti kami berdua. Mendadak aku tidak punya nyali untuk menatap wajahnya. Berkas-berkas cahaya terpantul di permukaan danau yang berfungsi layaknya cermin. Tempat ini memang bagus.

"Ada lagi yang mau kaulakukan?" Aku bertanya padanya. Hari ini aku memang tak punya rencana apa-apa. Aku memutuskan untuk mengikuti rencana Sakura saja.

"Aku mau di sini dulu, boleh? Aku ingin berbaring di atas rumput," jawabnya dengan suara polos. Lama-lama aku terbiasa dengan sifat kekanakannya.

Aku berdiri. "Tanah di sini basah. Carilah tempat yang kering."

Dia ikut berdiri dan mengikuti langkah kakiku. Daun semanggi berhelai tiga dia tinggalkan di sana. Tangannya tak pernah terlepas dari liontin kalung, dia bertindak seakan-akan benda itu akan hilang kapan saja.

Jarakku dan dia lumayan jauh sekarang. Jalannya lambat sekali. Aku sudah menemukan tempat yang strategis. Matanya tak tertuju pada jalan yang akan dia lewati, atensinya tertarik pada kalung yang kuberikan.

Dia sudah cukup dekat denganku. Jika tanganku direntangkan ke depan, bahu Sakura sudah bisa kupegang. Dia masih tidak memerhatikan jalan. Kakinya menginjak sesuatu yang membuatnya terperosok. Tangannya refleks memegangi kain yang melapisi dadaku erat-erat hingga aku ikut terjungkal jatuh karena pergerakannya yang tiba-tiba.

Napasku tertahan. Sakura tepat berada di bawahku sekarang. Aku tidak menghimpit tubuhnya. Bobotku ditahan kedua tangan. Sakura meringis. Aku mencari-cari apa yang membuatnya meringis. Mataku melebar ketika menyadari bahwa salah satu tanganku berada di dekat posisi kalungnya. Daerah situ. Darahku mendidih. Cepat-cepat kusingkirkan tanganku dari sana. Dia tidak marah. Wajahnya tetap polos sekali. Itu membuatku malu setengah mati.

Aku memutar tubuh dan berbaring di sampingnya. Kupejamkan mataku erat-erat. Wajahku masih terasa sangat panas, jantungku berdetak dengan tak karuan. Rasanya aku ingin berteriak untuk melampiaskan perasaan aneh ini. Tapi, tidak kulakukan demi menjaga nama baikku.

Wajah Sakura terbayang-bayang selagi aku memejamkan mata. Matanya berbinar terang, senada dengan warna rumput yang terhampar di sini. Wajahnya berubah warna ketika aku berada di posisi tadi. Perutku berputar dengan sensasi aneh. Aku tidak berani melihat Sakura lagi sekarang.

"Sasuke, pipiku panas."

Aku juga. "Abaikan saja. Nanti juga hilang sendiri." Meski aku tidak yakin kapan panas di wajahku bisa menghilang. Dia itu aneh sekali. Kenapa dia harus laporan segala? Itu berarti dia merasa malu juga kan? Tapi, kenapa dia tidak protes apa-apa?

Jemarinya menyentuh pipiku. Aku tersentak. Kulitnya terasa dingin ketika bersinggungan dengan wajah panasku. "Tadi pipimu berubah warna." Kenapa dia harus terlalu terus terang?!

Aku masih memejamkan mataku. Bibirku bergumam kecil menanggapinya. "Kau juga," bisikku pelan-pelan.

Dia tidak menanggapi lagi. Aku membuka mata dan melirik ke arahnya. Aku khawatir dia tertidur di sini. Itu akan membuatku repot. Antara membawanya pulang dalam keadaan tertidur, atau menunggu sampai dia terbangun. Aku tidak mau memilih satu di antaranya. Kedua-duanya membuat jengkel.

Dia memang memejamkan matanya. Aku memanggil namanya, dia masih menyahut. Syukurlah, dia tidak tidur. Aku memerhatikan wajahnya. Dia kelihatan begitu rapuh, entah apa yang membuatku berpikiran seperti itu. Sesuatu dalam dirinya membuatku ingin selalu melindunginya. Yang terdekat adalah melindungi dari kelakuan gadis-gadis desa yang abusif terhadap Sakura. Wajahnya semakin lama kelihatan kian tenang. Aku benar-benar membangunkannya kali ini, meski aku masih ingin menghindari perasaan aneh ketika aku menatap matanya.

Dia kelihatan mengantuk. Kalau begitu, lebih baik dia tidur di rumah. Itulah sebabnya aku memutuskan kami harus segera pulang. Dia tidak melawanku. Dia menurut. Langkahnya gontai. Kalau dia tidak berpegang padaku, aku yakin dia sudah jatuh lagi sedari tadi.

Sakura menyandarkan kepalanya pada punggungku ketika sudah duduk di atas pelana. Aku khawatir dia bisa mendengar detak jantungku yang tak beraturan. "Bangun, Sakura," kataku. Kalau begini terus, kami berdua bisa sama-sama jatuh. Dia bergumam kecil kemudian kembali menegakkan tubuh.

Langit mendung. Aku tidak pernah percaya akan gejala alam yang menunjukkan sebuah pertanda. Namun, kali ini perasaan berdebar-debar yang kurasakan telah terganti oleh perasaan tidak enak. Perasaan yang menekan perutku hingga terasa mual. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku tahu ini bukan sekedar perasaan tidak enak karena Sakura membenci hujan. Ini lebih mendalam dari pada itu.

Aku memecut kuda dengan sedikit keras. Kudaku meringkik dan berlari lebih cepat. Aku harus segera tiba di rumah sebelum satu tetes hujan pun jatuh. Ini bukan hanya tentang Sakura, ini tentang aku juga. Pun kudaku.

Suara seseorang yang memanggil namaku keras-keras membuatku menarik tali kekang. Kedua kaki depan kuda menendang udara. Pacuan berhenti. Tubuh Sakura tersentak karena pergerakan yang tiba-tiba. Dia mencengkeram tanganku erat-erat dan mengeluh.

"Sasuke!"

Itu suara Naruto. Aku menarik tali kekang lagi agar kuda berputar arah. Wajah Naruto berkilau karena peluh. Napasnya terengah. Aku menduga ada sesuatu yang gawat. Aku melirik ke arah Sakura, dia sudah terjaga sepenuhnya. Kupikir karena dia terkejut tadi.

Ketika kuda milikku dan Naruto bersisian, dia tidak langsung menyampaikan maksudnya. Dia meneliti Sakura dari ujung kaki hingga ujung kepala, membuatku mendesis tak nyaman.

"Ada apa, Naruto?" kataku, mendesaknya agar segera mengatakan apa pun yang ingin dia katakan.

Dia tersentak. "Kau, kau harus segera kembali ke rumah ayahmu!"

Aku menaikkan sebelah alis. "Ayahku?" Aku memang sudah lama tidak bertemu dengannya. Sebelum Naruto mengatakan penyebab dari apa yang dimintanya, aku segera memacu kudaku ke arah rumah ayahku. Cukup jauh dari sini, memiliki alokasi waktu lebih lama jika dibandingkan dengan perjalanan ke rumahku. Aku harap bisa sampai sebelum hujan turun.

Naruto memanggil-manggil namaku dari belakang. Derapan kaki kudanya bersahutan dengan kuda milikku. Dia sudah mengenalku lama, seharusnya dia paham bahwa aku akan melakukan sesuatu dengan efektif. Apalagi jika sudah terkait dengan keluargaku, aku tidak perlu tahu apa sebabnya.

Hujan belum turun sampai aku tiba. Di rumah ayahku tidak ada istal, jadi aku mengikat tali kekang kuda pada pohon yang berada di dekat kanopi. Naruto datang satu menit sebelum hujan turun. Sakura memeluk tubuhnya sendiri. Dia mundur, menempelkan punggung pada dinding. Benar-benar menghindari hujan. Lagi-lagi, Naruto menatap Sakura dengan tatapan yang membuatku tak suka.

"Gadis ini kekasihmu?" Naruto menatap wajahku dengan pandangan menyelidik. Mata birunya terasa menghunjam.

Aku mengendikkan bahu. "Itu bukan hal penting," kataku. Aku tidak mau menjawab pertanyaannya. "Sekarang katakan di mana ayahku dan apa yang terjadi padanya hingga aku harus datang ke sini?"

"Oh." Tatapan matanya terasa mencair. "Ayahmu ada di kamarnya. Dia sakit. Aku kebetulan sedang lewat di depan rumahnya ketika dia pingsan."

"Pingsan?" Salah satu alisku tertarik ke atas. Aku cukup terkejut dengan berita yang Naruto bawa. Aku tidak tahu bahwa ayahku memiliki suatu penyakit yang bisa membuatnya pingsan. Atau itu terjadi selama aku tidak pernah berhubungan dengannya lagi? Entahlah.

Aku langsung masuk ke dalam dan menarik tangan Sakura. Aku tahu dia tak akan bergerak jika tangannya tidak kutarik. Naruto mengikuti dari belakang. Aku meminta Sakura untuk duduk di sofa, tidur atau apalah, asalkan dia bersikap tenang. Aku harap Naruto mengikutiku ke kamar Ayah, karena aku merasa tidak nyaman jika Naruto berada di dekat Sakura ketika aku tidak ada di antara mereka. Tatapan menyelidik yang dia lemparkan tadi membuatku bersikap awas.

Aku duduk di samping tempat tidur ayahku. Naruto duduk di samping lainnya. Ayahku masih belum sadarkan diri. Aku memegangi dahinya, suhu tubuhnya normal. Dia tidak demam. Lantas, apa yang membuatnya sakit hingga pingsan?

"Bisa kaujelaskan lebih terperinci apa yang terjadi pada ayahku?" tanyaku pada Naruto.

Naruto mengangkat wajahnya dan menatapku. "Aku tidak tahu. Aku sedang lewat dan sudah mendapati ayahmu terbaring di beranda rumahnya. Itu saja," katanya. "Sebelum aku menemuimu tadi, aku meminta Tuan Yakushi datang ke sini untuk memeriksa keadaan kesehatan ayahmu. Sepertinya sebentar lagi dia datang."

Tuan Yakushi? Nama itu terdengar familiar di telingaku, namun aku tak begitu ingat dia itu siapa. Yang jelas dia pasti seseorang yang mengerti medis.

Suara pintu yang terketuk menggema hingga ruangan ini. Naruto beranjak dari duduknya. "Nah, itu pasti dia. Biar aku saja yang buka pintu. Kautunggu di sini."

Aku mengangguk. Pandanganku ditahan pada wajah ayahku. Ayahku kelihatan pucat sekali. Padahal, terakhir aku bertemu dengannya sebelum ini, dia adalah pria tangguh dan kuat. Dia disegani banyak orang. Namun, semuanya berubah semenjak kepergian ibuku. Ayahku jadi manusia yang sangat, sangat dingin. Sebelumnya dia memang sering bersifat dingin, tapi tidak sedingin itu. Sebelumnya dia disegani, tapi lama-kelamaan dia jadi ditakuti.

Saat umurku lima belas tahun, ayahku memutuskan untuk pindah dari rumah yang aku tinggali sekarang ke pinggiran desa, di sini. Rumah itu memang terlalu banyak diisi kenangan di setiap ujungnya. Aku paham apa yang membuat ayahku memutuskan untuk pindah. Namun, aku tidak bisa meninggalkan rumah itu begitu saja meski aku harus tinggal sendirian.

Aku bukan anak tunggal sedari lahir. Dulu, aku memiliki seorang kakak laki-laki. Aku tidak terlalu mengenalnya. Karena pada umur ketiga, aku menjadi anak tunggal. Mereka tidak pernah menceritakan apa-apa tentang kepergian kakakku.

Keretan suara pintu menabuh gendang telingaku. Aku melihat sosok berambut perak masuk ke dalam bersama Naruto. Dia pasti Tuan Yakushi. Dia memeriksa keadaan ayahku setelah aku memutuskan untuk keluar.

Sakura tertidur di atas sofa. Kepalanya miring ke sebelah kanan. Ketika dia terbangun nanti, otot di bagian lehernya pasti terasa pegal. Aku membenarkan posisi tidurnya agar dia merasa lebih nyaman.

"Siapa gadis itu, Sasuke?" Naruto bertanya.

"Sakura."

"Aku tidak tahu kaupunya kekasih."

Aku menatap wajah Sakura, kemudian beralih pada Naruto. "Dia bukan kekasihku."

"Oh?" Dia kelihatan terkejut. "Lantas, dia siapamu?"

Tuan Yakushi membuka pintu dan menyelamatkanku dari pertanyaan Naruto. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Tuan Yakushi bilang, ada yang salah dengan jantung ayahku. Kalau sudah begitu, biasanya sulit sembuh. Tanaman-tanaman obat yang ada di sekitar sini selalu berpengaruh sangat lambat dalam pengobatan demam. Apalagi jika harus menyembuhkan penyakit jantung?

Aku memutuskan untuk tidak pulang sampai keadaan ayahku membaik. Meski hubunganku dengan ayahku tidak seperti ayah dan anak pada umumnya, tapi dia tetap saja ayahku. Satu-satunya keluarga yang tersisa di dunia ini. Membolos kerja untuk ini kurasa tak akan menjadi masalah yang besar.

Naruto pulang ke rumahnya ketika malam mulai larut. Sebelumnya, dia masih benar-benar penasaran dengan identitas Sakura dan apa hubunganku dengannya. Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Sakura selain namanya, kubilang dia kehilangan ingatannya. Selama ini aku memang menganggapnya begitu, karena dia tidak pernah membicarakan hal selain cerita bintang bodohnya.

Di hari ketiga aku menetap di rumah Ayah, keadaan ayahku masih belum membaik juga. Dia sudah sempat sadar dan kelihatan nyaman ketika bertemu denganku. Aku tidak banyak berkomunikasi dengannya karena memang tidak tahu apa yang harus aku katakan. Yang aku lakukan hanyalah membantunya makan dan minum, karena dia memang tinggal sendiri di sini. Ayah bahkan tidak tahu apa-apa soal Sakura, sepertinya.

Selama tinggal di sini, Sakura tidak lagi tidur siang dan terjaga di saat malam. Dia mulai normal. Sesekali Naruto berkunjung ke mari dan berbincang bersama Sakura. Aku selalu merasakan hal aneh setiap kali Naruto berkomunikasi dengan Sakura. Aku merasa aku harus waspada. Meski sebenarnya aku tahu pembicaraan mereka tidak akan ke mana-mana. Sakura hanya akan mengoceh tentang khayalan bintangnya, dan Naruto hanya akan menangkapnya seperti dongeng sebelum tidur. Aku tahu itu.

Namun, ternyata aku salah sampai hari di mana tubuh ayahku kejang dengan tidak normal. Tuan Yakushi diminta datang lagi ke sini dan memeriksa keadaan ayahku. Dia bilang, kalau sudah begitu, umur ayahku pasti tidak akan lama lagi. Aku tak memercayai kata-katanya. Aku sempat marah padanya karena tak menerima vonisnya. Namun, Naruto menenangkanku dan berkata bahwa Tuan Yakushi adalah tabib yang paling dipercaya di seantero desa. Kemungkinannya salah memprediksi itu sangat kecil. Aku merasa kehilangan harapan. Ayahku adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki sekarang. Aku menyesal karena sudah melewatkan bertahun-tahun hidup dengannya.

Naruto menenangkanku lagi dan berkata tentang mitos aneh. Mitos yang sanggup menyembuhkan semua penyakit dalam hitungan detik.

"Jantung bintang?" Aku membeo.

Dia mengangguk mantap. "Ya, jantung bintang adalah obat terbaik untuk penyakit apa pun. Bagi orang yang sehat, jantung bintang akan memperpanjang umur."

Aku mengernyitkan dahi. Bintang, bintang yang dia maksud itu apa? Bintang yang sama dengan yang selalu Sakura ocehkan? Aku menggeleng tidak percaya. Itu hanya mitos, dongeng, cerita rekaan, dan apa pun yang bukan kenyataan. Aku tidak bisa mengaplikasikan sesuatu seperti itu ke dalam kehidupan nyata.

"Sasuke, aku serius." Naruto mencoba meyakinkan aku.

"Jangan bercanda, Naruto. Bintang itu ada di langit. Dan tidak mungkin memiliki jantung." Aku masih tak percaya dan menyangkal terus. Kupastikan Sakura tidak mendengar ini. Karena jika dia mendengarnya, lawan debatku akan bertambah. Beruntung dia sedang tidur di kamarku sekarang.

Wajah Naruto kelihatan lebih serius. Dia duduk di sofa, aku mengikutinya. "Sasuke, Sakura adalah bintang," bisiknya. "Jantungnya bisa menyembuhkan penyakit ayahmu."

Aku mendengus. Sial, dia sudah termakan kata-kata Sakura. Dia sama bodohnya. "Dia bukan bintang, Naruto."

"Dia memang bintang. Lihat warna rambut anehnya!" Suara Naruto meninggi. Dia menatap wajahku lamat-lamat. Jarang sekali aku berhadapan dengan Naruto yang bersifat serius seperti ini. Sayangnya, yang dia katakan ketika dia serius justru bukanlah hal yang serius.

"Memangnya semua bintang yang kau pikir itu selalu memiliki warna rambut yang aneh?"

"Tidak juga," katanya. Aku menyeringai remeh. Argumennya tidak kuat. Dasar macam apa yang menggunakan warna rambut. Heh. "Tapi, aku tahu bahwa dia memang bintang!"

Aku tertawa meremehkan. "Kau sama gilanya dengan Sakura. Pemikiranmu tidak masuk akal. Kau terlalu banyak membaca fiksi." Sebenarnya aku sedang sangat kesal sekarang. Ayahku divonis berumur pendek, dan Naruto malah bermain-main denganku tentang dongeng yang Sakura buat-buat.

Matanya menyalang marah. "Sasuke!" Dia menggeram. Aku sedikit terkejut. Aku bersumpah aku melihat mata birunya berubah menjadi merah.

Aku menelan salivaku untuk menenangkan diri. Kepalan tanganku bergetar di atas paha. "Dengar, Naruto. Aku sudah cukup beradu pendapat tentang ini dengan Sakura. Aku menolak jika harus melakukannya denganmu juga. Semua ini tidak nyata dan imajinatif." Aku menatap matanya dengan tajam, berusaha mengabaikan rasa ingin tahu penyebab perubahan warna mata Naruto.

Dia terdiam dan berhenti mendebatku lagi. Matanya berubah menjadi biru kembali? Ah, aku pasti hanya berhalusinasi karena sudah diserang kantuk sedari tadi.

"Aku tahu apa yang membuatmu mau berteman denganku dari kecil hingga saat ini, padahal semua orang malah takut dan menjauhiku." Naruto berkata dengan suara yang sangat pelan, namun cukup untuk kudengar.

"Apa?" Aku tidak mengerti. Tadi kami sedang berdebat tentang bintang, kenapa sekarang dia malah bicara soal pertemanan?

"Kau pernah dengar bahwa, mmm ... aku ini ... siluman serigala berbahaya, kan?" Tatapan matanya kelihatan sendu.

Aku mengernyitkan dahi. Semakin tidak mengerti. Bicara apa dia? "Apa?"

"Kau tidak percaya itu. Aku sebenarnya merasa senang, karena itu kau tak akan takut padaku dan mau jadi temanku." Dia menggigit bibirnya hingga memutih. Tangannya mengepal di atas meja. "Tapi, aku berani bersumpah bahwa aku memang seperti itu! Aku sebenarnya tidak mau mengatakan ini padamu, tapi kulakukan saja demi kesembuhan ayahmu."

Aku terdiam. Tak berniat menanggapi sama sekali. Aku memang pernah dengar desas-desus yang mengatakan bahwa Naruto adalah siluman serigala. Aku tidak pernah percaya itu sama sekali. Bahkan, aku menganggap semua orang yang menjauhinya karena cerita itu adalah orang-orang bodoh.

"Kautahu kenapa aku tidak punya teman? Kautahu kenapa desa pernah hancur dalam semalam? Kautahu kenapa ada tiga garis aneh di pipiku?"

Suara Naruto semakin meninggi. Aku yakin suaranya ini cukup untuk membuat ayahku dan Sakura terbangun. Aku ingin menenangkannya karena dia terlalu berisik. Dia bisa mengganggu orang lain juga. Namun, aku hanya terdiam. Aku ingin mendengar sejauh apa dia akan berusaha untuk membuatku yakin akan argumen konyolnya.

"Itu semua karena aku adalah siluman serigala! Aku tidak terpengaruh fiksi-fiksi aneh seperti yang kaukatakan. Aku percaya dan yakin dengan argumenku karena aku sendiri yang mengalaminya!" Dia membentak di depan wajahku. Aku yakin sekali ayahku dan Sakura sudah terbangun sekarang.

Aku berusaha bersikap tenang. "Sudah cukup." Aku sudah tidak mau mendengar lebih lanjut.

"Apa?" Napas Naruto terengah. Dia kembali ke tempat duduknya.

Aku menggertakan gigiku. Kini, mataku yang menatapnya tajam. "Omong kosong ini ... sudah cukup."

"Sasuke, kau ini benar-benar!"

"Selama ini, aku bertingkah seakan aku percaya untuk mengikuti permainan Sakura. Apa pun itu. Aku hanya ingin dia keluar dari rumahku meski aku harus berpura-pura percaya bahwa dia adalah bintang! Jangan mulai permainan lainnya, Naruto. Aku sudah muak!" Aku membentak di depan wajahnya. Napasku terengah. Aku benar-benar marah.

Naruto tak menanggapiku lagi. Bagus. Dia sudah mengerti bahwa aku tidak suka dipermainkan. Aku menyelidiki wajahnya. Arah pandangnya bukan padaku. Dia menatap kaku pada sesuatu yang ada di balik bahuku.

"Sasuke, jadi selama ini kau ..." Aku mendengar cicitan suara Sakura. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Sakura tengah berdiri dengan wajah yang terluka. Melihatnya membuat dadaku terasa diremas hingga aku mengerang kesakitan.

Sebelum dia memalingkan wajah, aku melihat cairan bening membasahi ujung matanya. Cairan itu menetes ke lantai. Aku terpaku. Tubuhku terasa kelu. Aku mendengar suara pintu yang dibanting. Sakura pergi dari rumah ini.

Aku merasa panik. Dadaku dipenuhi rasa bersalah. Rasanya gamang. Aku tidak tahu bahwa kata-kataku bisa menyakitinya sedalam itu hingga dia memutuskan untuk pergi. Selama ini dia bertahan meski sering kukasari. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku berdiri, hendak mengejar Sakura dan menahannya. Meski aku masih belum tahu apa yang mau aku katakan nantinya.

"Sasuke." Ayah memanggil namaku. Aku berusaha menenangkan diri.

Ketika aku masuk ke kamar ayahku, aku tidak melirik Naruto sama sekali. Sepertinya dia juga melakukan hal yang sama. Aku mengembuskan napas berat. Kepalaku diisi bayangan ke mana Sakura akan pergi dan apa yang akan terjadi padanya. Ini nyaris tengah malam. Dan dia keluar sendirian. Tapi, ayahku sakit. Diperkirakan umurnya tidak lama lagi. Aku benar-benar dilema.

Ayah menatap wajahku. Matanya sayu.

"Maaf. Ayah pasti terbangun karena aku," kataku dengan nada menyesal. Kakiku menggertak lantai dengan gelisah.

Ayah menggeleng. "Kau sama denganku dulu," katanya.

Aku mengernyit tidak mengerti. Sebelum aku sempat bertanya, Ayah cepat-cepat berkata, "Sasuke, di rumah ini bukan hanya ada aku, kau, dan Naruto, kan?"

Aku meneguk ludah dan mengangguk. Aku merasa bersalah karena tidak memberi tahu ini lebih awal.

"Gadis itu ... dia sama dengan ibumu." Aku sempat beberapa kali berpikir begitu. Yang membuatku tidak sanggup bertindak jahat pada Sakura seperti aku bertindak jahat pada orang lain adalah kemiripan sikapnya dengan Ibu.

"Separuh dirimu pun sama dengan gadis itu."

Separuh diriku? Apa maksud Ayah?

"Kau tidak pernah bersikap baik pada seorang gadis, kan?" tanya Ayah. Aku mengangguk ragu-ragu. "Tapi, sepertinya kau baik pada gadis ini."

"Kau lebih baik menyusulnya sekarang. Minta maaflah padanya." Aku melebarkan mata. Sedikit terkejut dengan kata-kata yang meluncur dari bibir Ayah. "Karena saat aku kehilangan ibumu ... segalanya terasa hampa."

Aku menggigit bagian dalam mulutku. Mungkin kata-kata ayahku sebenarnya sederhana, tapi entah kenapa rasanya begitu dalam. Lidahku kelu. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menatap wajah ayahku, meminta jawaban.

"Kau tidak perlu khawatir. Naruto pasti akan membantuku jika aku membutuhkan sesuatu." Ayah benar. Meski aku baru saja bertengkar dengan Naruto, tapi lelaki itu pasti tetap mau membantu Ayah. Aku mengangguk dan berpamitan padanya untuk pergi sementara.

Aku menepuk leher kudaku setelah melepas tali kekangnya. Dia meringkik pelan. Tangan kananku sudah memegang sebuah lentera untuk menerangi jalanan. Aku meringis membayangkan Sakura berlarian di jalanan gelap. Aku duduk di atas pelana dan mengomandokan pada kuda untuk segera maju.

Selama di perjalanan, kata-kata Ayah terus menggema di dalam kepalaku. Tak satu pun yang aku mengerti. Kalimatnya penuh dengan teka-teki. Cahaya dari lampu menerangi jalanan. Suara binatang malam membumbung ke udara. Aku sama sekali tidak punya bayangan harus mencari Sakura ke mana. Aku benar-benar merasa gamang.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

.

.

Bersambung

.

.

Kalau ada kesalahan mohon bantu koreksi ya. Terima kasih udah membaca sampai sini! :D

Bandung, 15 Agustus 2015,

daffodila.