Mereka bilang lelaki Jepang menilai kecantikan wanita lewat leher dan tengkuknya. Contohnya pria-pria zaman Edo yang menganggap cantik para geisha yang menurunkan kerah kimononya sampai ke bahu. Leher jenjang dan tengkuk berpoles bedak seputih salju itu bagi mereka nampak erotis. Seksi. Menggairahkan. Menambah aura kecantikan seorang wanita penghibur yang tak dapat dibantah. Sembari geisha-geisha itu menari berputa-putar dengan menggerak-gerakkan kipasnya anggun, mungkin lelaki Edo sekaligus juga bisa menikmati tengkuk mereka sebagai pemandangan indah. Stereotipe lelaki Jepang memang seperti itu. Sampai saat ini pun masih berlaku, meski pun tetaplah tidak ada secarik kertas yang menyatakannya secara tertulis.
Sementara di luar sana mungkin laki-laki memandang kecantikan wanita dari segi yang berbeda.
Aku memang orang Jepang –walau bukan keturunan murni–, tapi aku tak seperti lelaki Jepang lainnya yang memandang lebih pada tengkuk wanita, aku suka kaki mulus dengan kulit yang terang dan bersih. Tanpa bulu halus atau cacat apa pun –bekas luka dihitung–. Bentuknya tidak lurus kecil seperti wotel, atau besar seperti lobak. Aku suka jika betisnya agak berisi sedikit. Tapi bukan yang kekar karena terlalu sering dipakai berjalan dengan high heels.
Ah, high heels.
Aku suka melihat wanita yang memakai high heels–tapi dalam saat-saat tertentu–. Selain terlihat lebih tinggi, kakinya juga jadi lebih jenjang. Apalagi jika heels yang dipakai berbentuk kecil runcing dan agak tinggi. Sekitar 5cm mungkin. Aku tak tahu high heels jenis apa itu karena aku bukan wanita. Jelas. Aku tak mengenal apa bedanya heels yang ini dan heels yang itu. Yang kutahu hanya sepatu berhak tinggi, entah itu yang haknya kecil, tipis, atau yang seperti zori geisha. Itu saja. Oh ya, lebih cantik lagi kalau high heelsnya berwarna merah, dan dipakai oleh wanita berkulit terang. Astaga, pikiranku melayang kemana-mana ketika membayangkan perpaduan yang kelewat seksi ini.
Kau mungkin mengira aku akan membuka-buka majalah fashion wanita untuk mencari gambar kaki-kaki beralaskan high heels merah. Tak salah juga 'sih, kadang aku memang melakukannya. Di kantor atau pun di jalan, jarang kutemui wanita-wanita dengan high heels merah. Mungkin ada satu atau dua. Tapi belum pernah kutemukan yang kakinya sesuai dengan yang kusukai. Ada yang kulitnya cokelat, ada yang kakinya berbuah betis seperti atlet sprint. Aku tidak suka. Tidak sesuai dengan warna merah yang cantik.
Salahkan aku jika sampai sekarang aku belum juga memiliki kekasih. Salahkan kaki berhigh heels merah favoritku. Memang banyak wanita yang mendekatiku dan ingin dijadikan kekasih–bahkan istri–, tapi aku tidak mau kalau kaki mereka tidak sesuai, meski mereka cantik sekali pun. Jangan salah. Wanita-wanita di sekelilingku adalah wanita kelas atas yang hidup glamor dan berpenampilan luar biasa. Eksekutif, model, artis, pramugari, dan lain-lain yang aku tak ingat siapa saja, mendekatiku seakan aku adalah sarang tawon. Kenapa aku tidak menggambarkan diriku sebagai bunga? Buka terlalu cantik. Bunga dihinggapi lebah pekerja yang jelas-jelas adalah jantan. Sekelilingku wanita jadi mana mungkin aku menyebut diriku bunga.
Alih-alih menerima apa adanya mereka yang suka rela menyerahkan dirinya padaku seperti maling kepergok polisi, aku lebih memilih untuk mencari sosok idamanku sendiri. Ya, mencarinya. Mencari wanita berkaki indah yang akan cocok jika kupakaikan high heels merah. Terdengar seperti omong kosong bukan? Seperti dongeng anak-anak di mana seorang pangeran mencari siapa pemilik sepatu kaca yang tertinggal di istananya. Bedanya denganku, aku bukan pangeran, aku bukan tokoh dongeng, tidak ada sepatu kaca atau apa pun yang tertinggal di rumahku, dan jelas tidak ada pemilik dari high heels merah yang barangnya saja tidak kumiliki.
Aku seperti mempersulit diriku sendiri. Padahal orangtuaku sering memarahiku karena belum juga menikah di usiaku yang sudah memasuki 30 tahun ini. Sedihnya. Bahkan adik perempuanku yang dulunya suka main dengan kodok dan kadal di kebun rumah pun kini sudah menikah. Sudah menikah! Dia mendahuluiku! Aku ingat jelas dia menertawakanku dengan wajahnya yang angkuh saat aku memberi selamat padanya. Melihat dia tertawa mengejek seperti melihat diriku sendiri yang menertawakanku lewat cermin. Saat itu aku benci mengapa wajah kami sangat mirip. CIh! Jung Jihye adikku yang cantik dan manis, putri kodok yang sangat kusayangi, lihat saja, kakakmu, Jung Yunho yang tampan dan luar biasa ini akan menyusulmu segera!
:::
Terinspirasi dari lagu berjudul "Tattoos & High Heels"-U-Know Yunho
:::
YOUR TATTOOS, YOUR LEGS, AND YOUR WET HIGH HEELS: 教えない
Chapter 1: I Found You!
A TVXQ FANFICTION
DISCLAIMER: THE CHARACTERS BELONGS TO GOD AND THEMSELVES
YUNJAE/MINJAE/SUJAE
GENDERSWITCH FOR JAEJOONG!
ROMANCE/COMEDY
OOC, ALUR SUKA-SUKA, FULL OF TYPO(S), DIKSI NGACO, NGEBOSENIN
DON'T LIKE DON'T READ!
:::
Andai aku bertemu dengan wanita berkulit susu, berwajah cantik, berkaki jenjang dan memakai high heels merah, mungkin aku akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak bisa kupungkiri jika aku sangat berharap akan hal itu. Bahkan aku sering menyelipkan harapan untuk bertemu dengan wanita seperti ini dalam doaku, setiap aku bangun tidur dan melakukan doa pagi. Tuhan, tolong pertemukan aku dengannya dan jadikan dia jodohku, kira-kira begitulah doaku setiap hari. Tentu aku tak lupa menyebutkan kriteria yang kuinginkan. Hei, aku tidak berlebihan! Di mana-mana permintaan itu harus jelas!
Aku melihat portofolio di tanganku dengan teliti. Lembaran-lembaran foto dalam map ini adalah bahan untuk majalah Gratia yang akan terbit bulan depan. Kebetulan yang kubaca adalah bahan untuk rubrik neenee style. Kau tidak tahu apa itu? Baiklah, rubrik neenee style adalah rubrik khusus untuk para wanita-wanita yang sudah agak berumur –maaf kalau aku kasar–, maksudnya wanita-wanita yang sudah bukan gadis remaja belasan tahunan. Maka dari itu dinamai neenee, yang asalnya dari kata onee-san. Rubrik ini berisi referensi gaya berbusana yang akan berubah-ubah sesuai tren fashion dunia. Bulan depan puncak musim semi. Pantas saja pakaian-pakaian yang jadi contoh ini kebanyakan berwarna cerah ceria.
Tapi mana yang pakai high heels merah, ya?
Masa' tidak ada 'sih?
"DIREKTUR JUNG YUNHO, TOLONG BERIKAN PENDAPATMU MENGENAI BAGIAN INII!"
Aku terkejut bukan main ketika mendengar teriakan keras dan nyaring seperti suara besi yang digergaji. Aku baru sadar jika seisi ruangan memerhatikanku. Empat belas orang di meja rapat. Empat belas. Tambah satu wanita yang menatapku murka di depan. Oke. Aku telah melakukan sebuah kesalahan besar karena tidak memerhatikan presentasi wanita itu dan malah melamun menghayalkan kaki berhigh heels merah impianku. Wanita itu hampir saja melempar pointernya padaku. Untung tidak jadi. Dia dan aku sama-sama sadar harus menjaga imej di depan karyawan lainnya. Padahal kalau di luar kantor dia sering memukul kepalaku saat marah.
Oh, perkenalkan, wanita yang memarahiku itu adalah Boa. Wanita yang bisa dibilang cukup menarik–bagi orang lain, bagiku biasa saja–. Boa adalah teman dekatku sejak kecil. Dulu kami sama-sama suka menjahili pelayan setiap dia datang ke rumahku, atau pun setiap aku yang datang ke rumahnya. Dia memiliki rambut hitam lurus panjang tergerai, tanpa poni yang menutupi dahinya yang licin. Tingginya tidak lebih dari ketiakku. Kadang kalau kesal aku menjepitnya supaya dia bisa mencium aroma ketiakku yang harum. Maaf saja karena aku selalu menjaga diriku agar tidak bau. Ketiakku saja wangi parfum 'kok. Dia tidak akan mati karena keracunan bau ketiak kalau aku menjepitnya.
Jika kau bertanya mengapa aku tidak mengencaninya, alasannya mudah. Dia terlalu pendek hingga aku kesulitan untuk memeluknya. Rasanya seperti hendak mencabut lobak. Kalau bungkuk terus punggungku bisa encok seperti kakek-kakek.
"Aku ingin sekali memukulmu di rapat itu kalau saja aku tidak ingat kalau kau adalah seorang direktur!"
"Pukul saja aku sekarang, sini, ayo pukul. Selagi mereka tidak ada."
Boa terus saja menggerutu seusai rapat. Semakin tua dia semakin cerewet. DIa bicara seperti shinkansen yang berjalan cepat dan jadwalnya padat. Paling-paling hanya terlambat satu menit. Kalau Boa, berhenti bicara kalau dia butuh bernapas saja.
Aku tidak suka wanita yang cerewet. Karena itu aku dan dia sering bertengkar. Risih sekali rasanya jika ada yang bilang bertengkar itu romantis. Romantis apanya? Bertengkar adalah biang keladi perkelahian dan berakhir dengan laporan di kantor polisi. Lucu jika orang bilang aku dan Boa romantis. Astaga, kami bahkan bukan pasangan kekasih.
"Eh, aku mau coba kuah misomu!"
Kami hanya akan akur jika sedang makan saja. Seperti sekarang. Kami makan ramen di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor. Hanya tinggal menyeberang dan berjalan ke kanan sedikit. Tokonya cukup besar dan selalu ramai. Kalau dibandingkan dengan harga ramen di kedai-kedai biasa, ramen ini jauh lebih mahal. Tapi aku tidak mempermasalahkannya karena menurutku rasa ramennya enak. Lagi pula uangku tidak akan habis begitu saja setelah memesan semangkuk ramen. Karena Boa marah padaku, ia memintaku mentraktirnya. Tidak masalah 'sih. Hanya saja porsi makannya yang banyak –sebanyak diriku yang laki-laki– membuatku agak malu karena meja kami penuh dengan makanan seperti dipesan oleh lima orang sekaligus. Padahal hanya dua.
"Hei, cepatlah menikah dan punya anak… Supaya ada alasan untukmu untuk pulang cepat…"
Dia mulai lagi. Selama ini aku memang sering meninggalkan kantor sebelum jam kerjaku habis–tapi tanpa alasan apa pun, hanya ingin saja–. Jangan katakan itu pada ayahku atau ia akan membunuhku.
"Pulang… Dan bertemu istriku yang sudah menunggu di rumah."
"Iya begitu, jangan pulang dan bertemu pelayan-pelayanmu di rumah."
"Memang tugas mereka menyambutku pulang, 'kan?"
"Tetap saja hitungannya berbeda jika kau sudah punya istri, baka!"
"Jangan menasehatiku jika kau sendiri masih lajang seperti itu…"
"Lajang? HAHAHAHA! Maaf saja ya, aku sudah punya pacar!"
"WUAH! Uso! Dare da sore?" (Bohong!Siapa itu?)
"Saat aku ke Amerika aku bertemu seorang pria tampan, seksi dan baik hati. Kami langsung jadian setelah beberapa minggu."
"Tak kusangka!"
"Lalu kapan giliranmu, hah? Kau mau sendirian sampai gigimu ompong?"
Sakit Boa, sakit. Lagi-lagi aku tertinggal! Pertanyaannya mengingatkanku pada ejekan adikku. Ah, sial. Aku tidak bisa terus begini! Aku harus bergerak cepat kalau tidak mau jadi bujang karatan!
Gluk, gluk, gluk!
"Aku pergi!"
"Jung Yunho, kau mau ke mana?!"
Aku meniggalkannya di restoran tanpa memerdulikan makananku yang belum habis. Setelah menenggak tandas segelas air aku langsung kembali ke kantor. Kenyataan bahwa Boa sudah punya kekasih seperti mendorongku untuk berhenti berleha-leha. Aku tidak mau ketinggalan–lagi–!
Sayangnya saking terburu-burunya aku sampai melupakan dompetku yang sepertinya tertinggal di atas meja di restoran. Pantas saja rasanya ada yang hilang. Dan sebenarnya untuk apa aku buru-buru kembali ke kantor? Memangnya jodohku akan tiba-tiba muncul di sini? Daripada memikirkan hal yang tidak berguna lebih baik aku mengambil dompetku. Dari lobby kantor aku segera membalik badan dan berniat kembali ke restoran itu sebelum Boa berhasil mencuci bersih semua uangku.
Tapi entah apa salahku hingga saat berbalik mataku menangkap sesosok makhluk menyilaukan berambut blonde, mengenakan coat putih dengan kulit terang dan kaki yang beralaskan high heels merah tengah berdiri beberapa meter di depanku dengan sinarnya yang –Tuhan! Dia menoleh ke arahku!
Gubrak!
"Oh! Tuan!"
Aku tak sadar jika aku jatuh terjungkal ke belakang sampai ketika aku merasakan bokongku dingin dan nyeri. Aku terlalu terkejut melihat pemandangan yang tak masuk akal ini. Ah, Tuhan! Makhluk yang semakin dekat ternyata semakin terlihat luar biasa cantik itu berjalan ke arahku! Mengapa engkau mengirimkan malaikat maut seindah ini sehingga aku tak rela meninggalkan dunia?
"Kau tidak apa-apa?"
Tubuhku membeku seperti dimasukkan dalam freezer yang suhunya dibawah nol derajat. Aku tidak bisa bergerak barang sedikit pun ketika malaikat yang menjelma menjadi sesosok wanita itu mendekat dan berlutut tepat di hadapanku dengan wajahnya yang khawatir.
Khawatir?
Bukankah dia datang untuk mencabut nyawaku?
"Apa kau bisa berdiri?"
Suaranya begitu jernih dan lembut hingga aku seperti dibuai dalam harmoni harpa yang dimainkan dewa-dewi Yunani. Aku tidak bisa berkedip atau mengatupkan bibirku yang sedikit menganga.
"Tuan, kau baik-baik saja?"
Hingga pertanyaan itu menyadarkanku dari khayal yang membumbung terlalu tinggi.
"Ah, iya?" aku menggelengkan kepalaku untuk mengembalikan kesadaranku seutuhnya. Malaikat yang ada di dahadapanku itu masih menatapku dengan matanya yang indah. Demi perut naga Boa, aku tidak pernah melihat mata seindah itu semumur hidupku! Mata yang besar seperti kucing, dibingkai barisan bulu mata yang lurus, juga garis ekor matanya yang panjang. Matanya berkilauan, seperti ada glitter yang tertanam di lensanya. Berkelap-kelip.
Dia membantuku berdiri dengan mengulurkan tangannya padaku. Hee, dalam sekejap mata aku bahkan sudah menyentuh kulitnya yang lembut bagai kulit bayi!
"Apa kau sakit, Tuan? Kulihat kau tiba-tiba terjatuh dan aku takut terjadi sesuatu padamu."
Apa di dunia ini ada orang yang mengkhawatirkan keadaan orang lain yang tidak dikenalnya? Tutur katanya yang manis sesuai dengan wajahnya yang cantik dan gesturnya yang lembut. Aku terharu.
"A-aku… baik-baik saja. Terima kasih."
Aku tak kuasa bertatapan langsung dengannya. Dadaku bergemuruh, bergejolak seakan ada teko berisi air panas yang sudah mendidih. Tuuuuutttt! Dan berbunyi nyaring. Rasanya aku ingin menjerit seperti gadis.
"Syukurlah kalau begitu."
Wajahnya seperti menyeretku masuk ke dimensi lain di antariksa. Mata besarnya tidak membuat wajahnya berat, dibingkai sempurna dengan garis rahangnya yang lembut. Bentuk telinganya seperti kupu-kupu yang sedang bersembunyi. Hidungnya mancung, bibirnya merah merekah seperti strawberry topping kue ulang tahunku. Ada setitik tahi lalat di bawah mata kirinya yang membuat wajah itu semakin cantik. Tuhan, mengapa malaikat ini datang padaku secara tiba-tiba?
"Oh, lipstickku jatuh!"
Aku tidak begitu jelas mendengar apa yang ia katakan. Tiba-tiba saja ia sudah membungkukkan badannya dan mengulurkan tangannya tepat di antara dua kakiku. Aku reflek mundur selangkah–melompat lebih tepatnya–.
"Ahh bagaimana bisa jatuh? Pasti tasku terbuka tadi." dia bergumam.
Ternyata ada sebuah lipstick di bawah kakiku. Aku merasa malu karena sempat berpikir yang tidak pantas barusan. Padahal ia tidak menyentuh apa pun dari tubuhku tapi aku merinding, apalagi tadi ia membungkuk tepat di depan partner kecilku.
"Aduh! Aku ada janji! Permisi!"
Tunggu! Tunggu malaikatku, jangan pergi!
Aku berteriak dalam hati tanpa bisa mengatakannya. Aku tak bisa mencegah wanita itu pergi. High heels merah itu berjalan semakin menjauh dari tempatku berdiri. Aku hanya bisa menatapnya berat hati.
Hiks, Tuhan, aku bahkan belum tahu siapa namanya!
"Tuan!"
Mataku terbuka lebar saat aku melihat ia berbalik ke arahku dan berjalan mendekat. Dia kembali!
"Apa kau tahu di mana cafeteria kantor ini? Aku ada janji di sana."
Jahatkah aku jika aku tak memberitahunya agar dia tetap di sini?
Ah, kasihan dia. Tidak, tidak, beritahu saja. Aku jemaat gereja yang rajin datang berdoa, malu kalau aku tiba-tiba jadi jahat dengan berbuat usil.
"Dari sini kau tinggal naik ke lantai tiga dan cafeteria ada tepat di depan lift." tunjukku dengan tangan yang teracung.
"Begitu ya? Terima kasih!"
Aku lagi-lagi ditinggalnya pergi. Dia segera mencari lift untuk naik ke lantai tiga. Aih, aku lupa tidak menanyakan namanya!
"Hei, Nona! Siapa namamu?" teriakku dari kejauhan. Semoga dia bisa mendengar suaraku. Office boy yang lewat untuk mengantarkopi saja mendengarku masa dia tidak?
"Kim Jaejoong!" ucapnya seraya menoleh padaku.
Apa itu tadi?
Apa dia tersenyum padaku?
Jantung, apa kau berhenti?
"Eh?! Tunggu!"
Aku terlambat untuk memanggilnya kembali karena ia sudah terlanjur masuk ke dalam lift yang pintunya tertutup dengan cepat. Hei, kejam sekali. Aku belum memberitahunya siapa namaku…
"Aku Jung Yunho…"
"YUNHOO!"
Suara cempreng itu membuatku menoleh dengan tak rela. Boa berlari ke arahku dengan menunjukkan sebuah dompet di tangannya.
"Dompetmu!"
"Kemarikan!"
Aku menyambar dompet tebalku dari tangannya. Aku memasukkan dompet itu ke dalam saku celana bagian belakangku. Aku tidak mau meladeni labu Halloween seperti dia, waktuku tidak boleh terbuang sia-sia.
"Kau mau ke mana lagi?! Kau buru-buru sekali seperti sedang mengejar sesuatu!" protesnya ketika aku meninggalkannya menuju lift.
"Aku memang mengejar sesuatu!"
"Apaaa?"
"Jodohku!"
Pintu lift menutup.
:::
YOUR TATTOOS, YOUR LEGS, AND YOUR WET HIGH HEELS: 教えない
TO BE CONTINUED
:::
Huehuehue halo semua!
Saya datang dengan fanfic baru muehehehe.
Saya buat fic ini sebagai selingan Ofutari no Jiei yang sayangnya belum bisa saya update karena chapter 7 yang belum beres-beres T.T padahal saya udah siapkan ending dari jauh-jauh hari… Hiks.
Sedih-sedihannya nanti dulu ah! Wkwk.
Dari album U Know Y, saya paling suka lagu Tattoos & High Heels. Bassnya kenceng! Udah gitu pas didengerin ternyata liriknya aduhai sebelas duabelas sama Kiss B hahahaha. Saya jadi kepikiran macem-macem tiap dengerin lagu ini. Setelah sekain lama akhirnya saya memutuskan buat nuangin khayalan saya jadi sebuah fanfic. Dari dulu saya paling ga kuat bayangin Jejung era WWW jadi cewe dan pake high heels. Pas banget dia tatoan. Hahahaha. Jadi deh tattoos & high heels. Buat Yunhonya, saya suka Yunho era Yawang. Eksekutif muda. Keren tapi imut gara-gara rambutnya ikal ponian hihihihi.
Apa Yunho berhasil ngegaet Jejung?
:::
THANKS FOR READ!
MIND TO REVIEW?
:::
