Annyeoooooong *tebar bunga bangke*

Huft, D pusing bikin epep ini. Judulnya aneh kan? Ga nyambung sama cerita.

Dan kepala D makin pusing pas ngepost. Huffft *muncrat*

.

.

.

Warning : YAOI, typo(s) mungkin, alur maju-mundur-maju-mundur tak jelas, kosakata miskin, absurd tingkat dewa, gaje menembus batas

DAEJAE DAEHYUN X YOUNGJAE

.

DLDR!

.

Italic= Flashback

.

Aku membungkus tubuhku dengan matel bulu tebal. Dingin. Di luar sedang hujan deras. Rupanya langit ikut menangis, terus-menerus dipaksa menyaksikan kehidupanku yang memang membuat orang mengernyitkan wajah.

Heh. Hebat. Apakah langit sedang berempati atau meledek? Tertawa terpingkal-pingkal sampai meneteskan air mata? Bersifat sarkastik lalu memasang ekspresi sedih setiap kali aku mengintip keluar jendela? Bahkan langit tidak menyukaiku. Aku juga tidak menyukai diriku. Aku benci diriku sendiri.

Kenapa aku harus hidup sebagai seorang Yoo Youngjae? Namja aneh yang kutu buku dan lemah. Merepotkan orang lain dan pembawa malapetaka. Tanganku kurus dan kulitku pucat. Aku si buruk rupa. Si buruk rupa yang selalu diejek anak kecil setiap kali orang tua mereka membacakan cerita pengantar tidur.

Air hujan terus memukul jendela. Terlihat ada bayang-bayang hitam saat air itu meluncur ke bawah. Berlomba dengan tetesan hujan lainnya. Atau mereka seperti ketakutan melihat wajahku. Lari terbirit-birit lalu menghela napas lega saat mataku tidak bisa melihat mereka lagi.

Aku menghela napas panjang. Mempererat pelukan mantel berwarna emerald dengan bulu tebal berwarna putih. Mantel peninggalan appa. Appa sudah lama meninggal. Aku bahkan tak tahu wajah appa. Aku tak pernah bertemu dengannya.

Kali ini aku mencoba untuk menusuk urat nadiku. Tapi setiap kali aku melakukannya, ada bagian dari tubuhku yang berteriak. Ada bagian dari tubuhku yang mencoba untuk menjatuhkan gunting yang kugenggam erat. Ada bagian dari tubuhku yang berpikir tentang namja itu.

Ya. Namja itu.

Namja dengan rambut coklat, wajah tampan, dan suaranya yang lembut. Dia seperti iblis yang jatuh dari surga. Seperti awan putih yang diterpa sinar matahari sore. Seperti planet baru yang sedang menghancurkan bumi.

Kepalaku sakit setiap kali memikirkan namja itu. Kadang aku meminum obat penenang agar aku bisa berhenti membayangkan wajahnya. Ingin rasanya aku memecahkan kepalaku ini setiap kali otakku membandel dan terus membuatku memikirkan namja itu.

Bahkan aku lupa namanya.

Apa ingatanku sependek ikan mas koki? Sebodoh itukah kau Yoo Youngjae? Menjijikkan.

Sudah ada 5 goresan di tangan kananku. Ya, aku hobi mengoleksi luka. Mau luka kecil atau luka serius, aku tidak peduli. Yang aku sangat inginkan iyalah luka yang mampu membuatku mati seketika.

Aku tahu mati itu pasti sangatlah sakit. Ada yang bilang rasanya seperti ada cambuk berduri yang terpaksa kau telan, lalu dikeluarkan dengan kecepatan melebihi kecepatan suara. Ada juga yang bilang rasanya seperti dikuliti. Dan blablabla.

Oke. Aku menyerah. Kulempar gunting kesembarang arah, lalu menghela napas panjang. Langkahku sempoyongan menuju tempat tidur. Tampaknya efek obat penenang masih ada.

.

.

Umma mengetuk pintu. Ketukan yang lembut.

"Chagiya, ada Junhongie."

Sosoknya yang awet muda mengelus lembut pipiku. Aku tidak tidur. Mataku tertutup tapi aku tidak tidur. Aku tidak bisa tidur. Padahal aku merasa tubuhku lemas sekali.

Junhong? Kenapa dia datang mengunjungiku?

Kutatap wajahnya yang cantik. Rambut panjangnya menggantung seperti tirai. Matanya coklat seperti karamel. Bulu matanya lentik. Bibirnya agak pucat, tapi tetap bisa dibilang sempurna. Bagaimana bisa malaikat seperti umma melahirkan si buruk rupa seperti-ku?

"Ne umma." Aku bangkit, lalu berjalan perlahan ke pintu. Umma masih duduk di kasur dengan alis yang berkerut. Dadanya kembang kempis, napasnya teratur. Matanya tertuju pada gunting yang tergeletak di lantai.

"Chagi... Jangan melukai dirimu sendiri ne?"

Kali ini aku tak sanggup menatap matanya. Aku bisa menebak air matanya mulai merembes keluar, mambasahi pipinya yang halus. Aku tahu umma tak ingin menangis. Dan akulah yang membuatnya menangis.

"Ne umma..."

Aku meninggalkan umma. Sendirian dikamarku. Menangis dalam diam.

.

.

Wish no. 1 = Tidak membuat umma menangis.

.

.

"Sudah lama aku tidak melihatmu hyung."

Choi Junhong. Semua orang memanggilnya Junhong. Entah apa yang terjadi dengan otaknya, dia itu temanku. Teman si buruk rupa. Padahal dia cantik, secantik umma. Tapi dia namja. Seharusnya dia transgender saja.

Aku mengangguk pelan. Berusaha mengeluarkan senyum yang sudah lama aku sembunyikan. Agak canggung.

Dia menoleh. Matanya menyipit. Alisnya bertautan. "Hyung makin kurus."

Hanya tawa kecil yang mempu keluar dari mulutku. Habisnya aku harus jawab apa? Otakku mungkin sudah mengering dan tak mampu untuk mengolah kata-kata lagi.

"Ah hyung, hyung mau ice cream?" Senyumnya mengembang. Saat dia bangkit dari kursi taman, rambutnya sedikit terangkat. Rambutnya terlalu halus, seperti rambut kucing.

Tak ingin mengecewakan namja yang tingginya keterlaluan itu, aku mengangguk. Sekejap dia langsung memekik senang. Tampaknya dia menghawatirkanku. Dan dia ingin menambah asupan glukosa untukku supaya tubuhku menjadi lebih gemuk.

Kakinya mengayun ke toko ice cream yang tak jauh dari sini. Langkahnya ringan, tanpa beban. Dia semangat sekali. Bertolak belakang denganku. Apa tubuhnya yang sedang sakit? Atau tubuhku yang sekarat?

Aku menghela napas. Mengubur tanganku ke dalam saku jaket, mencari kehangatan. Dingin. Angin terus-menerus menusuk jaringan kulit. Awan kelabu bergelung-gelung di langit, sebentar lagi akan hujan. Dan Junhong membelikanku ice cream?

"Ini. Hyung rasa chocomint saja ne."

Junhong sudah ada di depanku, dengan senyum manis menempel permanen di wajahnya. Dan jangan lupakan 2 buah ice cream cone berwarna hijau di tangan si pembeli. Kenapa tanganku kaku sekali hanya untuk menerima ice cream dari tangan Junhong? Low battery?

Dia bahagia sekali. Dia menikmati ice cream rasa greentea dengan baik. Wajahnya berseri-seri. Dia benar-benar memanfaatkan indra pengecapnya. Membiarkan rasa greentea mengeksplorasi rongga mulutnya.

Sedangkan aku?

Lidahku seperti mati. Aku bingung membedakan mana yang choco dan mana yang mint. Aku sudah lupa rasa makanan. Bahkan aku belum mampu membuka mulut. Ice cream chocomint pemberian Junhong akan meleleh kalau aku tidak juga memakannya. Dan sang peneraktir akan menunjukkan ekspresi sedih, membuatku iba.

Jadi aku tak ingin membuat Junhong khawatir. Aku hanya bisa memakan ice cream itu tanpa menikmatinya. Ice cream itu langsung turun ke perut tanpa sapaan dari lidah. Hampa.

.

.

Wish no. 2 = Menikmati ice cream bersama Junhong.

.

.

Langit merah. Seperti darah. Darah yang tumpah dari alam semesta. Alam semesta yang menderita. Karena manusia yang egois, serakah, dan bermata satu. Tuhan akan membalas mereka nanti.

Aku mengamati gumpalan awan di langit. Awan yang besar. Seperti benteng raksasa yang membelenggu bumi. Aku harus memanfaatkan sore yang cerah ini. Yap, mengamati awan.

Awan itu luar biasa. Kadang aku ingin mengambilnya, lalu memasukkannya ke dalam sarung bantal. Awan itu mirip dacron. Bayangkan awan itu kukumpulkan dan dijadikan kasur. Pasti nyaman sekali. Saking empuknya, mungkin aku akan tenggelam dalam kasur. Aaaaah.

Yahh angan-angan hanyalah angan-angan. Manusia selalu berharap. Mengkhayal hal-hal yang tidak mungkin. Memanfaatkan pojokan kecil otak yang luar biasa.

"Annyeong."

Suara itu langsung membuatku tersentak. Membuyarkan khayalanku, kali ini tentang kumpulan cotton candy raksasa yang mengapung di langit. "A-annyeong."

Seorang namja. Namja yang kemarin.

Ya, kemarin aku juga melihatnya. Dia sedang berdiri di pinggir taman sambil menatap langit. Dia tak peduli dengan sinar matahari yang menyengat wajahnya yang– eungh tampan. Hei aku ini jujur. Proporsi tubuhnya sempurna. Berapa gudang yang cukup untuk menampung semua makhluk yang jatuh cinta padanya?

Lama aku mengamati, dia menoleh. Apa dia punya indra yang peka? Dia benar-benar menoleh ke arahku. Huft. Aku malu. Wajahku memerah. Yoo Youngjae, dia itu orang asing. Kenapa wajahmu harus bersemu begitu? Dia bukan keluargamu,bukan temanmu, bukan juga tetangga, apalagi crush.

Dan sekarang, detik ini, matanya menatap lurus ke arahku. Senyumnya manis, mungkin dia bisa membuat kue tanpa gula hanya dengan menempelkan senyumnya itu ke adonan.

"Kau sendiri?"

"Ne." Aku mengangguk kecil. Aku agak ragu mengucapkan 2 huruf itu. Umma sering bilang aku harus hati-hati pada orang asing.

Hening. Aku paling tak suka keheningan yang seperti ini. Awkward. Ditambah, aku bersama dengan namja yang baru kulihat kemarin. Ingin aku bangkit dari kursi, tapi pantatku seperti ditempel dengan lem super. Dan aku sudah duduk dalam keadaan posisi enak.

"Kau ingat aku?"

.

"Hyung! Hujan turun! Jangan mengkhayal terus!"

Ah iya.

Aku sampai lupa dengan Junhong. Dan ice cream. Dan air hujan yang mulai menetes.

"Mi-mian Junhong." Tak ingin membasahi jaket, secepatnya aku dan Junhong berteduh di toko Junhong membeli ice cream tadi.

Hm. Dekorasinya hebat. Warna pastel mendominasi. Tempat duduk berwarna putih dengan ukiran hati. Bunga lili putih menghiasi area pintu masuk. Aroma vanilladan coklat menguap ke seluruh penjuru toko. Menenangkan.

DEG!

Kenapa? Kenapa setiap kali aku mengingat namja itu kepalaku sakit? Apa aku tidak ditakdirkan untuk mengingat namja itu? Tapi kenapa otakku terus saja membandel? Rasanya ada tombol-sakit-kepala-otomatis yang akan aktif setiap kali aku mengingat namja itu. Merusak suasana saja.

"Hyung? Hyung sakit?" Senyuman Junhong lenyap. Tangannya perlahan mengelus pelipisku. Alisnya bertaut. Bibirnya tergigit. Dia seperti umma versi namja.

"A-ani... Hyung hanya.." Aku menelan ludah. Senyum palsuku menampakkan diri. "Capek."

Ada sebulir air mata yang mengintip dari ujung mata Junhong. Eh? Aku yang kesakitan dia yang menangis? Kau menangis untuk si buruk rupa ini? Oh ayolah jangan menangis Junhong. Jangan menambah kapasitas air di bumi. Nanti bumi bisa tenggelam.

"Apa gara-gara aku be-belikan ice cream padahal hari ini hujan turun dan hyung kedinginan? Atau hyung tidak suka ra-rasa ice creamnya?"

Aduh Choi Junhong. Kau baik sekali. Terlalu baik. Suaramu jadi aneh kalau kau berbicara sambil terisak Junhong.

Aku menggeleng pelan. "Ini bukan salah-mu. Sungguh hyung hanya kecapekan.." Tanganku merambat ke pipinya yang basah. Oke. Ini seperti adegan romance drama-drama pasaran. Dan kuakui aku ini pembohong yang buruk.

Matanya membulat. Wajahnya berubah menjadi serius. Aku melihat ada kobaran api dari dalam matanya. Tangannya mengepal. Dan tiba-tiba saja dia melepas jaket dan membuatnya menjadi payung untuk... Untukku. Sendiri.

"Ayo hyung kita ke rumah hyung! Hyung harus istirahat di rumah! Jangan pikirkan aku! Hyung sakit kan? Hyung tidak usah bohong!"

Kaget. Wibawa seorang hyung-ku mulai bergejolak. Aku dilindungi oleh namja yang 2 tahun lebih muda dariku? Dan bagaimana jika nanti dia sakit? Dan kalau sakit kepala malah hujan-hujanan bukannya jadi makin parah? Sigh. Kondisi yang merugikan ke-2 pihak. Seharusnya kita berteduh saja sampai hujan berhenti. Dan lihat? Dia sudah mendeteksi nada kebohongan yang dihasilkan oleh pita suaraku.

"Apa kau bodoh Junhong?! Kau bisa demam kalau tidak– "

"Berisik! Hyung harus cepat-cepat minum obat!"

Dengan semangat membara, dia melindungiku dari tetesan hujan deras. Rambutnya seketika basah saat kami keluar dari toko. Oh aku tak tega melihatnya. Napasnya terengah-engah. Bibirnya pucat. Bajunya lepek. Tapi senyuman masih mampu menempel di wajahnya setiap kali aku melirik.

Aku menutkan alis. Dingin. Aku yang pakai jaket saja kedinginan, apalagi Junhong yang hanya memakai T-shirt tipis? Dadaku berdesir. Sakit. Malihat teman yang sudah kuanggap sebagai adik sendiri menderita, itu sakit. Aku tak tega.

Kakinya masih mengayun, kadang menginjak genangan air di jalan. Aku tidak peduli dengan cipratan genangan air yang kotor. Aku tak peduli dengan derasnya air hujan yang terus memukul kepalaku walaupun ada jaket Junhong yang menjadi perisai.

Kepalaku masih sakit. Otakku diremas-remas seperti adonan udon.

.

.

"Gomawo Junhongie. Kau baik sekali. Maaf ya, kau jadi basah kuyup begini."

Umma membungkukkan badan 90° ke arah Junhong. Merasa sangat berhutang budi pada si penyelamat anaknya yang merepotkan. Kau memang merepotkan Yoo Youngjae pabo.

Junhong tersenyum lebar. Napasnya masih terengah-engah. "Tak apa." Dia mengusap sisa air hujan yang mengalir di pelipisnya, "Yang penting hyung baik-baik saja."

Sakit. Jangan bicara seperti itu Junhong. Mengorbankan dirimu sendiri untuk si buruk rupa ini? Apa otakmu ada yang salah? Bajumu benar-benar basah. Rambutmu seperti baru keramas. Sepatumu jadi becek dan kotor. Kau tidak perlu bersikap baik begitu untukku Junhong.

"Ah Junhongie mau mandi dulu disini? Youngjae bisa meminjami bajunya kalau Junhongie mau."

"Ani. Aku pulang dulu ne? Menyusahkan kalau aku mandi disini."

Dan dengan kata-kata barusan, Junhong membuka pintu dan pergi.

Umma menghela napas. Dia mencoba untuk tersenyum. Tapi aku bisa melihat air mata dalamnya. Kau pabo Yoo Youngjae, pabo sekali. Membuat umma-mu sendiri menangis. Lagi. Apa kau tak pernah kapok?

"Yahh kau tak apa kan chagi? Kau harus berterima kasih pada Junhongie nanti." Umma berkacak pinggang. Senyum kecut terpaksa muncul di wajahnya.

Aku tersenyum. "Ne umma."

"Nah, sekarang mandi dan ganti bajumu. Umma sudah menyiapkan air panas. Dan jangan lupa minum obatnya. Tadi kau sakit kepala kan?"

"Ne umma." Hei Yoo Youngjae. Kenapa akhir-akhir ini kau hanya mengucapkan 'ne umma' dan 'ne umma' saja? Otakmu capek untuk berpikir? Kemana Yoo Youngjae yang selalu mendapat peringkat 1 dulu?

Aku menggeleng cepat. Lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi.

"Umma.."

Umma menoleh. Menatap punggungku yang basah. "Ne chagi?"

"Youngjae sayang umma... umma harus tahu itu ne."

Aku melanjutkan ayunan kakiku. Dan aku bisa merasakan air mata umma yang bertabrakan dengan lantai. Menabrak dengan keras, lalu hancur tak berbentuk. Mungkin itulah gambaran kondisi hatinya saat ini. Mendengar kata-kata sok bijak dari anaknya yang absurd.

.

.

Angin bertiup membawa dedaunan. Pepohonan merah berjejer bak tirai sejauh mata memandang. Kalau dilihat dari sudut mata burung, akan terlihat seperti sungai merah. Seperti ada pertumpahan darah disekitar sungai, lalu darahnya mengalir ke aliran sungai. Membuat aliran air yang tadinya bening menjadi merah.

Musim gugur.

Musim dimana daun memisahkan diri dengan batangnya. Memutus semua kenangan indah saat mereka bersama. Hanya dengan hembusan angin. Menyedihkan.

Aku melihat 2 anak kecil. Mereka menangis. Saling menggenggam tangan.

Anak yang kelihatannya lebih muda mengenakan syal kuning, sweater berwarna hijau zamrud dan celana selutut. Rambutnya hitam. Wajahnya memerah. Air matanya sudah tumpah. Alisnya bertaut.

Anak yang lebih tua berambut coklat. Dia tersenyum. Tapi dia juga menangis. Tangannya mengelus kepala anak dihadapannya. Berusaha untuk menenangkan anak itu.

Aku mendekat. Penasaran dengan apa yang terjadi dengan mereka. Apa mereka tersesat? Apa mereka ditinggal orang tua? Ah entahlah.

"Uwaaaah hyuuung kajimaaaa.."

Si rambut hitam terus menangis. Tangannya yang satu terus mengusap air mata, yang satu lagi masih menggenggam erat tangan temannya.

"Isshh.. Youngjae-ya uljimaa..."

Seakan ada gempa mendadak, hatiku ikut beresonansi dengan permukaan bumi yang bergetar.

Youngjae-ya?

Anak bersyal kuning itu.. aku dimasa kecil?

.

Aku tersentak. Napasku terengah-engah. Keringat dingin bercucuran. Pupilku membesar. Wajahku membiru. Rasanya sedang berputar-putar di dalam ruangan hampa udara, menuju dimensi yang lain.

Mimpi?

Mimpi saat aku masih kecil? Siapa anak kecil yang berambut coklat?

Kepalaku sakit lagi. Sakit sekali. Aku meringis. Kucengkram kepalaku sekuat tenaga. Berharap rasa sakit itu hilang. Berharap rasa sakitnya akan berpindah ke tangan –aku lebih memilih tanganku yang sakit.

Dengan langkah sempoyongan aku mendekati meja. Membuka kotak obat asal-asalan, lalu menyobek bungkus kapsul. Kapsul berwarna hijau-putih. Aku benci menelan kapsul, jujur saja. Tapi kalau keadaan sudah benar-benar genting, aku bisa menelan 5 kapsul sekaligus.

Cepat-cepat kuambil gelas lalu kuminum semua air di dalamnya. Sampai ada sebulir air yang keluar dari mulut.

Aku menghela napas panjang. Setidaknya rasa sakit di kepalaku mulai berkurang. Sudah berapa lama aku meminum obat ini? 3 minggu? Atau 1 bulan? Obat ini seperti cemilan saja. Mungkin dalam sehari aku bisa meminumnya lebih dari 3 kali. Apa itu overdosis? Tapi petunjuk penggunaannya bilang 'gunakan saat rasa sakit menyerang'.

Jam 3 pagi. Jantungku masih berdetak. Jarum jam masih berputar. Aku malas tidur lagi. Aku takut mimpi itu akan berlanjut, lalu kepalaku akan sakit lagi. Aku takut. Paranoid. Aku muak dengan rasa sakit kepala sialan-ku ini.

Namja berambut coklat? Kenapa setiap kali otakku menampilkan sosoknya selalu saja rasa sakit di kepalaku bangkit? Aku tidak ditakdirkan untuk mengingatnya? Apa-apaan ini? Apa hubungannya namja itu dengan penyakitmu, Yoo Youngjae?

Ya. Penyakit.

Aku sakit.

Kh. Jujur saja aku juga kaget saat di beritahu. Karena itu aku pernah mencoba untuk bunuh diri. Aku stress sekali. Depresi. Semangat hidupku redup saat dokter memberitahuku. Dan umma pingsan ditempat.

Aku kanker otak.

.

.

Wish no. 3 = Sehat, semua orang juga mau.

.

.

"Chagiya?"

Umma mengelus pipiku. Suaranya lirih.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Mengatur banyaknya cahaya yang masuk. Sinar matahari seenaknya menyelinap ke kamarku ini. Tampaknya sudah siang. Ah. Aku ketiduran.

"Ayo makan."

Umma berjalan membelakangi-ku yang masih setengah sadar. Sosoknya begitu ringkih, bagai ranting yang kurus kekeringan, tapi berusaha melawan angin dan terus berdiri tegap, menghadapi takdir. Dia stress? Aku melihat ada lingkaran hitam di bawah matanya tadi. Kulitnya makin memucat akhir-akhir ini. Dia depresi? Dia khawatir?

Dadaku berdesir. Dasar Yoo Youngjae pabo. Pabo sekali kau ini.

"Umma?"

Langkah kaki umma berhenti, dia menoleh. Senyumnya menempel, matanya lembut seperti biasa. Dia berusaha untuk tidak mengeluarkan semua teriakan, tangisan, dan rasa takut yang saat ini sedang membelenggu hatinya. Dan itu semua gara-gara aku.

"Umma.. Menangis karena Youngjae?"

Oke. Ingin aku menarik kata-kataku itu. Sayangnya aku memiliki lidah yang bandel, menyebalkan. Kata-kata itu hanya akan menambah parutan hati umma, lidah Yoo Youngjae pabo!

Umma mendekati-ku. Dia masih memanfaatkan pendidikannya sebagai model dulu, catwalk, hanya saja lebih lembut. Umma masih cantik, dengan sinar matahari yang membungkus tubuhnya, rok terusan berwarna putih dengan renda di bagian bawah, dan rambutnya yang panjang terurai berkilau, aku benar-benar melihat bidadari sekarang. Tapi hei. Aku tidak akan mother complex, okay?

Tangannya menepuk pelan kepalaku. Matanya terpejam. Menempelkan pelipisku ke dadanya, lalu bersenandung pelan. Aku sangat tahu lagu itu. Lagu yang sering umma nyanyikan saat aku mau tidur, atau saat aku menangis. Lagu yang menenangkan. Lagu yang membuat semua beban pikiranku hilang tak berbekas. Detak jantungnya selaras dengan frekuensi teratur yang digumamkan umma.

Hangat. Sudah lama aku tidak dipeluk umma. Kasih sayang seorang umma yang luar biasa. Entah apa mantranya, aku merasakan rasa nyaman yang merambat di setiap jaringan kulitku. Mungkin ini yang disebut kekuatan ajaib seorang umma. Mempunyai ikatan batin yang kuat dengan anak. Merasakan apa yang dirasakan anak.

Dia melepas pelukan. Menundukkan kepala. Bulu matanya yang lentik masih menempel. Bibirnya masih mengeluarkan senyum. Matanya yang besar dan bersinar menatap mataku.

"Kenapa.. Kenapa chagi bertanya begitu?"

Aku bergeming. Apa aku harus menjawab? Aku tidak yakin.

"A-ani..."

Umma menangkup pipi, lalu mencium puncak kepalaku.

"Sudah. Ayo makan."

.

.

"Eh?! Yongguk hyung?"

Namja itu, Bang Yongguk hyung, tersenyum lebar. Pakaiannya berantakan, seperti kota yang baru saja terserang topan. Tapi itu bukan masalah bagi Bang Yongguk, dia tidak peduli penampilan. Jujur saja, dia tanpa pakaian pun mungkin seluruh yeoja di bumi ini akan pingsan di tempat, dan tak akan bangun lagi.

"Annyeong. Kaget ya?" Alisnya terangkat, senyumannya melebar. "Maaf aku tak mengabari-mu sebelumnya."

Aku menghela napas. Tentu saja aku kaget. Bang Yongguk hyung itu kakak kelasku saat SMA. Kakak kelas pertama yang menjadi temanku, teman si buruk rupa. Dan itu pengalaman paling mengerikan. Berteman dengan ketua genk berandalan yang hobi berantem. Untung saja Yongguk hyung tidak dikeluarkan dari sekolah.

"Ah hyung. Bagaimana hyung bisa tahu alamat rumahku?"

Yongguk hyung memamerkan deretan giginya yang rapi, "Kau tahu Choi Junhong?" Dia menyilangkan kaki sambil membetulkan posisi duduk di sofa.

Otakku kaget dengan informasi yang baru saja diberikan Yongguk hyung. Ada apa dengan Junhong? "Junhong? Dia itu temanku."

"Kebetulan dia dan temannya sedang ada di cafe pusat kota. Dan saat aku menunggu pesanan, aku tak sengaja mendengar obrolannya dengan temannya itu. Aduh nama namja itu– " Yongguk hyung menjentikan jari, berpikir. "Ah! Moon Jongup. Dan mereka membicarakanmu. Seperti ibu-ibu saja. Beruntung mereka duduk tepat di belakangku."

Moon Jongup? Junhong sering membicarakan namja itu denganku. Aahh. Anak sepolos Junhong juga bisa merasakan cinta rupanya. Moon Jongup. Kata Junhong sih, dia lumayan tampan. Dan sepertinya status single Junhong tak lama lagi akan berubah.

Aku mengangguk pelan. Mataku menerawang. "Oooh. Aku sudah tahu jalan ceritanya."

Ingat? Aku kan selalu mendapar peringkat 1 dikelas dulu. Kemampuan analisisku juga sudah terasah. Saat Junhong dan Jongup 'ngobrol', mungkin Yongguk hyung bertanya apa Junhong mengenalku, lalu Yongguk hyung mengaku sebagai teman SMAku. Dan, yah. Berkat Junhong, Yongguk hyung mengetahuli alamat rumahku. Hebat. Mungkin peluangku menjadi detektif sangatlah besar.

Rahang Yongguk hyung menegang. Arah pembicaraan sepertinya akan menjadi serius. Melihat perubahan ekspresinya seperti itu, aku mengulum bibir bawah. Sekali aku meneguk saliva. Pandanganku masih menempel pada namja pemilik gummy smile dengan pakaian yang berantakan, meskipun senyum kebanggaannya itu sudah memudar.

"Dan aku juga sudah tahu tentangmu. Tentang penyakitmu. Dan luka di bahu Junhong."

Tidak. Kali ini aku tidak mendapatkan serangan jantung. Aku sudah tahu Yongguk akan membahas penyakitku, cepat atau lambat. Oh. Aku paling benci situasi seperti ini. Aku merasa kecil, kecil sekali sampai-sampai tak terlihat dengan mata telajang. Tapi luka di bahu Junhong? Air mulai menumpuk di kelopak mataku.

"Mereka membicarakan itu?"

"Junhong kasihan padamu. Dia menganggapmu sabagai kakaknya sendiri. Dia sayang padamu, Youngjae-ya. Dan dia tersenyum saat setiap kali menyebut namamu."

Jangan menangis disini Yoo Youngjae. Jangan menangis! Ayolah jangan ingat kenangan masa lalu itu! Ayolah! Jangan biarkan air matamu tumpah di depan Yongguk hyung! Jangan menangis dasar pabo! Suara-suara sebangsa itulah yang sedang bergema di kepalaku. Hatiku sedang meringis, menderita.

Tanganku bertautan, mengenggamnya erat-erat. Buku-buku jariku memutih. Napasku pendek. Kepalaku sakit. Kecepatan darah yang terpompa meningkat. Mataku perih, dipaksa terbuka agar air mata tidak jatuh.

"Apa.. Apa aku ini jahat?"

Suaraku bervibra. Susah memang berbicara sambil menahan tangis. Dada sesak, rasanya ada tangan besi tak terlihat yang menekan. Aku menunduk. Berharap rasa sakit itu hilang meskipun aku tahu usaha itu percuma.

Air mata sudah melebihi kapasitas. Jatuhlah butiran-butiran bening itu ke celana, mempergelap warna. Sakit. Rasa itu belum juga menghilang, memang. Semua orang tahu menangis itu tidak menyelesaikan masalah, tapi aku tidak bisa menahannya lagi.

Yongguk hyung bergeming. Menatap namja yang sedang menumpahkan semua luka hati disampingnya seakan membuat Yongguk hyung ikut mencicipi rasa sakit itu. Meskipun dia berandalan, dia masih memiliki hati kan.

"Aku.. Aku sudah melukainya... Dan dia masih menyayangiku?"

Ya. Aku melukai Junhong. Saat aku itu kepalaku benar-benar pusing. Stress. Aku ingin cepat mati saja. Aku sudah tidak tahan rasa sakit yang menggerogoti otakku. Membuatku gila. Dan waktu pisau sudah ada di pergelangan tangan, Junhong datang. Berteriak, panik, pucat. Mencoba untuk merampas pisau dari tanganku, tapi sialnya, pisau itu malah menggores bahu kanan Junhong.

Semua yang kulakukan kemarin itu hanyalah akting. Saat makan ice cream bersama Junhong ditaman, semua senyuman, semua tawa, semua obrolan, semua itu hanyalah skenario. Aku memakai topeng. Aku tidak ingin Junhong mengetahui rasa sakit di hatiku saat itu.

Aku sebetulnya ingin menjaga jarak dengan Junhong. Aku takut. Aku paranoid. Aku takut Junhong akan membalas dendam atau mencaciku. Aku takut Junhong akan bilang kalau dia membenciku. Aku takut sahabatku itu akan pergi, membenciku, mencoret nama Yoo Youngjae dari daftar teman namja kelewat tinggi itu.

Tapi tidak. Suma itu sudah terbukti. Junhong benar-benar tulus memaafkanku. Junhong bahkan pernah bilang bahwa dia akan selalu bersama, sampai akhir hayat. Junhong bahkan mentraktirku ice cream. Aku tahu aku ini selalu bernegative thinking. Tapi aku tak mampu untuk menyembuhkan penyakit yang sudah mengakar itu.

Junhong terlalu baik. Adik yang terlalu baik.

.

"Eh? Mengingat apa?"

Aku memiringkan kepala. Bingung. Rasa canggung makin menguasai tubuh.

Namja berambut coklat terkekeh. Merasa bahwa jawaban yang dilontarkanku itu konyol. Hei, memang konyol kan? Baru bertemu, sudah ditanyai macam-macam.

"Ahh. Ternyata 15 tahun itu membuat semua kenangan kita terhapus."

"Kenangan? Hei. Kau ini sebenarnya siapa?"

Aku semakin bingung. Justru namja yang disampingnya ini yang aneh! Sok kenal sok dekat? Atau jangan-jangan dia punya rencana jahat? Jangan-jangan dia pembunuh? Ah kalau pembunuh tak apa, lagi pula aku ingin mati. Pikiran diluar nalar manusia mulai bermunculan di jaringan otak anehku. Hei Yoo Youngjae jangan negative thinking!

Namja itu mengeluarkan sesuaru dari saku celananya. Secarik kertas. Berwarna biru tosca dengan gambar bintang jatuh berwarna kuning. Sudah lecek dan ada bekas lipatan. Tampaknya itu kertas lama.

"Kau ingat?" Alis namja itu terangkat. Senyum tertempel di wajahnya yang– err tampan.

Aku menautkan alis. Apa-apaan kertas itu? Dan lagi, penuh dengan tulisan berantakan, seperti tulisan anak kecil. Kertas itu bukannya menjadi petunjuk, malah menambah tanda tanya besar yang sedari tadi ada di pikiranku. Aduh. Sudahlah. Jangan membuatku kepo!

Namja itu memejamkan mata. Tersenyum. Senyum yang menawan. Angin mengangkat surai depannya yang agak bergelombang.

"Aku Jung Daehyun."

.

"AAAAKHH..."

Rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalaku. Dan kali ini, rasa sakit itu menambah levelnya. Kepalaku rasanya mau terbelah menjadi 4 bagian seperti semangka saat musim panas. Rasanya ada pisau tumpul yang memotong kepalaku seperti memotong lemon, lalu kepalaku diperas, dimasukkan ke dalam gelas bening. Dan jadilah jus kepala Yoo Youngjae.

"Yo-Youngjae-ya?! Kau sakit lagi? Sebentar aku ambilkan obat! Ada dikamarmu kan?"

Suara langkah kaki Yongguk hyung perlahan menghilang saat di dekat kamarnya. Suara benturan, tampaknya dia juga panik, lalu membuka kotak obat asal-asalan. Dan bagaimana dia bisa mengetahui letak kamarku, mungkin karena dia bertanya dulu pada umma. Karena tadi terdengar suara umma yang tak kalah panik dengan Yongguk hyung.

Yongguk hyung dengan langkah tergopoh-gopoh membawa gelas dan 1 plastik obat. Aku masih mencengkram kepala. Oh Tuhan. Sakit. Aku ingin pingsan.

Tangan Yongguk hyung dengan ahli– atau ajaib membuka bungkus obat dengan satu tangan, dan tangan yang satu lagi memberikan gelas padaku. Aku yang tak ingin buang-buang waktu, langsung menelan obat berwarna hijau-putih yang sudah menjadi makanan wajib setiap hari.

"Sudah baikan?"

Aku mengangguk pelan. Ya, rasa sakit di kepalaku perlahan berkurang. Memudar, lalu menghilang. Ah. Untung saja aku tidak jadi mengambil vas lalu memecahkannya ke kepalaku. Menjengkelkan.

Jung Daehyun.

Namanya Jung Daehyun?

Kenapa aku bisa tiba-tiba ingat?

.

.

.

.

.

TBC/DELETE?

Sip. Ini G-A-J-E. Pasti dong. Kan D yang buat *plakkk*

Ah. Belum ada adegan romance. Yeeeaaaah *plakkplakk*

Kan ini baru permulaan. Alurnya aneh sih. D juga ragu bikinnya. (mendingan ga usah bikin kan? ahahay *plakkplakkplakk*)

Youngjae, bukan cuma kamu aja yang sakit kepala, D juga kok. Para reader juga sakit kan? Iya kan? Yeyy D tau! *dirajam*

Ahhh D ga yakin banget sumpehh -_-"

Reviewnya jangan lupa neeee :"D