.
Alas sepatu fantofel berdetak menggemakan bunyi di dalam sepinya kamar luas president suit hotel seiring dengan sepasang kaki panjang berjalan mendekati jendela yang masih ditutupi tirai tebal. Srak! Dalam satu gerakan lengannya dapat mengoyak gorden anti cahaya tersebut membuat ruangan yang sebelumnya gelap menjadi terang oleh cahaya oranye senja.
Long time no see, Las Vegas...
Kedua mata monolid menyipit menatap bentangan kilau sinar warna-warni ciri khas kota metropolitan yang menyebar bagai permadani di bawah lantai gedung skycraper tempatnya berada.
Membuat nostalgia saja... perlahan pandangannya menerawang.
"Let see if both of you can comeback alive to me, my Dearest Sons. (Mari kita lihat apakah kalian berdua akan bisa pulang hidup-hidup, Anak-anakku Tersayang.)"
Sebelah tangan berkemeja hitam itu terangkat, menyentuhkan ujung jari manis yang dipasangi sebuah cincin putih polos pada permukaan kaca jendela.
Kau adalah saksi bisu dosa-dosa yang sudah kami lakukan. Meski begitu aku ingin tetap membela diri, kami tidak melakukannya atas keinginan kami sendiri. Itu semua semata-mata hanya untuk bertahan hidup.
Ia mendongakkan kepala, memandang langit yang mulai menggelap di bentangan cakrawala.
Di tanahmu untuk pertama kalinya kami mengenal darah manusia dan kali ini di tempatmu juga aku pastikan untuk terakhir kalinya kami akan melakukan itu. Akan aku akhiri semuanya di sini...
Tok, tok. Dua kali ketukan di pintu membuat pria yang berdiri memandang langit terjengat dan menoleh kaget.
"Siapa?" tanyanya.
"Delivery boys, Sir! Kami dari bandara mengantar barang-barang anda!"
Kilat muncul di kedua mata monolid, memberi kesan pemahaman yang tidak dimengerti orang lain.
"Sebentar!" ujarnya lalu kembali menutup jendela dan bergerak membukakan pintu.
"Kami datang membawa barang-barang anda." Seorang pemuda berseragam karyawan yang memakai topi dengan logo bandara McCarran nampak memegang dua buah tas hitam besar. Di belakangnya masih ada satu orang lagi yang menarik sebuah koper.
"Letakkan di dalam." Pria berkemeja memiringkan badan, memberi jalan pada dua delivery boy yang menjawab dengan tundukan kepala. Tanpa menunggu perintah kedua, mereka segera membawa barang bawaannya untuk diletakkan di karpet sebelah sofa.
"Nama?" pria yang masih berdiri di pintu bertanya.
"Nickname V. Code 0005. Level B++." Pemuda yang membawa tas menjawab.
"Rapmonster. 1211. A." Satu orang lagi yang membawa koper menyahut.
Pria yang berdiri di pintu berdecak. "Suga tidak bersama kalian?"
"Dia tidak dimasukkan dalam misi ini." V menjawab.
"Padahal levelnya A++ sangat cocok untuk misi seberat Hurricane." Desisan kecewa keluar dari bibir lelaki yang belum beranjak.
"Yahh, yang membuat keputusan tentang siapa tim pendukung misi bukan aku. Aku tidak bisa protes. Kalau begitu biarkan aku memperkenalkan diri meski aku yakin kalian sudah tahu. Nickname-ku Buster, code 8115. Yang di kamar sebelah ada Bangster, 8119. Untuk beberapa waktu ke depan kami minta bantuannya, V dan Rapmonster." Lelaki berwajah oriental itu tersenyum, sama sekali tak mengindikasikan jika dia adalah seorang pimpinan mafia berbahaya.
"Yes, Sir!" kedua pemuda yang menyamar menjadi delivery boy langsung menjawab dengan sikap tegap.
.
Sementara di kamar yang tepat bersebelahan, seorang pria nampak duduk terpekur di tepi ranjang dalam gelap ruangan tanpa ada niatnya untuk menyalakan lampu maupun membuka jendela. Sebuah kotak cincin mungil ada di genggaman kedua tangannya yang dengan sendu ia elus menggunakan ujung jari.
I miss you... kedua mata monolid itu menatap keruh, membayangkan sebuah senyuman cantik dan sebentuk wajah kecil bayi yang tengah tertidur di jarak ribuan mil dari tempatnya berada.
Cklek, kunci otomatis kenop pintu terdengar dibuka dari luar dengan mudah, membuat lelaki yang duduk di tepi ranjang dengan cepat memasukkan kotak beludru kembali ke dalam saku jasnya.
Tak, tak, tak, suara hentakan high heels memantul di keempat dinding kamar hotel, dengan sangat jelas mendekati kasur tempat pria berbaju hitam bergeming.
Wangi parfum mawar tercium menyapa indera bau diikuti sebuah tangan putih yang terulur menyentuh sebelah pundak dan kedua kaki merenggang membuat mini dress yang dikenakan tersingkap naik memperlihatkan kulit paha mulus menggoda. Tanpa malu seorang gadis berambut panjang dengan tubuh ramping mendudukkan pinggulnya di pangkuan pria yang cuma menatap dengan mata datar.
"I miss you, Bangster~" kalimat manja keluar dari celah bibir yang diwarna merah.
Perlahan lelaki di bawahnya ikut menyunggingkan senyum kecil. "Miss you too, Baby..."
.
.
.
Bang Her!'s Pre-Sequel
" BANG HIM! "
After knowing everything 'bout HER, don't you wanna know 'bout HIM too?
.
"Apa kita... akan terus hidup seperti ini?"
.
"Jangan pernah melibatkan Himchan... meski kau mau mati jangan pernah SEKALI PUN MENYEBUT NAMANYA!"
.
"Jika ada yang bertanya padamu, katakan kau tidak mengenal Bangster ataupun Buster."
"Siapa itu Bangster dan Buster?"
.
"Ah, aku mungkin bisa memulainya dengan mengirim foto indah bangkai mayat istri dan anaknya."
.
"DIMANA HIMCHAN DAN HOHYEON!?"
.
.
.
Dua minggu berlalu sejak Yongguk pergi ke Amerika. Himchan yang sudah pindah ke rumah Jieun benar-benar menikmati hari-hari barunya menjadi seorang ibu muda dari bayi laki-laki yang diberi nama Hohyeon. Hochan—begitu Jieun memanggil keponakannya—memperlihatkan pertumbuhan pesat sejak hari pertama ia dilahirkan. Bayi tersebut begitu sehat, berat badannya mudah naik karena dia banyak makan, banyak tidur, dan yang paling penting dia selalu bahagia. Baru sepuluh hari usianya Hohyeon sudah mulai bisa tersenyum dan berkedip merespon ucapan ibunya. Dia juga jarang rewel, kalaupun menangis ia akan langsung diam ketika ada orang yang memeluknya. Bayi itu sangat tenang dan mudah ditidurkan, mengingatkan Jieun pada sikap Yongguk yang juga selalu kalem di berbagai situasi.
"Kita sudah sampai, bangunlah." Jieun mengetuk kaca jendela mobil dari luar membuat Himchan terhenyak dari tidurnya. Wanita tersebut menguap lalu menggeliat membuat bayi yang tidur di boks di sebelahnya ikut terbangun dan menggeliat juga hingga muka mungilnya memerah. Himchan membuka pintu mobil, mengusap kedua mata mengantuk.
"Kau membawaku kemana? Perasaan kita pergi jauh sekali," tanya Himchan.
Jieun mengedikkan bahu. "Yongguk cuma berpesan aku harus membawamu ke tempat ini." Wanita itu melongok ke bekas tempat duduk Himchan, melihat ke dalam boks bayi dan bibirnya langsung tersenyum lebar.
"Hochan, annyeong~ kau ikut bangun juga? Utututu~ imutnya keponakan Tante~" sapanya pada bayi kecil yang hanya mengedipkan mata pelan—masih mengantuk—mulut mungilnya kembali menguap, ia menggeliat sebentar sebelum kemudian memejamkan mata, dan melanjutkan tidur tanpa menangis sama sekali.
"Tempat apa ini?" Himchan mengeluarkan ponsel, hendak memeriksa GPS posisinya sekarang. "Aku yakin ini pasti sudah sangat jauh dari Seoul."
"Tentu saja," jawab Jieun, dengan hati-hati mengambil Hohyeon yang mulai tertidur dari dalam boks beserta selimut yang membungkusnya, menggendong bayi tersebut sambil tidak bisa berhenti mengagumi betapa imutnya dia.
"Aku tidak menyetir selama 5 jam hanya untuk berputar-putar mengelilingi Seoul," imbuh Jieun.
"Selama itu?" Himchan terkejut. Dia nyaris selalu tidur di perjalanan hingga tidak sadar sudah berapa banyak waktu yang terbuang. "Berarti tempat ini memang paling, sangat, terlalu, pelosok sekali. Aku yakin orang-orangnya pasti juga ndeso."
"Apa kau pernah ke sini?" tanya Jieun yang langsung dijawab cepat oleh temannya.
"Tidak."
"Yongguk menyuruhku mengantarmu ke sini jadi pasti ini ada hubungannya dengan dirimu."
"Tapi aku bahkan tidak pernah datang ke sini." Wanita tersebut mengedarkan pandangan, mencoba mengenali rumah-rumah sederhana, kebun yang masih dibiarkan liar, aliran sungai jernih, dan beberapa ayam peliharaan yang mematuki tanah mencari makanan, namun tetap saja ia sama sekali tak ingat ia pernah melihat tempat itu sebelumnya.
"Mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk kalau berjalan-jalan sebentar," ujar Jieun dibalas anggukan oleh Himchan.
"Tunggu, bisakah kau memegang Hochan? Aku mau ganti sepatu dulu." Jieun menyerahkan bayi di gendongannya pada pelukan sang ibu sementara ia membuka bagasi mobil untuk menukar high heels di kakinya dengan sepasang sepatu kets.
Himchan menghela napas panjang. "Lagian siapa suruh kau memakai high heels kalau tahu kita akan ke daerah pedalaman?"
"Mana aku tahu kalau akan separah ini." Jieun mencibir memandang temannya yang sejak melahirkan masih setia memakai sepatu flat. Himchan mulai melangkah di jalanan setapak memasuki area desa sedangkan di belakangnya menguntit Jieun yang tidak dapat berhenti mengomel.
"Bagaimana bisa di jaman modern begini masih ada jalanan berlumpur?" dokter wanita tersebut berjalan jinjit menghindari setiap genangan kecil air bekas hujan gerimis tadi malam sambil sesekali ia memekik, "KYAA! HIMCHAN, ADA KODOK!"
.
"Meski susah sinyal, setidaknya udara di sini segar." Himchan mematikan ponsel, menyerah mencari GPS sebab dari tadi operator selularnya cuma menunjukkan tanda silang tanpa ada perubahan apapun.
"Cuma udaranya yang segar. Lainnya tidak." Jieun mendengus, memandang kesal pada sepatu kets putih kesayangan yang sudah berubah warna terkena bercak lumpur di sana sini. Sekarang mereka sedang berhenti di tepi sungai, beristirahat sejenak seraya menikmati keindahan alam yang masih alami dan kontras berbeda dengan ibu kota Seoul.
"Tempat ini healing sekali." Himchan merenggangkan badan, menghirup napas dalam-dalam. "Tidak panas dan tidak dingin. Sejuk sekali."
Jieun hanya mengangguk mengiyakan, tangannya mengambil ponsel untuk memfoto capung yang sedang hinggap di ujung selimut Hohyeon di pangkuannya.
Himchan mengedarkan pandangan, melangkahkan kaki untuk melihat-lihat lebih jauh namun lantas gerakannya berhenti. Kepala wanita tersebut meneleng, kedua matanya menyipit tapi sejenak kemudian membelalak lebar.
"Tidak mungkin..." ia mendesis tak percaya dan mulai berlari ke arah jembatan yang dibangun melintasi lebar sungai.
"Himchan-ah, kau mau kemana!?" teriak Jieun kaget. Dengan buru-buru dia berusaha berdiri sementara tangannya kerepotan karena masih menggendong Hohyeon.
Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin... Himchan mempercepat larinya.
"EOMMA!" ia berteriak, menghentikan gerakan seorang wanita paruh baya yang sedang melintas di atas jembatan. Wanita tersebut menoleh ke belakang dan sontak kedua mata tuanya membeliak melihat sosok gadis yang sedang berdiri terengah-engah di ujung jembatan sembari menatapnya.
"Eomma..." panggil Himchan terbata dengan napas tak beraturan. Air mata meleleh di pipinya. "Eommaaa...!" ia kembali berlari, menubruk tubuh wanita paruh baya yang dengan tangan gemetar balik memeluknya.
"Eomma pergi kemana saja? Channie rindu Eommaaa..." Himchan meraung di bahu ibunya—ibu tirinya yang menghilang sejak dia terkena kasus hukum akibat dijebak oleh Park Kyungwook.
"Channie... Channie..." bisik ibu Himchan di telinga putrinya dengan suara bergetar. "Maafkan Eomma karena tidak bisa berguna untukmu, Nak..."
Himchan menggelengkan kepala keras-keras. "Eomma tidak bersalah. Channie... Channie cuma butuh Eomma untuk tidak pergi..."
Perlahan dekapan di badan Himchan mengerat. "Anakku... maafkan Eomma..."
Tak jauh dari tempat ibu dan anak yang sedang melepas rindu setelah sebelumnya dipisahkan oleh tragedi keegoisan manusia berujung tindakan hukum, Jieun menghentikan langkah kakinya dengan bibir menyunggingkan senyuman.
Kau benar-benar sudah melakukan banyak hal untuk Himchan, Yongguk-ah, bisiknya dalam hati.
.
Melihat keadaan Himchan baik-baik saja—bahkan ia sudah memiliki anak dan akan segera menikah—membuat ibunya tak lagi menutup-nutupi fakta tentang keputusannya pergi meninggalkan gadis itu dahulu. Himchan sendiri terkejut dan sama sekali tidak mengira jika Park Kyungwook akan bertindak begitu jauh sampai tega memaksa ibunya untuk membuat pengakuan palsu yang memberatkan Himchan di pengadilan dan mengancam wanita itu jika membocorkan perjanjian ini pada pihak ketiga maka Kyungwook tak akan segan menyakiti putrinya.
"Eomma tidak mau kau terluka. Eomma pikir dengan pergi jauh darimu kau akan baik-baik saja. Eomma benar-benar sangat tidak berguna, Chan-ah. Maafkan Eomma..." tangis wanita paruh baya tersebut ketika tahu jika keputusannya untuk pergi ternyata malah semakin membuat anak perempuannya terpuruk.
"Apa anda pernah menerima tamu seorang pria berkulit gelap dengan suara berat yang berasal dari Seoul?" tanya Jieun.
Ibu Himchan menggeleng. "Tapi pernah ada seorang detektif dari Seoul yang datang ke sini untuk bertanya soal kasus Channie. Awalnya aku pikir dia hanya mencoba menjebakku, bertemu Park Kyungwook sudah membuatku tidak bisa lagi percaya pada orang lain. Namun detektif itu bilang dia ingin membantu Channie dan kesaksianku dapat membuat jalan penyelidikannya terbuka, jadi aku menceritakan semua yang aku tahu padanya."
"Detektif... Moon Jongup?" Jieun memandang Himchan yang juga mengerti dengan maksud tatapannya.
Jadi selama ini, Jongup melakukan penyelidikan bersama Yongguk?
"Chan-ah, Eomma sama sekali tidak berpihak pada Kyungwook. Meski dia bilang akan memberiku rumah dan uang setelah membantunya, aku lebih memilih pergi supaya dia tidak bisa lagi menggunakan Eomma untuk mengancammu."
Himchan mengangguk. "Aku tahu, Eomma." Kembali dipeluknya wanita paruh baya tersebut dengan erat.
"Kyungwook benar-benar menghalalkan segala cara untuk menjatuhkanmu, Himchan-ah. Meski dia jahat, tapi aku mengakui dia orang yang cerdas," desis Jieun.
Himchan terdiam.
"Tapi tololnya, orang itu tidak bisa menggunakan otaknya untuk hal yang lebih berguna." Sang dokter melanjutkan dengan nada geram.
"Sudahlah," desis Himchan. "Dia sudah masuk penjara dan mendapat balasan yang setimpal. Jangan lagi membahasnya."
"Maaf," ujar Jieun, menatap temannya yang sayu.
-o-
Bertemu kembali dengan ibunya membuat Himchan teringat dia juga harus menemui seseorang yang—sebaliknya—selama ini tidak pernah pergi ataupun menghilang dan masih selalu ada ketika ia butuh bantuan. Lalu di sinilah Himchan berada, menunggunya di parkiran sebuah klub malam dengan Hohyeon yang tertidur di gendongan.
"Hoi! Aku ini sedang bekerja, jangan samakan aku dengan pelacur yang bisa kau panggil seenak jidat—" datang-datang Hyoseong sudah mengomel namun kalimatnya seketika terhenti saat melihat Himchan tidak berdiri sendirian melainkan dengan memeluk sebuah buntelan selimut di tangan dan bentuk tubuhnya yang sudah kembali seperti semula.
"Kau—" wanita itu tak tahu harus berkomentar apa.
"Lama tidak bertemu, Tante Hyoseong~" sapa Himchan riang.
Mata Hyoseong membulat. "DIA KEPONAKANKU!?" segera perempuan tersebut berlari menghambur dari pintu belakang tempatnya keluar bangunan klub malam. Tak sabar ia menyibak selimut di pelukan Himchan dan langsung tertegun melihat seraut wajah kecil tengah tertidur tenang dengan mata, hidung, mulut, dan semua anggota badan yang serba mungil.
"Kyeoptaa..." isi dada Hyoseong terasa meleleh. "Laki-laki? Perempuan? Siapa namanya?"
"Hohyeon. Ayahnya yang memberi nama itu," jawab Himchan dengan hati-hati membantu memindahkan bayinya ke gendongan Hyoseong.
"Nama yang bagus," puji Hyoseong. "Hohyeon-ah, ini Tantemu. Jeon-Hyo-Seong! Kau harus mengingatnya ya," ujar wanita itu membuat Himchan terkikik geli.
"Chan-ah, fotokan aku dengan anakmu!" pinta Hyoseong kemudian. "Yang banyak ya! Pokoknya aku harus punya banyak fotonya!"
"Iya iya," jawab Himchan terkekeh.
-o-
Himchan tiba di rumah ketika Jieun sedang berkutat dengan komputernya.
"Kebetulan! Darimana saja kau?" tanya wanita yang sedang libur kerja di rumah sakit.
"Mengunjungi temanku. Apa yang kau lakukan?" tanya Himchan sembari mendekati Jieun setelah meletakkan Hohyeon yang tidur ke atas sofa.
"Mengirim email ke Yongnam," jawab Jieun sederhana.
"Memangnya bisa? Kau bilang mereka tidak akan bisa dihubungi selama dalam misi," tanya Himchan heran, ditariknya sebuah kursi mendekat agar dia bisa duduk di sebelah Jieun.
"Memang tidak mungkin untuk berhubungan dua arah karena bisa langsung kena sadap, tapi kalau cuma satu arah seperti mengirim email itu tidak masalah. Lagipula Yongnam sudah mengatur komputer ini untuk bisa mengubah ID server-nya secara otomatis setiap 10 detik ketika digunakan jadi pihak ketiga pun akan sulit melacak posisi pasti penggunanya," jelas Jieun. "Kau mau dibawakan apa dari Las Vegas?" imbuhnya kemudian.
"Eh?"
"Karena mereka sedang di luar negeri jadi sekalian saja minta oleh-oleh. Dulu waktu Yongnam ke Hong Kong aku iseng minta dibawakan perhiasan dan dia benar-benar memberiku batangan emas murni karena memang Hong Kong gudangnya emas. Kalau di Las Vegas, setauku barang branded di sana murah-murah. Kau mau apa? Perhiasan, tas, sepatu, baju? Aku yakin Yongguk bisa membelikanmu semua itu."
Himchan belum sempat menjawab namun Jieun sudah melanjutkan kata-katanya. "Apa sekalian saja kau mencari cincin pernikahan di sana? Las Vegas adalah tempat paling favorit di Amerika untuk melangsungkan pernikahan."
"Apa cincin ini saja tidak cukup?" Himchan menyentuh jari manisnya.
"Itu 'kan cincin pertunangan. Beda dengan pernikahan," cibir Jieun yang kalau dicermati memang memakai dua cincin di satu jari manis tangannya. Sebuah cincin berlian bulat tunggal dan cincin dengan berlian lebih kecil berjejer rapi membentuk sebuah lingkaran mewah.
"Tapi ini sudah cukup..." desis Himchan. "Kalau disuruh memilih mungkin cincin kembar yang bisa aku pakai dan cocok dipakai Yongguk." Mata bundarnya menerawang.
"Cincin yang cocok untuk laki-laki ya cuma polos, seperti milik Yongnam," sahut Jieun. "Yoss, aku akan bilang pada Yongguk untuk mencari cincin termahal di Las Vegas," lanjutnya sambil jari-jemarinya mengetik di keyboard.
"Ah, sekalian aku ingin membuat mereka menangis di sana," celetuk sang dokter.
"Menangis? Caranya?" Himchan heran.
Jieun menyeringai kejam, "Begini caranya!"
.
Tiga hari kemudian di Las Vegas.
"K-Ketua, anda baik-baik saja?" tanya V dengan wajah khawatir ketika melihat kedua pimpinannya muncul di tempat rapat dalam keadaan pucat dan mata memerah.
Yongnam menutupi sebelah muka dengan tangan, "Tidak apa-apa..." suaranya terdengar parau. Sementara Yongguk malah berbalik keluar ruangan dan berjalan cepat entah kemana.
"A-apa anda sakit? Apa kita tunda saja rapatnya?" V makin panik.
"Aku baik-baik saja..." Yongnam menghirup kuat ingus yang hendak meler dari lubang hidungnya, teringat kembali pada email Jieun yang baru sempat ia buka bersama Yongguk yang ternyata dengan sangat jahat tak hanya mengirim daftar panjang oleh-oleh—belanjaan—yang harus ia cari di Las Vegas namun juga meng-attach beberapa foto Hohyeon yang sedang tidur dan tersenyum bahkan masih ada video pendek bayi itu menguap lucu dengan tangan mungilnya menggosok-gosok mata yang mengantuk.
KEJAM!
Jieun begitu kejam hingga tega menyiksa dua orang berhati lemah yang sedang mati-matian fokus pada pekerjaan.
Aku ingin bertemu dengan Hohyeon! (TT_TT)
-TBC-
HAI HELLOOO!
BERTEMU LAGI DENGAN MYKA DI VIBE YANG SAMA TAPI BEDA JUDUL (drama-tragedy cuuy, naik satu tingkat XD )
JANGAN LUPA REVIEW, FOLLOW, FAVO YAAA~ (cerita ini di double update ke wattpad)
OKE, BERSAMBUNG KE PRE-SEQUEL KEDUA :*** #langsungkabur
