a/n: dapet ide gara-gara ngerjain Shuffle Challenge 10 songs di FB. Yang penasaran, silakan meluncur ke notes facebook saya XDDD. Oh iya, judul diambil dari salah satu lagu milik Tohoshinki kesukaan saya, namun ini bukan songfic kok :)
warnings: Human AU, OOC alert, typo kemungkinan bertebaran, nyotalia cast (fem!Japan: Honda Sakura) dan entah apa ini tergolong historical fic atau bukan karena walaupun Tohoku Earthquake kejadiannya baru setahun lalu, tapi tetep aja itu kejadian di masa lalu. #alasan
"Hanya sebulan kok, Sakura. Setelah sebulan, aku berjanji akan kembali ke Jepang…"
"…"
"…untuk membicarakan pernikahan kita."
Shiawase Iro no Hana (The Happiness-Colored Flower)
Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya
[February 21, 2011 – Tokyo, Japan]
"Eh…"
Semburat merah muda sontak muncul di pipi Honda Sakura ketika mendengar sebaris kalimat yang keluar dari seorang pemuda bermata emerald yang tengah duduk di sebelahnya, memalingkan wajah untuk menyembunyikan wajah pucatnya yang kini berubah merah. Sesaat keheningan mengungkung kedua insan yang tengah duduk berdua di sebuah ruang tamu bergaya tradisional Jepang itu sebelum sebaris kalimat kembali meluncur dari bibir sang pemuda.
"Te-tentu saja kita akan me-menikah kan, Sakura? Kau pi-pikir untuk apa ki-kita berpacaran selama ini kalau tidak diakhiri dengan me-menikah—atau jangan-jangan kau tak mau menikah denganku?"
"Eeeh?" mata cokelat Sakura melebar, terkejut dengan pertanyaan dari kekasihnya barusan. "Bukan—bukan begitu, Arthur-san! Aku bukannya tidak mau menikah denganmu—a-aku tidak tahu apa aku sudah siap untuk menikah atau belum, dan aku rasa ini terlalu cepat—"
Sedikit geraman kecil keluar dari mulut pemuda Britania beralis tebal itu sebelum kedua tangannya—pelan, pasti, sekaligus bergetar hebat—meraih tangan kekasihnya dan menggenggamnya kuat-kuat.
"Ayolah, Sakura…"gumamnya—terdengar seperti gerutuan, namun Sakura tidak mempermasalahkannya. "Kau… kau mau menunggu lebih lama lagi? Untuk apa? Kau… kau tahu sendiri kan, aku tidak akan menyerahkan nama Nyonya Kirkland kepada siapapun selain kepadamu—aku sudah berjanji kepadamu kan? Untuk apa kau menunggu lebih lama lagi?"
Sakura terdiam, menatap lembut wajah sang kekasih yang wajahnya sudah berubah merah total, ketika disadarinya manik emerald Arthur juga tengah menyapu wajahnya dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Arthur-san…"
"Lagipula…" Arthur melanjutkan. "Aku—aku ingin sekali menikah di musim semi. Saat bunga sakura tengah mekar dengan indahnya… kurasa aku akan sangat bahagia saat itu…"
Semburat merah di wajah Sakura bertambah intensitasnya. Ia tahu, sang kekasih amat menyukai bunga yang memiliki nama yang sama dengan dirinya itu. Bahkan, mereka pertama kali bertemu di bawah pohon sakura yang tengah berbunga dengan lebatnya. Sakura bukan hanya bunga favorit Arthur, namun juga bunga yang menyimpan kenangan-kenangan indahnya. Bagi Arthur, sakura adalah bunga yang melambangkan kebahagiannya.
Sakura tersenyum bahagia.
"Aku akan menunggumu, Arthur-san," ujarnya lembut sambil balik menggenggam tangan Arthur. "Hanya satu bulan, kan?"
Senyum bahagia yang sama pun kini terkembang di wajah Arthur,
"Ya. Hanya satu bulan, tidak kurang tidak lebih."
"Aku lebih suka kalau kurang, Arthur-san."
Arthur menyeringai. "Aku juga," ujarnya lembut, sambil melepaskan genggaman tangannya untuk mengambil ponselnya yang berdering, menandakan satu pesan masuk. Arthur membaca kilat pesan yang masuk ke ponselnya tersebut dan setelah itu beranjak berdiri. "Boleh aku pergi sekarang, Sakura? Aku harus mengurus kepergianku sekarang…"
"Tentu saja. Kudoakan kau berhasil dalam proyek ini," gadis beryukata biru muda itu turut berdiri, mengikuti kekasihnya yang kini berdiri di ambang pintu menuju halaman rumah. "Kembalilah dengan selamat… doaku menyertaimu."
"Ya. Terima kasih, Sakura." Arthur menuruni undakan kecil menuju halaman rumah dan setelah kakinya menjejak tanah, ia berbalik untuk menatap wajah Sakura sekali lagi. "Aku akan berhati-hati."
Sakura mengangguk pelan, lalu membungkuk perlahan-lahan untuk mendaratkan sekilas kecupan di bibir Arthur yang wajahnya langsung berubah merah begitu menerima kecupan yang hanya sebentar itu. Sakura hanya bisa terkikik pelan ala gadis-gadis bangsawan begitu melihat reaksi Arthur.
"A-a-aku pergi dulu, Sakura! Da-da-dadaaah!"
Setelah itu ia langsung lari terbirit-birit meninggalkan kediaman Honda.
"Dadah…" Sakura melambaikan tangannya geli, sifat kekasihnya yang kelewat pemalu namun terkadang memalukan (apalagi saat mabuk) itu memang membuat orang-orang ingin menjahili dan menggodanya. Gadis manis berambut sebahu itu masih berdiri di undakan ketika terdengar suara pintu geser terbuka disusul suara cempreng-menyebalkan menyapa pendengaran Sakura.
"Cieeee~ ada yang lagi bahagia, da ze~"
Sakura berbalik, lalu menemukan sosok pemuda berwajah jahil adik sepupunya yang berkebangsaan Korea tengah berdiri di ambang pintu geser yang menghubungkan ruang tamu dengan koridor rumah. Kembali untuk kesekian kalinya hari ini, wajah Sakura dihiasi semburat merah.
"Yong Soo!"
Pemuda berwajah jahil itu hanya cengengesan melihat reaksi kakak sepupunya itu. "Sebentar lagi aku punya sepupu ipar dong, Noona[1]. Beri aku keponakan yang banyak ya, hehehehe…"
"He-hei, kau bicara apa, Yong Soo… daripada meledekku seperti itu, lebih baik kau cari pacar saja, sana. Kalau kau masih jahil seperti itu, tidak akan ada gadis yang mau jadi pacarmu, lho…"
"Bercanda, Noona, bercanda!" Yong Soo mengibaskan tangannya, namun senyum jahil tak kunjung terhapus dari wajahnya. "Noona jangan menyumpahiku seperti itu dong, da ze. Oh ya—memangnya Arthur-sshi [2] mau pergi kemana sampai satu bulan? Disuruh orangtuanya kembali ke UK?"
Sakura menggeleng. "Bukan. Ada proyek penting yang diadakan perusahaannya di Prancis, dan ia dipanggil oleh perusahaannya untuk menangani proyek tersebut. Ia hanya harus berada di Prancis selama satu bulan, karena ia hanya melakukan tinjauan di sana. Yah, mungkin juga setelah itu dia akan pulang sebentar ke UK untuk mengabarkan orangtuanya—"
"—kalau dia sudah melamar Noona?"
"—ya…bisa jadi." Sakura tersenyum simpul, dan senyum Sakura barusan tak ayal membuat Yong Soo ikut tersenyum. Mereka adalah sepupu yang sangat akrab meskipun tak jarang mereka bertengkar, jarak usia mereka yang terpaut 3 tahun juga bukan alasan bagi mereka untuk tidak menjadi sepupu yang akrab. Yong Soo bisa merasakan kebahagiaan Sakura saat ini dan ia pun turut bahagia karenanya—meskipun jauh di sudut hatinya pemuda Korea itu merasakan kesepian karena tentu saja setelah Sakura menikah, waktunya bersama Sakura tidak akan tersisa banyak.
"Kalau begitu, tidak ada alasan lagi bagi Noona untuk tidak pergi ke Korea, da ze!" seru Yong Soo penuh semangat. "Aku tidak mau tahu, Noona harus ikut aku pulang ke Korea dua minggu lagi. Sejak Noona punya pacar, Noona jadi tak pernah pergi ke Korea! Sudah berapa kali Noona menolak ketika kuajak pergi ke Korea gara-gara 'aku tidak bisa meninggalkan Arthur-san sendirian di sini…' dan giliran kusuruh ajak saja Arthur-sshi ke sini, si alis tebal itu menolak. Ya? Noona?"
"Eeeh?" manik cokelat Sakura membulat. "Aduh, tidak tahu ya kalau diajaknya dengan cara ditodong seperti ini. Beri aku dua minggu untuk berpikir."
"Ayolah Noona, ini toh bukan lamaran," cibir Yong Soo setengah meledek. "Masa' untuk menjawab lamaran tak butuh satu jam, tapi untuk menjawab ajakan dari sepupumu yang paling tampan sedunia ini butuh dua minggu."
Sakura tertawa kecil. "Hah? Aku tidak salah dengar ya, Yong Soo? Kau… tampan?"
"Tampan itu kan asalnya dari Korea, da ze! Jadi, kau pergi ya, Noona? Ya? Ya?"
"Haaaah... oke oke, sepupuku yang paling tampan sedunia semut, aku pergi," Sakura mengusap-usap kepala adik sepupunya itu hangat. "Tapi soal visaku dan sebagainya, kau bantu urus, ya?"
"Tentu saja~ membantu itu kan asalnya dari Korea, da ze~!"
[March 8, 2011 – Paris, France]
"Yang benar? Aku sudah boleh pulang lusa?"
Manik emerald Arthur membulat ketika penanggung jawab proyek perusahaannya di Prancis, Francis Bonnefoy, memberikannya surat yang menyatakan bahwa masa tugas Arthur Kirkland di Prancis berakhir lusa, dan ia sudah diperbolehkan pulang. Kedua manik hijau itu berbinar-binar melihat kata-kata yang tertulis di sehelai kertas putih, diketik menggunakan komputer dan ditandatangani dengan apik oleh seseorang yang tentu saja Arthur kenali sebagai bosnya.
"Tentu saja, mon ami [3]. Kau menunaikan pekerjaanmu dengan baik sekali di sini, dan kau berhak mendapat ganjarannya," Francis mengedipkan sebelah matanya genit—Arthur akan segera merinding, paling buruk muntah-muntah, melihat hal itu namun ternyata yang bersangkutan sedang kelewat gembira sehingga tak tertarik untuk memperhatikan Francis.
"Ini-ini hebat sekali—astaga, aku betul-betul bahagia—"Arthur masih memandangi surat itu seolah surat itu bernilai ratusan juta poundsterling. "Terima kasih, Francis!"
"Hoo… iya, iya. Sama-sama. Kau betul-betul bahagia, ya," agak kaget juga mendengar ucapan terima kasih ditujukan Arthur pada dirinya, namun Francis berusaha untuk tidak memperlihatkan kekagetannya. "Jadi bagaimana? Kau mau mengunjungi orangtuamu dulu atau langsung menemui calon istrimu di Japon, hm?"
"A-ah ya, aku belum memikirkan sampai sejauh itu. Kurasa… aku akan langsung kembali ke Jepang untuk menemui Sakura—ah iya, aku akan langsung kembali ke Jepang."
"Tidak menemui orangtuamu dulu?" Francis menautkan alis. "London dan Paris dekat, lho."
"Mereka bisa kukabari via telepon," Arthur mengibaskan tangannya. "Aaaah! Aku jadi tak sabar untuk segera menemui Sakura—dia pasti sangat senang sekali. Ah—Francis, boleh aku pulang cepat hari ini? Aku ingin mencari oleh-oleh untuk Sakura dan tentu saja mengemas barang-barangku—"
"Ya ya ya, tentu saja, mon ami," Francis mengangguk. "Hati-hati ya, jangan menyesal nanti—"
Belum sempat Francis menyelesaikan kalimatnya yang kedua, Arthur sudah menjerit girang dan segera beralih kepada pekerjaannya untuk hari ini yang belum ia selesaikan. Francis menggeleng-gelengkan kepala melihat Arthur yang sebegitu girangnya sampai-sampai terlihat seperti anak kecil itu.
"Bahagianya, yang sebentar lagi punya istri…"
Menggumam tak jelas, Francis berlalu meninggalkan ruangan kerja Arthur. Beberapa saat kemudian, Arthur tersadar bahwa ia belum mengontak Sakura. Diraihnya ponsel dan dibukanya flip-nya, berencana untuk menghubungi Sakura.
"Dia pasti senang sekali—ah, tunggu! Sepertinya lebih baik kalau aku tidak memberitahunya," Arthur menimbang-nimbang. "Kurasa aku tidak usah memberitahunya. Anggap saja kejutan."
Arthur menutup flip ponselnya dan kembali menekuni pekerjaannya.
[March 11, 2011 – Seoul, South Korea]
"Noona! Noona, bangun!"
Panik, Yong Soo membangunkan Sakura yang masih terlelap di atas tempat tidurnya. Gadis itu menggeliat sebentar, mengusap-usap matanya lalu menarik selimutnya menutupi kepalanya. Yong Soo berdecak keras melihat ulah kakak sepupunya itu.
"Noona, aku serius! Bangun, wilayah Tohoku kena gempa dan tsunami!"
"Apa?" Sakura serta-merta terlonjak dari tempat tidurnya dan Yong Soo tidak menyia-nyiakan kesempatan—ditariknya tangan sang Noona dan membawanya ke ruang keluarga, dimana televisi sedang menyala dan menayangkan breaking news pagi hari, yang diisi dengan satu berita mengejutkan.
Wilayah Tohoku, Jepang Timur, diguncang gempa berkekuatan 8.9 skala Richter.
"…yang benar saja…"
Kaki Sakura mendadak lemas mendengar nominal itu. 8.9 skala Richter. Bahkan The Great Kantou Earthquake yang terjadi tahun 1923 tidak sekuat itu. Dadanya sesak—pikirannya dipenuhi dengan rasa cemas dan waswas. Ia tahu, Jepang adalah negara yang rawan gempa, selama hidupnya tak terhitung berapa kali Sakura merasakan gempa bumi. Struktur bangunan dan rancangan kota pun sudah dipertimbangkan matang-matang dan dibuat se-anti gempa mungkin. Namun, gempa kali ini bukan gempa yang berupa guncangan kecil biasa—nominal 8.9 skala Richter. Mendekati 9. Sehebat apa guncangannya? Yang pasti cukup untuk meluluhlantakkan satu kota.
Apakah Otou-san dan Okaa-san baik-baik saja…
"Noona…" Yong Soo menatap Sakura penuh rasa khawatir. "Tenanglah Noona, lebih baik kita berdoa semoga samchon[4] dan kumo[5] baik-baik saja… ya?"
Sakura tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkunci oleh guncangan batinnya. Gempa itu seolah tidak hanya terjadi di dasar Samudra Pasifik, namun juga jauh di dasar hatinya. Siapa yang tak terguncang melihat tanah air yang dicintainya porak-poranda oleh ombak ganas tsunami dan guncangan gempa dahsyat?
"Noona, lihat? Daerah Tokyo baik-baik saja kok, samchon dan kumo juga pasti baik-baik saja. Tenanglah, Noona…"
"Bagaimana aku bisa tenang, Yong Soo…" gumam Sakura lirih. "Itu Sendai. Miyagi. Aku bukannya tidak tahu daerah itu—aku sering ke sana, Yong Soo. Bukan cuma Otou-san dan Okaa-san yang aku khawatirkan saat ini tapi… teman-temanku juga, Yong Soo…"
"Aku mengerti, Noona, aku mengerti!" seru Yong Soo. "Aku tahu Noona pasti akan marah dan bilang 'kau tak tahu apa-apa Yong Soo, kau tidak mengerti rasanya…' tapi aku betulan mengerti, sungguh! Aku tak ingin Noona kehilangan akal sehat, oke? Aku hanya ingin Noona tenang, kejadian ini, semuanya—ini sudah takdir, kita tak berbuat apa-apa, kan?"
"Uh… kau… kau benar, Yong Soo… hiks…"
Yong Soo menghela napasnya perlahan, lalu memeluk sang kakak yang kini sedang menangis tersedu-sedu. Dalam hati terdalamnya, Yong Soo mengutuki Arthur yang tak kunjung menelepon Sakura—sekarang sekitar jam 10 malam di Paris, seharusnya pemuda beralis tebal itu sudah selesai bekerja dan tak mungkin juga ia tidak melihat televisi—padahal sepatah dua patah kata dari Arthur bisa lebih menenangkan Sakura dibanding satu jam ceramah dari Yong Soo.
Tiba-tiba ponsel Sakura berdering, dan akhirnya Yong Soo bernapas lega.
"Ponsel—ada yang menelepon—"
"Iya Noona, pasti itu Arthur-sshi yang mau menanyakan keadaan Noona." Yong Soo tersenyum sambil mengambilkan ponsel Sakura, dan keningnya mengernyit ketika melihat nama yang tercantum di layar ponsel Sakura bukannya Arthur Kirkland melainkan Alfred F. Jones—seingatnya, si Jones ini adalah teman satu kantor Arthur sekaligus sahabatnya sejak kecil. Memutuskan untuk berpikir bahwa Arthur menelepon Sakura menggunakan ponsel temannya, Yong Soo memberikan ponsel itu pada Sakura.
"Mo-moshi-moshi—"
"Sakura-chan! Kau tidak apa-apa? Sungguh? Kau ada dimana sekarang?" Sakura mengernyitkan alisnya begitu Alfred memberondongnya dengan pertanyaan. "Kau baik-baik saja? Terluka tidak?"
"A-aku tidak apa-apa, Alfred-san, terima kasih sudah mengkhawatirkan."
"Sekarang kau ada dimana? Apakah kau bersama Arthur?"
"E…eh? A-aku sedang di Seoul bersama sepupuku, Alfred-san…"
"Hah? Seoul? Jangan bilang kau tidak bersama Arthur?"
"Te-tentu saja tidak, Alfred-san… Arthur-san baru akan kembali dari Paris tanggal 21 nanti, kan?" tanya Sakura. "Bukankah sekarang Alfred-san yang seharusnya sedang bersamanya? Alfred-san juga sedang di Paris, kan?"
"Astaga, si bodoh itu tidak memberitahumu? Dia sudah kembali ke Jepang kemarin! Mungkin gara-gara ketularan kau atau apa dia jadi pekerja keras selama meninjau lokasi proyek di sini, sehingga Bos berbaik hati mengizinkannya pulang lebih cepat… dia dijadwalkan mendarat di Narita kemarin malam."
Deg.
Jantung Sakura serasa berhenti berdetak.
"Jadi—sekarang—Arthur-san—"
"…dia ada di Jepang… dan aku tak bisa menghubunginya… kukira dia bersamamu."
Sakura terduduk lemas, pandangannya kosong. Dalam sekejap ia kehilangan tenaga bahkan untuk menggenggam ponselnya. Dibiarkannya benda itu jatuh bebas ke lantai. Pandangannya menerawang kosong—Yong Soo tahu sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi.
Yang benar saja…
~tbc~
Catatan Kaki #duehbahasanya
[1] Noona: panggilan untuk kakak perempuan dari adik laki-laki, bhs. Korea
[2] –sshi: sama dengan "-san" dalam bahasa Jepang, bhs. Korea
[3] mon ami: my friend. bahasa Prancis
[4] samchon: paman (saudara orangtua), bhs. Korea
[5] kumo: bibi (saudara orangtua), bhs Korea
a/n: tadinya mau kubuat oneshot ternyata panjang ==" ya sudah jadi multichap aja deh. Btw itu kalau ada keganjilan dengan perbedaan zona waktu Jepang-Prancis atau Jepang-Korea atau Korea-Prancis kasih tau saya ya, saya masih belum mudeng nih sama perbedaan zona waktunya #dor
Dibuat untuk memperingati satu tahun (lebih woy) 2011 Touhou Earthquake. Ganbare Nihon! :D :D
