KRIIINNGGG!

Bel pulang berdering nyaring ke seluruh penjuru sekolah, menghantarkan euforia kepada seluruh siswa yang sudah jenuh belajar dan ingin segera pulang, atau setidaknya terbebas dari kewajiban mereka belajar untuk saat ini.

"Baiklah anak-anak, sampai berjumpa Kamis depan," tukas seorang guru berbadan besar dan brewokan sebelum keluar dari kelas 11-2. Seluruh murid di kelas itu langsung menghela napas lega dan membereskan peralatan tulis mereka masing-masing.

"Hmmm~ Akhirnya selesai juga belajarnya..." seorang gadis berambut pirang ponytail mengangkat tangannya ke atas, berusaha merenggangkan otot-otot lengannya yang kaku. Belajar selalu membuatnya lelah, padahal kerjanya hanya mendengarkan, menulis, dan memperhatikan guru. "Hei, bagaimana kalau kita pergi karaoke dulu? Di dekat stasiun ada tempat karaoke baru lho!" Ujar gadis itu lagi antusias pada teman-temannya yang duduk di samping kanan kirinya.

"Wah, ide bagus Ino! Katanya tempat karaoke itu lagi mengadakan promo kan?" Sahut gadis berhelaian merah ikal berkacamata tak kalah semangat.

"Aku setuju! Sekali-kali kita memang butuh hiburan," gadis bercepol dua menyetujui ajakan kedua temannya.

"Hei, forehead, kau ikut kami kan?" Ino memajukan tubuhnya ke depan, ke seorang gadis berhelaian merah muda yang duduk di hadapannya, membuat gadis itu menoleh ke belakang.

"Ah, maaf, pig, aku tidak bisa," sahut gadis itu sambil menutup retsleting tasnya.

"He? Kenapa memangnya Sakura?" Tanya gadis bercepol dua sambil mengernyit.

Sakura berbalik sepenuhnya, menatap ketiga gadis di belakangnya yang kini memgerutkan kening heran.

"Soalnya aku harus menjaga kuil," sahut Sakura enteng dengan senyuman lebar, yang justru membuat ketiga gadis lainnya melongo.

"HEEEHH?"


Sakura's Lover as SSavers proudly present,

Let Save My Crush!

A SasuSaku Fanfict

Disclaimer Naruto © Masashi Kishimoto

I just owe some charas from his manga, but this story is exactly mine ^^

Rate : Teen

Gendre : Supranatural, Romance, Friendship, liltle bit Humor

Warning : OOCness, EYD, TYPOs, aneh, ga jelas, membosankan, dll

Don't Like? You may read it but you can click back if you start to get vomit

Happy reading! :D


[Sakura's POV]

Di daerah pinggiran Tokyo terdapat sebuah kuil kecil yang di bangun di atas sebuah bukit. Kuil ini bernama kuil Kitsune, sebuah Jinja (kuil Shinto) yang sudah ada sejak 300 tahun yang lalu. Letaknya bisa dikatakan hampir dekat dengan pemukiman warga, berbeda dengan tempat ibadah lain yang pada umumnya jauh dari pusat kota. Kau hanya perlu menaiki 100 buah anak tangga batu untuk mendaki bukit, dan kau akan menemukan sebuah bangunan kayu tua nan terawat berdiri dengan segala keasrian dan kesederhanaannya. Nah, di samping kuil itulah letak rumahku berada. Alasannya? Tentu saja karena keluargaku adalah pengurus kuil kecil ini.

"Tadaima."

Rumah terlihat sepi ketika aku mengucap salah dan masuk ke dalamnya. Sepertinya ayah dan ibuku sedang pergi. Ah mereka memang jarang berada di rumah sih. Aku tidak ambil pusing, langsung saja aku masuk ke dalam kamarku dan menaruh tas sekolahku di meja belajar.

Huh, ingin rasanya aku merebahkan badanku, tiduran di kasurku. Dari jauh saja benda persegi panjang dari busa itu sudah terlihat sangat empuk, seolah mengundangku untuk berbaring manja di atasnya. Namun sayangnya aku harus menunda keinginanku itu. Sebab aku harus melaksanakan kewajibanku terlebih dahulu sebelum beristirahat.

Aku berjalan ke arah lemari pakaian lalu mengambil satu setel haori putih dan hakama merah. Aku pun pergi ke kamar mandi untuk mengganti seragamku dengan pakaian yang baru saja kuambil dan menggantung seragamku di hanger, selanjutnya berjalan santai sambil bersenandung kecil ke luar rumah. Tujuanku sekarang adalah halaman kuil Kitsune yang berada persis di sebelah rumahku ini. Sudah saatnya aku membersihkan halaman depan kuil dari dedaunan kering yang sudah menumpuk.

Ya, beginilah kegiatanku setiap hari sepulang sekolah, membersihkan dan merawat kuil Kitsune, atau lebih dikenal dengan julukan kuil rubah. Keluargaku secara turun-temurun memang merupakan penjaga kuil ini. Seharusnya sih ayahku yang merupakan keturunan ke-8 Harunolah yang bertanggung jawab pada tempat ini, bukan aku. Tapi ayahku pada dasarnya memang tidak bisa diharapkan. Dia lebih sering pergi jalan-jalan bersama ibuku entah ke mana daripada merawat kuil. Karena itu, akulah yang mengambil alih tugasnya. Yah mau bagaimana lagi, kalau kuil ini kotor kan tidak ada yang mau datang dan berdoa ke sini, dan itu berarti tidak akan ada yang melemparkan pundi-pundi uang ke kuil. Nanti aku tidak bisa makan lagi.

"Wah, ternyata kau sudah pulang sekolah, Sakura-chan!"

Aku menghentikan kegiatan menyapu halaman ketika mendengar sebuah suara menyapaku. Saat menoleh aku bisa melihat sesosok pria berambut kuning terang dengan tiga guratan di masing-masing pipinya memberikanku cengiran lebar. Matanya yang sebiru langit menatapku kegirangan.

"Ya, begitulah, Naruto-sama. Hari ini tidak ada kegiatan ekskul," jawabku sambil kembali menyapu. "Lagipula pagi tadi Tou-san tidak membersihkan halaman kuil, jadi aku buru-buru pulang untuk membersihkannya."

"Kau benar-benar baik, Sakura-chan! Rasanya aku ingin memarahi ayahmu yang bisa-bisanya pergi dengan ibumu dan menelantarkan kuilku begini," Naruto menggerutu sambil memasukkan tangannya ke dalam haori berwarna emasnya yang mewah, kebiasannya kalau lagi ngambek.

"Makanya sekali-kali kau membersihkan sendiri tempatmu ini dong," ujarku jahil. "Ups, aku lupa, kau bahkan tidak bisa memegang sapu," ejekku pada Naruto sambil tertawa kecil.

Sudah kuduga, wajah Naruto malah semakin kesal dan menatapku tajam. Lihat saja, dia mengangkat dagu lancipnya tinggi-tinggi. "Huh, mana pantas dewa sepertiku memegang sapu! Itu kan tugas kalian sebagai manusia!" Cecarnya dengan nada sombong yang menyebalkan.

Sebuah perempatan siku muncul di kepalaku. Aku pun balik menatapnya tajam dengan sebelah tangan berkacak pinggang. "Apa maksudmu, Naruto-sama?" Aku berdesis kesal dengan mata memicing.

"Sudah jelas, kan? Maksudku adalah, manusia itu tugasnya memang melayani dewa sepertiku," ujarnya angkuh, membuatku semakin kesal dan jengkel.

"Jadi kau meremehkanku? Baiklah, kalau begitu, aku tidak akan mau membersihkan kuil lagi!" Sahutku marah sambil berjalan menjauh darinya. Peduli amat soal tugas menyapu halaman. Aku sudah tidak mood lagi!

"Hei, hei Sakura-chan, kau mau ke mana? Kau belum selesai menyapu!" Naruto langsung berada di hadapanku, mencoba menghalangi jalanku.

"Huh, biarin! Kau menyebalkan!" Rutukku kesal sambil memalingkan muka.

"Kau bahkan lebih menyebalkan," sahut Naruto pelan, tapi bisa kudengar dengan jelas. Tentu saja perkataannya kembali menyulut amarahku.

"Apa kau bilang?!" Bentakku kesal padanya, yang malah memasang wajah masa bodo sambil melipat kedua tangannya di belakang kepala. Huh, ingin rasanya aku mematahkan lehernya sekarang juga!

"Sakura-chan, lagi-lagi kau berbicara sendiri."

Aku menoleh saat sebuah suara lembut menyebut namaku. Bisa kulihat ibuku berjalan ke arahku dengan menenteng dua kantung belanja besar. Wajah ibuku terlihat khawatir, seolah-olah aku adalah orang gila.

"Kaa-san!" Aku memanggil ibuku dengan riang. Senang mengetahui akhirnya ibuku sudah kembali ke rumah. "Ini nih, aku sedang ngobrol dengan Naruto-sama yang super menyebalkan!" Curhatku pada ibuku, membuat Naruto yang ada di sebelahku memprotes.

"Ya, tetap saja, ibu melihatmu seperti bicara sendiri. Kau bisa disangka tidak waras," sahut ibuku masih dengan wajah khawatir, membuatku balik menatapnya datar. Di sebelahku terlihat Naruto yang tertawa terbahak-bahak. Pasti dia senang melihatku dikatai oleh ibuku sendiri. Awas saja kau dewa bodoh!

"Haha, biarkan saja, Anata! Itu kan memang kelebihan Sakura! Jarang sekali ada yang bisa berbicara langsung dengan dewa," tiba-tiba ayahku ikutan nimbrung entah dari mana. Pria yang model rambutnya seperti bintang laut itu tertawa bangga, membuat aku dan ibuku sweat drop. Jangan dipikirkan, ayahku memang sudah aneh dari sananya.

"Sudahlah, sebaiknya biarkan saja halaman ini disapu oleh ayahmu, Sakura-chan. Kau bantu ibu memasak makan malam saja," ujar ibuku sambil merebut sapu di tanganku lalu menyerahkannya pada ayahku. Aku hanya terkikik geli melihat wajah ayahku yang cemberut dan tidak terima itu. Aku pun berlalu bersama ibuku menuju rumah mungil kami.

"Hei, Sakura-chan, masak yang benar ya, jangan sampai gosong," celetuk Naruto yang terbang mengikutiku. Ekor rubahnya yang berjumlah sembilan melenggak-lenggok santai di belakang tubuhnya. Aku hanya mendengus, mengabaikan ejekan dan keberadaannya yang terus mengikutiku sampai ke dalam rumah.

Ya, seperti yang terlihat, aku memang bukan gadis normal. Aku bisa melihat makhluk tak kasat mata seperti Naruto yang notabene adalah dewa dari kuil Kitsune yang dijaga keluargaku ini. Kata kakekku, kemampuanku ini merupakan suatu anugrah, tapi menurutku tidak begitu. Aku bahkan bingung apa gunanya aku memiliki kemampuan seperti ini. Sejauh ini hanya keluargaku saja yang tahu soal indra keenamku. Aku harap tidak ada yang tahu soal kelebihanku ini, kalau tidak aku pasti akan dijauhi. Tentu saja aku tidak mau kalau sampai hal itu terjadi.

"Nah, selesai!" Aku menatap bangga kariage bikinanku yang sudah ditata apik di atas piring. Tinggal dibawa ke meja makan saja deh, dan tugasku membantu ibu di dapur akan beres. Beruntung aku sudah mengganti "baju dinasku" dengan baju rumahan, jadi aku sudah bisa langsung istirahat di kasur empukku.

"Sakura-chan, jangan pergi dulu!" Ibuku menahanku saat aku akan beranjak dari dapur. Wanita berambut pirang yang sudah melahirkanku itu membuka kulkas, membuatku kecewa. Padahal aku sudah senang saat tahu tugasku sudah selesai tadi.

"Ada apa, Kaa-san?" Tanyaku heran saat ibuku mengeluarkan sebuah wadah dari kulkas.

"Ini sakuramochi oleh-oleh dari Shizuoka. Antarkan ini pada bibi Mikoto ya," kata ibuku ceria sambil menyodorkan wadah kue berwarna biru itu padaku.

Aku melebarkan kedua mataku saat menerima wadah itu. Dapat kurasakan wajahku mulai menghangat, pasti sekarang warnanya sudah memerah. Ibuku malah tertawa keciil melihat reaksiku yang konyol ini, membuatku semakin malu saja.

"Kenapa harus aku sih? Kenapa tidak ibu saja?" Protesku masih dengan wajah yang mulai menghangat.

"Sup bikinan ibu belum selesai. Kau kan sudah tidak ada kerjaan lagi sekarang, jadi kau saja yang mengantarkannya. Ibu tahu kau pasti senang pergi ke rumah keluarga Uchiha kann?" Kata ibuku sambil menaik-turunkan kedua alisnya jahil, membuatku memutar kedua bola mataku. Aku pun berjalan ke luar dari dapur sambil menenteng barang titipan di tangan kananku.

"Jangan lupa pulang untuk makan malam ya!" Seru ibuku keras-keras saat aku sedang memakai sendal di genkan. Aku hanya mendengus malas dan berjalan keluar dari rumah.

Keluarga Uchiha adalah tetangga yang jaraknya paling dekat dengan rumah kami. Dibilang dekat juga tetap saja aku mesti menuruni 100 buah anak tangga dan berjalan kaki selama lima menit untuk sampai ke sana. Salahkan rumahku yang berada di atas bukit, membuat kami kesulitan ingin pergi ke mana-mana.

Keluarga Uchiha sangatlah baik pada keluargaku, bahkan mereka terkadang menyumbang dana untuk kuil Kitsune. Atas kebaikan mereka, ibuku sering mengirimkan makanan sederhana atau camilan tradisional sebagai ucapan terima kasih. Karena itulah sudah menjadi rutinitas mingguanku untuk mengantarkan makanan itu ke rumah mereka.

Aku sama sekali tidak keberatan mengantarkan kue ini ke sana, aku justru malah merasa senang bisa berkunjung. Sebab aku jadi bisa bertemu dengan seseorang di sana, seseorang yang sejak lama mencuri hatiku. Hanya dengan mengingat nama orang itu saja wajahku bisa memerah, apalagi jika bertemu dengannya. Perasaanku tidak karuan, campuran antara antusias dan gugup. Terkadang aku tidak mengerti dengan mekanisme kerja tubuhku sendiri.

"Hei, Sakura-chan, mau ke mana?"

Aku terlonjak kaget ketika sosok Naruto yang melayang itu muncul tepat di sebelahku saat aku keluar dari pagar rumah. Aku melotot pada si dewa rubah menyebalkan ini. Kenapa dia selalu datang tanpa aba-aba sih?!

"Duh, jangan muncul tiba-tiba dong! Bikin kaget saja!" Omelku kesal padanya sambil mengelus dadaku. Hampir saja jantungku tadi keluar dari rongganya. "Kalau aku kena serangan jantung gimana?!" Protesku kesal.

"Bagus dong, Sakura-chan, itu artinya kau punya jantung," sahut si dewa rubah itu santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. Aku mendelik kesal dan menggeram marah. Kalau saja dia manusia, sudah kupukul sampai babak belur! Sayangnya karena dia dewa dan tidak kasat mata, aku jadi tidak bisa menyentuhnya.

"Kau belum jawab pertanyaanku. Kau mau ke mana? Bawa-bawa kue segala. Dari aromanya, pasti itu kue mochi," cerocos Naruto tanpa jeda sambil melayang-layang, mengamati wadah yang kubawa di tangan kananku.

"Mau mengantarkan kue ke tetangga," jawabku asal sambil berjalan melengos darinya. Aku sedang tidak ingin diganggu dewa jahil satu ini, jadi lebih baik aku cepat-cepat pergi.

"Oh, maksudmu ke tempat Sasuke, Sakura-chan?"

Deg!

Bisa kurasakan panas menjalar di wajahku, membuatnya memerah bagai dibakar matahari. Uhh, kenapa dia tiba-tiba menyebut nama itu sih? Bikin aku kehilangan fokus saja!

"Bu-bukan urusanmu!" Kataku tergagap sambil berjalan cepat meninggalkan Naruto. Ugh, dasar dewa menyebalkan! Setidaknya tidak usah frontal begitu dong!

"Cie...cieee.. Sakura-chan mau ketemu gebetannya~" goda Naruto dengan nada mengejek sambil terbang dengan posisi telentang tepat di depanku. Kesembilan ekornya yang berwarna orange dengan ujung-ujung putih itu bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah ikut menggodaku. Aku yakin Naruto pasti sengaja melakukannya untuk membuatku geram. Aku hanya mendengus dengan wajah yang masih terasa panas, lalu buru-buru berjalan cepat untuk menghindari dewa hiperaktif ini.

"Kenapa kau mengikutiku?!" Aku menghardik Naruto saat dia terbang mendahuluiku yang mulai menuruni tangga bukit.

"Kalau kau mau ke rumah Sasuke-Teme, tentu saja aku ikut. Aku kan harus menjagamu," Katanya santai sambil melipat kedua tangannya ke belakang kepala.

"Huh, bilang saja kau bosan dan ingin cari hiburan," cibirku padanya, yang justru membuat Naruto nyengir.

"Di rumah Uchiha kan aku bisa bertemu si tua bangka Madara. Kapan lagi aku bisa menggodanya kalau bukan pergi ke rumah keturunannya kan?" Tukas Naruto tengil, membuatku memutar bola mataku bosan.

Madara yang dimaksud Naruto adalah leluhur keluarga Uchiha yang mendiami rumah keluarga itu. Klan Uchiha memang termasuk klan kuno, makanya tidak aneh jika jiwa leluhurnya mendiami salah satu anggota klannya, yang bertujuan untuk menjadi pelindung klan itu sendiri dari roh-roh jahat. Tapi sayangnya, roh leluhur biasanya tidak bisa keluar dari rumah tempatnya bersemayam, berbeda dengan Naruto yang merupakan dewa.

Tapi seharusnya Naruto juga tidak boleh meninggalkan kuil miliknya seenaknya begini sih. Kepergiannya akan melunturkan pelindung magis yang mengitari kuil, sehingga menghilangkan kharisma kuilnya sendiri. Yah namanya juga dewa rubah, mana bisa sih diam di tempat.

"Pokoknya jangan ajak aku bicara saat turun dari bukit ya! Aku tidak mau disangka orang sinting karena berbicara sendiri," tukasku memperingatkan Naruto.

"Oke, Sakura-chan.. kau tenang saja-dattebayo!" Balasnya sambil tersenyum lima jari. Selanjutnya kami berdua diam dan terus berjalan (kalau Naruto sih terbang) menuju rumah keluarga Uchiha.

Aku melirik Naruto yang sekarang sedang sibuk mengamati jalanan desa yang mulai sepi. Raut wajahnya tampak tertarik dengan setiap benda di sekelilingnya. Kalau saja wujudnya bisa dilihat orang lain, pasti semua orang akan menganggap norak tingkahnya ini. Sayang sekali, padahal kalau dilihat-lihat, Naruto termasuk tampan lho. Wajahnya sangat maskulin dengan surai panjang berwarna kuning yang diikat kecil. Matanya biru seperti langit tanpa awan. Bahkan empat lembar kumis rubah di kanan-kiri pipinya tidak mengurangi kadar ketampanannya itu. Bajunya yang berupa hakama berwarna emas nan mewah dengan ornamen lambang bumi, langit, dan matahari itu seolah menunjukan wibawa kelas atasnya sebagai dewa. Pasti dia akan langsung membuat jatuh cinta setiap gadis kelebihan hormon jika mereka bisa melihat sosoknya. Tapi semua manusia harus kecewa, karena Naruto sebenarnya telah memiliki istri, yaitu dewi bulan bernama Hyuuga Hinata. Hanya saja Naruto cuma bisa mengunjungi istrinya 3 kali seminggu di khayangan. Dan kalau sedang di kuil, hiburannya hanyalah menjahiliku dan mengunjungi roh-roh nenek moyang di rumah-rumah klan tua. Kadang aku kasihan padanya, jadi aku tidak banyak protes kalau dia mulai berulah. Ternyata jadi dewa pun tidak begitu menyenangkan.

Rumah keluarga Uchiha terletak di muka kompleks perumahan yang terletak di bawah bukit. Rumahnya sangat besar dengan mengusung gaya tradisional khas Jepang. Di gerbang depannya ada papan nama Uchiha dengan lambang kipas merah putih yang merupakan simbol keluarga ini.

"Cepat tekan belnya, Sakura-chan! Kau ini lama sekali," gerutu Naruto di sampingku gara-gara aku terus diam mematung di depan gerbang rumah keluarga Uchiha.

Aku menatap sebal dewa cerewet satu ini. Ingin rasanya kujitak kepala kuningnya itu. Apa dia tidak tahu kalau sekarang aku sedang berusaha mati-matian menetralisir perasaan dan menguatkan hatiku? Aku sedang gugup nih! Tidak bisa apa dia paham sedikit?

Setelah diam selama hampir semenit ditemani omelan cempreng Naruto, aku pun menekan bel yang ada di pintu gerbang. Jantungku semakin keras berdetak saat menunggu seseorang membukakan gerbang untukku (dan Naruto). Tidak beberapa lama, gerbang kayu dihadapanku terbuka, menampilkan seorang pria tinggi berambut hitam panjang diikat rendah berwajah tampan namun datar. Aku tersenyum menatapnya, lalu mengucap salam sambil berojigi.

"Kombanwa, Itachi-san!"

"Aa, Sakura rupanya. Masuklah!" Perintah Itachi datar dan memberiku akses untuk masuk ke dalam. Aku tersenyum malu dan berjalan mengekorinya menuju ke bangunan utama rumah keluarga Uchiha. Seluruh tubuhnya memancarkan kharisma tak tertahankan, padahal aku melihatnya dari belakang. Uchiha memang beda.

Itachi merupakan anak sulung keluarga Uchiha. Meski wajahnya datar, namun sebenarnya dia adalah orang yang sangat baik dan ramah, dan tentu saja tampan. Kudengar dia merupakan lulusan terbaik di Tokyo Daigaku, intinya dia sangat pintar. Namun sayangnya, dia sudah menikah dengan sepupu jauhnya bernama Izumi Uchiha. Jangan tanya kenapa aku tahu. Keluarga Uchiha yang dianggap sangat terhormat ini pastilah selalu jadi buah bibir warga sekitar. Semacam jadi artis kampung gitu.

"A-ano, apa Mikoto-baasan ada di dalam, Itachi-san?" Tanyaku sopan saat kami sampai di genkan rumah utama. Walau sudah sering berinteraksi dengan Itachi, tetap saja aku masih segan dengannya. Sosoknya yang penuh kharisma kadang terasa mengintimidasi. Naruto yang melayang di sebelahku mendengus mengejek, tapi tidak kupedulikan.

"Ya, ada di dapur, sedang masak makan malam," jawabnya kalem sambil setengah menoleh padaku, menatapku dari balik pundak kirinya. "Kau bisa langsung ke dapur menemuinya atau menunggu dulu di ruang TV. Kita bisa makan malam bersama."

"Ah, tidak perlu, Itachi-san. Saya hanya mengantarkan ini saja untuk Mikoto-baasan," balasku sambil mengangkat wadah yang kubawa sedari tadi.

"Aa. Langsung saja ke dapur kalau begitu. Aku masih ada urusan, jadi maaf tidak bisa menemanimu," pungkasnya sambil berbalik ke arahku.

Aku mengangguk, lalu bergegas menuju ke dapur yang memang sudah kutahu letaknya, sementara Itachi pergi ke arah yang berlawanan.

"Hei Sakura-chan, jangan sampai nyasar di rumah ini seperti dulu," ejek Naruto. Kedua tangannya dia letakan di belakang kepalanya. Aku hanya membalas dengan dengusan. Ya, dulu aku memang pernah tersesat di rumah ini. Habisnya rumah ini besar sekali sih. Tapi setelah berkunjung beberapa kali, aku jadi hapal seluruh ruangan di rumah ini. Jadi tidak mungkin aku akan tersesat lagi. Keluarga Uchiha sungguh baik sampai-sampai membiarkanku berkeliaran sendirian.

"Dah, Sakura-chan! Aku mau bertemu Madara dulu. Aku akan muncul lagi saat kau akan pulang," pamit Naruto sebelum menembus tembok rumah. Aku tidak menghiraukannya, dan tetap berjalan menelusuri lorong menuju ke arah dapur rumah ini.

Di dapur aku bisa melihat bibi Mikoto sedang memasak ditemani seorang helper. Suara langkah kakiku langsung membuatnya sadar akan kehadiranku. Bisa kulihat wajahnya yang cantik dan awet muda itu tersenyum cerah, membuatku dengan senang hati membalas senyuman ramahnya lebar-lebar.

"Kombanwa, Mikoto-baasan, Miyane-neesan!" Aku berojigi saat sampai di hadapan bibi Mikoto dan helpernya.

"Kombanwa, Sakura-chan! Aku senang sekali kau bisa ke sini!" Bibi Mikoto memelukku singkat saat aku kembali menegakkan badan. Aku tersipu malu dan senang karena merasa dihargai.

"Ibuku menitipkan ini untukmu, Mikoto-baasan. Kami harap kau menyukai sakuramochi ini," ujarku sambil menyodorkan wadah yang sedari tadi kubawa.

"Waah, sakoramochi! Sampaikan terima kasihku untuk ibumu, Sakura-chan," balas wanita bersurai hitam panjang itu lembut sambil menerima sakuramochi dari tanganku. "Bergabunglah bersama kami di meja makan! Sebentar lagi makan malam akan siap," tambahnya lagi sambil menyentuh bahuku dengan tangan halusnya.

"Terima kasih atas tawaranmu, Mikoto-basan, tapi aku harus pulang ke rumah. Ibuku sedang menungguku," tolakku sopan padanya. Aku bisa melihat gurat kekecewaan di wajah Nyonya Uchiha ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga kan tidak enak kalau harus menumpang makan seenaknya. Lagipula ibuku sudah menyuruhku pulang kan tadi.

"Kalau begitu, kau pulangnya di antar Sasuke-kun saja ya? Ah, itu dia orangnya. Sasuke-kun!"

Deg!

Badanku menegang ketika bibi Mikoto memanggil nama putra bungsunya. Aku menoleh takut-takut ke belakang. Tiba-tiba napasku tercekat kala melihat seorang pemuda tampan beraut wajah stoic berjalan ke arah dapur. Surai ravennya yang bermodel spike bergerak-gerak perlahan mengikuti irama langkah kakinya yang tegas. Bisa kurasakan tubuhku sedikit bergetar saat melihat sepasang manik sekelam batu obsidian miliknya yang tajam itu. Aku langsung menunduk, benar-benar tidak kuat menatap seluruh pesona lelaki ini, lelaki yang telah lama mencuri hatiku. Meleleh hati ini, bang.

"Hn, ada apa, Kaa-san?" Aku bisa mendengar suara baritonenya yang dalam ditujukan kepadanya ibunya. Berat, tapi bisa menggetarkan jiwa jonesku telak.

"Antarkan Sakura-chan pulang ya," pinta bibi Mikoto lembut, yang justru membuatku gelagapan.

"Ti-tidak perlu, Mikoto-baasan. A-aku bisa pulang sendiri," tolakku sungkan. Duh, aku tidak mau merepotkan. Lagipula berjalan berdua saja diantar Sasuke tidak baik untuk kesehatan jantungku. Bisa-bisa jantungku keluar dari rongganya saking seringnya melompat-lompat tidak tenang.

"Tidak baik anak perempuan pulang sendirian malam-malam, Sakura-chan. Sasuke-kun akan mengantarmu. Iya kan, Sasuke-kun?" Bibi Mikoto melemparkan senyum pada putranya yang masih saja berwajah datar.

"Hn," balas Sasuke, entah setuju atau tidak terhadap perintah bibi Mikoto.

"Kalau begitu, cepatlah. Jangan sampai kemalaman, sebentar lagi makan malam siap."

"Saya pamit, Mikoto-baasan. Selamat malam," aku berojigi, lalu keluar dari dapur, mengekori si bungsu Uchiha.

"Suit suuuuiiiittt~"

Aku menoleh ke belakang saat mendengar suara siulan jahil. Dapat kulihat sosok Naruto sedang melayang dengan pose tengkurap sambil bertopang dagu. Dia tersenyum menggoda padaku, mata birunya bahkan mengedip sebelah. Aku sedikit kaget, namun ekspresiku berganti menjadi sebal dengan wajah memerah karena malu.

"Senangnya dalam hati~ Diantar gebetan~" Naruto bernyanyi dengan suara cempreng, membuatku makin marah dan geram. Sungguh, dia benar-benar jahil! Seandainya aku punya kekuatan untuk memukulnya sekali saja, pasti akan kulakukan sekarang sekuat-kuatnya. Supaya aku bisa membuatnya kembali ke khayangan dan tidak lagi menggangguku.

"Kenapa kau melihat ke belakang?"

Aku bergidik ketika mendengar suara berat mampir ke gendang telingaku. Aku langsung berbalik, dan semakin kaget saat melihat wajah Sasuke hanya berjarak sepuluh centimeter dari wajahku! Aku terpaku, rasa panas membakar kepalaku hingga bagaikan mendidih. Mataku tidak dapat beralih dari kelamnya sepasang jelaga tanpa emosi di hadapanku. Dari posisi ini, aku bisa melihat dengan sangat-sangat jelas tajamnya rahang Sasuke, bibir tipisnya yang selalu datar, hidung mancungnya yang proposional, dan matanya yang setajam elang. Semuanya terangkum dalam wajah datar mulus, dan dibingkai surai raven yang terlihat lembut. Pikiranku kosong, aku tidak bisa berpikir apa-apa.

"Ayo dekatkan wajahmu... Ciuman~"

Sebuah bisikan halus menyadarkanku seketika. Dari ujung mataku, aku bisa melihat Naruto sedang menahan tawanya. Sebelah telapak tangannya menutup mulut, bahunya bergetar, dan matanya sudah melengkung, siap menyemburkan tawa nista. Seketika aku menyadari posisiku dengan Sasuke. Aku pun mundur hingga hampir terjengkang.

"Huahhh!" Aku malu sekali! Rasanya aku mau nyebur ke dalam kolam ikan tak jauh dari sini untuk menenggelamkan rasa maluku yang kian naik ke permukaan.

"Hwahahahahahahha!" Kulihat Naruto tertawa terbahak-bahak sampai guling-gulingan di udara. Suara tawanya terdengar nyaring mengejekku, bahkan membuat kawanan burung gagak yang sedang santai bertengger di atas pohon kabur semua.

Aku mencoba menahan emosiku sebisa mungkin. Aku benar-benar ingin menghajar dewa sialan itu sekarang!

"Kau tidak apa-apa?"

Dapat kulihat Sasuke mengernyit, mungkin heran karena aku bertingkah seperti orang gila secara tiba-tiba. Aku langsung menegakkan tubuh bagai patung, lalu menghitung satu sampai lima daoam hati untuk menenangkan diri.

"Ti-tidak apa-apa kok! Eheheh," Aku tertawa garing. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Tapi rasanya tiba-tiba bisa terbang dan meluncur ke bulan tidak ada salahnya juga.

"Kalau begitu, ayo."

Sasuke berbalik, dan aku pun mengekorinya di belakang. Aku mengabaikan Naruto yang masih tertawa, ekornya sengaja diarahkan padaku dan digerak-gerakan dengan kurang ajaranya. Aku bersumpah serapah dalam hati. Lihat saja Naruto, sesampainya di kuil dan Sasuke sudah pergi, aku akan langsung memarahimu habis-habisan!


To be Continue


.

.

.

.

.

.

.


Omake


Pria berkulit pias itu menatap kepergian dua manusia dan satu dewa dari rumah klannya. Rambut hidupnya yang jabrik dan panjang itu sedikit dimainkan angin, kedua tangannya dilipat di depan dada dan dimasukan ke dalam celah longgar lengan haorinya. Dia tadi sudah bicara pada si dewa rubah itu tadi. Dan dia bilang hanya keturunan kesembilan Haruno itulah yang bisa menyelamatkan cucu dari cucu cucunya ini. Semoga saja selanjutnya mereka bisa menghadapi bahaya yang mengintai mereka di depan sana.

.

.

.

.

.

.


A/N:

Holla holla Bandung Minna-sannn! (*´з*)Author balik lagi nih bawa fict berbaruuuuu :D Gendrenya supranatural gitu.. Author sebenernya udah punya ide ini sejak 8 bulan yg lalu, tapi baru bisa publish sekarang.. Dan author ga janji bisa update cepet mengingat author sejak masuk kuliah sibuk organisasi, komunitas, tugas, dan malas #plak

Intinya author ga janji bisa update cepet. Author juga blom tau kapan lanjut chap dua.. Eheheh #ditabok Tapi author selalu mengakhiri apa yang author mulai.. So Insya Allah author akan lanjutin sampai tamat (^o^)eheheh

So, gimana pendapat kalian? Kasih pendapat kalian yah.. Saran, komentar, kritik, flame, pertanyaan, dll akan author balas di chap selanjutnya..

So, thanks ya udah baca, fav, and foll (kalau ada).. Sampai jumpa di chapter selanjutnyaa~ ( ´ ▽ ` )