"Hei."

Suara itu rendah. Menuntut. Ada perintah dan menagih untuk diberi atensi. Gintoki tak menoleh. Tak perlu lah. Sebab si empunya suara sudah pasti akan melangkah mendekat—nah, persis begini.

Toshiro mengambil tempat di sebelah si surai perak. Di antara reruntuhan dan serpihan gedung yang hancur hingga bersetai-setai.

"Hei? Tuli?"

Gintoki mendengus. "Aku tidak berselera adu mulut sekarang. Pergi, sana."

Toshiro mengangkat bahu. Di waktu biasa saja ia tak sudi menurut, lebih-lebih sekarang. Namun sesungguhnya ia juga lebih dari tahu bahwa—ia tak petah lidah. Bukan pakar dalam berkata-kata atau berkelakar demi hati yang rengsa.

Maka Toshiro hanya membuka sebelah lengan, lalu meraih kepala dengan juntaian perak, dan disandarkan pada bahunya. Gintoki mengernyit—agak ingin emosi, rupanya.

"Apa-apaan ini, berengsek?"

Toshiro ikut menautkan alis. Ragu menelusup hingga inti jantung. Oh, bukan—bukan soal tindakannya. Namun soal jawaban yang akan segera dimuntahkan dari ujung lidah, "Uh. Ini namanya, hmn ... afeksi?"

Cukup sudah. Murka kali ini betul-betul mengunjun. Gintoki meluruskan kepala, siap arahkan tinju pada rahang si iris biru samudra dalam. Toshiro memiringkan kepala ke samping, menahan jotosan yang melayang lurus. Mendengus kala melihat sisi-sisi mata si iris darah.

Agak sedikit digurati warna merah, tentu. Gintoki menarik tangannya kembali, mengacak surai perak frustrasi. "Apaan, sih!" ia menyergah, keki. "Sana pergi!"

Toshiro kali ini ambil tindakan pasti. Diulurkan kedua lengan, lalu mendekap tubuh si surai perak.

"Cengeng."

Gintoki menggeram kesal. Namun entah mengapa lengannya juga membalas rengkuhan sederhana itu. Meremat erat bagian punggung seragam hitam Shinsengumi yang dikenakan si iris biru.

"Aku tidak menangis, Mayora."

"Terserah." Toshiro merotasi bola mata.

Ya. Terserah apa kata si juragan dari Yorozuya. Toshiro bukan manusia brilian. Ia bertindak kebanyakan berdasar naluri. Kadang impulsif, meski piawai juga menyusun strategi. Namun untuk hal ini, ia paham dari dasar sanubari.

Sebab bila soal kehilangan kawan terbaik, maka tak apa lah untuk ditangisi. Melepas emosi barang sesaat. Biarkan lara tumpah-ruah sebentar saja. Tak apa. Boleh lanjut menapaki hidup di hari berikutnya. Tak harus detik ini pula.

Tak apa—Toshiro bersedia menemani, meski ini musuh abadi.

Pada akhirnya, Toshiro menepuk-nepuk pundak yang bergetar, saru. Aku memang benci padamu, Takasugi Shinsuke.

Jangan mudah membuat orang menangis, dong.


Gintama © Hideaki Sorachi

Lost by Saaraa