{( "sang waktu tahu harus berputar dan mulai meninggalkanku seorang." )}


Hetalia - Axis Powers (c) Himaruya Hidekazu, Japan.

Saya tidak mengambil keuntungan material apapun atas pembuatan atau penulisan karya fiksional berbahasa Indonesia ini.

didedikasikan untuk event #AusHunWeek2019 yang diadakan oleh Kak Cinerraria dan Kak revabhipraya.

.

theater D to L

(c) INDONESIAN KARA.

r15. teen/classical/romance. Indonesian. alternate universes. romansa rada picisan, silakan tinggalkan laman dengan segera jika cerita tidak berkenan.

.

Author's Note:

harap diingat bahwa saya hanya menuliskan disclaimer dan keterangan fanfiksi hanya pada chapter pertama. dan dari chapter kedua sampai keenam hanya akan berisi naskah cerita tanpa adanya penulisan ulang disclaimer.

.

danke.

~oOo~


chapter I: "Sentimental Love Heart"

(prompt giver: myself- uh, INDONESIAN KARA.)


O~o~O

ketika coba kukenang masa yang terlewat

ada kau yang menggenggam tanganku

dengan wajah tersipu, mengutara kalimat tidak terduga

aku juga

waktu itu, wajahku memerah

.

kini juga sama

semerah waktu itu

sayangnya satu:

suasana semesta yang tidak lagi sama.

...

...

...

Ririririririririiing!

Riririririririririiing!

Riririririririririririii~ng!

.

'Oh, sudah jam pulang.'

Pukul tiga sore. Waktu efektif untuk kegiatan belajar mengajar di Hetalia Senior High A/S telah selesai dilaksanakan untuk hari ini. Bel sekolah berbunyi tepat pada waktunya, tidak "ngaret" ataupun mendahului waktu.

Pembaca, mari menuju ke salah satu kelas, di mana salah satu tokoh utama masih duduk rapih; menulis di bukunya, menyalin catatan materi pelajaran yang dituliskan di papan tulis putih oleh sang guru. Wajahnya cemberut, gerakan tangan yang tergesa menyalin catatan, hingga tulisannya tidak cukup rapi untuk dibaca. Dahinya berkeringat, bahkan hingga menetes membentuk jaluran di pipi dan pelipisnya.

"Ugh ...!" Dia melenguh, menyalin cepat, sementara manusia sekelas satu-persatu mulai meninggalkan ruangan dengan semangat. Dia nyaris mengumpat saking banyaknya catatan yang harus disalin. Erzsië mulai tidak peduli dengan kerapian fulisan, banyak kata yang tersingkat. Namun, siapa peduli? Toh, tidak akan ada yang meminjam bukunya. Hm, yakin sekali.

Lima menit, selesai. Kelas sudah sepi. Hanya ada Nette, Antonia, Madeline, Kiku, dan Arthur yang tinggal di kelas; piket, bersih-bersih kelas karena memang jadwal piketnya. Erzsië tidak melirik, tidak pula mengacuhkan mereka.

Karena ...

... yah, dia tidak suka bersosialisasi di kelasnya ini. Cukup.

Sekilas, dia melirik jam dinding di atas papan tulis. "Ugh," lenguhnya, lagi. Agak tidak kelihatan karena jarak yang terlalu jauh. Mana tempat duduknya di belakang sendiri, pula.

'Aaah! Aku pasti ditinggal. Haaah ... batal mau refreshing diri sendiri sejenak.'

Dia menggendong tas, membebankannya di bahu kiri, sementara tangan kanannya menyibak rambut sepinggang yang memahkotai Erzsië. Dia menunduk, hari ini ternyata bisa menjadi lebih buruk oleh sebab lalainya dia sendiri.

Erzsië melirik sekilas ke samping, tepat ketika berpapasan dengan Arthur. Menatapnya lekat, walau sesaat. Dia terlewati, langkah Arthur yang berlawanan arah lebih cepat. Ia menghela napas, menahan diri untuk tidak menggerutui si pemuda pirang beralis tujuh lapis tersebut.

"Cuek sekali," komentarnya lirih, yakin tidak akan ada pendengar lain, selain ia dan yang di atas sana. Lantas jeda, Erzsië bergeming di sana untuk beberapa saat. Mungkin sedikit lama, membuang waktu yang tidak bisa dikembalikan.

Cukup lama, dan kelima orang lainnya tampak tidak peduli. Sibuk dengan tugas piket-memiketnya masing-masing.

Puk!

Seseorang menepuk bahunya. Erzsië tersentak, reflek menoleh."El, jadi ikut tidak?" Gadis berambut cokelat itu menoleh, oh, kawan satu grupnya. Sedetik kemudian, ia nyengir lebar sebagai respons awal. Selanjutnya, Erzsië menjawab riang, "Tentu saja! Aku ikut!"

Lalu melupakan masalah pribadinya yang baru saja menimpa. Sejenak lupa,seolah lepas dari jenuh yang mengungkungnya. Kemudian, dia merasa senang. Ekspresinya drastis berubah sumringah, dengan efek bling-bling dan filter bunga-bungaan merah muda di sekitarnya.

"Ayo!"

Dia menggandeng Erzsië, keluar dari kelas dengan langkah setengah berlari.

...

...

...

... ugh, sekonyong jadi canggung sekali.

...

...

...

Seluruh linimasa kehidupan Erzsië hari ini baik-baik saja, lancar jaya tebar pesona tanpa halangan atau gangguan yang berarti—yah, kecualikan tentang dia yang tanpa sengaja telah menghajar kakak kelas ketika pelajaran Pendidikan Jasmani tengah dilangsungkan dengan praktek materi latihan tanding beladiri tadi pagi.

Mengingatnya, dia merasa ngilu sendiri. Refleknya sedari dulu memang tidak berubah; selalu mengincar area vital lawan ketika menyerang, dan Erzsië tampaknya agak menyesal telah mengembangkan "teknik" refleksnya (yang justru jauh lebih berbahaya daripada serangan mode seriusnya. Mengherankan, bukan?).

Tunggu, lebih baik jangan dipikirkan. Erzsië, yang mengalami, pun enggan mengingat-ingatnya. Sudah, lupakan saja. Yang penting, sekarang dia sedang bahagia karena ditraktir makan sore (atau siang? Atau justru malah malam?) oleh salah satu teman antarkelasnya.

"Duh, aku baru kebanyakan kertas bernilai dagang ini, El. Kamu mau, ya, kutraktir makan habis sekolah nanti? Teman yang lain juga ada, beda-beda kelas seperti kita." Seperti itulah kira-kira, ketika Erzsië ditawari.

'Aku tidak peduli dengan masalahku, yang penting sekarang aku senang, hihihihi.' Mulutnya masih mengulum garpu, saking riangnya dia memikirkan keberuntungannya hari ini.

Sampai ...

"Oh, iya, Erz," Panggilan itu dia respons dengan gumaman singkat bernada riang, "Hmm, Kak Feli?" ... seraya masih mengemut garpu di mulutnya yang tersenyum riang. Bentuk ekspresinya atas hari ini yang dia lalui dengan baik.

Bersamaan dengan gerakan tangannya yang mengulur spagetti dengan garpu besi, Feliciana melontar pertanyaan, "Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu, eh, siapa namanya? Re, ro, Roderich? Aku dengar kalian sempat ... uuh, err, break, ya?"

... satu pertanyaan itu dialamatkan kepadanya, tanpa perantara media elektronika apapun.

"E ... eh?"

Canggung. Malu. Terkejut. Agak plin-plan. Sisanya ia bingung. Mau tenggelam di laut saja saking confused-nya untuk sekadar menjawab singkat.

Selepas jeda, Erzsië terbata, "Kak ... Kakak tahu dari mana?"

"Hm?" Feliciana menatap lurus padanya, untuk sesaat. Usai menelan makanannya, dia mempertanyakan kesimpulannya pada yang bersangkutan;

"Jadi, yang dikatakan Erzsebet itu benar, ya?"

.


finished with a hanged ending.

...

... but lies.


.

17:57 PT.

At the bedroom.

.

Brugh!"Haaahhh ... ."Rambutnya tergerai sembarangan. Erzië rebahkan diri seusai melempar tas sekolah ke atas meja belajar. Netranya mengantuk, sejenak terpejam, dengan pergelangan tangan kiri yang jemarinya berhibuk lirih memainkan karet rambut di atasnya. Sesaat jeda, untuk momen-momen senyap yang dia cipta sendiri. Lengang ruangan, ia biarkan suara detikan jam mengisi kamarnya yang sunyi.

Erzsië melenguh. 'Today was a good day, enough,' pikirnya mengingat, namun bibir merah muda itu tidak kunjung mengulum senyuman. '... jika saja kembaranku yang menyebalkan itu tidak sembarangan mengumbar masalahku tempo hari, sialan.'

'Argh!' Rambutnya teracak, menggeram kesal. Dia bergulung di atas kasur, masih mengenakan seragam. Tangannya terjulur, meraih ponsel yang ia lempar setelah memasuki kamar. Menyalakan layar, mengetik delapan karakter sandi kunci layarnya, lalu membuka galeri. Menggulir ke bawah beberapa kali, sebelum akhirnya menemu sekumpulan foto, uhuk, kenangan masa lalu.

Erzsië menekan salah satu foto, menatapnya lelah. Foto yang diambil empat bulan lalu, menampilkan sosoknya yang tersenyum manis, bersama seorang pemuda di sampingnya, malu-malu mengulum senyum di depan kamera. Huh. Di lain waktu sebelumnya, Erzsië boleh jadi akan tertawa keras, terbahak sampai tersedak, atau minimal cekikikan dengan wajah memerah ketika melihat foto itu. Terlebih, pada ekspresi yang dia tampilkan. Begitu menggelitik.

Namun, sekarang berbeda. Situasi yang tidak lagi sama. Kondisi pun tidak saling mendukung mereka. Tiada yang tahu hubungan mereka saat ini seperti apa. Sama sekali, tidak ada.

Ia menggeser jari, dan layar menampilkan foto yang lain. Diambil beberapa saat yang lalu, Erzsië lupa kapan, ketika si kakak-beradik Vargas berulang tahun. Dalam foto itu, ada Feli dengan smilling eyes tersenyum lebar di depan kamera, seraya membawa dua bingkisan kubus warna cokelat berpita kuning di masing-masing tangan.

Sang kakak, yang juga berulang tahun, terlihat begitu masygul menatap adiknya yang kekanak-kanakan. Dia bersedekap, tidak membawa bingkisan hadiah, karena punyanya sudah dibawa oleh Feli ketika berfoto. Meski merasa kesal saat itu, namun wajahnya memerah. Merona, barangkali tak menyangka ulang tahunnya akan dirayakan.

Kemudian, Erzsië terkekeh. Kalau ia tidak salah ingat, selepas berfoto, Antonio datang dan merangkul Lovino dari belakang. Mengucap "selamat ulang tahun" dengan bahasa dari negara asalnya.

Kelanjutannya tidak usah ditanya, sudah pasti akhirnya Antonio lebam terkena bogeman mentah dan "kata-kata berlian nan rupawan" Lovino yang berentetan. Sekali lagi Erzsië terkekeh.

Akan tetapi, kekehannya pudar. Matanya melirik, di kanan dan kiri si kakak beradik itu, saling sebelah-menyebelah, ada Erzsië dan dia, mengapit keduanya. Ekspresi tersenyum canggung seraya berpejam mata, berbeda dengannya yang tersenyum bebas tanpa beban.

Di foto berikutnya, Erzsië menggigit bibir. 'Bergandengan ... tangan?' Dia terkenang sekali, momentum di mana ia dan dia saling memberanikan diri untuk menggenggam tangan, seraya malu-malu tersipu di awal musim dingin dua tahun lalu. Menyambut salju pertama.

Ugh, sesak.

Bergeser satu, kolase dari sembilan foto dari sembilan momentum berbeda. Lagi-lagi, antara Erzsië dan "dia".

Tess ... .

o0o

kini aku tak bisa mengatakan tentang "kita"

namun, hanya

"kau" dan "aku"

semua berbeda ...

oo-o-oo

"Mengapa aku harus repot denganmu? Jika tahu akhirnya begini, seharusnya tidak usah kenal saja dari awal." Erzsië melirih. Berusaha menghentikan tangis, namun air matanya enggan berhenti mengalir.

Wajahnya yang kuyu dan lelah, pernah ceria ketika menghabiskan couple times. Mata yang kini menangis, dulu kerap berbinar cerah. Tubuh yang terasa begitu penat, jugalah pernah terasa penuh semangat menjalani hari demi hari.

Jikalau bukan karena"nya". Semua berkaitan dengan "dia" ...... dan Erzsië yang tahu betul bagaimana semua berbanding terbalik.

Humm ...

Erzsië membenam wajah ke bantal, ingin sekali melupakannya. Jauh-jauh. Sampai lenyap dari memori. Supaya tidak perlu lagi membebani diri dengan terbawa perasaan setiap mengingat momen-momen yang terlewat.

...

...

...

aku tahu

sebenarnya aku yang sentimen

sebenarnya aku yang salah

perpisahan ini ...

... mungkin jugalah kesalahanku.

Namun haruskah Erzsië menyalahkan diri sendiri?

Jika "ya", harus sampai kapan?

Lantas, ke mana pulakah dia harus meminta maaf?

.

Lagipula ...

Perpisahan yang dia maksud,

... Erzsië juga tidak menginginkannya.

Sama sekali.

Tidak.


Dxxxxxx

.