Title : White Day Secret

Rate : T

Genre : Romance/Humor (Bukan fic yang serius)

Warning : OOC, AU, no EYD, bahasa campur non-baku, Typos, Really rush plot, random pairs, 1 POV, DLDR!

Summary : saat White Day tiba, mereka semua punya rahasia kecil yang ingin diungkapkan pada kita.

oOo

Note :

Giri choco : cokelat kewajiban. Alias, cuman cokelat yang biasanya diberi untuk teman.

Honmei choco : Cokelat cinta.

Naruto © Masashi Kishimoto

oOo

Chapter 1

waktu itu hari Rabu, tanggal 14 Maret di musim semi. Hari putih yang diisi oleh cokelat hangat nan harum, di tangan laki-laki. Sayangnya, itu bukanlah sebuah pemberian. merekalah justru yang akan memberi cokelat. Entah kepada siapa. Yang pasti, ada rahasia kecil dibalik semuanya.

.

.

.

oOo(Fuun)oOo

.

.

.

Orang pertama : Pikiran yang Meleset

Aku sedang berpikir tentang suatu hal. Bulan lalu, aku memberikan cokelat kepada anak laki-laki di kelas sebelah yang bernama Sai. Saat itu aku senang sekali dengan reaksinya yang tersenyum dan mengatakan 'terimakasih'. Aku sampai berjalan dengan kaki yang berjingkrak-jingkrak setelah cokelat itu kuserahkan. Tetapi, beberapa menit kemudian, tak sengaja kulihat junior-juniornya di klub lukis–junior-junior yang artinya lebih dari satu orang–memberikan Sai cokelat honmei dengan bentuk hati yang ukurannya sangat ekstrim! Dan coba tebak?

"Terimakasih, Matsuri-san, Mugi-san," Sai menggunakan senyum yang sama dengan senyum yang ia gunakan saat berterimakasih kepadaku. Rasanya seperti, ada puluhan pisau yang menancap di ulu hati.

"Kyaaa! Sama-sama Sai-senpai!" menjengkelkan.

Kalau dipikir-pikir, aku yang berjingkrak-jingkrak seperti monyet barusan kelihatan konyol sekali. Ih.

Tapi, meskipun telah kukatakan begitu, tetap saja, saat white day–yang tepatnya jatuh hari ini–tiba, aku sangat mengharapkan balasan cokelat darinya.

Sangat. Amat.

Satu hari ini, aku menunggunya datang ke kelasku. Aku sengaja tidak ke kantin karena masih menunggunya. Bahkan saat pulang sekolah tiba, aku sengaja berlari menghampiri kelasnya, tapi ternyata, Sai sudah pulang entah kemana. Aku putus asa. Aku terlalu berharap tinggi padanya.

"Ino, daritadi kau tidak semangat kenapa?"

Karena itu, untuk menghibur diri, aku pun mengajak Chouji dan Shikamaru pergi ke tempat karaoke untuk mengisi waktu di hari putih. Tiga jam kuhabiskan untuk bernyanyi dari lagu A sampai Z. meskipun Chouji cuman mengunyah makanan ditempat itu dan Shikamaru hanya melihatku dengan pandangan yang bermasalah, aku sudah merasa cukup terhibur oleh kehadiran mereka berdua.

Aku rasa tak ada salahnya menghadiahi mereka cokelat di tahun depan

"Kau yakin tak mau diantar?"

"He eh. Jaa ne!"

Setelah puas bermain, kami berpisah di pertigaan dan saling melambai pendek.

Hari itu, aku takkan lupa dengan apa yang terjadi.

Aku melihat sesosok manusia yang berdiri di depan mataku. Sosok yang semakin lama semakin menampakkan figur yang asing. ia bersandar nyaman di sebuah mesin penjual minuman dan terlihat memandang sesuatu yang jauh. Matanya berwarna biru lembut, dengan rambut pirang berkilauan ditimpa langit senja.

Mungkin, ini cuman perasaanku saja. Tapi, orang itu menghadap kemari.

Matanya mengobservasi dalam. Perlahan, ia berjalan menghampiriku. Semakin dekat, tubuhnya terlihat semakin tinggi dan kulitnya begitu cokelat. Ia berhenti saat tiba didepanku, lalu menghela napas disana. Saat itu, wajahnya membelakangi matahari.

"Eh?" aku mematung, memerhatikan tangannya yang mengaduk-aduk sesuatu di dalam tasnya.

"Ini, buatmu," ia mengambil tanganku dan meletakkan sesuatu diatasnya. sebuah bungkusan kecil yang diberi pita berwarna pink cerah, "Sudah ya,"

Aku jelas pongo menatap kepergiannya saat itu. perlu kalian catat, dia bukan kenalanku, dan bahkan, seragam sekolah kami berbeda. Tapi ah, kucoba untuk mengabaikan keanehan sikap lelaki pirang itu dan membuka pemberiannya.

Pucuk dicinta, itu cokelat untuk white day.

Apa dia penggemar rahasiaku? Ah, mustahil. Wajahnya tidak terlihat seperti stalker.

Aku tidak mengerti dengan maksudnya, dan aku tidak terlalu memusingkan perlakuan cowok itu. tetapi sosoknya yang terbilang 'lumayan' bisa kupamerkan kepada teman-teman di sekolah besok. Haha. Kuharap, aku bisa bertemu dengannya lagi karena aku belum mengucapkan terimakasih padanya.

.

.

.

oOo(Fuun)oOo

.

.

.

Keesokkan harinya, aku langsung menghampiri meja Chouji dan Shikamaru untuk menceritakan kejadian yang baru saja kualami kemarin. Cokelat yang sengaja kusimpan itu sekarang terpampang jelas didepan mata mereka. Yah, katakan saja jika aku gadis yang mudah bangga akan sesuatu dan senang memamerkan banyak hal.

"Aku jadi ingin makan cokelat," Chouji mengemut jari telunjuknya sambil memandangi cokelatku dengan mata yang seductive. Sementara Shikamaru, hanya melengos cuek.

"Berhentilah mengucapkan cokelat, Chouji. Bukankah kau sudah puas makan bagianku, kemarin?"

Mendadak, aku bengong mendengar percakapan kecil itu. maksudku, kalian tahu kan kalau sekarang adalah white day, bukan valentine. Tapi, kenapa laki-laki itu–Chouji dan Shikamaru–bisa mendapatkan cokelat? Oh … atau, kebetulan saja Shikamaru habis menborong cokelat di toserba dan membaginya bersama Chouji. Aha, itu adalah pemikiran yang paling mungkin.

Tapi,

"Kalian … dapat cokelat?" keduanya mengangguk.

Mereka mengangguk! Kenapa mereka tidak menggeleng!

Ah, tunggu sebentar. mungkin cokelat itu dari teman sepermainannya. Mana mungkin ada laki-laki yang 'menyukai' mereka atau, jika seandainya ada sekalipun, aku yakin mereka takkan menerima cokelat itu. ya kan? Duh! Sebentar. Kenapa aku jadi berpikiran yang macam-macam?

"S-siapa yang memberi kalian cokelat–"

"Yamanaka-san," aku terpekik kaget saat sebuah suara yang khas memotong pembicaraanku. Wajahku menoleh kepadanya, dan munculah sosok Sai yang berdiri tegap, menjulang. Bak menara. Ia tersenyum sekilas., "Aku sudah mencarimu, sejak kemarin," ungkapnya pendek.

Deg

Aku jamin suara itu muncul sepersekian detik yang lalu.

"Ada … apa?" tanyaku pelan. Aku … merasa, ANTUSIAS! Susah sekali rasanya menahan rasa antusiasku saat ini.

"Aku … ingin memberimu cokelat ini," tangannya terulur dengan sebuah lollipop cokelat besar berbentuk hati, "Tapi kau tidak terlihat sejak kemarin. Jadi–" sebelum ia tuntaskan perkataannya, Sai menaruh cokelat itu ditanganku dan tersenyum dengan menawan.

"B-buatku?" wajah kecil itu mengangguk polos. Seketika saja aku merasa ada di taman bunga yang indah dan menari-nari dengan baju khas India, "Sankyu!"

"Doita, Yamanaka-san,"

Lalu, ia pergi sambil melambai kearahku.

Bisa kurasakan, bahwa mataku saat ini membentuk hati yang warnanya pink.

"Kau lihat? Kau lihat?" wajahku masih menatap kearah dimana Sai pergi, sementara kalimatku terlontar untuk Shikamaru dan Chouji, "Sai memberiku cokelat!" kemudian aku menoleh dengan antusias kepada mereka berdua.

"Ngomong-ngomong soal cokelat–" Shikamaru membuka mulutnya tiba-tiba. Ia memegangi sesuatu yang bentuknya sangat familiar dimataku, dan wajahnya tersenyum lebar.

Mataku terbelalak setelah ia menuntaskan kalimatnya yang padat tapi menancap.

Aku tak sanggup menceritakannya. Kalian tunggu saja, sudut pandang dari Shikamaru.

Aku mau nangis dulu.

.

.

.

Orang Kedua : Bertanya-tanya

Aku sedang mengayuh sepedaku diatas terik matahari yang ganas. Bagaimana tidak? Telat. Aku telat kerja karena keasikkan main bola disekolah. Sebenarnya kerja part-time ini tidak kulakukan karena semata iseng, dan bahkan aku tak berencana untuk melakukannya terus sampai lulus SMA. Ini semua kukerjakan karena aku butuh uang tambahan.

Kalau mengandalkan uang saku saja, rasanya tidak sanggup.

Kalian perlu tahu, konsumsiku sangat banyak. Biarpun aku tak gendut. Yah, aku suka menghabiskan tiga sampai empat piring ramen di pinggir warung selepas jam sekolah usai.

Tapi tidak dengan sekarang. Sejak kerja part-time, jadwal makan ramenku berubah menjadi malam.

Ah sudahlah. Masih ada hal yang lebih penting daripada membicarakan ini.

Ehem.

Aku sedang mengincar seorang gadis. White day tahun ini, aku berencana ingin memberinya sebuah cokelat mahal yang baru-baru ini menjadi trend topic di beberapa jejaring sosial dan TV. Katanya, sangat enak, dan seleranya pas untuk dikonsumsi anak gadis yang menyukai makanan dengan kadar gula rendah.

Gadis itu, teman sekelasku.

Orangnya asik, baik, kuat, dan dia sangat keren. Aku sudah menyukainya sejak duduk dibangku kelas dasar. Tapi dia, menyukai laki-laki songong dikelasku yang bernama Sasuke. Sasuke itu musuhku, bahkan disegala bidang olahraga–kecuali shogi dan olahraga berpikir lainnya–aku selalu berteriak-teriak bahwa aku jauh lebih keren diatasnya. Tapi sebagian kecil jati diriku berseru bahwa aku hanya menutupi 'ketidaksukaanku' yang mengakui kharisma Uchiha.

Heh. Jangan bercanda. sampai matipun aku takkan menganggap Sasuke lebih cakap dariku. Setidaknya, aku takkan mengatakan itu keras-keras didepan wajahnya.

Kecuali jika kalian membicarakan soal mata pelajaran sekolah. Aku tidak peduli meskipun rankingku terpaut jauh dibawah Sasuke. Yang penting, aku bisa pamer kecemerlanganku di bidang olahraga.

Kembali lagi soal gadis itu. Hari demi hari kukumpulkan uang itu untuknya. Sudah kuputuskan akan berhenti minggu ini karena aku tak butuh uang lagi. saat itu dia datang ke tempatku bekerja–sebuah café–bersama dengan seorang cowok yang katanya sih teman masa kecilnya.

"Naruto!" ia melambai padaku, dan menyeret temannya yang terlihat seperti mayat. Cowok itu tersenyum aneh. seperti topeng yang menyunggingkan bibirnya dengan kaku.

"Hai," laki-laki itu menyapaku, lalu mengaduk-aduk tasnya dan mengeluarkan sebuah lollipop cokelat, "Buatmu," ia berseru tiba-tiba.

Aku menatap cokelat itu dengan pandangan yang berbahaya. Apa ini? Racun? Guna-guna? A-atau mungkin …

"Kau berpikir apa heh, Naruto," Sakura–ya, namanya–menyenggol bahuku dengan sikutnya. Gadis itu tertawa karena ia pikir wajahku yang terlihat was-was sangat menggelikan. Tapi aku suka dengan suara tawanya, atau bagaimana cara ia bergurau denganku. Dia terlihat cantik, "Tolong maklumi ya. Sai memang agak 'spesial'. Cepat terima permen cokelatnya," mendengarnya berkata demikian, mau tak mau aku pun meraih pemberian lelaki aneh itu.

"Err … makasih,"

Bayangkan saja, bagaimana rasanya diberi permen cokelat oleh laki-laki yang baru saja kau kenal. Merinding!

"Oh iya, silahkan cari tempat duduk yang nyaman. Panggil aku jika kalian ingin memesan sesuatu,"

"Oke," Sakura menyahut dan gadis itupun duduk di meja pinggir dekat jendela.

Selama satu hari ini, kuperhatikan setiap gerak geriknya tanpa berkedip sedikitpun.

.

.

.

oOo(Fuun)oOo

.

.

.

Pulang kerja, langsung saja aku mengayuh sepeda kuat-kuat menuju toserba yang terletak dipusat kota. Saat menuruni jalan yang agak curam, tak kusangka akan muncul seorang perempuan yang hendak menyebrangi jalan. Aku yang tersentak kaget, sontak, membelokkan jalur sepedahku dengan refleks.

"AWAS!" pekikku sambil memerhatikan wajahnya yang juga kaget.

Zwuung

"WOY! BOCAH SIALAN!" aku tersentak kaget saat kudengar suara maskulin yang justru keluar dari mulut orang yang kuanggap gadis itu. padahal, telingaku tidak ada yang salah. Dan mataku juga masih berfungsi dengan baik. Ini bukan khayalan dari visualisasiku semata. Aku bahkan sedang tidak berada di gurun sahara. Bagaimana mungkin, mataku bisa melihat fatamorgana?

Hei, aku serius. Rambut orang itu sungguhan panjang, berwarna cokelat gelap. Pinggangnya langsing, tapi tangannya memang agak kekar sih. Dan bahunya lumayan lebar. Selain itu dia tinggi dan …

Oke, oke, dia laki-laki.

Dia laki-laki tercantik yang pernah kutemui. Andai aku bawa kamera saat itu. wajahnya pasti sudah kuabadikan di depan mading sekolah.

Sesampainya di toserba, aku langsung berlari menuju toko cokelat yang kumaksud dan berharap masih ada sisa beberapa potong untuk Sakura. Beruntung, aku berhasil membeli sebuah, dan meminta si penjaga kasir untuk membungkus cokelatku seperti kado.

"Mau pita warna apa, tuan?"

"Yang pink," seruku mantap.

Wajahku terlihat damai setelah pulang dari toserba.

Dari sini, titik gamangku dimulai. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku menarik tangan Sakura dan membawanya pergi ke halaman belakang.

"Ada apa, Naruto?" ia terlihat bingung.

"E-eto," aku mengambil sesuatu dari kantongku. Sesaat, kugaruk pinggir dahiku untuk menutupi rasa gugup, "Ini, untukmu. Untuk white day,"

Sakura terpekur diam kala itu.

Ia menatap cokelat itu, secara bergantian dengan wajahku, "Untuk … ku?" aku mengangguk mantap, "Giri choco?" kepalaku menggeleng.

"Itu honmei," Sakura membelalakkan matanya. ia terlihat tak memercayai bahwa aku akan menembaknya saat itu.

"Kalau begitu … aku tak bisa menerimanya," ia menyelipkan anak rambutnya ditelinga. Wajahnya menunduk dengan senyum yang samar, "Maaf ya. aku cuma terima giri choco. Untuk honmei, aku sudah menetapkan diriku untuk tidak menerimanya dari orang lain selain dia," ia menggigit bibirnya, salah tingkah, "Maaf, Naruto,"

Ah, menyebalkan.

Sasuke masih unggul di relung hatinya.

"Baiklah. Aku mengerti," aku berjalan pulang dengan wajah yang terlihat kusut. Mungkin ini hanya imajinasiku saja, tapi untuk sesaat, Sakura terlihat mengasihaniku dan merasa bersalah dengan kalimatnya. ah, aku tak butuh rasa kasihannya. Aku cuman butuh cintanya. Dan itu takkan mungkin kudapatkan sebelum Sasuke menikahi anak orang.

Cih. Teme. Cepatlah dewasa dan menikah.

.

.

.

oOo(Fuun)oOo

.

.

.

Langit sudah mulai memerah sementara aku masih merasa enggan untuk pulang. Kalau kupikir-pikir, kerja kerasku di café selama dua minggu jadi terasa sia-sia karena cokelat ini pada akhirnya akan kubuang.

Yah, memang niat awalku begini. Aku tak mau memakan cokelat yang seharusnya ada di tangan orang lain. tapi eh, niatku berubah saat kulihat seorang gadis berseragam Konoha berdiri didepanku, dari kejauhan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba perempuan itu terdiam dan melihatku. Tapi, saat itu pula, kupikir, tak ada salahnya memberikan cokelat itu padanya, daripada harus berakhir di tempat sampah,

"Buatmu," aku tak sempat bertanya siapa dia karena aku cukup sibuk untuk berlaku sok keren didepan gadis itu. aku berani taruhan, dia akan menganggapku stalker yang aneh dan kuharap, wajahku tak pernah dilihat olehnya lagi.

Semoga.

Dan keesokkan paginya, aku menemukan sebuah bungkus cokelat kecil di kolong mejaku. Waktu itu masih terlalu pagi untuk mencari siapa orang iseng yang memasukkannya. Tapi, setelah kuingat-ingat kejadian kemarin, aku pikir cokelat yang ada dimejaku itu adalah cokelat pemberian dari Sakura yang merasa bersalah padaku. Yah, kupikir.

Tapi,

"Naruto!"

Suara nyaringnya membuatku sadar.

"Naruto, maaf. Kau tersinggung ya, kemarin? Aku bener-bener minta maaf," ia menyerahkan sebuah permen cokelat yang mirip dengan pemberian Sai sebelumnya, "Ini. Makanlah. Yang manis, bisa membuatmu tersenyum lagi. sekali lagi … aku minta maaf. Kita tetep temenan ya? ya?"

DUKK

Tasku jatuh, membentur lantai.

"S-Sakura-chan, ini … untukku?" gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

"Ya,"

"L-lalu … cokelat yang ada di kolong mejaku … dari siapa?"

Sakura menoleh, dan ia hanya mengangkat bahunya pelan.

Untuk sesaat, aku merasa bahwa bulu kudukku meremang, tidak nyaman.

.

.

.

Orang Ketiga : Merepotkan

Wanita selalu merepotkan saat hari-hari seperti Valentine atau white day datang. Terutama Ino, sahabatku yang sudah menempel padaku dengan Chouji saat kami masih menduduki bangku TK. Seharian ini, ia terus menggerutu, menggumamkan nama Sai –orang yang ditaksirnya–dan bertanya padaku setiap tiga menit sekali dengan pertanyaan, 'Kapan Sai memberikan cokelatnya padaku? Kapan?'

ya mana kutahu. Memangnya aku dewa atau cenayang?

Aku hanya menghela napas berat setiap kali menghadapi wajahnya yang menggebu-gebu soal white day tahun ini. Dia bilang, saat valentine lalu, ia sudah memberikan cokelatnya pada Sai dan sekarang, ia ingin dibalas dengan cokelat yang setimpal. Yah, dia memang wanita yang seenaknya. Tapi berteman dengannya tidaklah buruk, kurasa. Lagipula, dia punya banyak sisi positif yang membuatnya terlihat cantik dan perlu kalian catat, aku tak bermaksud untuk membelanya saat ini.

Tak terasa, bel pulang sekolah berdering. Awan hitam dan hujannya masih setia membasahi kepala Ino yang berapi-api. Bisa kalian lihat, sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda dari Sai yang akan datang mengunjunginya. Mungkin saja, sejak awal Sai tidak pernah berniat untuk membalas cokelatnya. Lagipula, cowok itu kan aneh.

"Ino, kapan kita pulang?" aku sudah lelah menunggu diruang kelas yang sekarang terlihat lengang. Ino sudah bolak-balik menengoki kelas sebelah–kelas Sai–dan menemukan kenihilan dari sosok lelaki itu. Sekarang kaki Ino menghentak-hentak ke lantai dan ia melipat tangannya di dada.

"Erh … hari ini, temani aku karaoke ya? mood-ku sedang jelek,"

Biar terlihat sukarela, sebenarnya aku dan Chouji terpaksa mengikuti kemauannya. Kalau sedang kesal, aku tak mungkin tega membuatnya kecewa atau lebih tepatnya aku tak mungkin tega melayangkan nyawaku dan membuat namaku terpampang di sampul depan koran dengan berita ternorak yang menyatakan sebab kematianku karena penindasan dari seorang wanita.

.

.

.

oOo(Fuun)oOo

.

.

.

Hari itu Ino menghabiskan waktunya dengan memutar lagu-lagu beat dan menyanyi sekencang-kencangnya. Aku kagum pada Chouji yang masih bisa mengunyah keripiknya dengan tenang ditengah kegaduhan wanita itu. aku saja sengaja beralasan ingin buang air kecil sampai lima kali saat Ino karaokean!

"Fiuh! Aku merasa lebih fresh! Kyahaha!" gadis itu mendadak tertawa mengerikan, "Aah … Memang tidak ada hari yang lebih baik selain menghabiskan waktu dengan teman-temanku,"

Aku rasa kalimat itu sangat dramatis. Padahal, kalau melihat Sai sedikit saja, aku dan Chouji langsung diabaikannya seperti kotak sampah dipojok ruang kelas.

"Makasih ya, Shikamaru. Chouji,"

Tapi, sering-sering bersama seperti ini ternyata boleh juga.

.

.

.

oOo(Fuun)oOo

.

.

.

Aku merasa khawatir sejenak saat ia menolak untuk diantar pulang. Salah satu kelemahan Ino adalah, ia selalu sok kuat. Tapi, saat ia bilang ia tak ingin dikhawatirkan, jadi ya … aku hanya mencoba untuk memercayai perkataannya.

"Baiklah. Hati-hati dijalan."

Ia melambai pendek padaku dan Chouji, "Jaa ne!"

Dan setelah itu, kami pun berpisah di pertigaan. Pulang ke rumah masing-masing.

Sebenarnya, ceritaku tentang white day tidaklah terlalu spesial. Saat kemarin, atau lebih tepatnya hari dimana Ino uring-uringan, aku tak sengaja berpapasan dengan Sai di lorong sekolah pagi-pagi. Seperti biasa, ia tersenyum dan menyapa 'hai' seolah kami adalah teman akrab. Padahal nyatanya tidak.

"Hm," aku hanya mendengus membalas sapaannya.

Saat itu aku hendak berjalan mendahuluinya tetapi, Sai memanggilku untuk berhenti, "Tunggu sebentar," ia mengaduk tasnya, dan mengeluarkan sesuatu dari sana, "Untukmu," alisku bertaut, saat memandangi lollipop cokelat yang ada ditangannya–yang sekarang sudah berpindah tangan kepadaku–ia memberikannya sambil tersenyum polos, seolah aku adalah perawan yang mengharapkan balasan cokelat darinya.

UHUK

"M-Makasih," aku hanya bisa berterimakasih dengan wajah aneh dan meninggalkan lelaki bermata obsidian itu dengan kaki yang terhuyung. Tapi eh, ternyata nasibku nggak jelek-jelek amat. Rupanya Chouji juga sama, mendapatkan permen cokelat bermotif beruang dari Sai. Ia langsung memakannya tanpa berpikir panjang. Padahal, saat menerima cokelat itu, aku sempat menduga bahwa ada racun khusus atau setidaknya zat berbahaya yang mungkin saja dapat membuat kepalaku menjadi botak dalam sekejap.

Tapi yah … itu semua cuma prasangka jelekku yang sangat irasional. Dan karena kebetulan aku tidak terlalu suka dengan cokelat atau makanan manis lainnya, akhirnya pemberian dari Sai kuberikan ke Chouji saat itu juga.

sehari kemudian–yang lebih tepatnya, sekarang–Ino menghampiri kami dengan wajah yang kelihatannya berseri-seri.

"Shikamaru! Chouji! Lihat!"

"Ada ap–" wajahku terdiam menatap bungkusan kotak cokelat yang dipegang Ino saat itu.

"Merk Excelent!" pekikku tak percaya, "Itu kan cokelat mahal. Bukan cokelat yang harusnya beredar dikalangan remaja," perempuan itu terlihat terkejut dengan penjelasanku.

"Benarkah? Kau tahu banyak ya, Nanas," ia menjulukiku dengan nama buah karena katanya rambutku yang diikat seperti buah nanas, "Tapi, tapi. Keren kan? Ada orang asing yang tiba-tiba memberikan ini padaku. Rasanya aneh sih. Tapi aku cukup senang. Disamping itu, dia kelihatan 'lumayan' lho~"

Ah, rasanya patah hati mendengar ia berceloteh panjang seperti itu.

"Cokelat mahal? Enak? Aku jadi mau," Chouji kelihatannya tertarik untuk menjamah cokelat itu lebih lanjut. Tetapi, Ino tak membiarkan bocah itu mendekat dan menendang kepalanya dengan ujung sepatu.

"Enak saja,"

"Aku jadi ingin makan cokelattt."

"Berhentilah mengatakan cokelat, Chouji. Bukankah kau sudah puas makan bagianku, kemarin?"

Dari sinilah, Sai datang menghampirinya. Kurasa, aku tahu maksud dan tujuan laki-laki itu menghampiri Ino. Yah, apalagi kalau bukan bagi-bagi cokelat gratis. Seperti yang ia lakukan pada murid-murid lain. kurasa, tidak ada satupun siswa di SMA-ku yang tidak kebagian jatah cokelat dari si aneh, Sai.

Dan sesuai dugaan pula, Ino menjerit senang bukan kepalang,

"Kau lihat? Kau lihat? Sai memberiku cokelat!"

Aku menghembuskan napas mengejek dan melihat wajah Ino dengan senyuman yang lebar.

"Ngomong-ngomong soal cokelat, aku juga dapat dari Sai," kujulurkan sebuah bungkus cokelat yang kemarin sempat Sai berikan padaku. Ino mendadak beku.

"AH! Sama! Aku juga dapat. Orang itu baik ya," Chouji ikut menimpali. Wajah Ino terlihat semakin kosong, seolah jiwanya terbang entah kemana.

"Kudengar juga, satu angkatan dapet cokelat dari dia,"

"SATU ANGKATAN?"

Ia semakin terkejut bukan kepalang. Setelah berdiri dengan tubuh yang tegang, mendadak, ia jatuh terduduk dengan tubuh yang melemas. Saat itu Ino mirip sekali dengan sebongkah karet yang lentur.

"Hei, Ino,"

"Hnng …" ia mulai terdengar ogah-ogahan menjawabku.

"Pulang sekolah mau karaoke lagi gak?"

"Eh?" ia menatapku sejenak dan wajah datarnya berubah saat aku melontarkan senyum padanya.

Ia juga ikut tersenyum, walau agak sedikit dipaksa.

"Hm … boleh juga. Karaoke lagi kedengerannya bagus! Tapi kau juga harus nyanyi, Shika!"

"Iya iya …"

Ekspresinya kembali terlihat garang. Tapi setidaknya, dialah Ino yang kukenal.

Begitulah, sekiranya white day yang kujalani.

To Be Continue

A/N : hola! Kali ini saya mencoba untuk buat fic pendek dengan pair nano-nano. Yah, fic ini berkonsep pada POV yang berbeda. Udah ditetapin (dan mungkin bisa berubah-ubah juga #Plak) kalo satu chapternya terdiri dari 3 short-fic dengan 3 POV.

Untuk chapter ini, saya ngebahas Ino, Naruto dan Shikamaru. XD

Oh iya, tokoh-tokoh di fic ini saling berkaitan lho. Alurnya juga sama. Semua hal-hal janggal yang belum keungkap bakalan di umbar di POV orang yang lainnya. Jadi, tunggu aja ya XD #dordorr

oOo

Tambahan : Karakter disini, nggak semuanya mereka kenal. kayak misalnya, Ino dan Naruto disini bukan kenalan. Sakura dan Ino pun saling nggak kenal. mereka kan beda sekolah. XD

Yak, sekian. XD

Muchas Gracias

RnR?