a/n: at last kekejar juga sampe spring, alias musim terakhir yang saya kerjain buat midoakantologi ini :")
masih membahas soal judulnya, hello, goodbye (ハローグッバイ), saya jatuh cinta sama dua kata ini gara-gara dulu pernah liat cover doujin midoaka dengan judul yang sama dan sejak saat itu selalu kepengen bikin fanfik bertajuk hello, goodbye :') (yha) (iyain aja) btw makasih buat yang udah ngikutin sampe ke musim terakhir ini, makasih sudah membaca dan meninggalkan jejak di tulisan receh satu ini :"))) *tebar sakura*
dan tak lupa makasih buat yucchi yang udah ngadain eventnya serta semua yang ikut berpartisipasi meramaikan! /o/
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki dan saya tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.
四 ハローグッバイ
春
.
.
.
hello, goodbye
.
MIDOAKANTOLOGI #4 - spring
[now playing: hello goodbye;galileo galilei
alternative: hello, goodbye;the beatles]
goodbye
Musim semi adalah awal dari segala hal baru.
Kelulusan di depan matanya, gelar siap diterima tangannya, dan jalan menuju masa depan siap dilewati kakinya.
Khusus untuk Midorima, musim semi ini juga akan menjadi akhir bagi perasaan yang disimpannya bertahun-tahun untuk Akashi Seijuurou. Pada akhirnya ia mendapati bahwa memang tidak akan ada perkembangan bagi cintanya untuk Akashi—yang bahkan tidak pernah juga diungkapannya—dan pada titik ini ia telah nyaris sepenuhnya percaya, bahwa pemuda itu tidak akan pernah kembali. Jadi, untuk apa?
Untuk apa Midorima menghancurkan dirinya sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak pernah menjadi miliknya sejak awal?
Ini akan sulit, ia tahu, perasaannya pada Akashi telah terpendam dan mengakar selama musim-musim yang bahkan sudah lupa dihitungnya. Tidak mudah melupakan bagaimana ia begitu menyukai segala yang ada dalam pemuda itu; rambut merahnya yang bersinar di bawah mentari, matanya—yang tidak peduli saat satu atau dua warna, tetap—menyala dengan indah dan penuh misteri, pembawaannya yang sempurna ketika diam ataupun berlari, dan tentu dirinya secara pribadi. Bukan masalah gampang juga, mengabaikan fakta bahwa saat-saat yang paling dinikmati Midorima dalam hidupnya adalah kala permainan-permainan shogi mereka, diskusi-setengah-debat dari dua orang yang sama-sama keras kepala, serta waktu yang mereka habiskan bersama. Midorima tidak bisa bilang ia akan sanggup berhenti mencintai dunia kecil yang mereka bangun berdua, sebuah ruang tanpa waktu yang hanya dirinya dan Akashi bisa menempati.
Tapi ia akan berusaha. Midorima pikir, patah hati bukanlah akhir dunia. Asalkan ia terus memandang ke depan, pada suatu titik dalam hidupnya, ia pasti akan mampu mengucapkan selamat tinggal pada Akashi—pada masa depan bersama yang memang tidak akan mereka miliki. Itu adalah resolusi Midorima Shintarou untuk musim semi ini.
Resolusinya tidak berumur panjang.
(—persis bunga sakura yang mengembang lalu gugur tersapu hujan.)
hello
Sakura mulai bermekaran, mengisi spasi di atas kepalanya dengan jutaan titik merah muda. Midorima lega, rasanya musim dingin yang panjang dan penuh derita itu benar-benar berakhir ketika ia melihat cerahnya angkasa. (Langit begitu biru; sama seperti hari pertamanya di Teikou, persis ketika ia pertama kali melihat Akashi Seijuurou—tapi Midorima berusaha mengabaikan itu dan membuang semua bayangan jauh-jauh dari kepalanya.) Para lulusan dengan setelan jas di bawah toga berkerumun, berselang-seling dengan para gadis yang mengenakan hakama. Dari lensa kacamatanya, kelihatan wajah-wajah yang tersenyum dan beratus pasang mata yang berbinar. Ia pikir ekspresinya sendiri pastilah sekarang sama, karena ketika keluarganya—ayah, ibu, serta adik perempuan—menghampiri, ketiganya terus-terusan memberitahunya betapa mereka bangga si putra sulung menjadi lulusan yang terbaik di fakultasnya, sekaligus mengomentari betapa ceria wajahnya hari ini. (Dahulu tentu mustahil baginya untuk menjadi yang terbaik—tapi Midorima telah terbiasa, di dunia kecilnya yang tanpa Akashi Seijuurou, dirinya selalu menjadi nomor satu.)
Ibunya memberi implikasi kalau ia menginginkannya kembali ke rumah, karena musim semi ini juga adiknya masuk ke universitas dan pindah ke apartemennya sendiri. Rumah jadi begitu sepi terutama ketika ayahnya pergi bekerja. Midorima malah memberitahu mereka tentang rencana-rencananya setelah kelulusan; dengan kata lain ia menolak mentah-mentah, tapi secara halus.
Sesekali temannya yang lewat menyapa, memberinya ucapan selamat yang sama, lalu melambaikan tangan dan menghilang bersama keluarganya masing-masing. Midorima tidak pernah menjadi begitu dekat dengan satu pun dari mereka (tidak sedekat dirinya dan Akashi), tapi ia membalas mereka satu per satu, memberi senyum tipis yang sepertinya menempel terus di bibirnya sepanjang pagi ini.
Berikutnya keluarganya mengobrol tentang hal-hal yang semakin tidak ada hubungannya dengan akademik ataupun dunia kerja, seperti apakah ia sudah punya pacar, atau apa zodiak pemuda yang sedang dekat dengan adiknya ("Dia tidak cocok untukmu, zodiak kalian saja beda elemen."). Sesaat Midorima benar-benar lupa tentang segala pikiran yang mengganggunya sampai adiknya setengah berseru, "Ah, ada yang mau bertemu dengan Shin-nii!"
"Siapa?"
"Seseorang yang Shin-nii rindukan pastinya," adiknya tertawa ringan, menarik tangannya menjauhi kerumunan, ia berusaha melempar pandangan tanya pada kedua orang tuanya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang membalas.
Midorima dituntun menjauhi lapangan yang digunakan untuk upacara kelulusan, melewati salah satu jalan utama yang kiri-kanannya diapit pepohonan yang bersemu merah muda, menuju ke hadapan salah satu bangunan utama kampus yang pada saat itu sepi. Ia telah berkali-kali melewati jalan yang sama ataupun berjalan di sekitar area itu sehingga tidak ada apa pun lagi yang dapat membuatnya terkejut. Tapi ketika mereka akhirnya benar-benar berhenti, kakinya seakan dipaku ke tanah.
Midorima tidak yakin kapan adiknya pergi, tapi di momen ia melihat sosok itu, mendadak ia tidak ingat semua yang ada di sekitarnya. Menunggunya di depan bangunan itu, di bangku kayu pada sisi taman, duduk Akashi Seijuuoru dengan sebuket bunga di tangan.
Mereka menyadari kehadiran satu sama lain pada saat yang nyaris bersamaan.
Si rambut merah seketika berdiri, melambai ke arahnya dengan senyum lebar, mengatakan sesuatu tanpa suara, dan meski terlalu jauh bagi Midorima untuk dapat membaca gerak bibirnya dengan jelas, ia tahu kalau Akashi memamanggilnya.
Membetulkan kacamata dan mengembus napas keras-keras, ia perlahan berjalan mendekat; Midorima sama sekali tidak siap untuk ini.
Ketika mereka berhadapan, satu hal yang pertama kali menangkap perhatiannya adalah rambut Akashi, yang telah tumbuh sedikit lebih panjang dari terakhir kali ia melihatnya saat video call beberapa bulan sebelumnya. Tapi justru sekarang ia terlihat persis seperti di malam musim panas tiga setengah tahun yang lalu itu; poni yang sedikit melewati alis, sepasang mata semerah batu rubi, serta senyum tipis yang selalu punya maksud tersendiri. Midorima rasa Akashi juga tidak menambah atau mengurangi berat badan, dan yang jelas ia tidak tumbuh sesenti pun sejak mereka terakhir kali bertemu.
"Omedetou," kata Akashi, menyerahkan karangan bunga yang dipegangnya. Midorima menerimanya seperti sedang bermimpi, tapi tidak gagal menyadari bahwa Akashi sengaja memilih warna bunga yang sesuai dengan logo universitasnya, biru dan kuning. "Kuduga kau pasti lulusan terbaik?"
Begitu saja, tidak ada ucapan lama tidak bertemu ataupun bagaimana kabarmu?—entah karena Akashi memang tidak peduli atau memang ia tidak pernah menganggap jarak di antara mereka masalah besar, tidak seperti Midorima.
"Begitulah," jawabnya kaku.
Akashi tersenyum puas, memberinya ucapan selamat lagi, lalu mereka duduk bersebelahan, entah bagaimana Midorima merasa kalau bangku itu terlalu sempit untuk diduduki mereka berdua.
"Jadi," mulainya santai, seakan ia sedang mengomentari sesuatu yang klasik seperti cuaca atau semacamnya, "apa yang mau kau lakukan sehabis ini? Rencana yang kau beritahu aku Juni lalu itu, kau jadi melaksanakannya?"
"Aku—" Midorima menoleh, kalimatnya terpotong, tenggelam oleh sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa. Pegangannya di buket itu mendadak mengerat, tiba-tiba juga ia merasa muak dengan bunga-bunga dan ucapan selamat. "Sejak kapan kau kembali ke Tokyo?"
"Kapan ya, kemarin? Tadi pagi?" Ia tertawa.
"Akashi."
"Pokoknya aku punya cukup waktu untuk mengunjungi keluargamu dulu."
"Kenapa kau tiba-tiba pulang?"
Ada jeda sebentar sebelum muncul jawaban, tapi Akashi lalu menampilkan senyumnya yang khas, "Jelas saja untuk memberimu kejutan," ia berkata, "masa itu saja kau tidak bisa menebak." Midorima tidak menjawab. Akashi memandanginya sesaat. Biasanya cukup dengan pandangan mata mereka dapat bertukar pikiran, tapi bagi Midorima kali ini, lawan bicaranya sama sekali tidak terbaca.
"Dengar, aku merasa agak tidak enak karena tidak sempat menemuimu Desember kemarin. Jadi setidaknya, aku pikir bisa menebusnya sekarang." Ia kemudian beralih memandang langit. "Ternyata lama juga ya kita tidak bertemu langsung, padahal rasanya baru kemarin kita pergi ke festival musim panas itu."
Di momen ini Midorima sudah ingin berteriak frustrasi, hampir ia melempar bunga di tangannya dan ganti mencengkeram kedua pundak Akashi, hendak mengguncang-guncangnya menuju kenyataan; tiga setengah tahun bukanlah waktu yang singkat! Tidakkah ia menghitung berapa musim yang sudah mereka lewati tanpa presensi satu sama lain? Namun ia menahan diri, mencoba membayangkan kalau tempat yang sedang didudukinya berlapis lem. Tapi justru ketika dirinya sudah menjadi lebih tenang, Midorima jadi tidak tahu apa yang harus dikatakan, ia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
Ia mendapati dirinya kembali menjadi orang itu lagi, pemuda tiga setengah tahun lalu yang tidak punya keberanian untuk berterus terang, yang membiarkan perasaannya yang tidak terucap menyiksanya dengan kerinduan selama bermusim-musim.
Sekarang Akashi ada di sini, di sisinya dengan nyaman seakan mereka memang tidak pernah terpisah. Midorima bisa mengingat setiap detail akan pemuda itu sejelas ia melihatnya sekarang. Cara matanya yang selalu memandang jauh dan kelihatan terus-terusan berpikir, pergerakan paling minim di alisnya ketika ia sedang berdebat dengan diri sendiri, hingga bayang-bayang yang tercipta di lekukan wajahnya saat arah cahaya yang menghujaninya berganti. Ia telah mengamati Akashi begitu lama hingga tidak bisa mengabaikan giginya yang bergemeletuk ketika sedang memecahkan masalah, tulang selangkanya yang mengintip dari balik kerah kemeja, kaki kanannya yang bergoyang-goyang ketika ia sedang bersemangat atau tidak sabar—
"Ternyata percakapan ini memang tidak akan mengarah ke mana-mana kalau aku menunggumu yang bicara ya," Akashi mengembuskan napas, ia menoleh ke arah Midorima dan berkata dengan nada yang dibuat sesantai mungkin, "kalau begitu biarkan aku jujur saja; aku sebenarnya kembali untuk bilang bahwa aku telah menyukaimu sejak lama."
—ia telah jatuh cinta pada itu semua dan merindukan setiap bagian kecil dari Akashi, setiap musim-musim yang hilang serta segala waktu yang pernah mereka habiskan bersama. Bukan perkara mudah menyingkirkan hal-hal itu dari bagian yang ia anggap paling berharga di hatinya; lalu ketika Midorima mengucapkan selamat tinggal, Akashi malah kembali dan mengucapkan halo.
seasons
"Jangan pasang muka sekaget itu," Akashi tertawa, entah hanya perasaan Midorima saja atau memang kali ini suaranya terdengar agak gugup, "bertahun-tahun kita berteman, apa kau tidak pernah memikirkan kemungkinan itu?—Ah, mungkin tidak sih, ya."
Midorima hanya memandanginya.
"Aku menyukaimu sejak lama, Midorima, tapi waktu itu kukira perasaanku hanya emosi anak muda yang konyol dan… tidak mungkin ada balasannya, kan? Jadi kuputuskan untuk tetap melanjutkan rencana bersekolah di luar negeri, karena kupikir jarak akan menghapuskan rasa sukaku padamu." Ia mengembuskan napas panjang lagi, terlihat agak jengkel. "Untuk tiga setengah tahun yang lalu itu juga aku berusaha tidak pulang supaya aku bisa menghindarimu, karena kupikir juga kalau kita bertemu langsung, perasaanku bakal bersemi kembali seperti sakura-sakura melankolis ini." Sekali lagi ia tertawa, agak dipaksakan. "Tapi nyatanya aku memang tidak bisa menghapus cintaku begitu saja."
Midorima masih hanya memandanginya.
"Maka di musim semi ini aku membuat resolusi," ujar Akashi, "aku akan menemuimu dan mengatakan perasaanku secara langsung, lalu kau bisa menolakku secara langsung juga. Dengan begini, aku jadi yakin perasaanku tidak akan berbalas dan aku bisa mengucapkan selamat tinggal dengan sepenuhnya—jauh lebih baik dibanding bermusim-musim itu yang kuhabiskan untuk mengandai-andai dan memikirkan kemungkinan." Ia berdeham, menundukkan matanya. "Setelah ini aku akan pindah permanen dari Jepang. Kau bisa melupakan aku dan aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi, kau juga bisa lupa kalau aku pernah merusak pertemanan kita dengan menyatakan perasaanku, jadi anggap saja hari ini tidak pernah ada."
Midorima tetap diam.
Akashi menatapnya. "Astaga, katakan sesuatu!"
Tawa Midorima meledak tiba-tiba, bahunya berguncang, terbahak-bahak begitu hebat hingga air matanya menitik dan topi toganya miring. Ia tidak pernah tertawa separah itu entah sejak kapan. Ada terlalu banyak yang ingin ia tertawakan sampai-sampai dirinya sendiri pun tidak tahu apa saja sebenarnya yang membuatnya merasa geli; kekonyolannya, ironi dalam hubungan mereka, kenyataan dari dua orang tolol yang tidak pernah saling menyatakan perasaan. Musim-musim itu yang ia habiskan untuk membenci dirinya sendiri karena menjadi seorang pengecut; sekarang rasa jengkelnya juga ia arahkan pada Akashi.
"Tahu tidak," katanya di sela-sela menarik napas, mengelap air dari sudut-sudut matanya, "tahu tidak apa yang lucu, Akashi?"
"Selain fakta bahwa kau tidak pernah tertawa separah ini sepanjang aku mengenalmu, sementara aku sendiri tidak yakin apa yang lucu?"
Air matanya kembali menuruni pipi, padahal Midorima sudah menghapusnya. "Yang lucu adalah aku juga berpikiran sama tentangmu, konyol tidak sih? Akumenyukaimujuga." Kalimatnya yang terakhir keluar dengan terlalu cepat, tapi ia yakin Akashi dapat menangkapnya. "Kita menyimpan perasaan yang sama bertahun-tahun ini tapi tidak ada seorang pun yang berani mengatakannya lebih awal."
Midorima menyaksikan manik-manik merah Akashi melebar dan berbinar ketika mendengar ucapannya, kemudian menyipit saat ia melengkungkan bibirnya—satu senyum sungguhan yang sangat jarang ditunjukkan, karena ia tahu senyum yang sering Akashi tampilkan sesungguhnya tidak pernah mencapai matanya. Ia menyukai Akashi bahkan dengan senyum bohongannya, tapi ia lebih menyukai Akashi yang seperti ini, yang terlihat benar-benar senang dan tidak menyembunyikan emosinya.
"Begitukah?" Ia mengulurkan tangan, menghapus air mata di pipi Midorima dengan ibu jari. "Kalau begitu aku tidak menyesal jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mengatakan kalau aku mencintaimu."
Midorima memberanikan diri, menahan tangan Akashi tetap di sisi wajahnya dengan tangannya sendiri. "Jangan menyesal."
"Yang kusesali adalah pergi sebelum aku mengatakannya padamu, seandainya saja aku jujur sejak awal."
"Dan seandainya juga aku lebih berterus terang." Midorima menambahkan pelan. Ketika Akashi menyempitkan jarak di antara mereka, ia terburu-buru membetulkan letak kacamatanya. "Apa kau tahu bagaimana perasaanku saat kau berkata akan kuliah di luar negeri?"
"Hei, kau juga harus melihatnya dari sisiku," tangan yang sebelumnya berada di pipinya membetulkan letak topi toganya, "tidak semudah itu meninggalkan tanah kelahiranmu serta semua yang kau kenal, terutama meninggalkan orang yang paling membuatmu nyaman."
"Tapi kau tetap pergi, kan."
"Iya, sih." Akashi mengaku, menyandarkan punggungnya dan melipat lengan di dada. "Karena pada waktu itu aku berpikir, 'ini kan bukan akhir dunia, Seijuurou, hanya bagian dari bumi yang berbeda'."
"Kok rasanya aku pernah mendengarmu mengatakan itu sebelumnya, ya?"
"Aku tidak pernah bilang begitu pada siapa-siapa kok."
Midorima ikut bersandar, bahu keduanya bersentuhan. Riuh dari upacara kelulusan tidak mencapai mereka, dunia begitu tenang sekarang, terlebih ketika ia sudah tahu bahwa selama ini dirinya ternyata tidak hanya sekadar menggantungkan perasaannya pada sesuatu yang mustahil. Ia memang tidak pernah berani berharap, jadi ia sama sekali tidak memikirkan kemungkinan Akashi juga menyimpan perasan yang sama dengannya. Tapi sekarang mereka telah sama-sama jujur, dan itu membuatnya lebih bahagia dari kapan pun. Sekarang malah Midorima merasa ia bisa melupakan segala kekonyolannya selama musim-musim itu, segala rasa sakit dan kesepian yang ia ciptakan sendiri.
"Jadi," kata Akashi sembari menggerakkan tangannya, mengisi ruas yang kosong di antara jemari kiri Midorima dengan jari-jarinya sendiri, "sekarang kita sudah tahu perasaan masing-masing, apa yang akan terjadi setelah ini?"
"Entah, mungkin kita bisa—" Midorima menelan sisa kalimatnya, memandang ke arah lain sambil pura-pura lupa kalau tangan mereka sedang saling menggenggam.
"Berpacaran, maksudmu?"
"Itu tergantung," Midorima merespon dengan gumaman, "apa kau benar-benar serius soal perasaanmu?"
"Kenapa tidak?"
"Karena, kau tahulah, kita berdua kan laki-laki, jadi—"
"Midorima," panggil Akashi, "menolehlah ke sini."
Ia menoleh dan Akashi tidak membuang-buang waktu untuk mengklaim bibirnya, dalam satu kecupan yang singkat serta ringan, tapi berhasil membawa seluruh darah ke pipinya. Midorima merasa wajahnya tambah terbakar ketika melihat rona merah tipis yang sama juga muncul di pipi Akashi. "Apa itu cukup meyakinkanmu?"
"I-itu juga tergantung." Ia berhenti membenarkan letak kacamatanya karena ia sudah tahu itu gerakan yang sia-sia. "Tergantung kau mau melakukannya lagi atau tidak."
"Sejak kapan kau jadi seserakah ini," Akashi tertawa, menempatkan kedua tangannya di sisi kepala Midorima dan menariknya mendekat.
Ia pun tidak tahu, dan ia sudah tidak peduli. Di momen ini biarkan Midorima menenggelamkan dirinya dalam kebahagiaan, sementara memorinya tentang musim-musim yang telah lewat menguap bersama dengan beban yang menggelayuti hatinya. Ia tahu cintanya untuk Akashi tidak akan pernah menjadi seperti bunga sakura, yang hanya mekar sebentar lalu menghilang sepanjang tahun. Perasaannya adalah semangat yang datang bersama musim semi, matahari dan hujan musim panas, pohon-pohon di musim gugur, dan salju abadi di musim dingin. Kali ini, izinkan dia berterus terang dan menggantikan seluruh waktu yang hilang di balik kata-katanya yang tidak pernah terucap,
"Jangan pergi lagi."
"Jadi, sehabis ini bagaimana?"
"Yah… aku kembali ke Inggris."
"Tu-tunggu—kenapa?"
"Jelas saja untuk menyelesaikan kuliah," kata Akashi, "kau lupa ya kalau aku baru lulus musim gugur nanti."
"Ah, benar juga."
"Hmm."
"Lalu setelah itu?"
"Aku akan kembali ke jepang."
"Sungguhan?"
"Kecuali kau yang mau ikut aku keluar?"
"Sebenarnya," kata Midorima, "di mana pun tidak masalah asalkan aku tidak perlu melewati musim-musim itu sendirian lagi."
—dan sampai musim berganti pun, kita akan tetap bersama.
