Siang itu, di bawah langit yang berwarna kelabu, di tengah rintikan hujan abu dan suara gemuruh dari perut bumi. Sekelompok warga desa yang terdiri dari pria maupun wanita berkumpul di lereng sebuah gunung merapi yang tengah menunjukkan aktivitasnya tat kala sebelum meletus, memuntahkan isi perut bumi berupa bebatuan dan lahar panas.
Duduk bersimpuh. Kedua tangan terkatup, jemari saling bertautan begitu erat, wajah tertunduk khusyuk dengan bibir yang terus bergerak merapalkan sebuah do'a. Seorang pria tua dengan jubah berwarna cokelatnya yang kumal dan tongkat kayu tergenggam berdiri di hadapan orang-orang tersebut. Memimpin ritual apapun itu yang tengah mereka kerjakan saat ini.
Selepas sang pria tua menyelesaikan apapun yang tengah ia lakukan sejak tadi, seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahunan yang berambut pirang digiring maju ke depan. Siap dijadikan korban ritual yang dipercaya oleh para warga desa tersebut akan menenangkan amukan sang gunung merapi.
Meski begitu, anak itu tidak menangis. Justru sebaliknya, wajahnya nampak tenang dengan kedua kelopak mata yang terkatup rapat. Jauh di belakang sana, dengan dipegangi oleh seorang pria, seorang wanita paruh baya dengan pakaian yang kumal menangis meraung. Tangannya menggapai-gapai udara kosong menatap sang buah hati yang terus bejalan semakin menjauh untuk menjemput ajalnya.
.
.
Disclaimer:
Saint Seiya© Kurumada Masami
Saint Seiya The Lost Canvas© Shiori Teshigori
Tales © Convallarie
Alternative Universe
First Story :
A Maiden's Tears That Sparkled Through The Night
Defteros x Asmita
Warning :
Possibility OOC, typo's and ngawur intensifies.
.
.
Saat ini, Defteros sang iblis penguasa gunung Kanon tengah dilanda amarah yang begitu besar. Akibatnya, gunung berapi yang berstatus masih aktif itu kehilangan stabilitasnya dan siap meletus kapan saja. Meresahkan warga sekitar.
Ia berdiri di tengah-tengah kawah lava yang meletup-letup. Nyala api menyelubungi dirinya dengan hawa panas yang membara. Sesekali Defteros meraung, menghempaskan lava panas menggunakan tangannya seperti sedang bermain air di sungai. Setiap kali ia melakukannya, seisi gunung berguncang. Menjatuhkan puing-puing bebatuan ke sekitarnya.
Di sela suara teriakan amarahnya, Defteros mendengar suara langkah kecil bergema mendekat. Untuk sesaat, sang iblis gunung Kanon itu terdiam, menatap lorong gelap di belakangnya. Menantikan makhluk bodoh yang muncul dari sana untuk siap ia jadikan bahan amukan kekesalannya.
Seringaian tanpa belas kasih tersungging di wajah tatkala suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Lava-lava panas melayang-layang di sekitar Defteros—menggumpal membentuk bola-bola seukuran kepalan tangan. Satu digenggamannya untuk ia lemparkan pada sosok yang akan muncul sebagai sambutan selamat datang.
Tap!
Satu bola lava panas meluncur, melesat membentur dinding gua hingga hancur tercerai-berai. Mata biru Defteros yang sejak tadi menyala-nyala ganas kini digantikan dengan tatapan penuh keterkejutan. Seorang anak kecil berambut pirang tengah berdiri di hadapannya. Yang membuat Defteros heran, anak itu tidak menjerit ketakutan ketika malihatnya. Malah ia terlihat begitu tenang dengan mata terpejam.
Baik, mungkin anak ini tidak menjerit karena kelopak matanya terus terkatup. Tapi, dengan hawa sepanas ini bukankah seorang anak seusianya sewajarnya akan menangis karena merasa tak nyaman dan tak kuasa menahan panas? Bahkan setelah menerima lemparan bola api seperti tadi? Yang jelas-jelas sedikit mengenainya dilihat dari bekas terbakar di kain yang menutupi bahunya.
"Hei, bocah! Kau tidak takut padaku, eh?"
Mendengar suara bariton milik Defteros yang menggema, anak itu sedikit terkesiap. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, nampak bingung daripada takut.
Melihat hal itu membuat Defteros jengkel. Sebuah decakan kecil meluncur mulus dari mulutnya. Ia kemudian bergerak menepi, keluar dari sungai lava untuk menghampiri bocah yang menurutnya aneh.
"Kau sungguh tidak takut padaku, eh?" Sekali lagi Defteros mengajukan pertanyaan yang sama sambil berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan si bocah. Bila dilihat dari dekat, anak itu cukup manis juga. Mungkin seorang gadis kecil? Pikirnya.
Alih-alih menjawab, anak itu hanya menggelengkan kepala. Dengan mata masih terkatup ia sedikit mendongak—seperti tengah membalas menatap Defteros.
"Ck! Baiklah. Aku mengerti."
Defteros kemudian kembali berdiri. Gerakan kepala si anak mengikuti dengan semakin mendongakan kepalanya.
Dengan sekali melihatnya saja Defteros sudah mengerti bahwa anak ini adalah tumbal persembahan orang-orang desa untuknya. Sejak dulu hal seperti ini sering tejadi tat kala ia tengah dilanda amarah yang besar dan membuat resah warga desa karena reaksi gunung kesayangannya.
Sungguh, sejujurnya Defteros ingin para warga itu berhenti melakukannya. Dia tidak ingin terus mengecap image bahwa dirinya adalah iblis pemangsa manusia. Tidak pernah sekalipun ia memangsa manusia yang dijadikan tumbal untuknya. Semuanya mati karena tidak dapat bertahan di kedalam gunung merapi yang memiliki panas ekstrim.
Yang membuatnya tidak habis pikir, kali ini para warga itu menghadiahinya seorang bocah belia untuk dijadikan tumbal. Lama kelamaan para manusia itu kelakuannya semakin binal dan biadab saja.
"Pergilah! Kembali pada ibumu." Anak itu menggeleng.
"Ck! Terserah kau saja, bocah. Kau mati pun aku tak peduli. Aku ini iblis jahat penguasa gunung merapi, bukan baby sitter penjaga bocah sepertimu." Ucap Defteros seraya melenggang pergi. Ia sudah benar-benar kehilangan alasannya untuk kembali mengamuk.
Mengetahui Defteros bergerak pergi meninggalkannya, bocah belia itu segera bergerak mengikuti. Menuntun langkah kecil kaki miliknya menyusuri tanah merapi yang menyemburkan hawa panas.
Duduk bersila di atas sebuah batu besar dengan bertopang pipi, Defteros memperhatikan bocah pirang yang sejak beberapa waktu lalu terus mengekori dirinya. Kali ini bocah itu tengah sibuk bermain mengejar kupu-kupu yang berterbangan. Padahal matanya terkatup sepanjang waktu, tapi ia sepertinya tidak memiliki masalah dengan hal tersebut.
"Oi, bocah!"
Mendengar suara Defteros memanggilnya, anak itu segera berhenti bermain. Wajah polos miliknya kini ia arahkan pada Defteros. Untuk sesaat, keduanya hanya diam tanpa suara. Saling mengunci pandangan satu sama lain.
Helaan napas meluncur melewati kerongkongan sang iblis gunung Kanon. Kembali dipandanginya sosok kecil di bawah sana yang bergeming di tempat menghadap ke arahnya menunggu sebuah interuksi. Benar-benar tipe anak penurut, pikirnya.
"Terserahlah. Bermainlah lagi, sana!"
Anak itu mengangguk dengan wajah kalemnya sebelum kembali menyibukkan diri dengan serangga-serangga yang berterbangan di sekelilingnya. Sedangkan Defteros kembali memperhatikan sosok mungil itu sambil bertanya-tanya dalam hati, seperti apa wajah anak itu ketika menangis.
Hal itu sungguh mengganggu pikirannya karena sejak awal pertemuan mereka, anak itu tidak pernah menunjukkan mimik wajah bersedih. Padahal diumur sekecil itu ia sudah harus dipisahkan dari kedua orang tuanya untuk dijadikan korban persembahan. Pun saat terluka ia juga sama sekali tidak menitikkan setetespun air mata. Defteros jadi khawatir dengan perkembangan mental anak ini ke depannya.
Tunggu, sejak kapan ia yang terkenal sebagai iblis kejam ini memiliki pemikiran selembut itu? Sepertinya ia memang harus segera mengenyahkan makhluk kecil ini dari pandangannya.
"Jangan marah padaku jika pada akhirnya aku harus membunuhmu."
Di kedalaman sebuah hutan, sosok pirang bekulit putih tengah berendam di sebuah mata air yang begitu jernih. Sinar mentari yang menerobos melalui celah-celah dedaunan menerpa helai panjang miliknya yang basah, juga wajah jelita bak seorang bidadari surga. Jemari-jemari lentik bergerak gemulai membelai kulit putih semulus porselen. Tidak diragukan lagi, pemandangan seperti ini akan menyita pasang mata siapa saja yang melihatnya. Tak terkecuali sosok berkulit gelap yang tengah bersembunyi di balik ranting pepohonan.
Bukan maksud Defteros untuk mengintip sosok jelita yang tengah mandi di tengah hutan. Dia tidak sebinal itu. Sudah menjadi kebiasaannya menjaga sosok itu dari binatang buas maupun makhluk berbahaya lainnya. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, sosok mungil yang tanpa sengaja ia jaga selama ini kini sudah tumbuh menjadi sosok pemuda yang begitu mengagumkan. Seandainya waktu itu ia menghabisi nyawa sosok jelita yang saat ini di tengah sungai, mungkin ia tidak akan memiliki kesempatan mengagumi sosok yang hampir mendekati kata sempurna itu.
Meski begitu, hal yang paling Defteros inginkan dari sosok yang tanpa ia sadari sudah menjelma menjadi sesosok bidadari itu adalah raut wajahnya ketika menangis. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa seseorang yang tidak dapat menangis itu adalah orang yang paling lemah? Jika hal itu berlaku juga bagi Asmita, apakah waktu selama belasan tahun ini belum cukup untuk bisa membuat pemuda itu menunjukkan sisi lemahnya di hadapan dirinya?
"Kau datang untuk menungguiku lagi?" Lamunan Defteros terbuyarkan. Sosok jelita berambut pirang itu kini sudah berdiri tepat di bawah pohon tempat dirinya berada dengan sehelai kain putih yang melilit tubuh rampingnya. "Aku sudah sebesar ini. Jadi, kurasa kau tidak perlu menjagaku sepanjang waktu seperti dulu."
Decakan kecil meluncur dari mulut pria berkulit gelap yang masih berada di atas pohon. Ia tidak mengerti bagaimana Asmita yang tidak dapat melihat selalu bisa mengetahui keberadaannya. Rambut biru gelapnya yang panjang berayun ke atas tatkala dirinya melompat turun. "Sejak kapan si pendiam ini jadi banyak bicara?"
Alih-alih menanggapi perkataan Defteros, pemuda jelita itu hanya tersenyum. "Aku sudah menyiapkan makanan." Ucapnya sambil mengambil langkah pertama.
"Bagaimana bisa yang seperti itu kau sebut makanan? Aku bukan hewan ternak yang selalu memakan tumbuh-tumbuhan." Protes Defteros kala mengekor di belakang Asmita.
"Sesekali cobalah makanan selain daging."
"Tidak akan!"
Keduanya pun terus melanjutkan perbincangan itu sepanjang jalan kembali ke gunung dengan sesekali diselangi suara tawa dari kedua belah pihak.
Siang itu Asmita berjalan sendirian di tengah hutan bemaksud untuk mencari jamur dan tumbuhan obat. Meski dirinya tidak dapat melihat, ia sudah sangat hafal dengan daerah hutan di sekitar pegunungan. Jadi, bukan masalah untuknya berpergian sendirian tanpa Defteros. Pun mengenai tumbuhan obat maupun yang beracun ia sudah diajari Defteros untuk mengenalinya dari baunya.
Ketika sibuk memilah jamur yang bisa dikonsumsi tiba-tiba saja Asmita mendengar suara langkah kaki. Segera ia menggerakkan kakinya untuk pergi bersembunyi. Ia sudah sangat hafal suara langkah kaki milik Defteros, dan langkah kaki yang sedang mendekat bukan milik pria itu. Ia sudah diberitahu oleh Defteros sebelumnya untuk jangan sampai bertemu dengan orang-orang dari desa dan harus segera bersembunyi jika situasi seperti saat ini terjadi.
"Ibu, kakiku lelah. Aku tidak bisa berjalan lagi."
Rengekan seorang anak kecil tertangkap oleh indera pendengaran Asmita. Disusul dengan suara lembut seorang wanita dewasa.
"Kalau begitu, naiklah ke punggung ibu, Shaka. Ibu akan menggendongmu sampai desa."
"Sungguh?"
"Tentu saja."
Dari balik pepohonan Asmita mendengar suara anak itu tertawa senang diiringi langkah kaki yang semakin lama semakin menjauh. Pada tempatnya bersembunyi, Asmita tetap bergeming. Seakan enggan untuk pergi dari sana meskipun pasangan ibu-anak tadi sudah tidak terlihat lagi.
Ia ingat suara lembut itu. Mirip dengan suara milik ibunya. Kenapa di saat seperti ini ia harus mengingat hal seperti itu?
.
Langit malam ini begitu indah. Ribuan bintang bertaburan bak hamparan berlian. Bulan bersinar anggun layaknya sang dewi malam. Defteros duduk termangu menatap langit di bebatuan. Ketenangannya terusik tatkala sosok Asmita yang berbalut kain putih muncul dari dalam gua. Dipandangnya sosok jelita yang kini sedang berjalan hendak mendekati dirinya.
"Tidak bisa tidur?"
Hanya gumaman singkat yang mewakili jawaban atas pertanyaan Defteros. Kini pemuda berambut pirang itu sudah duduk bersebelahan dengannya. Keduanya hanya diam membisu. Membiarkan serangga malam bernyanyi untuk mereka. Di bawah sinar rembulan, angin malam berhembus lembut, menerbangkan helai pirang milik Asmita. Sesaat, terbesit di benak Defteros untuk mengecup bibir ranum pemuda itu. Namun segera ia enyahkan dari pikiran. Karena menautkan bibir dengan seorang manusia adalah tabu untuk kaum iblis sepertinya. Kecuali dilakukan sebagai tujuan untuk mengikat sebuah kontrak.
Tidak mau pikiran seperti itu kembali menyerang pikirannya, Defteros kembali memfokuskan pandangannya pada langit malam. Akan tetapi, tanpa ia duga, Asmita menjatuhkan kepalanya pada bahu miliknya. Melalui ekor matanya, Defteros melirik wajah Asmita yang disinari cahaya lembut rembulan. Begitu cantik, pikirnya.
"Defteros, buatlah kontrak denganku."
Sebuah kata yang tak pernah Defteros duga akan meluncur keluar dari mulut seorang Asmita. Tentu saja hal tersebut membuat Defteros kaget. "Asmita?"
Asmita menarik kepalanya yang bersandar pada bahu Defteros. Lalu merubah posisinya menghadap Defteros. Jemari lentik miliknya ia gerakan untuk meraih wajah sang iblis gunung Kanon tersebut. "Ini permintaan pertamaku padamu. Maukah kau memberiku kemampuan untuk melihat?"
Memang benar adanya, jika seorang manusia menjalin kontrak dengan seorang iblis, permintaan orang tersebut akan bisa terkabul selama masih dalam batas kemampuan sang iblis. Tapi, sebagai gantinya, orang itu akan kehilangan sisi kemanusiaannya dan akan berakhir dengan si iblis melahap jiwanya.
Defteros bisa melakukannya, tapi dia tidak mau itu terjadi. Dia tidak bisa menodai kesucian jiwa milik Asmita. Dia mencintai Asmita yang bersih tanpa noda.
"Tidak, Asmita. Aku—
Belum sempat Defteros menyelesaikan kalimatnya, ia merasakan sesuatu yang lembut mengunci bibir miliknya. Mata biru milik Defteros membulat sempurna tatkala sadar Asmita tengah menciumnya. Bersamaan dengan itu, seberkas cahaya biru muncul di sekeliling mereka membentuk sebuah pola rumit. Tanda sebuah kontrak telah berhasil dibuat.
Setelah cahaya biru itu menghilang, Defteros dan Asmita melepaskan tautan bibir mereka. Masih dalam rasa terkejut, Defteros menatap pemuda jelita di hadapannya yang masih terpejam. Perlahan, kelopak mata yang selalu terkatup itu mulai bergerak membuka. Di bawah siraman sinar rembulan, Defteros terpaku—terpesona oleh sepasang manik biru sejernih mata air di hadapannya.
"Aku selalu penasaran bagaimana rupa wajahmu. Ternyata seperti ini. Wajah yang dipenuhi kehangatan." Pemuda itu tersenyum sambil membelai wajahnya. Suaranya terdengar sayup bagai bisikan semilir angin.
Dengan gerakan ragu, Defteros menggerakkan jemarinya untuk menyentuh wajah Asmita. Lembut dan terasa dingin. Tidak disangka, Asmita menyambut tangannya dan menggenggamnya penuh perasaan. Sebutir keristal bening meluncur jatuh dari manik indah yang bersinar itu. Mengenai kulit tangan Defteros yang masih menempel pada pipi Asmita. "Terimakasih."
Semilir angin berhembus menerpa wajah di balik tudung berwarna cokelat. Sepasang mata menerawang jauh ke arah kaki gunung. Sosok itu berdiri lama di sana. Mengeratkan jubah yang melekat di badannya, ia mengambil langkah pertamanya. Menuruni jalan bebatuan yang terjal.
"Kemarin, kau diam-diam pergi ke desa lagi, kan?"
Gerakan tangan Asmita yang tengah mengupas kulit apel tiba-tiba berhenti. Mata jernihnya menatap sosok pria berkulit gelap yang duduk tepat di hadapannya. "Apa kau marah?"
"Lebih tepatnya khawatir." Defteros menatap lurus wajah tenang pemuda jelita di depannya itu. Tangannya kembali bergerak melanjutkan mengupas kulit apel yang sempat tertunda barusan.
"Aku tidak apa-apa."
Defteros mengerang protes, "Apa kau tidak sadar kalau di desa sedang beredar rumor tentang sosok penyihir misterius yang baru-baru ini sering menampakan diri? Aku yakin itu maksudnya adalah kau!"
Asmita kembali menghentikan gerakan tangannya. Diletakkannya pisau yang sejak tadi ia pegang. "Dulu, saat pertama kali kita bertemu. Kau sendiri yang menyuruhku untuk kembali pada ibuku. Kau ingat? Jadi, tidak ada salahnya kan jika sesekali aku mengunjungi desa?"
Itu memang benar. Tapi situasinya sudah benar-benar berubah. Defteros tidak bisa memprediksi apa yang akan para manusia itu lakukan pada Asmita jika ia tertangkap. Dia takut Asmita akan pergi meninggalkan dirinya.
"Defteros?"
.
Asmita terbaring di atas sebuah batu dengan napas terengah dan peluh yang membanjiri wajahnya. Helai kain yang membalut tubuhnya tersingkap—mengekspos kaki putih jenjang miliknya. Bola matanya terpaku menatap stalaktit yang menggantung di langit-langit gua. Dalam kepalanya, Asmita mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Defteros masih berada di atasnya, menindih tubuhnya yang nyaris telanjang. Pria itu masih mendekapnya—begitu erat seakan dirinya akan lenyap jika ia melepaskan pelukannya. Asmita merasa tubuh Defteros yang mendekapnya bergetar. Perlahan, ia menggerakkan tangannya yang terkulai—balas memeluk pria itu.
"Maaf. Aku tidak akan pergi ke desa lagi tanpa memberitahumu lebih dahulu. Aku berjanji."
Sang mentari baru saja keluar dari peraduannya. Akan tetapi Asmita sudah berada di tepi sungai sejak suasana masih gelap. Berjongkok sambil memandangi wajahnya di pantulan air. Sesekali jemarinya bergerak menyentuh helain pirangnya yang tergerai membingkai wajahnya.
"Mulai terkena sindrom Narcissus, eh?"
Tak acuh pada perkataan Defteros yang tiba-tiba saja muncul di belakangnya, Asmita mengeluarkan sebilah pisau dari balik pakaiannya. Defteros mengerutkan alis. Dan dengan gerakan cepat dan sekali tebas, helai pirang yang membingkai wajah jelitanya terpotong, menyisakan hanya sepanjang bahu.
"Eeeeee—h?!"
.
Sambil menggerutu, Defteros membantu merapihkan rambut Asmita. Kali ini sudah benar-benar terpangkas pendek layaknya model rambut laki-laki pada umumnya. Memang itu tidak berpengaruh pada wajah cantik milik pemuda itu, dia tetap terlihat manis dengan potongan rambut pendek. Hanya saja Defteros lebih suka Asmita berambut panjang, karena saat sedang bosan, dirinya bisa melakukan banyak hal dengan rambut panjang Asmita. Seperti menguncirnya atau mengepangnya untuk membunuh waktu.
"Kau benar-benar tidak senang aku memangkas rambutku?"
Yang ditanya tetap membisu. Kemungkinan besar sedang menjalankan aksi ngambeknya yang tekesan kekanakan. Entah apa kata dunia jika mengetahui sang iblis gunung Kanon yang terkenal ganas bisa bersikap manis layaknya anak anjing yang baru saja ditinggal sang majikan selama beberapa pekan.
"Aku jadi ingin memangkas rambutmu juga."
Mendengar pernyataan Asmita, Defteros mendelikkan matanya. Seumur hidupnya, Defteros tidak pernah memotong rambut. Entah bagaimana rupanya dengan potongan rambut pendek. Pasti sangat konyol. Juga, dia takut kehilangan kesan galak jika rambutnya dipangkas pendek.
"Kau tak akan berani melakukannya, Asmita."
"Kau menantangku?"
Sebuah kecupan manis mendarat di bibir Asmita. "Jangan paksa aku untuk melakukan hal lebih dari ini."
Hari ini, sejak pagi buta Asmita sudah menarik-narik tangan Defteros untuk pergi ke suatu tempat. Setelah beberapa saat berjalan, sampailah mereka ke tempat mata air yang biasa digunakan Asmita untuk membersihkan diri. Defteros merasa heran, tidak biasanya pemuda itu menarik-nariknya hanya untuk sekedar menemaninya ke tempat ini. Terbesit di pikirannya mungkin saja Asmita ingin mengajaknya mandi bersama. Rasanya boleh juga.
Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Mungkin balasan untuk Defteros karena sejak awal memiliki niatan tersembunyi. Mereka memang menceburkan diri ke sungai, tapi tidak benar-benar melakukannya tanpa busana. Tujuan Asmita yang sebenarnya adalah untuk mencuci rambut Defteros dan memangkas rambut yang tumbuh liar tidak teratur.
Entah apa maksud pemuda cantik itu mau repot-repot melakukan hal seperti ini. Ketika ditanya alasannya oleh Defteros, Asmita hanya tersenyum. Lalu menjawab dengan santai, "Aku melakukannya karena memang sedang ingin. Juga, entah kapan lagi aku bisa melakukannya."
Awalnya, kata-kata Asmita itu sedikit mengganggu pikirannya. Namun segera Defteros enyahkan dari benaknya. Ia hanya ingin bisa menikmati momen yang sedang berlangsung sebisa mungkin.
Untuk kali pertama dalam hidupnya yang kekal, Defteros berlari sekencang mungkin hingga mencapai batas kemampuannya. Suara kilat menyambar saling bersahutan seakan tengah menertawakan dirinya.
Jauh di bawah lereng pegunungan sana, setitik nyala api berkobar menjilat-jilat ke udara. Dalam jarak pandang sejauh itu, Defteros dapat melihat sosok yang begitu ia kenal berada di tengah kobaran api tersebut dengan tubuh terikat di sebuah tiang. Wajahnya tertunduk dengan mata terkatup rapat. Sedangkan segerombolan orang yang mengelilingi kobaran api terus menambah nyala api dengan melemparkan kayu-kayu bakar.
Defteros menggeram murka. Bola mata yang biasanya berwarna biru gelap kini berubah menjadi merah menyala. Tiap langkah kaki yang ia ambil menimbulkan guncangan pada perut bumi. Gunung Kanon yang selama belasan tahun terakhir tertidur, kembali terbangun. Siap memuntahkan isi perutnya untuk menghukum manusia-manusia biadab di bawah sana.
.
"ASMITA!"
Dengan gerakan lunglai, kepala bertahtakan mahkota keemasan itu terangkat. Mata yang biasanya bersinar jernih itu kini memandang sayu dan hampir kehilangan cahayanya. Dari balik kobaran api dan huru-hara penduduk desa yang berlarian panik, Asmita bisa melihat Defteros sedang berlari ke arahnya. Dalam hati, Asmita berteriak. Dia tidak ingin melihat Defteros yang seperti saat ini.
'Jangan, Defteros. Kau tidak boleh menghancurkan desa.'
Namun percuma saja, suaranya tidak dapat keluar. Yang bisa Asmita lakukan hanya menatap Defteros yang terus meluapkan amarahnya, menghancurkan dirinya sendiri.
Di bawah sinar rembulan dan kobaran api yang menyala, untuk kedua kalinya, dirinya kembali meneskan air mata. Semua ini adalah salahnya. Ia mengingkari janjinya pada Defteros dengan pergi kembali ke desa. Tidak ada yang perlu disalahkan, ini sudah menjadi hukuman untuknya.
Dalam pandangan yang semakin menggelap, Asmita merasakan tubuhnya diangkat oleh sesorang. Ia bisa mendengar suara Defteros yang memanggil-manggil namanya sebelum dunianya menjadi gelap sepenuhnya. Persis sebelum ia mendapatkan penglihatannya dulu.
Di tengah guncangan dahsyat dan luapan lahar panas yang mengalir menuruni puncak gunung. Seorang pria berjalan mendaki dengan membopong sesosok pemuda yang tengah terpejam. Semakin lama, semakin jauh ia masuki ke dalam gunung yang tengah mengamuk itu. Hingga akhirnya sosok keduanya menghilang di balik muntahan lahar yang menelan segela apapun yang dilewatinya.
-Tamat-
.
.
.
Author's Note:
Oh, oke, saya rasa ini sudah cukup ngawur dan alay. Tolong jangan bilang kalau saya terlalu keranjingan nonton sinetron Misteri Gunung Merapi. Soalnya di sini nggak ada tokoh Nenek Lampir. Lagian itu sinetron udah bukan jamannya, ya. Sekarang jaman penghuni kebun binatang jadi bintang sinetron.
Untuk cerita pertama, saya ambil pairing yang paling pertama saya kenal di fandom ini. Next chapter sepertinya giliran Aspros x Sisyphus yang akan saya dzolimi. Jadi, silahkan tunggu aja kalau emang mau nunggu. Saya nggak maksa.
Oh iya, itu judulnya bukan bermaksud mempromosikan tales Bogor ya. /jayus
Well, segitu aja. See you next stories!
