-Chapter 1-
manik lavender itu menatap harap pada seorang wanita cantik di hadapannya. Wanita itu membaca lamaran kerja itu dengan seksama sambil sesekali melirik ke arah Hinata.. Ketegangan makin terasa kala wanita paruh baya—walaupun tidak terlihat begitu—itu kini tengah menatap iris lavender Hinata dengan pandangan menilai selama beberapa saat, baru kemudian tersenyum ramah. Setidaknya senyuman itu dapat sedikit menghilangkan ketegangan yang Hinata rasakan saat ini.
"Hyuuga Hinata-San, ya? Apakah memiliki pengalaman kerja sebelumnya?"
"tidak, ini pertama kalinya,"
"apa alasanmu melamar pekerjaan di sekolah dasar ini?"
"a-ah, saya sangat menyukai anak-anak dan ingin mencoba menjadi guru selama setahun kedepan sebelum izin praktekku keluar,"
Hinata menelan salivanya susah payah saat melihat tatapan menilai ketua yayasan yang diketahui namanya Senju Tsunade tersebut.
"—a-apakah alasan seperti itu tetap tidak bisa?" sambung nya cepat-cepat meyakinkan wanita cantik di hadapannya.
Tsunade tersenyum kecil, "jangan terlalu gugup dan formal seperti itu, Hyuuga-san, aku hanya ingin melihat reaksimu tadi, ah sungguh menyenangkan melihat seseorang gugup seperti itu," tawa renyah terdengar dari bibir seksi Senju Tsunade, membuat gadis bersurai indigo itu bertanya tanya apa maksud dari wanita dihadapannya ini.
"a-ano… jadi apakah saya di terima, Senju-san?"
"Ya! Tentu saja! Kau datang disaat yang sangat tepat, Hyuuga-san, kebetulan sekali salah seorang pegawaiku mengundurkan diri minggu lalu,"
Hinata tersenyum senang, manik lavendernya terlihat bersinar seolah ikut merayakan kesenangannya.
"h-hontou ni? A-arigatou gozaimasu Senju-san!"pekiknya girang sambil menundukkan kepalanya.
Tsunade tertawa geli melihat tingkah Hinata, "Ah, kau bisa mulai mengajar besok Hyuuga-san, jadwal mu akan kuberitahu besok. Oh dan satu lagi, Tolong panggil aku Tsunade saja,"
"baik Tsunade-san, saya permisi dulu. Dan juga Tolong panggil saya Hinata,"
PROBLEM
FANFICTION BY ALICEY RIZ
.
Warn : Mature Content in Next Chap, OOC, typo
I don't own NARUTO, Masashi is
"Bolt, dimana ayahmu?"
Yang ditanya hanya membuang muka seolah itu menjadi jawaban yang jelas bagi gadis pirang di hadapannya. Ino mendengus kesal, dengan langkah kasar dan besar-besar ia pun langsung naik ke lantai atas dan membuka pintu di hadapannya dengan kasar. Maniknya menatap sinis sosok tubuh yang tampak tertidur pulas di atas kasur king size tersebut. Ditariknya paksa selimut yang digunakan lelaki tersebut hingga sosok tersebut tampak menggeliat di tidurnya.
"apa yang kau lakukan, Ino, Apakah kau sudah tak memiliki sopan santun lagi?"
"lihat siapa yang berbicara—" jawabnya sarkatik
"bisakah kita hentikan ini? Kepalaku sangat pusing,"
Ino menarik nafas kasar, hilang sudah kesabarannya terhadap niisan nya tersebut.
"kaulah yang harus menghentikan ini semua, Naruto! Kutinggal sehari karena ada urusan dan kau tak tahu untuk mengurusi anakmu?"
Naruto bangkit berdiri dari tidurnya, hilang sudah rasa kantuk yang ia rasakan. Tak ada niatan baginya untuk membalas atau mendengarkan lagi ucapan yang terlampau sering Ino ucapkan dalam 4 tahun terakhir ini. Langkahnya gontai seiring ia berjalan menuju kamar mandi dan membasuh tubuhnya yang masih hangover akibat pesta perayaan Sasuke semalam.
Ino mencoba menetralkan emosinya dengan menarik nafas panjang, diliriknya Bolt yang tak jauh dari dirinya kini sedang sibuk bermain PSVITA dengan pandangan bosan. Mencoba merubah suasana kelam bocah berusia 7 tahun tersebut, Ino pun berjalan mendekatinya dengan senyum cerah.
"hey Bolt, apakah kau sudah sarapan?"
Gelengan yang diberikan Bolt membuat Ino serasa makin kesal dengan Naruto, tetapi senyum tetap terpancar di wajahnya yang bak model.
"nee-san, mengapa kau tidak pulang semalam?"
"ah—Bolt! Sudah kukatakan, panggil aku okaa-san! Atau kaa-chan! Gomenne, karena kaa-chan baru saja masuk kerja banyak sekali yang harus dikerjakan,"
"eh—tapi, Ino-nee yang menyuruhku memanggil begitu dulu, kan, saat aku masih kecil,"
Tertawa gugup sambil melirik sekelilingnya, "ya—itu kan dulu Bolt, saat itu aku masih sekolah, ya itu. Pokoknya panggil aku kaa-chan,"
Mengangguk dan tersenyum kecil, Bolt tampak senang.
"nah sekarang—bisakah kita pergi ke sekolah? Kaa-chan akan membelikanmu makanan dan mengantarkanmu ke sekolah," seru Ino mengedipkan sebelah matanya dan memegang tangan Bolt memasuki mobil.
Bolt yang tampak masih memainkan PSVITA miliknya tampak sesekali bercerita tentang kehidupan disekolah barunya tersebut. Mimiknya berubah cemberut kala ia mengadu terlibat perkelahian kecil dengan seorang anak bernama Mitsuki, serta kehadiran Shikadai—temannya—di tempat kejadian tidak membantu sama sekali. Ia juga bercerita tentang kepala yayasan yang galak, ia menceritakan semuanya kepada Ino.
Meladeni Bolt sesekali tawa renyah Ino terdengar dan ejekan-ejekan kecil ia lontarkan pada bocah pirang bermata biru tersebut. Setidaknya melihat mood Bolt yang membaik membuatnya bernafas lega, kekhawatiran yang tadi menghantuinya memudar kian melihat tawa yang ditunjukkan Bolt. Sesungguhnya ia masih sedikit kesal dengan tingkah Naruto. Baru saja Ino tinggal sehari karena ada keperluan lelaki itu tetap saja berbuat seenaknya dan tak mengindahkan pesan-pesan yang Ino titipkan.
Berpesan untuk pulang cepat menjemput Bolt dan membuatkan makanan nyatanya tidak dilakukan. Bahkan bocah berusia 7 tahun itu harus memesan makanan siap saji dan nyaris dibawa pergi oleh orang asing jika saja Choji—tetangga mereka—tidak melihat kejadian tersebut. Langsung saja hal tersebut diceritakan oleh Karui—istrinya—pagi tadi saat Ino baru pulang.
Lebih parah lagi yang Ino dengar dari Bolt, lelaki itu baru pulang ke rumah—apartement—pukul 3 pagi saat Bolt terbangun untuk buang air kecil. Jangan lupa bahwa ia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk!
Memikirkan tentang kakak laki-lakinya itu memang membuat Ino bisa tampak lebih tua seketika—tak ada habisnya. Kejadian 4 tahun yang lalu sepertinya masih berbekas dihatinya, meninggalkan luka yang sulit untuk disembuhkan. Ujung mata Ino melirik Bolt sekilas dan menarik nafas panjang.
Bolt membutuhkan sesosok Ibu
Sosok ibu asli, bukan sosok ibu palsu seperti dirinya. Ino memang menyayangi Bolt dengan tulus, menganggap lelaki itu putranya dan bertingkah layaknya ibu muda 4 tahun terakhir ini, namun ia tahu bahwa lubang dihati Bolt hanya dapat ditutupi oleh sosok ibu sungguhan.
Alasan kenapa kemarin Ino tak pulang dan menginap dirumah orang tuanya adalah untuk membahas masalah Naruto. Ia ingat saat Kushina dan Minato berkata tak mungkin ia akan mengambil peran sebagai ibu Bolt selamanya, kekhawatiran tersebut membuat Kushina mulai sibuk mencari-cari pendamping baru bagi Naruto secara diam-diam. Melihat orang tuanya yang tampak seperti itu, tak tega rasanya jika Ino berkata jujur tentang kehidupan seks Naruto selama 4 tahun ini. Ino tidak bodoh, bahkan walaupun Naruto menutupinya ia tahu bahwa alasan lelaki itu tak pulang sampai menjelang pagi adalah untuk melakukan hal nista itu dengan para pelacur di bar langganannya.
Ia juga tahu bahwa kakak laki-lakinya itu mengalami hyper sex dan dapat pergi sampai 5 kali dan seminggu jika saja ia tak sibuk mengurusi perusahaan ayah.
Lamunannya terhenti kala mendengar teriakan Bolt yang meminta berhenti. Melihat sekeliling dan memarkir rapih mobilnya, Ino turun bersama Bolt ke dalam toko roti kesukaan Bolt. Menjelang menit ke-lima mereka pun keluar dan menempuh waktu 5 menit lagi hingga sampai di sekolah Bolt. Mobil mewah milik Ino tampak terparkir rapih diantara mobil lain, gadis itu turun dengan anggun bersama Bolt digenggamannya. Bisikan-bisikan terdengar kala ia melewati para ibu yang tampak mengantar anaknya juga tapi ia tak perduli. Pandangannya lurus kedepan untuk mengantar Bolt sampai ke kelas.
Hinata berdiri didepan pintu kelas "1-A" dengan gugup. Sapaan ramah ia keluarkan pada wali murid yang mengantar anak-anak mereka. Sesekali ia bercanda ria dengan anak-anak dan ibu mereka. Mulai hari ini Hinata akan menjadi wali kelas kelas 1-A dan ia merasa harus memperkenalkan diri dulu pada para orang tua dengan sebuah sapaan.
Pandangannya terhenti pada sepasang ibu-anak berambut pirang yang sedang berjalan menghampirinya. Bisikan-bisikan ia dengar kala ibu muda tersebut berjalan. Sedikitnya Hinata ikut berfikiran sama dengan ibu-ibu tersebut.
Seorang ibu muda berumur awal 20-an?!
"halo saya guru baru yang mulai menangani kelas ini. Hyuuga Hinata-desu,"
Memberi pandangan menilai, senyum kecil terukir dibibir Ino, "kau tampak muda, berapa umurmu?"
Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu?!
"e…tto—aku berumur 23 tahun,"
Mengangguk mengerti, "kurasa kita bisa berteman, ah! Namaku Namikaze Ino dan ini-," memegang kedua pundak Boruto, "—adalah anakku, Namikaze Bolt,"
"be…begitu? Tapi kau tampak muda,"
"memang muda kok, umurku 22 tahun,"
Baru sehari bekerja rasanya Hinata sudah dikejutkan oleh berbagai hal. Misalnya ibu muda berumur 22 tahun dengan anak berumur 7 tahun, kenyataan bahwa Senju Tsunade sudah menginjak kepala 6, kantin dengan harga makanan diatas rata-rata—oke, Hinata memang berasal dari keluarga berada, tapi tetap saja ia terkejut karena selama ini tak pernah bersekolah di sekolah elit seperti ini. Ditambah lagi beberapa murid dikelasnya merupakan tuan muda keluarga kaya yang nakal, sudah dua kali ini rasanya Hinata dijahili oleh muridnya.
Yang pertama oleh Bolt, bocah itu membuat Hinata repot dengan membanjiri seisi kelas dengan air dari pistol mainan. Sasaran sebenarnya adalah Mitsuki, bocah jahil kedua yang melempari kertas pada Bolt sambil menghindari siraman air. Alhasil waktu istirahat Hinata habiskan dengan membersihkan kelas. Walaupun merasa kelelahan, cukup menyanangkan bagi Hinata melihat anak-anak bermain dan belajar.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, keadaan sekolah sudah sepi hanya beberapa anak-anak saja yang masih terdapat disekolah. Manik Hinata menangkap sosok anak yang dikenalnya sedang duduk di dekat gerbang sekolah. Itu Bolt, yang tampak sibuk memainkan PSVITA miliknya dengan pandangan kosong. Jika ini Bolt yang biasanya, ia akan dengan cepat merasakan jika ada seseorang yang berjalan kearahnya, tetapi ia hanya diam dan tak merespon kala Hinata berjalan mendekatinya.
Duduk disamping Bolt, Hinata mulai membuka pembicaraan
"uhm..h—halo, Bolt,"
"oh, sensei," melirik sekilas
"mengapa kau masih disini, Bolt? Bukankah kelas sudah berakhir 2 jam yang lalu?"
Menggeleng pelan, "tidak tahu, mungkin touchan yang menjemput bukan kaachan," menatap manik Hinata untuk pertama kalinya, Bolt mengulum senyum kecil, rona kemerahan terlihat dipipinya. Dirinya yang masih kecil ini terpesona, "sensei mengapa belum pulang?"
Tersenyum, "sensei baru saja selesai merapihkan barang-barang sensei. Kalau begitu…Bolt, bolehkah sensei menemanimu?"
Terdiam beberapa saat sambil menatap mata Hinata, kemudian Bolt mengangguk yakin. Senyum cerah ia berikan pada Hinata. Entah mengapa saat berada di dekat sensei-nya itu ia merasa seperti berada di dekat Ino—nyaman seperti bersama ibu. Ditengah senja yang hampir berakhir mereka bercerita banyak hal layaknya sepasang ibu-anak yang menghabiskan waktu bersama
Naruto melonggarkan dasinya dan menarik nafas panjang. Tubuhnya kelelahan dan kepalanya berdenyut. Ia terlalu banyak minum semalam dan kurang istirahat, membuat efek minuman itu masih terasa. Sudah hampir jam 6 sore dan setidaknya pekerjaan untuk 2 hari ini telah selesai ia kerjakan. Matanya terarah pada handphone miliknya yang tergeletak asal diatas meja, seharian ini ia taka da mengecek isinya.
10 new messages
8 missed call
Helaan nafas terdengar dari bibir seksi milik Naruto kala ia melihat dari siapa itu semua—Ino. Dahinya mengkerut saat membaca isi pesan Ino.
From : Ino
Naru-nii, aku akan pulang terlambat
Dan tidak bisa menjemput Bolt,
Jemput dia ya, tepat jam 3 oke!
From : Ino
Apakah kau sudah menjemputnya?
From : Ino
Naruto, aku akan membunuhmu jika kau tidak
Bergegas sekarang!
Awas saja kau tidak menjemputnya!
Dan 7 lagi pesan yang bernada sama. Perubahan raut wajah terlihat kala Naruto melihat arlojinya sekali lagi, sedetik kemudian melesat pergi meninggal kantor yang tampak sepi.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari 20 menit untuk sampai di sekolah Bolt. Layaknya sekolah di sore hari, tak ada lagi murid-murid maupun guru yang terlihat hanya kesunyian menyapa Naruto. Ia mengawasi sekelilingnya dan menarik nafas lega saat mendapati Bolt tengah duduk dikursi panjang dengan seorang wanita muda bersurai indigo disampingnya. Berjalan mendekat dan mencoba memanggilnya
"Bolt,"
Nada dingin yang keluar dari bibir Naruto membuat suasana menjadi hening. Hinata maupun Bolt tampak terkejut dan melihat si pemilik suara secara bersamaan.
"Ayah…," Bolt berujar lirih, menampakkan kekecewaan dan tak mengharapkan kehadiran orang itu saat ini. Berubahan raut Bolt tentu diketahui Hinata yang langsung berdiri dan menunduk sopan.
"e…tto… Namikaze-san, saya adalah Hyuuga Hinata, mulai saat ini akan menjadi wali kelas Bolt,"
"Hyuuga-," sebuah seringai muncul dibibir Naruto setelah beberapa saat berfikir, "—ah…dari keluarga terhormat Hyuuga itu ya,"
Ada nada mengejek yang dilontarkan Naruto saat mengatakan dan Hinata tak suka mendengarnya.
"terhormat?—ah, mendengar hal tersebut dari CEO Namikaze Corp merupakan hal yang berkesan, bukan? Dan lagi, apakah kau sangat sibuk sampai baru menjemput anakmu sekarang, Namikaze-san?"
Naruto memicingkan matanya tak suka. Seringai yang tadi ia tampilkan hilang entah kemana. mendengar gadis cantik dihadapannya berkata tajam seperti itu memang tak akan membuatnya senang, terlebih lagi dia seorang Hyuuga! Perusahaan baru yang memiliki perkembangan pesat beberapa tahun terakhir, perusahaan yang memiliki peluang besar untuk menyayingi Namikaze Corp dan Uchiha Corp di Jepang.
"bukankah tidak baik mencampuri urusan orang, Hyuuga-san?"
"dia muridku, Namikaze-san,"
"che, kekanakan sekali harus beradu mulut denganmu, Hyuuga-san. Ayo kita pulang, Bolt,"
Hinata memandang tak suka pada punggung Naruto. Ia akui lelaki itu memang tampan seperti yang banyak diperbicarakan tetapi! Hinata benar-benar tidak akan bisa bertahan jika berada didekat orang itu secara lama. Aneh memang tapi bagi Hinata, Naruto memiliki sisi gelap mengerikan. Satu hal yang pasti, ia tidak ingin berhubungan dengan duda keren bernama Namikaze Naruto.
Surai indigo itu bergoyang-goyang saat pemiliknya sedang berjalan. Langkah kaki terdengar jelas pada lorong rumah sakit yang terlihat sepi pada jam makan siang. Hinata mengetuk pintu didepannya dan masuk kala mendengar jawaban dari dalam. Senyum ia layangkan kepada seorang gadis bersurai merah muda yang tampak bergeliat dengan kertas-kertas dihadapannya. Sakura memberi senyum cerah pada Hinata kala ia menyadari sosok sahabatnya tersebut.
"Hinata! Lama tak bertemu,"
"ya-," mengangguk, "bagaimana pekerjaanmu?"
"hm… banyak yang harus kukerjakan, menjadi dokter magang itu melelahkan," hinata tertawa kecil melihat Sakura yang tampak memayunkan bibirnya sedikit, "ah—bagaimana denganmu?"
"baik saja, kok. Aku cukup menikmatinya,"
"bukan—bukan itu!" menggeleng kuat, "—maksudku si Namikaze! Duda tampan itu menyekolahkan anaknya disana, bukan?"
"ah—ya, namanya Bolt. Tunggu—biasanya kau tidak tertarik dengan seorang duda, mengapa kau bisa mengenalnya?"
"kau ini, dia itu pengecualian! Ah—ya, aku pernah bertemu dengannya di club, sih,"
"c…club?"
"ya, di club langgananku. Kau tahu—dia merupakan member VIP dan kulihat dia sedang bercumbu dengan wanita disana. Tapi—tapi kau harus melihat wajahnya yang sangat seksi itu! Saat dia sedang bercumbu wajanya sangat seksi, Hinata!"
Wajah Hinata tampak memerah mendengar perkataan Sakura
"dan lagi permainan lidah yang ia lakukan! Benar-benar membuatku basah—"
"oke STOP-," Hinata sudah tak sanggup mendengar lagi, "aku kesini untuk mengajakmu makan siang bersama bukan untuk mendengar cerita erotismu, Hinata,"
"itu tidak termasuk dalam cerita erotis, Hinata. Dasar gadis perawan,"
Hinata hanya memutar matanya malas tak menanggapi perkataan sakura dan mulai membuka bento yang ia bawa. Difikir-fikir, sebulan sudah Hinata menjabat sebagai guru di Sekolah Dasar, dalam waktu sebulan yang singkat kini Hinata sudah sangat dekat dengan Bolt dan menganggap sebagai anaknya sendiri. Bolt yang tadinya hanya bercerita perihal kelas pada Hinata kini mulai bercerita tentang keluarganya. Ino merupakan adik dari ayahnya dan mereka memiliki selisih umur yang cukup jauh, kini seolah menggantikan posisi ibu bagi Bolt. Sedikit banyak yang Hinata tau, Naruto mungkin memang bukan ayah yang baik bagi Bolt, namun Bolt tetap menyayanginya. Beberapa kali Naruto menjemput Bolt dengan sangat terlambat, dan fakta lain tentang kehidupan seks Naruto membuat Hinata sedikit khawatir. Ia cukup mencemaskan Bolt dan mulai mengerti mengapa Ino bersikap bagai ibu muda yang cerewet.
Fikirannya terhenti kala mendengar panggilan dari Sakura,
"hei Hinata, kau dengar?"
"dengar kok, tentang Namikaze-san, kan?"
"ya, dia. Kau tahu, kudengar club itu sudah seperti rumah keduanya, loh,"
Hinata memutar matanya bosan, "lalu, mengapa kita terus membicarakan tentang Namikaze-san?"
"karena dia tampan! Ah Hinata, apa sekolah pulang cepat hari ini? Melihat kau mengajakku makan siang bersama,"
Hinata mengangguk sambil mengunyak pelan makanannya, "ya, hari ini sekolah pulang cepat karena besok adalah ulang tahun sekolah dan sekolah diliburkan,"
"lalu apa rencanamu setelah ini?"
"aku mungkin akan berbelanja, karena mulai bulan kemarin aku sudah tinggal sendiri dan tampaknya masih banyak barang-barang yang harus kubeli," hinata melirik jam yang terpasang rapih di dinding ruangan menunjukkan pukul 2, "—ah sudah jam segini, kurasa aku harus pergi, Sakura,"
Mengucapkan perpisahan, Hinata pun melesat pergi dari rumah sakit menuju supermarket. Cukup banyak waktu yang ia habiskan untuk berbelanja kebutuhan dan badannya cukup merasa lelah. Senja mulai terlihat dan tanpa sengaja maniknya melihat sesosok anak yang dikenalnya. Bolt, duduk dihalaman sekolah ditempat biasa. Sendirian.
Lantas saja Hinata memarkirkan mobilnya dan berlari menghampiri bocah beriris sapphire tersebut. Kekhawatiran terpancar jelas dari balik manik amethyst Hinata. Mengatur nafasnya sejenak ia pun mulai berbicara
"Bolt?! Mengapa kau masih disini? Dimana Ino-san?"
Cemberut dan menggeleng, "kaachan sedang melakukan penyelidikan di Kyoto dan akan menginap disana selama beberapa hari, dan touchan…aku tidak tahu dimana,"
"astaga! Jadi kau sendirian disini selama 5 jam?!"
Bolt mengangguk, tapi ia tak menampakkan emosi di wajahnya. Iris shappire itu hanya menatap kosong Hinata. Memeluknya, Hinata tak tahan melihat Bolt seperti itu.
"hey Bolt, bagaimana kalau sensei mengantarmu pulang? Apakah kau memiliki kunci rumahmu?"
Walaupun tampak ragu, Bolt mengangguk. Hinata tau pergi ke kediaman Namikaze mungkin bukanlah hal yang bagus, tapi keputusannya sudah bulat. Ia tidak ingin meninggalkan Bolt dan rasa-rasanya akan lebih baik mengantar Bolt daripada membawa bocah itu pulang ke apartement miliknya.
Kesunyian menyambut Hinata dan Bolt di apartemen itu. Jika saja Hinata tak segera menghidupkan lampu, mungkin ia akan merasa tengah berada di rumah yang telah ditinggalkan. Jujur saja, apartement ini sangat mewah dengan 3 kamar dan ruangan yang luas, melebihi apartement milik Hinata yang hanya memiliki 2 kamar dan ruang-ruang mewah sederhana. Hal pertama yang Hinata lakukan adalah menyuruh Bolt untuk mandi dan membuat makanan. Lancang memang, tapi untuk kali ini saja ia merasa memang harus melakukannya.
Nasi goreng telur yang dibuatkan Hinata tampak menggoda bagi Bolt. Bocah itu melirik Hinata ragu baru kemudian memakan dengan lahap, sungguh ia sangat kelaparan! Hinata hanya tertawa geli melihat tingkah Bolt sambil sesekali membuka percakapan.
Awalnya Hinata akan segera pulang setelah memasakkan makanan untuk Bolt, namun anak it uterus meminta Hinata untuk tinggal sampai Naruto pulang. Karena tak tega ia pun mengiyakan dan melakukan usulan yang diberikan Bolt untuk membersihkan diri.
Mereka menonton film bersama, bermain puzzle, dan hal lainnya hingga Bolt merasa kantuk dan tertidur. Jam sudah menunjukkan pukul 11 dan Naruto tak kunjung pulang. Dengan hati-hati Hinata menggendong Bolt dan meletakkan lelaki itu dikasurnya, menyelimuti dan mengecup keningnya pelan.
Hinata terbangun kala mendengar suara pintu dibuka. Jam menunjukkan lewat 2 pagi, cepat-cepat ia keluar dari kamar dan menghampiri asal suara. Naruto baru saja pulang dan ia tampak tak sehat dengan cara berjalan yang aneh. Ia hanya melirik Hinata sekilas dan berjalan melewatinya.
"Namikaze-san," panggil Hinata
Diacuhkan
"Namikaze-san,"
Lagi
"Namikaze-san,"
Lagi-lagi Hinata diacuhkan. Merasa kesal Hinata langsung berjalan cepat dan menghadang pemuda tersebut untuk masuk kedalam kamarnya.
"minggir, Hyuuga-san,"
"tidak sebelum kau menjawab pertanyaanku. Darimana saja kau?"
"minggir,"
"tidakkah kau tahu Bolt menunggumu selama 5 jam?"
"Hyuuga-san-," mengelus pipi Hinata, "—bukankah kau sangat nakal? Padahal aku sedang menahan diri dari tadi,"
Nada dan pandangan Naruto pada Hinata tampak berubah, membuat si pemilik surai indigo itu tampak terkejut dan refleks mundur hingga belakangnya menyentuh pintu.
"a…apa maksudmu, Namikaze-san—"
Naruto mendekatkan dirinya pada Hinata, memeluk gadis itu dan mulai menciumi leher Hinata, mengelus bagian belakang tubuh Hinata yang sensitive. Mengerti apa yang diinginkan Naruto, Hinata terus mendorong tubuh lelaki itu, tak akan dibiarkannya lelaki itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Tertawa kecil melihat usaha sia-sia Hinata, Naruto mendekatkan bibirnya pada telinga Hinata dan menjilatinya, seraya berbisik,
"jangan lakukan hal yang percuma, Hyuuga-san, karena aku akan mendapatkan hal yang kuinginkan,"
TBC
Hello, Alicey Riz here! ini adalah kali pertama aku nge-post fic disini dan ini juga kali pertama ngebuat fic dark theme gini. chapter 1 emang ngebosenin sih, tapi chapter selanjutnya ngga gitu kok XD wkwk. mohon maaf fic ini jika ada kekurangan, masih baru sih XD
mind to read and review?
