Warnings: AU; OOC (...of course); oblivious!Ciel; Sebastian is pining for him for AGES and he is such a perfect boyfriend material FFS someone please give him a medal; basically they're both too idiot to realize they love each other LOL; tightpanties daddy!Vincent (but he's actually not that bad tho); Rachel is both cinnamon roll and mega cool mom. Nothing explicit except some sexual talks and innuendos here and there.

Anyway, please humbly accept this apology fic—it was made in honor to please your hunger for SebaCiel romantic story in my amateur words. And because I know you are already tired of waiting and I'm just nice like that.

Find a snug warm bed, make a cup of tea, snatch a couple of biscuits, and read away. This story will be published in 2 parts, which the following will be posted immediately.

You're welcome.


Bip bip.

"…Mmmmmmhhalo."

"Ciel?" suara Vincent di seberang sangat jelas merepresentasikan dahinya yang berkerut meskipun Ciel tidak secara langsung dapat melihatnya, "Kau begadang lagi? Sudah kubilang untuk lebih memperhatikan kesehatanmu dan—"

"Huh? Tidak. Aku hanya sedang... tidak enak badan." Ciel berdeham untuk menyembunyikan suaranya yang serak yang memang terdengar seperti orang baru tidur—kenyataanya ia baru tidur selama 2 jam dan matahari sudah nyaris bertengger di ubun-ubun. "Dan aku tau betul begadang itu tidak baik untuk kesehatan sejak pertama kali Ayah menasehatiku untuk tidak begadang delapan tahun yang lalu."

"Dan kau tetap saja melakukannya." sindir Vincent. Ciel memutar matanya. "Bagaimana kabarmu? Oh, tunggu, coba kutebak. Kau terlalu mendedikasikan dirimu kepada proyek independen sampai-sampai kau melewatkan seminggu waktu tidurmu dan kelas pagimu untuk yang kesejuta kalinya?"

"Kurang lebih begitu." Ciel menjawabnya dengan raut masam. Yah, harus ia akui ayahnya adalah seorang maestro sarkasme abad 21 dan ia tahu betul sifat itu seratus persen telah diturunkan kepadanya, dan ia tidak mau berkomentar banyak tentang hal itu.

"Sudahlah, aku dan Ibumu sudah terlalu lelah untuk menasehatimu. Lakukan sesuka hatimu." Vincent menghela nafas. "Aku hanya ingin mengingatkan kembali mengenai libur musim semi minggu depan."

Ugh. Tidak. Tidak ini lagi. Tidak sekarang.

"Ayolah, Ayah. Sudah kubilang aku tidak mau." Ciel menaruh telapak tangannya untuk menutupi kedua matanya seolah membatin matilah aku. "Bahkan Lizzie pun mengerti dan Paman Bibi Middleford kelihatan tidak terlalu mempermasalahkan saat aku menolaknya."

"Itu karena Elizabeth memiliki alasan yang masuk akal dan kau tidak melalukan apapun selain membelanya. Ciel, ini tidak hanya menyangkut masa depanmu, tapi juga masa depan Funtom Company. Funtom Company butuh individu yang memiliki kapabilitas untuk menjalankan bisnisnya, dan menjodohkanmu dengan Elizabeth adalah salah satu jalan yang terbaik." Vincent berkeras.

"Ayah, keputusan itu sungguh tidak masuk akal karena Lizzie adalah keponakanmu dan aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri dan apabila aku menikah dengannya itu akan menjadi sangat canggung." dengusnya, "Tunggu, memangnya ada jalan lain?"

"Tentu saja. Jika tidak ada titik temu antara kau dan Elizabeth maka aku hanya perlu mencari anak kolegaku yang lain untuk dijodohkan denganmu."

"Yang benar saja! Jelas-jelas itu cara yang sama, hanya objeknya saja yang berbeda!" protesnya.

"Lalu apa yang harus kulakukan? Memaksamu banting setir ke sekolah bisnis?"

"Bukankah seharusnya frasa 'lakukan sesuka hatiku' sudah termasuk Ayah untuk tidak memaksakan masa depanku?"

"Tapi kau sudah terlalu lama hidup tanpa batasan dan lama kelamaan itu bisa membuatmu kehilangan arah, Ciel!" Vincent terdiam beberapa saat, mengatur nafasnya sebelum kembali berkata dengan intonasi yang jauh lebih stabil. "Dengar. Aku dan ibumu sudah bisa menerima kenyataan bahwa kau sama sekali tidak tertarik dengan dunia bisnis sejak kau memutuskan untuk masuk ke sekolah seni, tapi kumohon mengertilah. Kau putraku satu-satunya dan aku tidak membangun perusahaan ini dari nol untuk diserahkan kepada orang lain."

"Ya, Ayah. Aku mengerti. Aku sangat mengerti." Pemuda itu memejamkan matanya, perlahan kembali menyandarkan diri ke tempat tidur. "Tapi...ugh, aku tidak bisa jika untuk yang satu ini."

Entah kenapa pernyataan itu kembali membuat Vincent nyaris gagal menahan kontrol emosinya. "Kau selalu tidak bisa untuk 'satu hal' dan beribu-ribu 'satu hal' lainnya. Kau tahu, Ciel, Aku sudah sangat lelah dalam menghadapi sikapmu yang seperti ini. Kumohon padamu untuk memberikan satu alasan yang tidak akan membuatku tega untuk mencekikmu walaupun kau adalah darah dagingku sendiri."

Oh tidak, batinnya. Alasan apa yang kira-kira dapat meyakinkan ayahnya untuk menggagalkan perjodohan sialan ini? Ayolah, otak, kenapa kau malah berhenti berfungsi saat aku sangat membutuhkan ide-ide cemerlang?

"Itu karena aku..."

"Hmm?"

"…Karena aku gay."

000

"Kupikir kau telah berjanji untuk tidak tertawa, Sebastian."

Ciel bersungut sambil memalingkan wajahnya ke pemuda berambut hitam yang kini tengah kesulitan untuk menghentikan tawanya. Ia terkikik kecil saat melihat wajah Ciel yang kurang tidur bercampur kesal sebelum akhirnya berdeham dan diam, namun dengan senyum geli yang sepertinya tak bisa lepas dari wajahnya.

"Itu tawa kagum, oke? Aku sangat kagum padamu. Sungguh. Kau tahu, butuh waktu bertahun-tahun bagiku mempersiapkan diri untuk memberitahu orang tuaku kalau aku biseksual," Sebastian menggigit bibir bawahnya sebelum kembali tertawa, "sedangkan kau hanya butuh 5 menit percakapan telepon untuk mengatakan 'aku gay' pada ayahmu dan bahkan kau sendiri tidak terlihat yakin kalau kau memang gay!"

"Pertama, aku tidak pernah bilang kalau aku tidak yakin." Ciel membela diri. "Kedua, bisakah kau menghentikan tawa bodohmu itu sebelum aku memutuskan untuk menonjok wajahmu yang menyebalkan?"

"Uh, baiklah, maaf." cengirnya sebelum sesuatu yang dikatakan Ciel membuat sebelah alisnya terangkat karena heran. "Tunggu, maksudmu kau benar-benar yakin kalau kau itu gay? Seratus persen gay?"

Ciel terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu sebelum membuka mulutnya. "...ya?"

Sebastian tampak tidak terkesan. "Kau yakin kau sudah meyakinkan ayahmu dengan cara seperti itu?"

"Sebastian, kupikir kau sudah cukup lama mengenalku sampai kau seharusnya tidak perlu lagi bertanya." Ciel berdecak. "Alois, ingat?"

"Apa?" pemuda yang lebih tinggi itu mengerinyitkan dahinya. "kupikir Alois hanya... yah, sebatas eksperimen. Satu fase. Kau tahu, di usia seperti itu memang sewajarnya kau memiliki krisis identitas."

Awalnya Ciel berniat untuk membantah Sebastian, tapi setelah dipikir-pikir kembali ia merasa perkataan Sebastian ada benarnya.

"Ya... memang awalnya aku dan Alois bermaksud seperti itu, tapi seiring berjalannya waktu aku merasa hubunganku dengan Alois membuatku merasa jauh lebih baik dibandingkan hubunganku dengan, eh, yah, wanita secara umum, walaupun pada akhirnya kita harus mengakhirinya. Jadi, yah... kupikir aku memang gay." ujarnya sedikit tak yakin.

"Begitu." Walaupun Ciel tidak melihat wajah Sebastian secara langsung, ia yakin ia mendengar sesuatu seperti kelegaan dari intonasi pemuda itu.

"Yep. Begitu."

Sebastian mengedikkan bahu. "Yah, kurasa tak ada salahnya jika kau baru menyadarinya sekarang, maksudku, setelah kau memutuskan hubunganmu dengan Alois dan kau baru menyadari kalau kau itu gay. Aku benar-benar tidak mempermasalahkan hal itu. Kau bisa menyukai siapa saja. Tidak ada yang bisa melarangmu. Aku juga bukan tipe yang suka memberi label kepada setiap orang yang aku temui dan menilainya hanya berdasarkan label itu. Heh, kedengaran dangkal." racaunya.

"Oke, oke." Ciel tertawa kecil. Tidak setiap hari ia berkesempatan untuk melihat Sebastian meracau, dan jika hal itu terjadi entah kenapa menurutnya hal itu membuat Sebastian terlihat lucu.

"Lalu, ngomong-ngomong," Sebastian memperlambat langkahnya ketika mereka mendekati area penyebrangan, "Apa ayahmu benar-benar percaya begitu saja dan akhirnya setuju untuk membatalkan perjodohan itu?"

Ciel menepuk jidatnya, dan hal itu membuat Sebastian semakin heran.

"Justru disitulah letak masalahnya." ia meringis. "Otakku terlalu rusak untuk berfungsi dengan baik sampai aku melupakan bahwa ayahku jauh lebih pintar dibanding aku."

"...dan?"

"Kau tahu, awalnya ia hanya tertawa dan berkata kalau itu hanya alasan bodohku saja karena aku terlalu lelah untuk berpikir. Tapi sepertinya otakku berkata lain dan aku bilang padanya kalau aku tidak main-main karena aku sedang menjalani hubungan dengan seseorang."

Setelah mendengar alasan Ciel, Sebastian hanya bisa terdiam dengan raut wajah seakan mengatakan 'wow'. Ciel pun mengela nafas melihat reaksi pemuda berambut hitam itu.

"Ya, aku tau aku itu bukan langkah yang bijak, tapi kau tahu aku, Sebastian. Otakku ini tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya sebelum aku meneguk habis secangkir kopi hangat."

"Tapi aku belum terlalu mengerti dimana sebenarnya letak permasalahanmu." ujar Sebastian ragu-ragu, ia menangkap sorot mata Ciel yang seakan mencoba memberitahunya sesuatu. "Bukankah—oh, tunggu, sekarang aku tahu."

Ciel menatapnya lebih lama, seakan mendesak Sebastian, tapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Ayahmu hanya akan percaya hanya jika ia melihat 'seseorang' itu secara langsung, kan?" Ciel mengangguk pelan, jelas-jelas terlihat bersalah. "Oke, harus kuakui itu memang bukan langkah yang bijak."

"Uh-huh."

Sebastian menggeleng, kerutan di dahinya terlihat semakin jelas. "Lalu ada apa dengan tatapan bersalah itu?"

Pemuda bermata azure itu pun meringis, langkahnya berubah canggung seolah-olah low boots Dr. Martens miliknya mendadak terasa 2 ukuran lebih kecil.

"Jadi, Sebastian, kurasa aku..." Ciel memejamkan matanya sejenak lalu membukanya kembali dan memfokuskannya ke trotoar, bukan Sebastian, "kurasa aku... dengan sangat tidak sengaja mendeskripsikanmu sebagai 'seseorang' itu kepada ayahku."

Hening.

"...Sebastian?"

Ciel akhirnya memberanikan dirinya untuk mendongak dan menatap wajah Sebastian. Akan tetapi, bukannya mendapati pemuda itu berkata 'dasar sinting' atau 'idih!' seperti yang ia bayangkan, ia malah terheran-heran dengan ekspresi terkejut dan, uh—menahan tawa?— dari Sebastian.

"Uh, apakah kau bisa mengatakan sesuatu?" cicit Ciel. "Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan karena responmu yang membingungkan ini."

Dan, bam, Sebastian langsung tertawa terbahak-bahak, menyebabkan orang-orang yang berada di sekitar mereka menoleh ke arah mereka. Wajah Ciel merah padam akibat atensi orang-orang terhadap tawa lepas Sebastian yang berada di sampingnya. Ciel pun menyikut rusuk Sebastian dengan sedikit jengkel.

"Ya ampun, bisakah kau untuk tidak menarik perhatian orang-orang dengan tawamu itu?" keluh Ciel sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Aku benar-benar sudah lelah ditertawai olehmu dan sekarang ini malah bertambah menyebalkan."

"Ciel, kau memang benar-benar luar biasa." Sebastian memegangi perutnya yang keram akibat terlalu banyak tertawa. "Tapi, maksudku, sungguh, apa yang terjadi padamu sampai-sampai kau membohongi ayahmu dan mengatakan bahwa kita berdua adalah pasangan?"

"Aku tidak tahu!" desisnya. "Aku panik, oke? Ayahku bilang dia sudah benar-benar muak dengan semua omong kosong ini dan sungguh akan membuatku pindah ke sekolah bisnis! Dan kali ini dia tidak akan main-main, aku tahu itu!"

Sebastian tergelak lagi, lalu menggelengkan kepalanya. "Dan dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi, satu-satunya orang yang terlintas di otakmu hanya aku?"

"Dan dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi, satu-satunya orang yang yang aku kenal baik adalah kau!" protes Ciel defensif, dan seketika Sebastian menghentikan tawanya.

Ciel berdecak pelan sebelum menyambung perkataannya. "Aku bukan tipe orang yang mudah berteman, kau tahu itu. Tidak semua orang menyukai aku dengan sifatku yang selalu menyulitkan orang. Satu-satunya hal yang membuat orang tertarik denganku hanyalah garis keturunanku yang membawa begitu banyak keuntungan finansial bagi mereka." ia tersenyum lemah, lalu berjengit ketika satu tangan hangat bertengger di pundaknya.

"Hei," ujar Sebastian pelan, "kau selalu merendahkan diri. Itu tidak baik, kau tahu. Tidak semua orang menganggap dirimu seperti yang kau pikirkan, walaupun kau tidak tahu itu."

Pemuda yang lebih kecil itu tersenyum simpul. Sebastian selalu tahu bagaimana cara mengatasi masalah kepercayaan dirinya. "Hati-hati, Sebastian. Jika kau terus-terusan seperti itu kau akan hanya memanjakan egoku."

Sebastian tertawa, namun kali ini terdengar lebih santai dibanding mengejek. "Mengingat kau adalah anak pemilik perusahaan multinasional yang mungkin akan berguna untukku mendaki karir dengan instan setelah lulus dari sekolah bisnis ini." candanya. Ciel memutar matanya karena ia tahu betul Sebastian tidak pernah bermaksud seperti itu. "Yah, biarpun kau memang sedikit menyulitkan, tapi kurasa kau cukup oke."

"Hanya 'oke'? Kenapa, Sebastian, apakah satu setengah tahun belum cukup untuk mengetahui seberapa kerennya aku?" Ciel menangkupkan tangan kanannya di dadanya dengan dramatis, dah hal itu membuat Sebastian memutar matanya dengan jenaka. "Jadi... kau tidak marah? Kau tidak keberatan untuk menjadi pacar palsuku?"

"Marah? Tentu saja tidak." jawab Sebastian santai. "Dan keberatan? Yang benar saja. Bukankan seharusnya teman yang baik selalu ada saat temannya kesusahan?"

Sesuatu terasa meledak di dalam dada Ciel, entah apapun itu, tapi hal itu membuat dadanya dipenuhi rasa hangat. "Kau, Sebastian, adalah yang terbaik."

"Yah." cengir pemuda berambut hitam. "Jadi, apa yang harus kulalukan untuk membuat ayahmu percaya? Mengirim foto-foto kita sebagai bukti? Video call dengan Skype?"

"Tentu saja tidak. Ayahku akan berpikir kalau aku hanya perlu membayar sembarang orang untuk melakukan hal itu." ia terdiam selama beberapa saat. "Oh. Oh."

"Oh?"

"Memang harus begitu." Ciel bergumam kepada dirinya sendiri lalu berpaling kepada Sebastian yang menatapnya keheranan. "Kurasa akan lebih baik jika aku mengajakmu bertemu orang tuaku akhir pekan ini."

"Wow, kau baru saja menjadikanku pacar palsumu tiga puluh detik yang lalu. Dan sekarang kau mengajakku untuk bertemu orang tuamu. Bukankah menurutmu itu terlalu cepat, sayang?" canda Sebastian, tapi sebersit rasa gugup tersirat di suaranya.

"Eww, hentikan, panggilan seperti itu membuatku merinding." Ciel berpura-pura bergidik sementara Sebastian menyikutnya pelan. "Menurutku jika kita memperlihatkan yang sebenarnya kepada ayahku maka ia akan benar-benar percaya."

"'Jika kita memperlihatkan yang sebenarnya'?" kutip Sebastian, "Apa maksudmu dengan 'sebenarnya'?"

Ciel mengedikkan bahunya. "Yah, kau tahu, seperti berpelukan, berciuman, melakukan hal yang tidak senonoh di depan umum—"

"Ciel," Sebastian menyela dengan sopan, sorot matanya berubah dari bingung menjadi sedikit cemas. Tunggu—cemas? "kau tahu kalau tidak semua pasangan harus melakukan hal seperti itu agar diakui sebagai pasangan, kan?"

"Eh? Tapi bukannya semua pasangan selalu seperti itu? Menebar PDA tanpa peduli dimanapun mereka berada?" Ciel mengerinyitkan dahinya. Sebastian menggeleng dan meringis.

"Kurasa kau sudah terlalu lama bergaul di lingkungan yang salah." ujar Sebastian. "Kita tidak harus melakukan hal-hal yang berlebihan seperti itu untuk menunjukkan perasaan kita kepada seseorang."

"Oh." pemuda bermata azure itu bergumam, lalu mengangguk kecil. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Jujur saja, aku tidak dapat memikirkan ide-ide lain seperti yang sudah kusebutkan."

Sontak Sebastian mengentikan langkahnya. Ciel refleks mengikuti pergerakan pemuda itu dan mendapati dirinya kembali ditatap oleh dua pasang mata penuh kecemasan.

Ugh, ada apa dengan Sebastian hari ini? Sepertinya ia terlalu banyak mencemaskan hal yang tidak penting dan itu membuatku tidak nyaman, gerutu Ciel dalam hati.

"Kau yakin kalau kita bisa membuat rencana ini berhasil?" tanya Sebastian serius.

"Hah? Tentu saja."

"Apa kau percaya padaku?"

Ciel berdecak, pertanyaan Sebastian ini mulai tidak masuk akal. "Kau pikir kalau aku tidak percaya padamu mana mungkin aku—um, Sebastian?"

Sebastian sudah langsung tahu apa inti jawaban Ciel dibalik segala basa basinya, dan tanpa ba-bi-bu pemuda itu langsung menggenggam tangan Ciel lalu terus berjalan seolah hal itu adalah hal yang lumrah.

"Hm?" respon Sebastian sekenanya. Merasa hal itu tak cukup, Ciel menarik tangan Sebastian pelan, seolah memaksa. "Apa?"

"Jadi... berpegangan tangan?" ujar Ciel, setengah terkesan dan setengah geli. "Tak kusangka kau adalah lelaki romantis. Kupikir pasangan berpegangan tangan hanya ada di drama picisan."

Sebastian menghela nafas. "Kau benar-benar sudah terlalu lama bergaul di lingkungan yang salah."

Ciel mendadak cemberut. "Hei, jangan salahkan aku. Salahkan lingkungan seniman yang seperti kehidupan dari dunia lain. Ngomong-ngomong, kau tidak harus berpura-pura dari sekarang. Kita masih punya waktu dua hari lagi sampai akhir pekan."

"Kau tidak serius mengatakannya, kan? Kau pikir kita bisa berpura-pura dengan baik tanpa dicurigai oleh orang tuamu?" Sebastian mendelik ke arah Ciel. "Aku hanya memegang tanganmu dan kini cara berjalanmu seketika berubah seperti robot mainan kehabisan baterai. Aku lebih merasa seperti seorang penculik dibanding seorang pacar."

"Apa? Enak saja! Aku tetap berjalan seperti biasa, kok!" Ciel mengelak sengit, akan tetapi ia bisa merasakan hawa hangat yang menjalar dari leher ke wajahnya seolah mengkhianatinya.

"Kau sungguh aktor yang payah." keluh Sebastian. "Pertama-tama, kita perlu memoles kemampuan beraktingmu. Sebagai latihan, kita akan mencoba membuat orang-orang di tempat ini percaya bahwa kita adalah pasangan yang saling mencintai."

Sebelum Ciel dapat memprotes lebih lanjut, Sebastian menariknya masuk ke coffee shop terdekat. Beruntung saat itu sudah lewat makan siang dan tempatnya tidak begitu ramai sehingga mereka tidak perlu berdesakan mencari tempat yang kosong. Sebastian langsung berjalan menuju ke kasir, sementara Ciel hanya bisa pasrah mengikuti pacar palsunya itu karena tangan mereka yang saling bertautan.

"Ada yang bisa kubantu?" wanita kasir di depan mereka bertanya dengan wajah datar. Sebastian tersenyum sambil mendekatkan badannya ke Ciel yang masih pasif.

"Satu pumpkin spice latte ukuran sedang, satu signature black coffee dan enam donat madu." ujarnya sambil tetap menatap daftar menu yang terpampang di atas si kasir berdiri. "Oh, dan juga satu kukis cokelat yang besar."

"Pumpkin spice latte, Sebastian? Bahkan musim dingin baru saja selesai." cibir Ciel. Sebastian hanya tersenyum kepadanya dan terus membiarkan Ciel menggerutu. "Dan perutmu bisa meledak kalau kau makan enam donat madu sekaligus."

Senyum Sebastian semakin lebar ketika ia melepas genggaman tangannya untuk merangkul pundak Ciel dan mengecup sisi keningnya yang tertutupi helaian rambut biru-kelabu. "Kau khawatir tentang telalu banyak hal, sayang. Kau akan cepat bertambah tua." ia menoleh kembali ke wanita kasir. "Pacarku ini terlalu mengkhawatirkan kesehatanku. Bukankah itu sangat manis?"

Wanita kasir itu sama sekali tak tampak terkesan. "Semuanya jadi dua puluh delapan dollar empat puluh sen. Sambil menunggu minuman anda siap, apakan ada lagi yang bisa kubantu?"

"Tidak. Itu saja, terima kasih." ia memberi sejumlah uang kepada si wanita kasir sebelum Ciel sempat mengeluarkan kartu kreditnya. Sebastian mengambil kukis cokelat yang sudah diantarkan di hadapannya dan menaruh kukis itu ke mulut Ciel yang menganga saat pemuda itu siap melontarkan protesnya. "Sekarang, sayang, maukah kau mencari tempat duduk selagi aku menunggu minuman kita datang? Hmm?"

Mau tak mau Ciel hanya bisa menggerutu di balik mulutnya yang tertutup kukis cokelat ekstra besar.

000

"Usahamu tadi sepertinya tidak begitu efektif." ujar Ciel sambil menopang dagunya, terlalu fokus melihat Sebastian yang dengan cepat melahap donat madunya yang keempat tanpa ada tanda-tanda kekenyangan sedikit pun. "Si wanita kasir tadi tampak tidak begitu yakin dengan akting kita."

"Ayolah, Ciel, melihat pasangan saling berpegangan tangan dan berangkulan satu sama lain bukanlah hal yang baru wanita tadi di dalam pekerjaannya. Aku yakin dia sudah melihat yang lebih konyol dibanding apa yang tadi kita lakukan." respon Sebastian sebelum menyeruput minumannya. "Lagipula, apakah kau tidak memperhatikan gadis-gadis di depan jendela itu tak henti cekikian semenjak kita memasuki tempat ini? Bahkan aku bisa mendengar setengah dari pengunjung tempat ini ber-aww ria saat aku merangkul dan menciummu."

Ciel mengerucutkan bibirnya. "Lama-lama kau mulai menjadi tokoh drama yang terlalu dimabuk cinta dan menurutku itu sangat aneh."

"Kau pikir ini aneh?" Sebastian mengerjapkan matanya. "Serius, Ciel. Apa yang biasanya kau lakukan selama kau masih bersama pasanganmu yang sebelumnya? All sex, no affection?"

"Jangan sok tahu, Sebastian. Aku hanya merasa hal ini terasa konyol. Itu saja." Ia menggaruk pipinya yang tidak gatal sebelum menambahkan, "Tapi konyol dalam artian yang baik."

"Hmph." sekilas Sebastian menatapnya seakan menyatakan rasa kasihan, tapi buru-buru memalingkan wajahnya ke jendela dan mulai melahap donat madunya yang kelima. "Entah kenapa aku bersyukur kau sudah tidak terjebak dengan orang-orang yang membuatmu berpikiran seperti itu."

"Aku juga. Yay. Aku benci hidupku." Ciel memutar matanya.

"Lalu," Sebastian mengalihkan topik pembicaraan, "ada rencana spesifik mengenai kunjungan kita nanti? Seperti, um, kapan kita harus berangkat atau beberapa hal yang bisa aku ketahui mengenai keluargamu, mungkin?"

Ciel berdeham. "Kita harus berangkat sebelum ayah dan ibuku terbang ke Manila. Um, malam Sabtu kelihatannya oke. Mereka kini sedang menetap di salah satu rumah kami di Long Island. Kalau tidak salah sejak satu minggu yang lalu karena Ayah sedang ada urusan bisnis dengan keluarga Middleford."

"Middleford?" potong Sebastian. "Bukankah itu nama keluarga gadis yang akan dijodohkan denganmu?"

"Ya, Elizabeth Middleford, Lizzie, anak dari Alexis Middleford." Ciel membetulkan. "Fun fact, Lizzie adalah sepupuku, dan hal itu adalah salah satu alasan mengapa aku menolak perjodohan itu terang-terangan. Rasanya akan sangat canggung apabila aku menikah dengan orang yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Untung saja Elizabeth menolak mentah-mentah karena dia baru saja dilamar oleh pacarnya yang baru saja pulang dari Austria."

"...Ooooke. Harus kuakui itu memang kedengaran sangat canggung." Sebastian mengangguk, ia menyimak cerita Ciel seakan sedang menghadiri kuliah umum. "Lalu bagaimana dengan ayah dan ibumu? Apakah ada beberapa hal yang harus aku ketahui selain, yah, apa yang tertulis di majalah?"

Sejenak Ciel tampak berpikir keras, sebelum akhirnya berdeham dan buka suara. "Ayahku lebih dari sekedar businessman cerdas dan ibuku lebih dari sekedar sosialita Beverly Hills, jika kau menganggap majalah-majalah bodoh itu terlalu serius. Ayah, uh, dia memang cerdas dan licik seperti pelakon bisnis seperti umunya, sampai-sampai ia menerapkan ilmunya itu dalam menjalankan fungsi keluarga. Haha." ia terkekeh kecil. "Dan Ibu... kurasa ibuku seperti ibu-ibu normal kecuali ia selalu menghabiskan empat dari tujuh hari dalam seminggu untuk mengadakan gala penggalangan dana untuk yayasan sosialnya."

"Itu tidak kedengaran seburuk yang kubayangkan." komentar Sebastian.

"Oh, tunggu sampai kau bertemu dengan mereka secara langsung."

"Gee, aku semakin tidak sabar."

"Ayolah, Sebastian." Ciel menggunakan nada seolah sebal meskipun senyum kecil terpasang di wajahnya. "Kau hanya akan memuaskan egoku apabila kau terus menanggapi sarkasme dariku seperti itu."

"Siapa lagi yang bisa memuaskan ego Ciel Phantomhive selain aku dan kukis cokelat raksasa tadi?" Sebastian menggoda Ciel yang kini benar-benar kelihatan sebal. "Hei, tidak ada salahnya untuk mengakui bahwa makanan favoritmu adalah kukis cokelat. Itu sama sekali tidak terlihat kekanakan. Lagipula aku mengingat hal itu dan favoritmu yang lain yaitu kopi hitam. Apakah sekarang aku sudah menjadi pacar palsumu yang baik?"

"Terserahmu sajalah." Ciel mendengus. "Eh, Sebastian?"

"Ya?"

"Kau mau imbalan yang seperti apa?" tanya Ciel sekenanya "Sebagai rasa terima kasihku, kurasa aku harus memberikan sesuatu kepadamu."

Sebastian terdiam. Ciel menunggu, sementara pemuda di hadapannya terus memandangnya lekat-lekat.

"Aku tahu betul kau sudah cukup melukai egomu dengan cara mengatakan terima kasih seperti itu." jawab Sebastian ringan tanpa menghiraukain Ciel berseru Hei! tanda tidak setuju. "Tapi kurasa aku hanya menginginkan satu hal darimu."

"Apapun maumu."

"Satu stadion futbol di Mississipi atas nama Sebastian Michaelis."

"Lebih baik kau mati saja."

"Hei, aku cuma bercanda." Balas Sebastian datar. "Aku ingin kau berhenti menganggap dirimu tak lebih dari mesin uang berjalan dan tak berguna tanpa itu." mata crimson Sebastian terus terpaku pada mata azure Ciel. "Aku hanya ingin kau lebih menghargai dirimu karena aku tahu kau memang lebih dari itu."

Harus Ciel akui, ia sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Sebastian. Tapi bukan Ciel namanya kalau ia tidak bisa menyembunyikan emosinya. "Hmm, kedengaran sulit. Tapi akan kucoba."

Sebastian masih memberinya tatapan yang sama, "Kau dengar aku."

Pemuda yang lebih muda itu pun tak dapat menahan gejolak aneh di perutnya. "Baiklah, Tuan Michaelis. Akan aku lakukan persis seperti apa yang anda perintahkan." Ia meneguk sisa kopi hitamnya seakan hal itu akan membuat perutnya lebih tenang. "Hei, aku baru ingat kalau kau yang membayar kopi dan kukis ini. Kurasa akan sangat lebih adil jika aku menraktirmu latte dan donat madu seumur hidup."

"Itu terlalu berlebihan—"

"Bertemu orang tuaku akan menguras kekuatan fisik dan mentalmu, Sebastian. Itu bukanlah hal yang mudah dan jika aku meminta pertolongan kepada orang lain selain kau aku yakin mereka akan meminta traktiran whiskey on the rocks seumur hidup alih-alih latte dan donat madu."

Sebastian tampak menimbang sebelum akhirnya berkata, "Hmm, cukup adil."

"Sepakat, kalau begitu."ujar Ciel kelewat riang. "Oh, aku hampir lupa. Sepertinya kita harus mengarang-ngarang sesuatu tentang bagaimana 'hubungan' kita kepada orang tuaku. Bisa gawat kalau saja memberikan informasi yang berbeda."

"Mudah saja." Sebastian mengibas tangannya dengan santai. "Ceritakan saja sesuai dengan apa yang sudah kita lakukan. Kita bertemu kira-kira satu setengah tahun yang lalu lewat seorang teman... atau beberapa teman... kenyataannya begitu dan cukup masuk akal untuk cerita pertemuan pertama bagi pasangan, kan? Lagipula kau terlalu banyak menghabiskan waktu bersamaku setiap harinya, Ciel, mengingat fakta kalau aku satu-satunya orang yang kau kenal baik." sindirnya, membuat Ciel berdecak sebal.

"Benar juga, sih. Kelihatannya untuk mengarang-ngarang cerita tentang itu tidak terlalu sulit. Cukup menambahkan sedikit bumbu-bumbu romantis… mengingat fakta kalau kau sesungguhnya adalah seorang prince charming yang sedang menyamar demi melaksanakan sebuah misi." Ciel membalikkan sindirannya. "Kita akan berangkat menjelang malam agar sesampainya disana kita tidak akan perlu langsung berurusan dengan orang tuaku karena mereka tidak akan mau menganggu jam tidur mereka yang sangat berharga."

"Tidak masalah." Setelah melahap donat madunya yang keenam, akhirnya Sebastian menyandarkan dirinya ke kursi tanda menyerah.

"Ngomong-ngomong," Ciel memotong kesunyian setelah beberapa saat. "Ada catatan mata kuliah baru milikmu yang bisa kupinjam lagi?"

Sebastian mengangkat sebelah alisnya, namun tak bergeming dari posisinya yang terlalu nyaman bersandar di kursi. "Bukannya kau baru saja menyelesaikan Studyblr dari catatan mata kuliah Perilaku Konsumen-ku dua hari yang lalu? Ada apa sebenarnya dengan obsesi antara dirimu dengan catatan-catatanku? Lama kelamaan obsesimu menjadi semakin tidak sehat."

"…Tidak apa-apa. Membuat Studyblr sangat membantu otakku berpikir jernih, kau tahu itu." dengan cepat Ciel berkilah. "Lagipula, yah, sepertinya kita memang pantas mendapatkan waktu luang sampai tiga hari ke depan untuk mempersiapkan diri. Ugh, bahkan aku sudah bisa merasakan kelelahan fisik dan mental yang akan aku dapatkan selama mengunjungi mereka."

"Kau ini berlebihan sekali." Sebastian menggelengkan kepalanya, mafhum dengan sarkasme Ciel yang tiada akhir. "Cobalah untuk benar-benar menggunakan waktumu untuk beristirahat, oke? Kau tidak akan kehilangan jiwa senimu apabila kau tidak begadang selama beberapa hari, kau tahu."

"Ya ampun, Sebastian, begadang adalah nafas dari semua insan seni. Aku akan mati apabila tidak melakukannya." canda Ciel sambil mendramatisasi intonasi suaranya, membuat Sebastian memutar matanya dengan jenaka. "Tapi kurasa aku bisa melewatkan kebiasaan begadangku itu apabila aku tidak terlalu membuat kunjungan ini menjadi masalah besar dan memikirkannya terlalu jauh. Jadi kau bisa bantu berdoa untukku agar aku bisa menjaga diriku dari stres yang tidak masuk akal ini selama lima hari ke depan, yeah?"

000

Tok tok tok.

"Ciel? Ini aku, Sebastian. Boleh aku masuk?"

Terdengar suara menggeram dan menggerutu dari balik pintu kamar Ciel. Sebastian menganggap itu sebagai ya dan memutar kenop pintu itu dengan hati-hati.

"Hei, apa kau baik-baik saja? Seharusnya kita sudah berangkat tadi malam tapi kau tidak menghubungiku lalu kupikir kau memang berencana mengganti jadwal keberangkatan kita. Sekarang sudah jam lima pagi dan kau tidak membalas pesanku jadi—astaga Ciel kau pasti bercanda."

Sebastian menyilangkan tangannya di depan dada melihat Ciel yang berbaring di lantai, separuh tubuhnya beralaskan kanvas besar dengan lukisan setengah jadi. Di sekeliling pemuda biru kelabu itu berceceran cat akrilik dalam berbagai warna dan ukuran, palet yang sudah kehilangan warna aslinya karena sudah ditimpa beribu warna cat, kuas lukis, kain perca, kertas-kertas fotokopian, dan buku-buku tebal bertuliskan 'Pengantar Ekonomi Makro' dan 'Finance for Dummies'.

…Apa? Kenapa ada buku—

"Sebastian?"

Mata azure pemuda itu membuka dan menutup pelan tanpa reaksi spesial melihat kedatangan si mata crimson. Melihat air muka Sebastian yang tampak tidak terkesan, Ciel menghela nafas dan bangkit untuk duduk dan mengucek matanya yang sembab.

"Aku telah gagal, Sebastian. Semakin aku mencoba untuk tidak memikirkannya semakin aku bertambah stres."Ciel berkata dengan sama sekali tidak koheren, rasa kantuk masih kental terdengar dari suaranya. "Bisakah kita membatalkannya saja?"

"Tidak, kecuali kau memang ingin dicap sebagai pembohong oleh orang tuamu sendiri." Ciel mengerang dan memejamkan matanya kembali setelah mendengar putusan Sebastian yang masuk akal. Ia bakan terlalu lelah untuk membuka matanya kembali untuk melihat Sebastian yang tanpa basa-basi mengambil ransel milik Ciel dan memasukkan beberapa barang yang ia rasa akan dibutuhkan oleh pemuda itu selama akhir pekan.

"Kau bisa berdiri?" tanya Sebastian sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Ciel sementara tangan kirinya memegangi ransel yang setengah penuh. Ciel mengangguk dan meraih tangan Sebastian yang menariknya dan memposisikan dirinya sebagai penyeimbang, dengan tangan kananya yang kini beralih ke pinggang Ciel agar pemuda itu dapat berjalan tanpa harus tersandung setiap jarak lima kaki. Sebastian hendak menutup pintu kamar ketika Ciel tiba-tiba bergumam.

"Sebentar, aku melupakan charger tablet-ku"

"Sudah kumasukkan ke dalam ranselmu."

"Kunci mobilku ada di atas meja belajar."

"Kita pakai mobilku."

"Ugh, aku harus meminum paling tidak lima gelas kopi untuk bisa menyetir dengan benar."

"Aku yang akan menyetir. Aku bisa gunakan GPS dari ponselmu."

Ciel memamemerkan giginya, walaupun matanya masih terpejam. "Kau memang yang terbaik."

Sebastian mendengus.

"Pacar palsu yang terbaik." tambah Ciel sambil menepuk pundak Sebastian tanpa tenaga.

Seperti dengan mukjizat, Sebastian berhasil membopong Ciel menuju mobilnya dari kamar Ciel yang berada di lantai tiga gedung asrama. Ia bisa merasakan pemuda yang lebih kecil itu menggigil kedinginan saat ia membantunya masuk ke kursi penumpang depan yang sudah dialasi duvet sewarna gading. Alih-alih langsung menutup pintu, Sebastian membuka pintu penumpang belakang dan mengambil selimut wool lalu menutupi tubuh Ciel yang sudah bergelung nyaman di atas kursi penumpang beralas duvet. Ciel ber-hmm pelan sambil mengulum senyum kecil tanpa menyadarinya.

"Kau bahkan menyempatkan diri untuk membuat sarang yang nyaman untukku. Hmm." gumamnya. "Kau, Sebastian, bukan hanya yang terbaik. Kau yang paling terbaik. The bestest."

Sebastian tertawa kecil sambil menepuk-nepuk pundak Ciel yang tertutupi selimut wool, gestur yang bermaksud untuk membuatnya kembali tidur, "Masih terlalu pagi untuk membuatku tersanjung."

"Sudah seharusnya begitu." Sebelum Sebastian sempat menutup pintu, Ciel menahan genggamannya di lengan jaket Sebastian sehingga membuat pemuda itu berhenti. "Tunggu. Mana ciuman selamat tidurku?"

Kalimat Ciel barusan membuat Sebastian mengerjap. Ia menatap Ciel dengan tatapan sedikit tak percaya dalam cahaya redup lampu jalanan, mendapati sepasang mata azure itu balas menatapnya walaupun jelas-jelas kelopak mata itu dalam kesulitan untuk tetap terjaga. Sebastian yakin Ciel hanya berkata seperti itu dalam keadaan setengah sadar, tapi ia tak dapat menahan dirinya untuk mendekatkan wajahnya dan akhirnya mengecup sisi hidung Ciel.

"Selamat tidur." bisik Sebastian tanpa bisa menyembunyikan senyumnya, lalu membelai rambut Ciel yang mulai tertidur dengan senyum yang sama di wajahnya sebelum menutup pintu penumpang dan memulai perjalanan mereka.

000

Ciel mulai terjaga saat bau kafein yang samar menyentuh indra penciumannya. Ia menarik nafas dalam-dalam, sedikit terkejut saat mendengar suara pintu mobil yang ditutup dan goncangan yang disebabkan dari sesuatu yang ada di sebelahnya. Pemuda itu pun membalikkan badannya yang semula menghadap jendela ke arah kursi pengemudi yang mendapati sosok Sebastian yang dengan hati-hati membawa sebuah kantong plastik yang cukup besar dan dua gelas kertas bertuliskan In-n-Out yang diduga berisi kopi—dari aromanya, tentu saja—dengan cup holder di tiap-tiap gelas.

"Pagi, Putri Tidur." Sebastian tersenyum lebar sambil menyodorkan segelas kopi ke Ciel yang masih mengusap-usap matanya. Ciel segera mengambil gelas kertas itu sambil menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti m'ksih dan menenggak isinya perlahan, lalu mengerinyitkan dahi.

"Errgh, tidak ada yang lebih buruk dari kopi buatan restoran fast food. Rasanya seperti pupuk kandang kadaluarsa yang diseduh." gerutunya, namun tetap menyeruput minuman itu sampai setengah habis.

"Aku tahu. Maaf. Tapi aku tidak bisa menemukan tempat lain yang menjual makanan favoritmu selain tempat ini." Sebastian mengeluarkan sekotak kukis cokelat yang disambut Ciel dengan mata yang berbinar.

"Permintaan maaf diterima." ujar Ciel kelewat gembira lalu segera melahap kukis cokelatnya. "Um, penglihatanku yang sudah mulai mengabur, atau memang hari ini kau terlihat lebih ceria dibanding biasanya?"

Ciel memerhatikan Sebastian dengan seksama, seolah-olah pemuda berambut hitam itu baru saja menetaskan anak ayam berwarna emas atau apalah. Padahal yang Sebastian lakukan hanyalah mengunyah sandwich tunanya sambil menggumamkan lagu-lagu country yang agak ketinggalan zaman.

Perlahan-lahan Ciel terlihat mulai bertenaga dan wajahnya bersemu merah terkena cahaya matahari pagi. Saat ia kembali meneguk kopinya, tiba-tiba saja ia berhenti dan menatap Sebastian dengan horor seakan teringat sesuatu yang memalukan.

"Oh Tuhan. Aku tidak meminta ciuman selamat tidur padamu saat tadi kita akan berangkat, kan?" cicitnya, "katakan padaku, Sebastian, aku tidak melakukannya, kan?"

Sementara Sebastian hanya bisa mendengus di balik mulutnya yang penuh dengan gigitan sandwich tuna dan memberi Ciel tatapan yang seolah berkata, menurutmu?

Ciel mengerang tanda tak terima. "Tidaaaaak. Kumohon lupakan kejadian memalukan itu, Sebastian. Kau tahu otakku tak bisa berfungsi dengan baik tanpa segelas kopi. Aku janji itu tidak akan terjadi lagi. Ugh."

Pemuda berambut hitam di sampingnya tampak tak terlalu menganggapnya serius dan terus memakan sandwich tunanya sambil mengangkat sebelah bahunya dengan santai, yang berarti menyatakan tidak masalah.

…dan senyum cerianya agak memudar. Tapi tentu saja Ciel tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Sarapan pagi mereka dilewati dalam ketenangan yang canggung sambil berpura-pura menikmati pemandangan Brooklyn Bridge di hadapan mereka dari dalam mobil, walaupun keduanya jelas-jelas terhanyut dalam pikirannya masing-masing. Sebastian hendak membuang bungkusan sandwich tunanya ketika Ciel buru-buru mengatakan ia butuh ke kamar mandi sehingga ia menawarkan diri untuk melakukan hal itu dalam sekali jalan. Sekembalinya Ciel dari kamar kecil, ia mendapati bahwa tempat duduknya yang semula seperti kepompong selimut kini sudah dirapihkan dan Sebastian bahkan sudah menyalakan mesih mobilnya, tanda siap untuk kembali melanjutkan perjalanan.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Sebastian, yang dijawab dengan satu anggukan oleh Ciel.

"Mm-hmm." Pemuda yang lebih muda itu menegerucutkan bibirnya. "Kau tidak mau kugantikan?"

"Tidak,"tolak Sebastian santai, "lagipula kita sudah hampir sampai."

Ciel hanya bisa mengedikkan bahu.

"Ya ampun, Gold Coast! Tentu saja." Sebastian mendadak berseru dan itu membuat Ciel kaget. "Kenapa aku bisa sebodoh ini? Keluagamu sangat kaya raya dan tentu saja kau tinggal di sebuah estate alih-alih rumah." tambahnya seakan-akan tidak percaya.

"Itu tak sehebat yang kau bayangkan, kau tahu?" Ciel meringis. "Bahkan aku lebih menikmati suasana asramaku yang sempit dan berisik dibanding tempat itu."

"Tapi tidak menurutku, Ciel. Estate? Wow. Rasanya seperti hendak mengunjungi Disneyland."

Ciel tersenyum geli melihat gelagat Sebastian yang mendadak terlalu gembira. "Kurang lebih, hanya saja kau tidak akan dapat menemukan penjual kuping Mickey Mouse palsu ketika kau berada disana."

Sebastian memutar matanya dengan jenaka sebelum ikut tertawa. Setelah itu, keheningan menyelimuti mereka berdua sejenak sampai Sebastian merasakan tatapan Ciel membuatnya tidak bisa fokus ke jalanan.

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang menempel di wajahku? Pandanganmu seolah seperti pembunuh bayaran yang mengintai targetnya, kau tahu." Sebastian memecahkan keheningan dengan humornya yang kering. Ciel hanya merespon dengan tawa pendek tanpa melepaskan pandangannya ke Sebastian.

"Tidak, wajahmu baik-baik saja." ia memastikan. "Aku hanya... sesuatu tiba-tiba terpikir di benakku."

"Hmm? Mau berbagi?"

"Aku hanya berpikir… ternyata menjalani hubungan seperti menyenangkan juga." katanya terus terang tanpa basa-basi. "Rasanya aku jadi benar-benar menginginkan hubungan seperti ini."

Sebastian membelalakkan matanya, jelas-jelas terkejut, namun terlihat tidak yakin harus merespon seperti apa. "Uh..."

"Tentu saja tidak denganmu. Eh, maksudku, ya, bukan berarti kau payah dalam hal ini—kau sangat baik, bahkan, kumohon jangan salah paham—tapi, maksudku, um, aku menginginkan hubungan yang seperti ini dengan seseorang. Yang bukan kau. Duh. Ciel, diamlah." Ciel meracau sambil menepuk jidatnya sendiri. "Kau tahu? Lupakan saja. Lupakan apa yang sudah aku katakan selama tiga menit terakhir. Lupakan semua hal bodoh yang aku lakukan hari ini."

Sebastian tidak mengatakan apa-apa, sedikit-banyak hal itu membuat Ciel sedikit lebih lega. Tapi ada satu hal yang entah kenapa malah mengganjal di pikirannya ketika ia menangkap ekspresi Sebastian yang terlihat mendung sebelum ia membalikkan badannya ke arah jendela. Gatal ingin berkomentar namun ia tidak mau mempermalukan dirinya lebih jauh, Ciel memilih untuk bungkam. Kedua pemuda itu pun menghabiskan sisa perjalanan mereka dalam keheningan, Sebastian tetap berfokus ke antara jalanan dan GPS sementara Ciel lebih memilih menyibukkan dirinya dengan kopi pupuk kandangnya yang sudah mulai mendingin.

000

Ketika Sebastian memarkirkan mobilnya di pekarangan estate Phantomhive yang luar biasa luas, Ciel sudah kehabisan ide untuk bagaimana cara mengabaikan pemuda di sampingnya itu. Perasaannya semakin kacau, jauh lebih kacau dibanding setelah ia mengakui kepada ayahnya kalau dia gay. Ia nyaris melompat dari tempat duduknya ketika Sebastian meletakkan tangannya ke pundaknya.

"Hei, kau oke?" tanyanya khawatir. Sial—bagaimana bisa Sebastian masih bisa setenang itu disaat dirinya malah semakin kacau balau dan nervous setengah mati? "Kau masih butuh waktu di dalam sini untuk menyiapkan diri?"

Tidak, aku sudah terlahir siap, tunggu apa lagi ayo turun dan temui orang tuaku yang tersayang. "Mhm-mm. Beri aku satu menit, yeah?"

Sebastian menepuk pundaknya sekali, pelan, seakan menyemangati. "Oke."

Ciel memejamkan matanya, mencoba mengatur nafasnya yang tidak disadarinya semakin memburu. Satu, dua, satu, dua, hitungnya tanpa suara. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum membuka matanya dan akhirnya memberanikan diri menatap Sebastian.

"Oke."

Sebastian memberinya senyuman yang optimis, lalu mereka pun mengambil ransel masing-masing yang berada di kursi penumpang belakang dan turun dari mobil. Ketika mereka semakin mendekati pintu mahogani raksasa di hadapan mereka, Sebastian memperlambat langkahnya dan mengulurkan tangannya kanannya ke arah Ciel. Tanpa ragu, Ciel menggenggam tangan Sebastian yang jauh lebih hangat, seolah hal itu memberinya energi lebih dan bahkan membuat tangannya berhenti gemetar saat menekan bel.

Ciel merasa genggaman Sebastian semakin erat ketika suara langkah kaki samar-samar terdengar dari balik pintu, dan ia siap untuk berlari sekencang mungkin walaupun ia harus menyeret Sebastian bersamanya saat pintu itu terbuka dan menampilkan sesosok pria yang sudah termakan usia namun masih terlihat sangat bugar untuk seseorang yang seusianya. Sebastian menyadari dari sudut matanya bahwa Ciel tampak sedikit lebih lega.

"Selamat datang, Tuan Muda." Sambut pria itu sopan. Ciel membalasnya dengan senyum kecil, dan sebelum ia sempat memperkenalkan Sebastian, pria itu menolehkan wajahnya ke arah pemuda yang dimaksud sambil mengangguk sopan. "Dan ini pasti pacar Tuan Muda. Selamat datang di kediaman keluarga Phantomhive, Tuan..."

"Sebastian, eh, Michaelis."

"Tuan Michaelis." sambungnya. "Saya Tanaka, kepala pelayan keluarga Phantomhive. Silakan masuk. Tuan dan Nyonya sudah menunggu kedatangan anda."

Kau menceritakan tentang aku kepada kepala pelayanmu? Mimik Sebastian tanpa suara pada Ciel segera setelah Tanaka berbalik, dan Ciel menggeleng cepat dan membalas mungkin Ayah yang memberitahu pada Sebastian. Ia mengedikkan bahu, mengangguk, lalu kerut di dahinya muncul kembali. Tunggu—kau punya kepala pelayan? Dan dia memanggilku 'Tuan'!

"Duh." Ciel tak bisa menyembuyikan tawa dari nada suaranya melihat Sebastian yang perhatiannya sangat mudah teralihkan.

Ia tersenyum geli melihat Sebastian yang kini tercengang-cengang melihat seluruh penjuru estate. Sebastian memang bukan berasal dari keluarga yang ehem, sangat berada seperti dirinya, Ciel memaklumi. Mungkin di dalam pikiran Sebastian, ini benar-benar seperti perjalanan ke Disneyland.

Saat Ciel hendak menundukkan kepalanya, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Pandangannya berkunang-kunang dan lantai yang dipijaknya serasa ombak yang terbuat dari sesuatu yang solid. Jika bukan karena genggaman tangan Sebastian yang erat, mungkin ia sudah jatuh terduduk. Hal itu membuat tubuhnya sedikit terguncang dan Sebastian yang merasa tangannya ditarik sontak menoleh ke arah Ciel.

"Ya, Ciel?" respon si pemuda berambut hitam, saat ia melihat pandangan Ciel yang tidak fokus seketika sebelah alisnya terangkat. "Kau baik-baik saja?"

"Hmm? Ya, aku baik-baik saja. Kurasa aku masih sedikit mengantuk." Bohongnya. Sebastian kelihatan tidak begitu yakin, namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh terdengar suara ketak-ketuk sepatu wanita dari arah kiri mereka yang lama-lama kedengaran semakin cepat.

"Ciel! Ibu kangen sekali padamu!" Wanita cantik berambut auburn sepinggang—Rachel Phantomhive—tiba-tiba menyambar Ciel dari Sebastian, memeluknya erat-erat dan menghujani wajahnya dengan kecupan-kecupan kecil dari bibirnya yang berlipstik yang membuat pemuda bermata azure itu kewalahan.

"Uh—Ibu—" Ciel berusaha keras menghindari kecupan demi kecupan di sela berbagai ungkapan rindu yang dibombardir ibunya dengan penuh hati-hati. Di sebelahnya, Sebastian tampak susah payah menahan tawa.

Ya ampun, pasti wajahnya kini dipenuhi jejak-jejak bibir berwarna merah muda dan ia pasti terlihat sangat konyol sehingga membuat Sebastian tertawa.

Di tengah-tengah usahanya yang kelihatan sia-sia itu, dari arah yang sama Vincent memasuki ruangan super luas itu dengan aura yang sama sekali berbeda dengan kedatangan Rachel.

"Sudahlah, Rachel. Ciel sudah terlalu tua sepuluh tahun untuk itu." ujar suaminya yang sukses mendatangkan senyum masam di wajah Ciel dan cemberut di wajah Rachel yang langsung menghentikan aksinya—Ciel mau tak mau merasa lega untuk hal ini. Ia spontan menegakkan posisinya saat Vincent berdeham, persis seperti tentara baru yang sedang menjalani inspeksi dadakan.

"Halo, Ayah." sapanya dengan nada ramah yang sangat dipaksakan. Vincent mengangguk, tapi alih-alih mengangguk untuk menanggapi sapaan anaknya, matanya malah terpaku pada Sebastian. Dan bodohnya Ciel baru menyadari bahwa sejak pertama kali menginjakkan kakinya di ruangan itu, kedua mata Vincent tidak pernah lepas dari sosok Sebastian yang berdiri di sebelah kirinya. Jika pandangan bisa membunuh, pandangan Vincent kepada Sebastian mungkin kini sudah melelehkan pemuda itu seperti patung lilin yang terkena cahaya matahari.

Dengan takut-takut, Ciel menoleh ke arah Sebastian untuk melihat reaksi pemuda itu yang ternyata balik menatap Ayahnya dengan tatapan yang tak menunjukkan keraguan sedikit pun.

"Ayah, um—"

"Selamat Siang, Tuan dan Nyonya Phantomhive." Sebastian mengulurkan tangannya ke arah Vincent. "Saya Sebastian Michaelis, pacar Ciel."

Vincent hanya menatap tangan yang terulur itu tanpa ada niat untuk menyambutnya, lalu kembali menatap Sebastian dengan penuh penilaian. "Hmm."

Sedangkan Rachel sendiri malah mendengking kegirangan dan mencicit aku tahu itu! sebelum menarik tangan Sebastian yang masih terulur dan membawa pemuda itu kedalam pelukan hangat. "Halo, Sebastian, panggil aku Rachel, calon ibu mertuamu."

"Halo, Rachel." Sebastian membalas pelukan Rachel seolah-olah itu adalah ibunya sendiri. "Senang bertemu dengan Anda."

"Aku juga, aku juga." ia melepas pelukannya dan kini mengenggam kedua lengan Sebastian sambil menatap pemuda itu dengan mata berbinar. "Darimana asalmu, Sebastian? Apa kau berasal dari Tufts seperti Ciel? Whoa, kau tinggi sekali! Kau juga tampan! Berapa umurmu? Apa kau yakin kau benar-benar cuma mahasiswa? Kau lebih terlihat seperti model majalah GQ dibanding seorang pelajar! Oh, apa sebenarnya kau memang—"

"Rachel, berhenti menanyakan hal-hal yang tidak perlu." potong Vincent dengan kerutan di dahinya, dan kini pandangannya beralih ke Ciel. "Senang bisa melihatmu menyempatkan diri mengunjungi kami, Nak. Terlebih ketika kau membawa tamu yang tak terduga." katanya dengan nada yang seolah seperti terhibur.

"Bukankah sudah menjadi ciri khasku untuk melakukan sesuatu yang terduga?" respon Ciel dengan sarkasme yang tersembunyi, tapi Sebastian bisa mengatakan kalau Ciel sudah tidak secanggung sebelumnya.

"Tapi, Vincent, sejauh ini hari ini adalah hal tak terduga yang terbaik, kan?" Rachel menepuk-nepuk bahu suaminya dengan maksud bercanda. Vincent hanya berdeham dan kembali menatap putranya dan Sebastian secara bergantian.

"Ya ampun, Ibu..." Ciel memutar matanya, tapi sekonyong-konyong pandanganya berputar sendiri dan hal itu membuat posisinya goyah.

Vincent, yang pertama kali menyadari hal itu, mengerinyitkan dahinya tanda khawatir namun tetap berusaha seolah terlihat santai, "Ciel? Ada apa?"

Sontak seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu tertuju kepada Ciel. "Uh, aku baik-baik saja, hanya sedikit mengantuk..." sergahnya abai.

"Kau selalu mengantuk setiap waktu, Ciel. Kau yakin kau baik-baik saja? Wajahmu pucat." Kini Sebastian tampak jauh lebih cemas dibanding sebelumnya.

"Iya, Sebastian, aku—" sebelum pemuda bermata azure itu menyelesaikan kalimatnya, sekonyong-konyong pandangannya mengabur dan lututnya terasa seperti agar-agar. Ia tidak dapat memfokuskan pikirannya pada sekitarnya selain merasakan seseorang mengangkat tubuhnya dengan sigap dan kegaduhan yang mayoritas berasal dari ibunya yang berseru Tanaka! dan oh Tuhan! dan sesuatu yang terdengar seperti memanggil dokter pribadi secepat mungkin. Akan tetapi sebuah suara yang sangat, sangat dekat—suara Sebastian—sempat membuatnya membuka kembali kedua matanya dan balas membalas tatapan mata crimson pemuda itu yang terus memanggil namanya sebelum semuanya menjadi gelap.


See you on part 2!