Warning : AU, OOC, Ranjau Typo, banyak istilah, agak ngebingungin
Genre : Mistery/Romance
Disclaimer : I do own nothing
...
ENIGMA
...
.
.
.
[4 November 2023, Karakura Town]
.
.
.
...Minggu, 12 November 2000...
Hari ini untuk kesekian kalinya, aku sukses tertipu. Terima kasih untuk Hisana nee-chan! Lagi pula dari sekian banyak tayangan di hari minggu, kenapa harus Chappy yang jadi korban? Ke mana perginya keadilan di dunia ini?
Haaah, setidaknya masih ada kabar baik. Hari ini kami punya anggota keluarga baru. Perkenalkan, namanya Shirayuki. Dia sangat manis dan sangat kecil. Mungkin umurnya masih satu bulan... hehe, itu hanya perkiraan ku saja. Terima kasih Byakuya nii-san...!
Hari minggu yang sangat hangat. Nii-san pulang; nee-chan yang berisik...ah maksudku selalu 'terlalu' semangat setiap hari; dan ada Shirayuki. Kebahagiaan yang lengkap. Seandainya setiap hari bisa seperti ini.
Ah, iya aku hampir lupa. Hari ini juga ada tetangga baru. Dan sepertinya, dia orang yang cukup...aneh.
.
.
Buku bersampul ungu dengan bahan kulit itu masih terbuka saat sang pembaca tersenyum. Halaman putih yang sudah berubah kekuningan itu masih ditatapnya. Seakan mencoba merekam setiap goresan tinta yang mulai memudar di tiap-tiap katanya. Kisah kesekian yang telah dibacanya di setiap lembar.
Seolah mampu membayangkan kejadian sesungguhnya yang tertuang dalam buku harian tua di hadapannya. Membuat Toushiro semakin ingin melihat sosok yang tidak pernah ditemuinya. Sosok si Pemilik buku sekaligus sosok yang begitu dikaguminya.
"Untuk mu, Toushiro. Tidak ada hal terbaik yang bisa ayah berikan, selain benda ini."
Kata-kata mendiang sang Ayah kembali terngiang di benaknya. Membuat Toushiro kembali memandang sendu penuh rindu pada sang Buku. Tangan kanannya beralih pada sebuah benda seperti bandul berbentuk perunggu. Benda ini sudah ada di dalam buku sejak ia pertama kali membukanya.
Ibu jarinya meraba pelan bandul tersebut kemudian mengangkatnya sampai tepat di depan wajahnya. Mengamati intens dengan tatapan yang penuh dengan keraguan.
"Temuilah dia! Maka kau akan mengerti."
Pesan terakhir sang ayah sebelum menutup mata adalah kata-kata paling absurd yang pernah didengar Toushiro. Membuat otaknya dilanda kebimbangan total sejak tiga hari yang lalu. Hari kematian sang Ayah, sekaligus hari pertama ia mulai membaca buku itu.
Namun, juga hari di mana ia memutuskan untuk berhenti membacanya ketika kegundahan menguasai hatinya. Tiga hari dihabiskan Toushiro hanya untuk merenung dan berpikir; menguras otak jeniusnya mencari sebuah jawaban yang malah selalu menemui jalan buntu.
Hingga ia kalah pada rasa penasaran terhadap isi buku, dan kembali memutuskan untuk membacanya hari ini. Sabtu, tanggal 4 November 2023. Dan pertanyaan yang sama kembali terlontar di benaknya untuk keseribu kalinya
'Bisa 'kah?'
.
.
.
.
.
.
Tetangga Baru—Bagian Pertama
.
.
.
.
[Minggu, 12 November 2000—Karakura Town]
.
.
.
Berkas cahaya menembus dari sela-sela tirai ungu yang berkibar akibat hembusan angin dari jendela yang dibiarkan terbuka. Membuatnya menjadi satu-satunya sumber terang di ruangan remang yang damai. Nuansa ungu dan violet berpadu samar menghiasi seluruh pelosok ruangan. Menunjukkan bahwa sang pemilik adalah seorang perempuan.
Tidak ada yang berlebihan, semua terlihat normal dengan lemari pakaian dua pintu di pojok ruangan; meja di samping jendela dengan buku-buku dan peralatan tulis yang tertata rapi di atasnya; satu stell seragam sekolah dengan kemeja putih lengan pendek, sweter kuning gading tanpa lengan dengan logo Karakura High School di dada kiri, dan rok rample abu-abu pendek tergantung rapi di belakang pintu; dan sebuah single bad dengan selimut ungu berbulu yang terlihat menggunung serta beberapa bantal yang berserakan di lantai akibat kebrutalan sang pemilik.
Lalu di manakah gerangan sang pemilik kamar?
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing
Jam kecil berbentuk kelinci bergetar dengan dering memekakkan telinga yang tanpa jeda. Memaksa sebuah tangan timbul tiba-tiba dari dalam gunungan selimut ungu di atas kasur. Meraba-raba asal meja kecil di samping tempat tidur hingga tangan itu menemukan sang jam kelinci lalu menekan kuat-kuat tombol di bagian atas kepalanya. Seketika kamar kembali ke suasanan damai. Hening.
Sang tangan pun kembali menyelusup ke dalam gunungan selimut. Yang kemudian menjawab pertanyaan tentang keberadaan sang pemilik kamar.
TOK TOK TOK TOK TOK
"RUKIAAAA... BANGUUUNN. INI SUDAH PAGI. AYO BANTU ONEE-CHAN MENYIAPKAN SARAPAN."
Suara ketukan pintu disusul suara teriakan seorang wanita terdengar dari luar pintu. Membuat gunungan selimut bergerak-gerak gelisah selama beberapa detik lalu kembali diam, tanpa sebuah jawaban.
TOK TOK TOK
"RUKIAAAA... CEPAT BANGUN... HARI INI NII-SAN AKAN PULANG."
Seruan kedua malah membuat gunungan selimut bergeming. Tak ada gerakan sedikit pun. Hanya terdengar sebuah gumaman tidak jelas, "Ummm~~"
TOK TOK TOK TOK
"RUKIAAAAA... ASTAGA, KAU AKAN KETINGGALAN SERIAL CHAPPY THE BUNNY MINGGU INI JIKA KAU TIDAK SEGERA BANGUN."
Seketika gunungan selimut ungu berbulu itu tersibak kuat dengan seseorang yang terlonjak duduk tiba-tiba di atas kasur. Memunculkan seorang gadis belia dengan rambut hitam pendek yang berantakan, piyama kusut, dan tampang pongohnya yang tiba-tiba bangun dari tidur begitu mendengar kata "Chappy The Bunny".
Serial kartun favoritnya yang selalu ditunggunya di layar kaca setiap seminggu sekali dan setiap jam 6 pagi dengan durasi 30 menit. Yang tidak pernah dilewatkan oleh gadis yang dikenal bernama Rukia ini. Ya, Rukia tidak akan pernah melewatkannya. Tapi, kenapa Onee-chan bilang ia akan ketinggalan. Memang ini jam berapa?
Kepalanya menoleh ke meja kecil di samping tempat tidurnya. Melihat jam kelinci kecil yang berdiri dengan jarum panjang menunjuk ke angka 3 dan jarum pendek ke angka 6.
Mata Rukia langsung mendelik menemukan kenyataan pahit bahwa sekarang sudah pukul 6.15 pagi. Itu artinya—
Rukia sudah melewatkan serial terfavorite 'Chappy The Bunny' selama 15 menit... 15 MENIT...—ini sungguh suatu malapetaka baginya.
.
.
Merasa tidak ada jawaban atau tanda-tanda kehidupan di kamar sang adik, Hisana memutuskan untuk beranjak dari depan pintu kamar. Batinnya heran, padahal Chappy selalu menjadi jurus ampuh baginya untuk membangunkan tidur adiknya yang mirip kerbau mati. Tapi kenapa Rukia sama sekali tidak menyahut?
Seketika pertanyaan di benak Hisana terjawab sudah ketika terdengar suara derap langkah cepat dan panik dari dalam kamar. Disusul pintu kamar yang menjeblak tiba-tiba dengan Rukia di ambang pintu, lalu berlari cepat melewati Hisana seperti angin dan menuruni tangga ke lantai satu.
Hisana hanya menggelengkan kepala heran melihat tingkah sang adik dengan rupa yang seperti pencerminan dirinya itu. Lalu melangkah kembali ke kamar sang adik berniat menutup pintu yang terbuka, tapi pemandangan tempat tidur yang acak kadut membuat Hisana hanya mampu menghela napas geram. Ia tidak mau menambah kerutan di wajahnya karena marah-marah di minggu pagi.
.
.
"Kenapa kau cemberut begitu? Ini minggu pagi yang cerah, Rukia."
Hisana mengomentari wajah tertekuk adiknya yang sejak 5 menit lalu sudah dipampangnya. Kini mereka sudah berada di dapur setelah Rukia menyelesaikan tontonannya dan setelah Hisana selesai membereskan kekacauan di kamar Rukia.
Namun tidak ada jawaban dari sang adik yang malah sibuk memotong wortel seperti penjagal yang sedang merajang sepotong jari. Hisana melirik adiknya sekilas lalu kembali pada sup miso yang hampir mendidih.
"Apa chappy tidak menghibur mu hari ini?" pertanyaan Hisana sukses mendapat deathglare dari Rukia yang seolah berkata 'sudah tahu kenapa bertanya'.
Membuat Hisana tidak mampu menahan cekikikannya karena berhasil mengerjai adik kesayangannya itu. Yup, Hisana berhasil membangunkan Rukia di minggu pagi buta dengan membohonginya. Padahal minggu ini serial Chappy The Bunny andalannya sedang libur karena diganti dengan tayangan perhitungan suara pemilihan kepala negara.
Tawa Hisana yang semakin menjadi membuat Rukia menggeram, "Onee-chan... hentikan itu."
"Hahaha.. baiklah.. baiklah, maaf." Hisana berdehem sekali untuk mengembalikan ketenangannya, "Makanya segera hilangkan wajah cemberut mu itu kalau tidak ingin Nii-san mu mengira kau telah mengalami kasus pembulian di sekolah."
Rukia malah menggembungkan pipinya kesal, karena ia memang baru saja mengalami pembulian oleh kakak tercintanya. Lebih tepatnya penipuan.
"Tapi, kenapa Byakuya Nii-san belum sampai juga?" tanya Rukia begitu menyadari ini sudah jam setengah tujuh lebih.
"Mungkin sebentar lagi."
TING TONG
Tepat setelah Hisana berkata demikian, bel rumah berbunyi. Membuat dua kepala yang hampir serupa itu bertukar pandang.
"Sepertinya itu dia," tebak Hisana.
"Biar aku saja yang buka," ujar Rukia cepat lalu melepas celemek yang dipakainya dan dengan segera berlari menuju pintu depan.
Dan benar saja, ketika pintu terbuka langsung menampilkan seorang pria tampan berwajah stoic dengan setelan jas lengkap.
"Okaeri nasai, Byakuya nii-san!" sapa Rukia begitu menemukan kakak iparnya berdiri di depan pintu.
"Hn, tadaima." Ujar Byakuya datar lalu melangkah masuk melewati sang adik ipar. Namun, baru 3 langkah, ia berhenti. "Rukia, tolong turunkan sisa barang yang ada di mobil. Ada satu milikmu diantaranya."
"Milikku... yang mana?" tanya Rukia heran.
"Kau akan mengenalinya." Kemudian Byakuya kembali melanjutkan langkahnya memasuki rumah.
Rukia menggaruk kepalanya heran ketika mulai beranjak ke bagasi mobil. Memangnya barang seperti apa yang telah diberi label 'milik Rukia' oleh sang kakak sehingga Rukia akan mampu mengenalinya. Bukannya tidak senang karena mendapat oleh-oleh, tapi biasanya pemberian Byakuya nii-san-nya adalah salah satu dari peralatan sekolah atau buku-buku yang bertemakan etika; prinsip; atau tata krama dari Negeri Tirai Bambu yang sering dikunjunginya.
Kakak iparnya baru saja pulang setelah seminggu mengurusi bisnisnya di Hongkong. Kegiatan rutin yang wajib di laksanakan Byakuya setiap dua minggu sekali. Meninggalkan Hisana sendiri di rumah jika saja tidak ada Rukia. Yah, untunglah ada Rukia yang memang selalu tinggal bersama Hisana sejak kecil; atau sejak orang tua mereka tiada.
Rukia membuka bagasi belakang mobil kakaknya, dan langsung membuat bibirnya semakin tertekuk... ke bawah? Bahkan ia menggigit bibir bawahnya yang gemetar seperti ingin menangis. Jangan salah paham, karena maksudnya bukan menangis terharu seperti mendapat sebuah boneka Chappy seukuran manusia sebagai oleh-oleh dari luar negeri. Bukan itu. Hanya saja, benar kata Byakuya, kalau Rukia akan langsung mengenalinya.
Dan itu membuat Rukia semakin ingin menangis ketika yang didapatnya adalah sebuah buku sebesar 'Kamus Besar Bahasa Jepang' yang ada di perpustakaan sekolahnya; yang bahkan lebih mirip bantal dari zaman dinasti kuno ketimbang sebuah buku. Dan apalagi ini? Judul buku yang semakin membuat Rukia ingin menangis meraung-raung dan mencak-mencak di depan rumah. Sebaris kalimat sebagai judul "1001 Pemahaman Etika dan Ideologis Ala' bangsawan Tiongkok", sukses membuat Rukia patah arah.
Memangnya Rukia mau dijadikan apa sama kakak iparnya?
.
.
Byakuya sudah kembali ke duduk di ruang makan setelah selesai mandi dan berganti pakaian. Menu sarapan pun sudah terhidang hangat di atas meja makan dengan Hisana yang masih mondar-mandir mengambil piring dan susu hangat dari dapur. Namun, pandangan tajamnya bukanlah ke sana melainkan ke arah adik ipar yang telah terlebih dulu terduduk lesu dengan pandangan hampa. Membuat mata Byakuya sedikit menyipit.
"Rukia...," sapa Byakuya datar. Intonasi khasnya; aristokrat.
Namun bukannya jawaban 'iya' seperti biasa, Byakuya malah mendapati sang adik ipar mengangkat wajahnya perlahan; yang malah semakin terlihat putus asa. Semakin mengundang tanya di benaknya, tentang apa yang terjadi pada Rukia selama ia pergi.
"Apa kau mengalami pembulian di sekolah?"
Pertanyaan frontal yang langsung membuat tawa Hisana meledak dan membuat Rukia melongo tak percaya. Bagaimana bisa tebakan Nee-chan-nya jadi kenyataan, memangnya wajah Rukia terlihat begitu menyedihkan?
Dan sukses membuat satu-satunya pria di rumah itu heran; namun tidak kentara. Obsidian hitamnya melirik istri dan adik iparnya bergantian. Ada apa dengan reaksi dua perempuan di hadapannya ini?
"Eghem...," Hisana berdehem berusaha mengendalikan tawanya. "Tidak ada yang di buli, kau tenang saja. Rukia hanya sedang mengalami hari yang sangaaaaat...berat." Hisana mencoba menjelaskan dengan ekspresi yang dibuat seolah dia mengerti penderitaan yang dialami sang Adik.
Sungguh, ia sangat mengerti. Terlebih saat melihat Rukia masuk ke rumah dengan sebuah buku besar di pelukannya. Dan raut ngambek yang diperlihatkan Rukia saat itu, sungguh membuat Hisana mengerti apa yang sedang terjadi. Entah bisa disebut sebuah keberuntungan atau tidak, memiliki kakak ipar seperti Byakuya yang sangat pengertian; atau sangat tidak pengertian. Tapi satu hal yang paling dimengerti Hisana, kalau ia kembali mendapatkan hiburan di minggu pagi yang cerah.
Rukia yang malang! Dikerjai oleh dua orang di hari yang sama dan berbeda cara. Cara pertama yang penuh dengan kesengajaan oleh kakak kandungnya dan cara kedua yang sama sekali tidak disengaja oleh kakak iparnya.
"Apa yang ada di pangkuan mu, Rukia?" Pertanyaan Byakuya menginterupsi aksi tahan tawa Hisana. Yang langsung membawa dua pasang mata itu mengikuti ke mana arah pandangan mata si Kepala Keluarga Kuchiki itu.
Rukia sadar kalau nii-san-nya sedang bertanya tentang buku di pangkuannya, tapi kenapa?
Dengan wajah polos, Rukia mengangkat buku dengan kedua tangannya menunjukkan pada Byakuya.
"Ini...milik ku."
.
.
.
Yah, ternyata hipotesis bahwa Byakuya adalah tipe kakak yang tidak pengertian, tidak peka, dan suka mengerjai adiknya walau tanpa sengaja; itu semua sepenuhnya terbantahkan. Ya, semuanya terbukti salah ketika Byakuya berkata datar—
"Milik mu ada di jok depan, bukan di bagasi belakang."
Kini, senyum sumringah dan mata berbinar lah yang menghiasi wajah Rukia Kuchiki ketika berdiri di depan pintu mobil yang terbuka. Senyum pertamanya di pagi ini, dan tepat di jok depan.
Sebuah keranjang dengan seekor anjing kecil berbulu putih yang lebat menggonggong dua kali di dalamnya. 'White Puppy Puddle yang mungil', jerit Rukia dalam hati. Dan juga sangat mahal. Ah, betapa baiknya Byakuya nii-san. Setelah 17 tahun, akhirnya ia dibolehkan memiliki hewan peliharaan. Setelah melewati beberapa syarat tingkat dewa, yang sulitnya seperti ingin memiliki surat ijin mengemudi.
Rukia meraih anjing kecil itu dari dalam keranjang ke dalam gendongannya. Betapa menggemaskannya makhluk putih itu, membuat Rukia tidak tahan untuk tidak mengelus lembut anjing yang lebih mirip buntelan bulu itu.
"Kau lembut dan sangaaaaat putih... wahai—" decak kagumnya terhenti dengan mata yang mengerjap beberapa kali; bingung dengan panggilan sang peliharaan. Benar juga, nama apa yang pantas untuk makhluk putih ini. Putih? Seperti salju.
"Ah, wahai... Shirayuki."
GUUK...
Satu gonggongan yang sempat membuat kaget, tapi mengundang keceriaan kemudian, "Kau suka?... Yokatta ne Shirayuki."
GUUK GUUK
"Wah, sepertinya kau sangat suka nama itu."
GUUK GUUK GUUK
"Iya, aku tahu kau suka."
GUUK GUUK... GUUK GUUK GUUK...GUUK
"Shirayuki, ada apa?"
Tapi Shirayuki tetap saja menggonggong tanpa henti. Memancing keheranan di wajah Rukia karena anjing itu tidak lagi menggonggong padanya, melainkan pada sebuah rumah besar bergaya eropa tepat di seberang jalan. Yang turut membawa pandangan heran Rukia ke arah rumah berlantai dua itu.
GUUK GUUK...
Manik ungunya seketika terperangah mendapati beberapa ruangan terlihat terang. Hey, Rukia tidak salah lihat kan? Kenapa kamar-kamar itu terang? Apa ada yang menyalakan lampu? Bukannya, rumah itu sudah lama tidak berpenghuni? Lalu, siapa yang menyalakan lampu?
Sekilas bayangan terlihat melintas dari jendela kamar di lantai dua, membulatkan mata Rukia yang memang sudah bulat.
'Itu... aku lihat seseorang barusan.'
Ditambah—
GUUK GUUK...
Gonggongan tiba-tiba yang membuat Rukia berjengit kaget. Dan segera beranjak masuk dengan langkah memburu.
.
.
"Huaaaa... kawaiiii...," teriak Hisana antusias begitu mendapati Rukia memboyong seekor anak anjing. Tanpa memperhatikan raut wajah sang adik yang terlihat gusar.
"Onee-chan... aku melihat seseorang di rumah depan," ujar Rukia menghiraukan teriakan gemas sang kakak.
"Kochi...kochi...kochi..." Entah memang tidak dengar atau 'pura-pura' tidak dengar, Hisana malah sibuk menggaruk-garuk leher Shirayuki.
"Bukan kochi... tapi Shirayuki."
"Shira...Shira...Shira..."
"Onee-chan!" tegur Rukia lagi meminta perhatian sang kakak.
"Apa Rukia?" jawab Hisana tanpa mengalihkan pandangannya dari si anjing kecil.
"Aku melihat seseorang di rumah depan, dan juga... beberapa lampu yang menyala."
Hisana menoleh, "Hm!... Ah, mungkin dia pemilik rumah itu," ujarnya kemudian.
"Pemilik?"
"Iya, ada gosip yang mengatakan kalau ada seseorang yang akan menempati rumah itu. Dan kudengar dia akan pindah sekitar dua bulan lagi, tapi kenapa dia pindah secepat ini? Katanya, dia masih ada di luar kota," terang Hisana kemudian kembali beralih pada Shirayuki yang sudah berada di gendongannya.
"Bukannya...rumah itu lama tak dihuni. Ku pikir tidak ada yang punya."
"Tentu saja ada. Dan sekarang dia akan menjadi tetangga baru kita."
"Lalu kenapa dia malah membiarkan rumah itu kosong selama bertahun-tahun?"
"Entahlah. Dan kenapa kau sangat ingin tahu, Rukia?" ujar Hisana sedikit kesal mendengar pertanyaan beruntun dari sang adik.
"Tidak. Aku hanya penasaran seperti apa dia." Ya. Rukia hanya penasaran, " Yang jelas, dia pasti sangat bernyali," tambahnya kemudian.
"Ku dengar dia berasal dari keluarga Hitsugaya," kata Hisana dibarengi dengan beranjaknya ia ke ruang tengah. Mungkin berniat untuk bermain dengan Srirayuki di sana.
Sedangkan Rukia, masih bergeming di tempatnya. Tertahan oleh pikiran dan rasa penasarannya.
"Hitsugaya?"
.
.
.
TBC
.
.
A/N : Yuki kembali dengan fic HitsuRuki bergenre mistery dengan setting AU. Dengan kata lain tidak ada shinigami-shinigamian atau hollow-hollowan. Untuk makna kata 'Enigma', bisa tanya mbah google apa artinya. Jadi, lanjutkan atau stop sampai disini? kalian yang tentukan readers...RnR
.
.
Yuki Sharaa
