Teori realivitas Einsten menguasai kelas. Yang korelasinya bagiku ialah saat pelajaran yang paling kucintai melebihi apapun di dunia ini, telah usai. Ia berjalan cepat, sangat. Kakashi-sensei mengetukkan buku paketnya lalu melangkah keluar. Aku mendesah kecewa, sementara kebanyakan temanku bersorak seperti mendapatkan segunung emas. Bagi mereka, saat pelajaran matematika adalah waktu yang terburuk. Dimana semuanya berjalan sangat amat lambat.

Mereka, orang-orang yang selalu membicarakan acara di televisi itu berbondong-bondong keluar. Mulutnya meneriakan lapar dan kantin. Pemuda bertato segitiga merah disebelahkuatau tanda lahir, entahlah. Yang manapun terlihat samamengajakku. Kuacungkan bento sebagai jawaban. Ia nyengir dan berlalu.

Tidak banyak yang bisa kuceritakan padamu. Tapi kalau-kalau kau belum tahu, namaku Haruno Sakura. Aku anak tunggal. Kalau kau melihat seorang siswi dengan rambut merah jambu pendek, berjalan kaku, percayalah, itu aku. Aku tidak punya teman yang bisa kulabeli bestfriend ever. Sungguh, jangan anggap aku seorang pecundang yang diacuhkan masyarakat. Aku hanya tidak senang bersosialisasi, hal seperti itu terlalu menggangguku. Tidak penting dan tidak berguna. Bagiku buku-buku lebih terlihat sensual. Dan tolong, jangan pernah bertanya apakah aku sudah punya pacar. Kalau kau menganggapku suram, aku akan menyumpal mulutmu dengan kaos kaki Inuzuka-kun.

Waktu pulang sekolah adalah hal yang sangat dinantikan. Ah, beruntungnyaatau sialnya aku masih punya kencan dengan klub sastra. Aku memasukan peralatanku dan berjalan gontai. Entah kenapa, mataku terasa aneh. Rasanya seperti ada seseorang yang memukul-mukulkankan penghapus papan tulis di depanku. Aku tidak sakit, aku yakin. Aku bahkan dengan lahap menghabiskan bekal yang dibuatkan Sasori-nii—tetangga merahku doppelganger ibuku. Lalu ada apa, firasatku tidak enak.

Otsutsuki-kun sepertinya menyadari gelagat anehku. Kemudian secara kompak seperti duet penyanyi seriosa kawakan, ia dan Utakata-senpai menyuruhku pulang. Padahal mereka yang sering memaksaku tinggal lebih lama. Baiklah, tanpa berpikir dua kali aku menyetujuinya.

Aku berjalan seperti dikejar kawanan banteng. Aku ingin cepat pulang, sejak keluar dari ruang klub perasaanku seperti dihantam badai Katerina. Bahkan wajah Uchiha-san yang dingin yang kulihat tak sengaja di depan loker tidak bisa mengalahkan perasaan anehku. Dengan cepat aku mengganti sepatu dan berjalan keluar gedung mendahuluinya. Uzumaki Menma mengumpat padaku saat aku dengan tidak sengaja menabrak punggungnya di depan gerbang sekolah.

Kurogoh smartphonekuyang bergetar dramatis. Aku berdiri di depan zebra cross, sendirian. Sekelilingku sepi, kebanyakan sudah pulang satu jam yang lalu. Dan kegiatan klub masih berlangsung satu setengah jam lagi. Hanya beberapa anak yang terlihat mondar-mandir. Id caller-nya menampilkan Sasori-nii.

Tepat saat kuputuskan untuk menjawab panggilannya, bunyi gedebum keras mengalihkan atensiku. Emeraldku menggelap saat badan truk kargomungkin, aku tidak begitu yakinmenghalangi pandanganku. Detik berikutnya hal yang terjadi ini bagaikan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat dan teramat buruk.

Dimana aku?

Apakah aku akan mati?

Hentikan, siapapun yang berteriak, kau menyakiti telingaku!

Suara-suara itu seperti suara teriakan di roller coster, bergemuruh, dan menyebalkan.

Lalu mereka menghilang seperti disapu tsunami

Hitam lalu kelabu

Kemudian putih

Hiruk pikuk lagi

Aku melihat wajah wajah aneh

Mereka terlihat gembira

Sebagian mengisak pelan

Aku hanya mendengar "Syukurlah, Sakura!" berulang kali

Aku hendak membalas menanyakan siapa mereka dan apa yang mereka lakukan di sini

Tetapi tenggorokanku tercekat kering

Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan

Yang pasti pertanyaan yang memenuhi otakku hanya satu

Siapa Sakura?

Prolog

.

.

Mashiro+Kanojo

Disclaimer : Naruto belong to Masashi Kishimoto-sensei.

.

.