Shikamaru menata berkas-berkas yang berserakan diatas meja. Hari masih terlalu pagi. Dan ia harus segera merapikan semua berkas ini sebelum Hokage ke 7 datang. Atau mungkin para shinobi yang menyerahkan laporan misi datang.

Shikamaru malas sekali sebenarnya melakukan ini. Tapi nampaknya jika ia terlalu lama di rumah, bukan tidak mungkin kalau Temari akan menyabet kipasnya dan menerbangkan dirinya. Membayangkan saja membuat Shikamaru ngeri.

Yah! Tinggal menumpuk berkas-berkas yang harus ditandatangani di atas meja sebelum mata kuaci Shikamaru menangkap sosok remaja wanita tengah memandanginya.

Astaga! Shikamaru pikir para tamu akan datang agak siang.

"Shikamaru-san."

Dan Shikamaru menghentikan kegiatannya hanya untuk menatap gadis di depannya.

"Aku ingin bicara empat mata denganmu." ujar gadis itu dengan wajah datar dan nada suara yang sangat bossy, mengingatkan Shikamaru pada seseorang.

Shikamaru mendengus kemudian.

Empat mata?

Hey! Yang benar saja?! Mata gadis itu saja ada empat!

"Aku sibuk." sahut Shikamaru kemudian, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Shikamaru tak mendengar gadis itu bersuara lagi. Tapi Shikamaru tahu kalau gadis itu masih berdiri disana.

Selang beberapa menit kemudian, Shikamaru mendesah lelah. Ia menyerah! Gadis ini benar-benar keras kepala, sama seperti bapaknya yang bajingan itu.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Shikamaru kemudian, berusaha meluangkan sedikit waktu sebelum Hokage datang.

"Ini tentang Hokage ke 7." tukas si gadis tegas.

"Kalau begitu, tanyakan saja pada Naruto.." usul Shikamaru, malas berbincang lama-lama.

"Tidak bisa!" tolak gadis itu.

Shikamaru mendelikkan matanya.

"Aku tahu kalau Hokage tidak akan mau mengatakan apapun padaku." tambah gadis itu, semakin membuat Shikamaru bingung.

"Apa yang tidak akan kukatakan padamu, Sarada?" sela seseorang tepat di belakang si gadis, membuat si gadis terkejut bukan main.

Gadis bernama Sarada itu menoleh dengan hati-hati dan mendapati wajah cerah sang Hokage.

"Ho-hoka...ge?"

"Hm? Iya?" balas sang Hokage, membuat Sarada semakin gugup.

Naruto tersenyum lalu menepuk kepala Sarada dengan lembut.

"Aku punya misi untukmu hari ini. Jadi, panggil kelompokmu kemari." titah Naruto dan Sarada mengangguk patuh sebelum ia enyah dari pandangan Naruto.

Shikamaru mempersilakan Naruto duduk dan Naruto duduk, meletakkan tas jinjing kecil berisi laptop yang sedari tadi dibawanya.

"Apa maksudmu mengatakan padanya kalau kau akan memberinya misi?" tanya Shikamaru yang tak mengerti dengan kejadian tadi.

Naruto mendengus, ia menyalakan laptop yang ia keluarkan dari tas.

"Aku tahu apa yang ingin dia bicarakan denganmu. Jadi aku ingin dia mendapatkan jawabannya." jawab Naruto sambil meraih pulpen dan mulai menandatangani berkas yang sudah ditumpuk rapi oleh Shikamaru.

"Misi apa yang kau berikan padanya, Naruto?" tanya Shikamaru.

Naruto tak segera menjawab, tapi Shikamaru segera mengerti saat Naruto menyisihkan selembar kertas yang Shikamaru ketahui di dapat dari seekor elang kemarin.

Shikamaru hanya bisa mendesah lelah. Semoga misi yang dipimpin oleh Konohamaru bisa sukses. Meskipun ini hanya misi rank C.

...

.

Ikatan Yang Ada Diantara Mereka

Chapter 1

story by Akira Veronica Lianis

Naruto © Masashi Kishimoto

Sasuke U. & Naruto U.

T+

3k+

Family & Friendship

"...Aku merasa papa ku benar-benar dekat dengan Hokage ke tujuh. Lebih dari kedekatan papa dan mama." jelas Sarada dengan mata sendu..."

Warn! This is fic boys love. There are very much typos. This is fic not good for child and female pregnant and... people who like pair straight. So go to hell if you don't have strong mental or you don't like this pair.

Thanks.

Don't Like - Don't Read

.

...

Sepulang dari misi yang tempo hari diberikan Hokage padanya membuat Sarada semakin gelisah. Bahkan kepalanya semakin dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang entah nanti terjawab atau tidak.

"Sarada... Makan malam sudah siap nak..." ujar seorang wanita, membuat lamunan Sarada buyar seketika.

Sarada segera beringsut menuju meja makan, meninggalkan buku pe er yang tengah ia kerjakan.

Ia menatap ibunya yang tengah menyiapkan makanan. Sepi. Layaknya sebuah keluarga haruslah lengkap, terlebih di meja makan seperti ini. Tapi Sarada sudah terbiasa makan malam tanpa sang ayah. Bahkan sesekali ia juga makan malam sendirian ketika sang ibu sibuk dengan urusan di rumah sakit. Sarada tak terlalu memusingkan hal ini sebenarnya. Toh setidaknya ia memiliki seorang Uchiha Sasuke sebagai ayahnya. Tidak seperti Mitsuki–rekan satu timnya–yang tidak jelas siapa orang tuanya.

Ngomong-ngomong tentang ayahnya, bukankah ia teman satu tim Hokage ke tujuh? Dan rekan yang satu lagi itu kan...

"Mama!" seru Sarada.

"Eh? Ada apa?" tanya wanita yang kini duduk di samping Sarada seraya melepas apron yang melekat ditubuhnya.

"Apa mama tahu siapa orang yang paling dekat dengan Hokage?" tanyanya.

"Hmm... Banyak. Mama juga dekat sekali dengannya. Tapi kalau saat ini yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh hanyalah Hinata, lady dari klan Hyuuga."

Sarada memutar bola matanya. Kesal karena jawabannya yang berbelit-belit menurut Sarada.

"Memangnya kenapa kau menanyakan Hokage?" tanya wanita berambut permen kapas itu.

"Aku hanya ingin tahu siapa orang yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh." aku Sarada.

"Paling dekat ya..." lirih ibu Sarada, nampak berfikir.

Sarada sudah tak mempedulikannya. Tangannya kini sibuk mengambil makanan yang tersaji diatas meja. Namun ia menghentikan gerakannya saat ibunya dengan lirih menyebut nama ayahnya, lengkap dengan keterangan bahwa ayahnya adalah sahabat yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh.

Sarada tercenung.

Apa ia harus menemui ayahnya untuk menanyakan perihal Hokage?

Apapun itu akan dia lakukan demi seseorang. Ya. Demi seorang bocah bandel yang meluapkan kekesalannya pada Sarada dengan cara memukulinya. Bocah yang bisa dibilang sama sepertinya.

Diabaikan oleh figur seorang ayah.

Akira Veronica Lianis –

Sarada menatap Inojin dengan antusias, meskipun mulut anak ini sangat frontal, setidaknya ia cukup baik. Lebih baik dari Chouchou malahan.

"Nah. Kau tunggu disini dulu mata empat. Aku akan memanggil ibuku. Kau jangan coba-coba mencuri barang disini." kata Inojin, membuat Sarada muak.

Tapi Sarada hanya mengangguk. Tak mempermasalahkan ucapan Inojin.

Sarada mengamati setiap sudut rumah ini. Rumah yang sangat wangi dan nyaman. Tak heran memang mengingat sang ibu Inojin senang menanam bunga bahkan memiliki sebuah toko bunga yang terkenal.

"Ah... Sarada... Tumben kau ingin bertemu denganku." sapa seorang wanita cantik berambut pirang yang membawa nampan berisi minuman.

Wanita itu meletakkan minuman yang dibawanya di depan Sarada.

"Ah. Tidak usah repot-repot bibi..." ucap Sarada.

"Tidak apa-apa. Nah, kau ada keperluan apa kesini? Apa ibumu butuh bantuan?" tanya wanita itu dengan senyum manis.

"Sebenarnya... aku ingin menanyakan sesuatu pada bibi." ungkap Sarada.

"Tanya apa?" tanya wanita ber marga Yamanaka itu.

"Ini... tentang Hokage ke tujuh."

"Oh... Naruto ya..." Sarada mengangguk.

"Bi... Menurut bibi, siapakah orang yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh?" tanya Sarada.

"Sasuke." sahut sebuah suara dari pintu masuk rumah.

2 wanita yang tengah berbincang itu menoleh, mendapati ayah Inojin tengah melepas alas kakinya.

"Okaeri, Sai..." wanita disamping Sarada berdiri menyambut kedatangan suaminya.

"Tadaima..." tukas pria bernama Sai itu seraya mendekat ke arah 2 wanita itu.

"Kalau kau bertanya siapa orang yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh, maka jawabannya hanyalah Sasuke." jelas Sai sambil duduk disamping Sarada, sehingga Sarada kini diapit oleh 2 orang dewasa.

Sarada terdiam, mencoba mencerna penjelasan ayah Inojin.

"Ah, kau tidak usah bingung Sarada... Ayah Inojin ini dulu rekan satu tim dengan Hokage dan ibumu." jelas istri pria bernama Sai ini.

"Apa?" Sarada nampak makin tak mengerti.

"Apa ibumu tidak pernah bercerita kalau aku pernah masuk tim nya karena ayahmu–"

"Sai!" seru ibu Inojin, memelototi Sai tanpa diketahui oleh Sarada.

Sai mendesah lelah. Ia kemudian bangkit dan pamit masuk ke kamar.

Ibu Inojin merangkul bahu Sarada.

"Sai masuk ke dalam tim nya Hokage karena suatu hal. Dan itu juga karena perintah Hokage ke 5." jelas ibu Inojin.

Sarada mengangguk, tapi dia cukup mengerti bahwa ada yang disembunyikan orang-orang mengenai ayahnya.

"Nah, kau minum ya. Aku membuat ini khusus untukmu. Kudengar kau suka jus tomat." kata Ino sambil menyodorkan minuman yang sejak tadi tidak disentuh oleh Sarada.

Sarada mengangguk, meraih minuman itu sebelum ia pamit pulang.

Akira Veronica Lianis –

Sarada mengambil secarik kertas yang ia lipat. Ia membuka lipatannya lalu mencoret nama Ino Yamanaka dan Sai yang ada di kertas itu.

Sarada mengamati kertas itu. Kertas yang berisi nama-nama teman se angkatan ibunya itu, ia dapatkan dari laci ibunya. Sarada mengambil kertas ini untuk mencari sesuatu mengenai Hokage ke tujuh.

"Selanjutnya... Akimichi Chouji..." gumam Sarada, teringat salah satu temannya.

"Hai Sarada. Kau sedang apa?" seru seseorang di belakang Sarada, membuat ia buru-buru memasukkan kertas yang ia bawa ke dalam sakunya.

"A-ah... Chouchou..."

"Kudengar dari Boruto kalau kalian baru saja menyelesaikan misi ke desa lindungan bunyi ya? Apa kau bertemu dengan orang berwajah ular itu lagi, Sarada?" cerocos Chouchou.

"Ah iya. Tapi aku tidak bertemu dengannya. Kami hanya mengambil beberapa informasi yang diberikan oleh Yamato-san." jelas Sarada.

Chouchou mengangguk paham.

"Eh, apa ayahmu ada di rumah?" tanya Sarada.

"Um." Chouchou mengangguk, "... aku lihat tadi ayah bersama paman Shikamaru, mereka bermain shougi." imbuhnya.

"Erm... bolehkah aku bertemu dengan ayahmu?"

"Tentu saja, Sarada. Ayo, kebetulan aku juga mau pulang."

Tanpa menunggu respon dari Sarada, Chouchou menyeret Sarada ke rumahnya. Sarada sendiri tidak mengajukan protes. Ia menurut saja dan terdiam sampai mereka memasuki rumah Chouchou yang sering ia kunjungi jika ada tugas kelompok.

"Oh. Sarada rupanya. Ayo masuk." ajak seorang wanita yang Sarada kenal sebagai ibunya Chouchou.

"Terimakasih bibi Karui." ucap Sarada, sambil mendaratkan pantatnya diatas lantai tatami depan meja kecil.

"Ibu. Ayah dimana?" tanya Chouchou kemudian.

"Ayahmu ada di sebelah. Dia mengobrol dengan Shikamaru lama sekali." terang Karui.

Chouchou menoleh pada Sarada dan tersenyum padanya.

"Ah Chouchou, kau buatkan Sarada minuman. Ibu mau mengambil jemuran." perintah Karui seraya berlalu pergi.

"Iya ibu." kata Chouchou, ".. nah Sarada, kau bisa sendiri kan menemui ayahku?" tanya Chouchou kemudian berlalu pergi.

Sarada kembali berdiri dan menuju ke tempat dimana ayah Chouchou dan ayah Shikadai berada.

Nampak di mata Sarada 2 orang dewasa tengah mengobrol di samping halaman rumah. Dengan cepat Sarada menghampiri 2 orang tersebut tak peduli bahwa kehadirannya diketahui oleh 2 orang tersebut.

"Oh. Sarada rupanya." tukas Chouji, ayah Chouchou–ramah.

"Selamat pagi..." ucap Sarada dengan sopan.

"Pagi." balas seorang pria di samping Chouji dengan malas.

Sarada kemudian duduk didekat pria dewasa itu lalu menatap 2 orang di depannya dengan antusias.

"Kau bukan ingin berbicara denganku lagi kan?" tebak Shikamaru.

Sarada tersenyum. Dan Chouji mengerutkan dahinya– bingung.

"Shikamaru-san. Aku hanya ingin bertanya, siapa orang yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh?" tanya Sarada dengan lembut.

Shikamaru menghela nafas dan Chouji memperlebar senyumnya.

"Tentu saja Sasuke, ayahmu." jawab Chouji lantang.

"Mereka itu bersahabat," tambah Shikamaru kemudian.

"Sedekat apa mereka?" tanya Sarada lagi.

Shikamaru menatap Chouji yang juga tengah menatapnya. Mereka mengangguk singkat, seperti tengah bersepakat akan suatu hal.

"Mereka sangat dekat, sama seperti Shikadai, Inojin, dan Chouchou." jelas Chouji dengan sederhana.

"Tapi... kurasa tidak sesederhana itu Chouji-san." Sarada menggelengkan kepalanya, tak setuju.

"Aku merasa papa ku benar-benar dekat dengan Hokage ke tujuh. Lebih dari kedekatan papa dan mama." jelas Sarada dengan mata sendu.

Shikamaru menangkap ekspresi Sarada. Ia pun menatap Chouji sejenak lalu berdehem keras.

Shikamaru kemudian berdiri. Lalu 2 pasang mata menatapnya bingung.

"Kurasa aku harus kembali melanjutkan pekerjaanku di gedung Hokage." kata Shikamaru.

Chouji ikut berdiri. Sarada tidak terima begitu saja kalau ia tak diacuhkan.

"Shikamaru-san." seru Sarada.

"Nah, kau lanjutkan penyelidikan mu, Sasuke mini." kata Shikamaru pada Sarada.

Sarada mengerutkan dahinya.

Shikamaru kemudian melengos pergi setelah ia pamit pada Chouji.

Sarada terdiam sejenak lalu menundukkan kepalanya dengan hormat lalu enyah dari kediaman Chouchou. Mengabaikan Chouchou yang memanggilnya untuk kembali.

Akira Veronica Lianis –

Sarada mengamati kertas yang ia bawa. Ia baru saja mencoret beberapa nama seperti Ten-ten, Rock Lee, Shino Aburame, dan tentu saja Akimichi Chouji serta Nara Shikamaru.

Dari semua orang yang ia tanyai mengenai siapa orang yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh, semuanya serentak menjawab bahwa ayahnya lah orangnya.

Sebenarnya dari sini saja harusnya Sarada mengerti bahwa tidak ada orang lain lagi yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh selain Uchiha Sasuke tentunya. Tapi entah mengapa ada sedikit ketidakrelaan di saat yang sama ia bertanya siapa orang yang paling dekat dengan ayahnya, dan orang-orang itu menjawab bahwa Hokage ke tujuh lah orangnya.

Sarada kembali mengamati kertas dihadapannya. Ia membaca nama yang tersisa disana.

"Hyuuga Hinata..." ucap Sarada pelan.

Matanya menerawang.

Ibu Boruto ya? Batin Sarada. Tak yakin kalau ia harus menemui orang yang justru merupakan salah satu alasan ia melakukan ini.

flashback

Sarada harusnya ada di rumah saat ini. Namun ia tak di rumah. Ia kini terdiam di balik pohon, mengamati seorang bocah bandel yang tengah memukul-mukul batang kayu dengan emosi.

Sarada terus berada disana saat bocah itu kemudian berhenti memukul kayu di depannya dan terengah-engah dengan badan setengah membungkuk.

"AKU TAHU KAU ADA DISANA!" Teriak bocah berambut pirang itu, membuat Sarada terkejut.

"Apa maumu Sarada? Kau masih belum puas kupukul?" tanya bocah itu, menoleh kearah pohon yang digunakan Sarada untuk bersembunyi.

Sarada tak punya alasan lagi untuk bersembunyi, maka ia pun melangkah mendekat ke arah bocah itu seraya membetulkan kacamatanya.

"Apa maumu?" desis bocah berambut pirang itu.

"Boruto... aku tidak tahu kenapa kau memukulku. Aku merasa tidak punya salah padamu. Jadi aku punya alasan untuk membalas pukulanmu" kata Sarada dengan tangan terkepal.

Boruto mendecih, menatap Sarada dengan pandangan menghina.

"Kau!" tunjuk Boruto dengan telunjuk yang mengacung tepat di hidung Sarada.

"Aku benci padamu." tegas Boruto membuat gadis berkacamata itu menyeringai.

"Aku tak peduli kau perempuan atau bukan. Karena aku akan tetap menghajar mu sampai kau berhenti muncul di sekitarku." kata Boruto lantang.

"Aku akan selalu ada di sekitarmu Boruto. Bukankah kita satu tim?" balas Sarada sengit.

Boruto mengepalkan kedua tangannya dan tanpa basa-basi menyerang Sarada dengan pukulan yang tak bisa dianggap biasa.

Sarada yang memiliki gerak refleks bagus mampu menghindari pukulan itu sebelum mengenai wajahnya. Ia bahkan sempat menyerang perut Boruto dengan bogem mentah yang sukses membuat Boruto terseret mundur beberapa meter sebelum akhirnya tergeletak diatas tanah dengan erangan kesakitan.

Sarada tersenyum kecut lalu melangkah cepat mendekati Boruto.

Boruto sendiri segera bangkit dan menatap nyalang Sarada yang tengah mendekatinya. Ia meludahkan darah yang keluar dari mulutnya dan memegangi perutnya yang terasa sakit.

"Brengsek kau Sarada." umpat Boruto saat Sarada berdiri tepat di depannya.

"Masih kurang?" tanya Sarada.

Boruto segera menghajar Sarada namun gadis itu dengan cekatan menangkap kepalan tangan Boruto lalu menarik tubuh Boruto untuk kemudian ia banting. Boruto sendiri tidak mau kalah, dengan cepat ia memukul pipi Sarada saat gadis itu menunduk usai membantingnya.

Adu jotos pun segera berlangsung. Sama seperti saat sang sensei memerintah Boruto, Mitsuki, dan Sarada untuk berlatih. Bedanya kali ini mereka hanya berdua tanpa Mitsuki, dan bukannya berlatih melainkan berkelahi.

Senja mulai menghilang, menandakan berakhirnya perkelahian mereka.

2 bocah itu kini tergeletak diatas tanah dengan luka-luka yang menghiasi sekujur tubuh mereka. Mereka nampak berbaring berdampingan dengan nafas terengah-engah sebagai satu-satunya suara yang terdengar disana selain gemerisik daun akibat hembusan angin.

Tak ada yang membuka suara sampai nafas mereka kembali stabil.

"Kita seharusnya pulang." Sarada bersuara, memecah keheningan.

Boruto terkekeh, mengundang dengusan geli dari Sarada.

"Aku tidak mau pulang." kata Boruto kemudian.

Sarada terdiam, kacamatanya sudah tak karuan ada dimana.

"Ayah jarang ada dirumah. Dia sibuk." kata Boruto lagi, dengan emosi yang bisa Sarada rasakan dari nada suaranya.

Sarada masih terdiam, namun ia siap mendengarkan apapun yang akan dikatakan Boruto nanti.

"Dia tak punya waktu untukku. Dia lebih senang menghabiskan waktunya di gedung Hokage dibandingkan di rumah." lanjut Boruto.

Helaan nafas terdengar di telinga Sarada, membuatnya menoleh kearah Boruto.

"Dia benar-benar ayah yang brengsek. Aku benci Naruto."

Sarada terkekeh geli.

"Aku tahu tugas Hokage memang berat. Tapi dia sungguh keterlaluan." imbuh Boruto dengan nada benci yang kentara.

Sarada masih menatap Boruto, meskipun pandangan matanya agak buram tapi ia dapat menangkap ekspresi sedih Boruto kemudian.

"Tempo hari, kebencianku pada Naruto si idiot itu bertambah. Aku tak sengaja melihatnya membentak ibuku. Ia bilang ibu sangat lancang memasuki sebuah ruang bawah tanah yang tidak boleh dimasuki siapapun selain dia sendiri. Ibu menangis, dan aku sibuk menjaga adikku, aku takut dia terbangun dari tidurnya."

Sarada mendengarnya dengan seksama.

"Aku benci juga pada ibuku. Aku tahu dia tidak bersalah dan senang sekali menyalahkan dirinya atas kesalahan yang aku buat." tambah Boruto dengan senyum miris.

"Jadi... yang memasuki ruangan itu kau?" simpul Sarada, dan Boruto mengangguk dengan cepat.

"Aku memasuki ruangan itu, dan ibuku tahu. Kebetulan orang itu pulang dan ibuku segera menyeretku pergi. Ia lupa belum mengunci lagi ruangan itu. Saat dia kembali untuk mengunci pintu itu, dia mengetahuinya. Dia memarahi ibu. Uh..." Boruto nampak mengepalkan kedua tangannya.

"Kau tahu apa yang dikatakan orang itu Sarada?"tanya Boruto, dan Sarada menggeleng.

"Dia bilang tak akan segan-segan menceraikan ibu." lirih Boruto, membuat Sarada terkejut.

"Ce-cerai?" ulang Sarada.

"Kau tahu apa yang ada dalam ruangan itu apa sampai-sampai dia menyakiti ibu?" Boruto menghela nafas sejenak, "...aku sendiri tidak tahu apa, aku hanya melihat ruang gelap sebelum ibu menyeretku pergi." lanjut Boruto.

Sarada menghembuskan nafas dengan pelan.

" Tapi aku mendengar darinya bahwa itu adalah tempat yang penuh dengan rahasia orang terdekatnya." ungkap Boruto.

"Orang terdekatnya?" beo Sarada.

"Iya. Tapi aku tidak tahu siapa." kata Boruto.

flashback end

Sarada melipat kertas yang ada di tangannya. Memasukkannya ke dalam saku dan bergegas pergi.

Tinggal Inuzuka Kiba. Batin Sarada.

Ia melangkah cepat. Siang semakin terik, membuatnya enggan lama-lama diluar rumah untuk melakukan hal ini.

Ia sebenarnya tak mengenal orang ini. Bahkan ia tadi harus bertanya pada Aburame-sensei dimana rumah Inuzuka Kiba dan bagaimana ciri-cirinya.

Yah... meskipun sensei nya yang satu ini agak aneh tapi dia dengan baik hati menyuruh orang bernama Inuzuka Kiba ini untuk menunggu Sarada di depan kedai dango.

Kini Sarada sampai di kedai dango yang dimaksud sang sensei. Dengan cepat ia memasuki kedai itu dan mencari orang yang memiliki jenggot dan tato segitiga terbalik di pipinya.

"Kau yang namanya Sarada?"

Sarada berjengit, merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang tepat di belakang Sarada. Sarada berbalik dan mendapati orang yang tadi disebutkan ciri-cirinya oleh sang sensei.

"Ah. Ayo kita duduk. Aku kebetulan juga baru datang. Hehe," kata orang bernama Inuzuka Kiba itu seraya menarik Sarada untuk duduk di depannya.

Sarada menurut. Ia duduk dan menatap intens orang di depannya.

"Ah, kau putri Sakura kan. Dan anak dari Uchiha itu..." ujar Kiba seraya mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan.

Sarada mengangguk. Tak lama kemudian datang seorang pelayan di samping Kiba yang memesan makanan untuk mereka berdua.

"Kau tidak usah khawatir, aku yang mentraktir." tukasnya saat pelayan tadi berlalu.

"Maaf merepotkan..." Sarada menundukkan kepalanya.

"Hahaha... Tidak apa-apa. Jadi, apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Kiba.

"Aku hanya ingin bertanya, siapa orang yang paling dekat dengan Hokage ke tujuh." Sarada mengajukan pertanyaan itu lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Naruto? Hmm... menurutku, Sasuke yang paling dekat dengan Naruto." jawab Kiba dengan mimik wajah serius.

Sarada terdiam sejenak lalu membalik pertanyaannya tadi.

"Yang paling dekat dengan Sasuke ya hanya Naruto. Terlebih dia selama belasan tahun ini tidak pernah ada di desa. Setahuku, yang paling sering berkomunikasi dengan Sasuke ya Naruto sendiri. Bahkan yang tahu keberadaan Sasuke sekarang cuma Naruto." jelas Kiba panjang lebar.

Kiba menghentikan penjelasannya saat pesanannya dihidangkan di atas meja. Ia mengambil satu tusuk dango lalu memakannya.

"Makanlah. Aku tidak mau dihajar ibumu hanya karena membiarkan dirimu kelaparan." canda Kiba, membuat Sarada melakukan hal yang sama seperti Kiba.

"Kudengar kau bahkan belum pernah bertemu dengan ayahmu." cicit Kiba, membuat Sarada hampir tersedak.

Sarada segera meminum teh yang dihidangkan sebelum ia mengiyakan pernyataan Kiba.

"Tapi beberapa bulan yang lalu, aku menemui papa bersama Hokage ke tujuh. Dan sepertinya kau benar mengenai keberadaan papa yang hanya diketahui oleh Hokage ke tujuh." ungkap Sarada.

Kiba manggut-manggut mengerti.

"Tapi... papa bahkan tidak mengenaliku." lirih Sarada sedih.

Kiba berhenti mengunyah dan menatap gadis berkacamata itu.

"Ah... mungkin dia terlalu lama bepergian." desis Kiba, "... ah, tapi dia dulu sempat tinggal selama sebulan saat kau lahir."

"Aku tahu. Dia hanya berada di desa paling lama saat aku lahir. Dia bahkan hanya tinggal selama 3 hari usai menikah dengan mama. Bukankah itu tidak aneh bagimu?" tanya Sarada dengan pandangan mata sendu.

Kiba berdehem lalu duduk dengan tenang.

"Sarada... Sasuke tidak bisa berlama-lama di desa." ujar Kiba dengan suara yang lirih.

"Kenapa?" sahut Sarada cepat.

"Ceritanya panjang..."

Kiba menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat.

"Ah. Berapa umurmu sekarang?" tanya Kiba tiba-tiba, membuat Sarada berpikir bahwa Kiba mencoba mengalihkan pembicaraan sama seperti orang-orang sebelum Kiba yang sempat Sarada tanyai.

"15 tahun." namun Sarada tetap menjawabnya.

"Oh. Sudah cukup besar ya." gumam Kiba.

Sarada kelihatan cuek lalu meminum tehnya.

"Sebenarnya ini rahasia. Tapi toh cepat atau lambat kau akan tetap mengetahuinya Sarada..." tukas Kiba.

Sarada mengangkat sebelah alisnya, tak mengerti maksud ucapan Kiba.

"Dengar baik-baik Sarada, karena aku tak akan mengulang untuk yang kedua kalinya." ujar Kiba serius.

Sarada meletakkan kedua tangannya diatas meja dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Bersiap untuk mendengar apapun yang keluar dari mulut Kiba. Firasatnya bahkan mengatakan bahwa dia akan mendapatkan informasi yang kemungkinan besar akan mengubah hidupnya.

"Dulu. Bertahun-tahun yang lalu saat aku masih berumur sekitar 16 tahun. Dan kondisi dunia ninja masih kacau. Ada sebuah fakta yang seluruh dunia ninja tahu..." Kiba memotong ceritanya, membuat Sarada penasaran.

"...bahwa ayahmu. Uchiha Sasuke..." lagi-lagi Kiba memotong ceritanya, membuat Sarada gemas dan ingin menonjok muka Kiba.

"...adalah seorang buronan kelas berat. Dan diincar semua orang di dunia ninja."

Bersambung...

#plak

Wkwk, :v

Gue putus sampe sini dulu ya...

Maaf, Sasuke sama Naruto nya belum bisa ku munculin di chapter ini. Maaf maaf #bungkukbungkuk

Kalau ada yg keberatan baca chap ini mending gk usah di baca. Langsung capcus di chap 2 aja.

Krn aku yakin ada yg gk suka ama setting Canon yg kubuat disini.

And then...

gimme some review.

- Akira -