"BUKA SIALAN!"

BANG

BANG

BANG

Umpatan kasar juga dobrakan keras dari sebuah bilik toilet terdengar menggema. Di dalamnya, seorang anak laki-laki dengan baju seragam penuh cairan lengket yang tak lain adalah telur menendang pintu besi bilik itu dengan begitu brutal. Namun kekuatannya seperti tidak berguna, pintu itu tetap kokoh tertutup.

"HAHAHA…. RASAKAN! BIAR SAJA IBUMU YANG JALANG ITU KHAWATIR KARENA ANAK TERCINTANYA TIDAK PULANG KE RUMAH"

Bukannya membantu membuka pintu bilik, empat orang anak laki-laki berseragam sama tertawa begitu keras sambil memegang perut. Salah satunya berucap demikian, sorot penuh kebencian tercetak jelas di iris hitamnya.

"IBUKU TIDAK JALANG!"

Kini, genangan air mata mengumpul perlahan. Anak laki-laki itu –Haechan mengusap kasar air mata yang dengan kurang ajarnya menetes tanpa seizinnya. Ia tidak akan menangis. Ia tidak sudi harus menangis karena mereka. Hal itu hanya akan membuat Haechan kalah dan tampak tidak berguna. Mereka akan semakin menginjak-injak harga dirinya.

"Oh ya? JALANG mana yang mau mengaku kalau dirinya JALANG"

Haechan memejamkan mata, menahan gejolak amarah yang kembali naik akibat ucapan salah satu teman sekelasnya itu. Ia memilih kembali menendang pintu, berharap pintu sialan ini akan terbuka.

"Kajja! Biarkan saja tikus got itu kedinginan di dalam"

Mata Haechan terbelalak lebar. Sial!

"BUKA! BUKA JENO –YA! KUBILANG BUKA PINTUNYA!"

BANG

BANG

Haechan menendang pintu berkali-kali sampai kedua kakinya sakit. Kelelahan, ia memilih berhenti melakukan hal tersebut dan duduk di atas closet. Ia mengambil shower yang tergantung di dinding dan mulai menyiram rambutnya yang sangat lengket. Aroma amis seketika menguar memenuhi bilik kamar. Haechan mual seketika.

"Tidak apa-apa…" gumam Haechan "Tidak bau kok" ucapnya mensugesti diri sendiri.

Haechan melepas seragam atasnya lalu kembali menyalakan shower dan membasahi tubuhnya. Cairan lengket perlahan turun dan bergerak perlahan menuju saluran pembuangan. Badan Haechan lebih bersih meski bau amis masih tercium jelas.

Ia kembali duduk dan terdiam. Sedikit menggigil karena hari sudah mulai sore. Netranya menerawang langit-langit, senyum ibunya terukir manis disana. Ia ikut tersenyum.

"Ibu…. Ibu tidak jalang…."

Ucapan lirih itu terdengar menyakitkan. Ketika air mata itu turun begitu saja, Haechan tidak menghapusnya. Ia membiarkan buliran bening itu mengalir sesuka hati.

"Ibu … hiks… Ibu…adalah orang terhebat dalam hidupku…" Haechan mulai menangis.

"Ibuku tidak jalang"

.

.

PAST PRESENT FUTURE

.

.

Mark berlari menyusuri koridor sekolah. Langkahnya menggema sangat keras di lorong yang sepi. Maklum, ini sudah sore. Siswa lain yang tidak punya kepentingan di sekolah pasti sudah pulang ke rumah masing-masing.

Mark mengatur nafasnya yang berat akibat berlarian selama setengah jam ini. Ia kembali menempelkan ponsel putih miliknya ke telinga. Berdecak kesal ketika operator yang menjawab, bukan si empunya ponsel.

Ia kembali berlari, kali ini tujuannya adalah kelas seseorang yang ia cari. Manik matanya menyisir ruang kelas yang sepi, ia hampir saja berbalik untuk pergi saat ekor matanya menangkap tas ransel yang sangat dihafalnya.

"Ya Tuhan… Kau dimana Haechan –ah?"

Mark mengusak surainya kasar. Ia menyesal meninggalkan Haechan seorang diri. Harusnya tadi ia ajak saja adik kelasnya itu untuk menemaninya berlatih. Kalau begini, Mark sendiri yang bingung mencari keberadaan Haechan.

Ada satu tempat yang belum Mark datangi, kamar mandi kecil di pojok dekat kantin sekolah. Mustahil sebenarnya jika Haechan menggunakan kamar mandi tersebut, jaraknya terlalu jauh dan ada banyak kamar mandi lain yang lebih dekat dari ruang kelasnya. Mengabaikan kemustahilan itu, Mark kembali berlari.

"Haechan –ah kau di dalam?"

Mark sangsi sebenarnya Haechan berada disini, kamar mandi ini sangat gelap. Lampunya saja mati hingga tempat ini terkesan menyeramkan. Mana mau anak seperti Haechan kesini, dia kan penakut.

Mark mengernyitkan kening. Sayup-sayup ia mendengar isakan lirih dari salah satu bilik. Ia melangkahkan kaki, mendekat ke sumber suara yang semakin jelas. Seseorang sedang menangis di dalam sana. Ia ragu sebenarnya, sedikit berprasangka mungkin saja itu salah satu hantu penunggu toilet.

"Haechan –ah itu kau?" teriak Mark lagi memastikan.

"MARK HYUNG?"

Rasa lega yang tak bisa dijelaskan membuat Mark mengulum senyum. Ia memutar kenop untuk membuka pintu, namun tidak berhasil. Otak cerdasnya segera menangkap situasi yang ada, jelas sekali Haechan dikunci dari luar. Mark bersyukur kunci itu menempel pada kenop sehingga ia tidak perlu mendobrak pintu.

"Jesus… Apa yang terjadi padamu?"

Raut khawatir tidak bisa Mark sembunyikan. Ia melepas jas sekolahnya dan memakaikannya pada Haechan karena anak itu tidak memakai apapun pada bagian atas tubuhnya. Bibirnya membiru dan tubuhnya tidak berhenti menggigil. Mark yakin anak itu pasti sudah lama berada disini.

"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Mark. Rahangnya mengeras sampai urat lehernya menonjol. Rasanya ia ingin memberikan pelajaran pada orang yang menyakiti Haechan.

"T -tidak ada hyung…." Balas Haechan. Ia memilih untuk menggerakkan kakinya yang terasa kaku. Namun baru beberapa langkah, ia terhuyung. Untung saja Mark cepat menangkapnya, kalau tidak ia pasti sudah tersungkur di lantai.

"Mark hyung…." Panggil Haechan. "Bisakah kau mengambilkan celana cadangan yang berada di lokerku? Aku tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini. Ibu akan khawatir"

Mark menghela nafas. Ia kesal karena Haechan terkesan menutup diri darinya. Namun Mark memilih menurut. "Kau ganti saja di dalam mobilku. Aku tidak ingin kau semakin kedinginan disini" katanya mutlak.

Dengan satu gerakan, ia menggendong Haechan. Mengabaikan Haechan yang meronta karena takut celananya yang basah akan membuat kotor seragam yang ia kenakan. Belum lagi aroma Haechan yang persis telur. Tapi Mark tidak peduli.

"Mark hyung…."

"Heum?"

"Ibuku tidak jalang kan, hyung?"

Mark berhenti melangkah. Ia menatap Haechan yang menyembunyikan wajahnya di dada Mark.

"Ibu satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Aku tidak akan pernah membiarkan orang-orang menyakitinya."

Mark terdiam, ia melanjutkan langkah. Bukan berarti Mark tidak mendengarkan. Ia hanya ingin Haechan bercerita sampai beban di hatinya menghilang.

"Apa salah kalau aku cuma punya Ibu?" Suara Haechan bergetar meski ia mati-matian menahannya. "Aku memang tidak punya ayah…" Kali ini Haechan benar-benar menangis.

"Tapi Ibu sudah menjadi Ibu sekaligus Ayahku… Hiks…. Bagaimana orang-orang itu bisa mengatakan dia jalang, hyung?"

.

.

.

PROLOG END


Jadi ini FF yang kemarin aku ceritakan. Genrenya masih HURT COMFORT. Tapi sorry aku nggak akan bikin adegan sedih atau Haechan yang menderita disini. Sudah cukup di FF Hurt Me aja dia menderita.

Buat yang masih nggak tau siapa tokoh Ibu disini, ditunggu ya.

Tolong jangan dilihat scene sedihnya, tapi diresapi aja kata-katanya. Kita kebanyaakan baca romace tapi jarang 'ngeh' sama tema yang family gitu.

So, bisakah kalian kasih aku pendapat tentang orangtua tunggal?

Aku rada miris aja sih sebenrnya, karena aku punya temen yang dia tinggal berdua sama ibunya. Orang yg gakenal deket sama dia, selalu bilang kalo ibunya nakal hanya karena profesinya sebagai penyanyi dangdut. Sedih sih jadinya, padahal jadi orangtua tunggal kan susah. Hidupin anak di jaman sekarang butuh banyak perjuangan. Kenapa orang-orang masih sering negatif thinking.

.

.

Jangan lupa review ya...

.

KIBARKAN BENDERA MARKHYUCK!