Liebesfreud

Naruto belongs to Masashi Kishimoto's

Rated : M

Warns : Typo, gaje, beserta kekurangan lainnya.

Note : Masih adakah yang inget sama ff absurd ini? Huhu maaf ya satu taun gak muncul. Jadi gaes, ini aku republish karena alurnya mau aku rombak dari alur awal, tapi masih nyerempet kok.

Happy reading yaa~~

Jepang, 1865.

Perang. Kekerasan. Kematian. Tangisan. Kekuasaan.

Bukanlah hal tabu bagi setiap insan manusia yang hidup pada peradaban ini. Mereka bertahan dalam keremangan yang senatiasa dipenuhi oleh rasa takut.

Mereka tak berdaya. Para budak tak bertenaga itu tak memiliki barang sejengkalpun kuasa untuk menolak sepatah perintah dari sang penguasa. Mereka menurutinya, meskipun mereka mengetahui, tak ada jaminan kehidupan yang para brengsek itu janjikan.

Sudah beberapa abad semenjak peristiwa mengerikan itu berlalu. Masa peperangan yang memicu perselisihan antara para Kaisar dengan kelas para Samurai pada abad ke 10. Masa suram yang menimbulkan bukan hanya kekacauan, pun dengan kematian dari kedua belah pihak yang tak dapat terhitung lagi berapa jumlahnya. Ribuan nyawa melayang tanpa tahu siapa yang harus disalahkan. Bunyi dentringan pedang menjadi satu-satunya irama yang menggiring ke depan gerbang kematian. Warna merah pekat menjadi sangat kontras dengan hamparan tanah yang tak terkira luasnya. Mereka tak peduli. Tak sedikitpun risau atau bahkan merasa iba dengan tubuh ringkih yang dipekerjakan secara paksa. Kumpulan tikus penjilat harta akan senantiasa terlelap, menikmati indahnya dunia dengan pundi logam mulia tanpa melirik kepada mereka yang hanya membutuhkan setetes air untuk pangkal kerongkongannya.

Kau dapat melihatnya, kumpulan tubuh ringkih yang hanya tersisa tulang benulang, merengkuh secercah harapan untuk tetap bertahan. Menata kebun-kebun secara paksa. Mereka tahu. Mereka mengetahuinya, pekerjaan yang menyita peluh dan hidup mereka, hanya untuk sesuap nasi.

Begitu mengerikan jika kembali menatap ke belakang.
Namun, kesampingkan dulu dengan semua hal mengerikan pada masa itu. Kini, negeri ini telah berhasil bangkit dari peperangan. Tak lagi ada perselisihan di antara kedua pihak yang dahulu saling berseteru tersebut.

Para Kaisar telah bangkit kembali dari masa kelamnya dahulu. Satu persatu
Kotei telah berganti seiring dengan waktu yang juga silih berganti.
Tepat pada abad ini, para Soga
yang dianggap sebagai pengendali para kaisar, telah menetapkan sosok pemimpin mereka.

Sang Raja yang akan menjadi satu-satunya Kaisar agung yang memimpin klan kebesaran mereka. Seorang dari klan Uchiha. Klan yang paling dihormati oleh kalangan manapun, tak terkecuali dengan kelas para Samurai dan Shogun.
Sosok pria yang kini menyandang gelar
Tenno, sang Pangeran atau yang biasa disebut Shinno muda penyandang gelar kaisar.
Namun, sosok pemimpin baik nan dermawan bukanlah satu-satunya kata yang dapat mewakili kepribadian seorang Raja. Kaisar Uchiha Sasuke, raja yang memimpin kekaisaran pada masa ini. Raja tegas yang tak pernah mengenal ampun. Raja yang tak ingin mengenal kasih sayang. Raja kejam nan arogan yang membuat kekuasaan sebagai ideologi hidupnya. Bukankah ini sama saja dengan hidup kembali pada masa perang dulu? Tidak. Tak sepenuhnya demikian, sang Raja hanyalah seorang pemimpin yang tak ingin mengenal penolakan. Untuk itu, kesempatan hidup lama akan menjadi peluang besar jika tak sedikitpun membantah setiap perintah yang terlontar langsung darinya.

Hingga, malam inipun datang.

Di bawah bulan malam ini, tiada setitikpun awan di langit. Mentari yang perlahan terbit seiring dengan tenggelamnya sang rembulan. Dengan cepat ia naik dari kaki langit, mengunjungi semua yang tersentuh cahayanya. Langit yang perlahan menjernih, berbeda dengan keadaan di atas bumi yang resah nan gelisah.

Bahkan juga laut jernih di bawah remang mentari itu gelisah. Ombak-ombak besar menggulung memanjang terputus, mengejajari pesisir pulau ini. Angin yang bertiup tenang tak dapat mewakili sisi jiwa yang berteriak kencang.

Malam yang menukik tajam itupun bergerak mendekati datangnya pagi yang tinggal beberapa jengkal lagi. Ampak-ampak kabut yang semula begitu tebal menyibak. Sebagian membumbung, sebagian menguap, dan sebagian lagi tersapu terbawa angin menjauhi tanah barat. Wajah-wajah yang semula berjarak batas, kini tampak jelas.

Setiap kilauan yang menembus embun pagi, memberi setitik kehangatan bagi setiap jengkal udara yang berhembus. Mereka yang telah membuka mata, kembali berharap dalam rasa takut yang tersembunyi dalam sanubari.

Kini, tubuh tegapnya berdiri tepat di depan para mayat yang telah ia renggut nyawanya dengan begitu mudahnya. Ceceran darah segar terdapat dimana-mana, tak terkecuali dengan baju zirah besi yang melapisi tubuhnya ikut memerah dengan beberapa bercak darah disana. Irisan kelamnya menatap tajam setiap tawanan yang kini terduduk tak berdaya di hadapannya. Pandangannya kembali tertuju ke bawah, menatap seonggok pria tua berlumuran darah yang ia injak dengan mudahnya. Pria tua dengan helai oranye berbentuk menyerupai bintang itupun meringis menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya saat Kaisar Sasuke semakin menekan injakan kakinya pada kepalanya.
"Apa kau masih belum mau menyerahkan semuanya?" suara beratnya menembus cengkaman ketakutan di bawah teriknya matahari yang semakin menusuk. Pria paruh baya di bawahnya -Kizashi- mendecih pelan tanpa sedikitpun membuka kedua kelopak matanya yang senatiasa tertutup menahan sengatan sang mentari yang sangat menusuk koyakan luka pada tubuh rapuhnya.
Apa Kaisar Sasuke sekejam ini?
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, sang Kaisar bukanlah tipe pria yang dapat menerima penolakan. Pembantaian ini bukanlah suatu hal tanpa alasan.
Konoha, desa tempatnya berpijak kini merupakan salah satu desa terkaya dengan banyaknya penghasilan rempah, emas, dan berbagai peluang kekayaan lainnya yang dapat mereka hasilkan sendiri. Sasuke

berniat untuk melakukan kerjasama dengan imbalan ratusan hewan ternak dengan menukar beberapa peti emas dan rempah setiap tahunnya. Namun, sang pemimpin desa menganggap hal itu tak cukup sebanding dengan semua yang mereka hasilkan hingga memicu kemarahan sang Penguasa tertinggi saat ini. Untuk itu Sasuke menginginkan desa beserta isinya dapat menjadi miliknya sepenuhnya.
Dengan suara yang sudah sangat serak, Kizashi berucap pelan di bawah kaki sang Kaisar.
"Jangan harap, Tuan!" hal itu tentu saja bukanlah penolakan halus ataupun penuh kehormatan. Pria paruh baya tersebut sudah merasa muak dengan semua perintah raja di atasnya yang terus saja berlaku semaunya. Jika ditanya benci atau tidak, untuk saat ini Kizashi membenci pria ini. Sangat.
Pria yang telah membunuh hampir separuh warga lelaki di desanya, meskipun minus dengan kaum hawa dan para anak-anak yang menjadi tawanan, tetap saja ini sudah keterlaluan. Membunuh demi sebuah kekuasaan, itulah dia.
Sang Kotei mendecih mendengar jawaban yang tak ia harapkan tersebut. Baiklah, jika memang dengan jalan membunuhlah yang bisa memberikannya kekuasan, maka akan ia lakukan. Tak siapapun bisa menolak ataupun menentang perintahnya, dan ia akan menegaskan itu semua selagi ia menjadi
Shinno muda kepada semua orang. Tak terkecuali kepada pria tua yang masih berada di kengkangannya ini.
Pria raven itu menunduk, dengan sebelah tangannya, ia berhasil mengangkat kerah baju yang Kizashi kenakan hingga pria yang telah lemah itupun terangkat ke atas dengan ketidak berdayaannya.
Sasuke menatap meremehkan kepada pria paruh baya di depannya tersebut.
Pandangannya kembali menuju kedepan, mengedar menatap kumpulan tawanan yang berada di ujung tanduk tersebut. Lemah. Tak berdaya. Ketakutan. Kembali mendecih dan mengangkat Kizashi semakin ke atas.
"Lihat! Ini adalah salah satu contoh jika kalian menentang perkataanku." tak ada yang berani berucap meski sepatah kata. Lantangnya teriakan sang Kaisar telah berhasil membisukan setiap isi hati yang terus memberontak, menahan dengan ketakutan hingga tak sekatapun yang dapat terlontar ke luar. Kizashi dapat merasakan rasa sesak di lehernya semakin menambah rasa sakit pada tubuh tak berdayanya. Meskipun ini akan menjadi hal yang terakhir untuknya, ia tak akan membiarkan desa yang harus ia lindungi jatuh ke tangan pria biadab ini.
Meskipun saat ini Sasuke semakin mencengkramkan genggaman pada kerah kimono yang pria itu kenakan, ia tak akan gentar.
"Dan semua orang yang menantangku…"
Pria itu kembali menggantungkan kalimatnya dalam keheningan. Senyuman miring tercetak begitu menakutkan pada wajah bak malaikat tersebut. Sebelah tangannya yang lain semakin mencengkram sebuah pedang panjang di samping tubuh tegapnya.
Ini akan menjadi…
"...harus kubunuh!"
'CRASH!'
"AKHH!"
...Akhir dari segalanya.
Seketika jeritan tertahan terdengar dari mulut para tawanan yang menyaksikan sendiri kekejaman sang Kaisar di depan mata mereka.
Pria raven itu telah berhasil menghilangkan satu-satunya hambatan yang menghalangi jalan tujuannya. Ia menyeringai licik setelah pedang panjangnya telah berhasil menembus dan mengoyak sisi perut dari pria paruh baya tersebut. Seketika itupun darah segar keluar dari dalam lubang tubuh yang telah menganga tersebut. Begitu juga dengan dengan darah yang keluar dari mulutnya mengalir deras hingga lelehannya membasahi leher pria itu.
Ketakutan semakin terasa membunuh perasaan para tawanan yang menyaksikan kekejaman sang Tenno
dengan perlahan.
Apa yang akan terjadi dengan mereka setelah pemimpin mereka terbunuh?
Akankah mereka bernasib sama?
Mereka saling mengeratkan pelukan satu sama lain. Saling menguatkan dengan kemungkinan terburuk yang mungkin akan menimpa diri mereka. Tak terkecuali dengan seorang gadis kecil yang tengah menangis dengan menutup kedua kupingnya sendiri. Gadis berhelai oranye dengan manik hijau itupun tak hentinya membelalakan mata melihat salah satu orang yang ia sayangi terbunuh di depan matanya sendiri.
"...Tou-san." lirihan itu keluar dari mulutnya yang bergetar saat melihat tubuh pria paruh baya yang kaisar Sasuke hempaskan begitu saja pada permukaan tanah kering di bawahnya. Haruno Saki, puteri kedua dari Haruno Kizashi, tak tahu harus berbuat apa saat ini. Hatinya ingin sekali berteriak, berhambur memeluk tubuh kaku sang ayah dan lalu membunuh Raja kejam itu dengan tangannya sendiri. Namun, tentu saja, semua itu tak mampu ia lakukan. Tak untuk saat ini.
"Cih. Kalian lihat? Pemimpin kalian telah tiada. Sekarang akulah yang menguasi desa ini."
"Bawa mereka sebagai tawanan!" setelah berkata demikian pada kedua pengawal yang berada di belakangnya, iapun berbalik dan lalu meninggalkan tempatnya berpijak semula. Dapat Saki lihat tubuh tegap pria biadab itu yang semakin melangkah menjauh.
Sekarang, keputus asaan telah berada tepat di depan matanya. Ia benar-benar telah kehilangan cahayanya untuk melangkah.
Apa yang harus ia lakukan?
"Nee-san, tolong aku!"

Seorang gadis dengan helai merah muda yang terurai, berjalan perlahan melewati jalan setapak yang menghubungkan area hutan dengan perbatasan desa. Tubuhnya dibaluti yukata dengan warna ungu dan motif bunga sakura yang semakin memperanggun dirinya. Tak lupa dengan sebuah kantung kotak kayu yang ia tenteng dari lengan kanannya. Haruno Sakura menghela nafas berat, penjelajahannya di area hutan untuk mencari bahan obat-obatan memang cukup menguras energinya. Juga dengan panas terik yang semakin membuatnya ingin segera pulang. Gadis itu memang sengaja pergi ke daerah hutan untuk mencari bahan obat namun, meskipun demikian, tak banyak obat yang dapat ia petik. Hanya beberapa lembar daun kusuri dan beberapa lembar daun obat lain yang melengkapi persediannya kali ini. Tak apa, setidaknya perjuangan kali ini juga membuahkan hasil. Begitu pikirknya.
Gadis bermanik zamrud itupun tersenyum sumringah setelah mencapai ujung hutan, sebentar lagi pemandangan desanyalah yang akan menghiasi pandangannya. Ah, ia ingin segera pulang dan mendinginkan suhu badannya saat ini.
Langkah pelannya semakin menggusar saat kedua kaki jenjangnya telah membawanya hingga ke gerbang desa. Sepi. Tak ada seorangpun. Tak ada penjaga ataupun orang yang berlalu lalang. Ataukah ini hanya perasaannya?
Entahlah, ia hanya merasa tak seperti biasanya.
Teriknya matahari berhasil membuat kedua matanya menyipit hingga repleks melihat ke atas.

Gadis itu terdiam sesaat kala irisannya terfokus pada suatu titik di atas sana.
Betapa terkejutnya ia tatkala mendapati bendera berbentuk kipas dengan nuansa merah putih yang berkibar-kibar di sepanjang atap ataupun menara.

"Uchiha?"
Lambang dari kerajaan Uciha berkibar di desanya. Untuk apa?
Ada apa ini? Tidak. Pasti ada yang tidak beres. Dengan keyakinan, rasa khawatir dan rasa penasaran yang berkecambuk, gadis itu berlari sekencang mungkin dari tempatnya berdiri semula.
Lapangan pusat, tempat itulah yang akan ia tuju saat ini. Tempat yang pasti akan menjawab semua pertanyaannya.
Katakan semuanya akan baik-baik saja.

'Tap'

Ia berhenti. Seketika Kedua kakinya sudah terasa lemas untuk menompang berat badanya sendiri. Emerald jernihya semakin membulat dengan pemandangan mengerikan yang kini tersaji tepat di depan mata jernihnya. Ia terdiam, terpaku. Lidahnya terasa kelu meski hanya untuk mengucapkan sebuah kata.
Satu langkah lebih dekat…
Desa yang telah hancur dengan banyaknya mayat yang tergeletak. Tak ada seoangpun yang ia tahu, hanya banyaknya noda darah yang telah menodai desa kelahirannya tersebut. Dimana ayahnya? Dimana adiknya?
Dua langkah lebih dekat…
Tenggorokannya semakin tercekat. Satu demi satu tetesan air mata keluar dari pelupuk indahnya. Pandangannya semakin memburam bahkan saat emeraldnya berhasil menangkap salah satu mayat dengan helai merah muda yang tergeletak begitu saja.
Tidak. Jangan katakan jika itu-

"TOUUUSANN!" seketika ia berlari dan berhambur memeluk objek yang ia lihat baru saja. Tubuhnya yang masih terasa lemas semakin sulit untuk membawanya berdiri ataupun mendongak. Kubangan darah dari luka dalam sang ayah ikut menodai yukata ungu yang ia kenalan. Tidak! Tidak, ini tidak mungkin. Gadis itu terus meronta dalam hatinya agar takdir yang telah terukir ini hanya sebuah mimpi belaka. Tapi tidak, ini nyata. Ia menghentikan isak tangisnya kala mengingat sesuatu. Daun kusuri yang ia petik tadi adalah daun penyembuh luka. Ia yakin jika luka menganga sang ayah segera diobati, akan segera tertutup kembali. Dengan tangan yang masih bergetar, ia merogoh beberapa lembar daun hijau tersebut dari dalam kantong obatnya.
Namun, tak semudah itu. Daun kusuri adalah daun hujau yang baru akan mengeluarkan khasiatnya jika mengelurkan getah putihnya. Tak ada tumbukan marmer disini, untuk itu Sakura harus mengambil resiko agar getahnya dapat keluar. Ia tahu jika daun hijau tersebut memiliki rasa pahit yang luar biasa, tapi jika dalam keadaan darurat seperti ini, hanya dengan cara mengunyahlah satu-satunya cara agar daunnya bisa segera mengobati sang ayah.
Ia menatap daun hijau itu sekali lagi.
Tidak, tak ada waktu untuk takut. Setelah memantapkan hatinya, Sakura segera memasukan daun terebut ke dalam mulutnya. Dan benar saja, rasa pahit yang luar bisa langsung menyerangnya. Ia menutup mulutnya sendiri agar rasa mual yang juga menyerang perutnya tak berhasil mereplekskan daun tersebut agar keluar dari rongga mulutnya.
Setelah beberapa kunyahan, ia rasa sudah cukup, lidahnyapun sudah terasa mati rasa. Ia segera memuntahkan daun yang telah berubah memutih dalam kunyahannya pada telapak tangannya.
Sesegera mungkin ia kompreskan pada luka menganga Kizashi, ayahnya.
"Bangunlah, Tou-san!"
Tapi, tidak. Tak ada reaksi apapun. Ia terus meronta dengan menggoyahkan tubuh tegap yang telah menjadi mayat tersebut.
Ia telah kehabisan tenaga bahkan hanya untuk sekedar mengeluarkan air matanya.
Gadis itu tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Hidup yang selalu bersama dengan ayahnya, kini harus ia lewati seorang diri.
Bagaimana ia akan tinggal bersama adik- tunggu! Dimana adiknya?!
Sakura mendongak cepat tatkala mengingat satu nama lagi dari orang yang ia sayang. Ia berdiri, dengan rasa gusar yang luar biasa.
Pandangannyapun mengedar mencari sosok gadis berhelai oranye yang mungkin saja berada tak jauh dari tempat ini.
"Saki?! Saki?!"

"Apa kau tawanan yang kabur?'

Deg.

Sebuah suara berat dari belakang tubuhnya membuat gadis itu refleks menoleh. Sosok pria tegap dengan baju zirah besi yang menutupi tububnyalah yang pertama kali ia lihat.
Siapa dia?
Pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Pandangannya teralih melirik sebuah lambang kipas yang tertera di dada sang pemuda. Uchiha. Tidak salah lagi. Kaum bawah atau para pengawal sekalipun tidak boleh mengenakan lambang kebesaran selain kaum para bangsawan. Itu artinya, pria ini adalah salah satu bangsawan dari klan Uchiha.

"Aku bertanya padamu."
Sekali lagi suara beratnya berhasil menembus cengkaman keheningan atmosfer di antara keduanya. Manik hitam itu terlihat sangat tajam. Suara yang bernada penuh dengan intimidasi dan wibawa.
Apa semua bangsawan berbicara dengan nada seperti itu?
Sakura tidak pernah bertemu dengan kaum bangsawan sebelumnya. Ayahnya selalu memerintahkan jika suatu saat dirinya bertemu dengan seorang dari kaum atas, ia harus berbicara sesopan mungkin. Namun baginya, pengecualian untuk orang yang telah merenggut nyawa orangtuanya.
"Apa kau yang telah membunuh Ayahku, Tuan?" akhirnya gadis merah jambu itu mengeluarkan sebuah suara untuk menjawab pertanyaan Kaisar Sasuke. Kalimatnya terkesan sopan, tapi tidak dengan nada bicaranya yang penuh dengan penekanan dan rasa benci.
Tak ada perubahan dari air muka lawan bicaranya, Sasuke hanya menatap tajam ke arahnya.
Sedetik kemudian decihan pelan keluar dari bibir tipisnya.
"Ayahmu telah melawan ucapanku, dia pantas untuk mati." sang Kotei berucap pelan dengan nada meremehkan, seolah tak pernah tahu dengan semua rasa sakit akan kehilangan orang yang dicintai.
Sakura dapat merasakan urat tangannya yang mengeras saat jemarinya refleks mengepal. 'Pantas untuk dibunuh'?
Emosinya sudah berada tepat di ubun-ubunnya dan ingin segera ia keluarkan.
"Kau...biadab! Kau pikir dengan hanya menjadi kaum bangsawan kau bisa dengan mudahnya membunuh kami?! Kau juga menghancurkan desaku!"
Nafasnya terengah-engah. Emosinya telah lepas kendali. Tapi, ia tak peduli, meskipun ia akan mati dibunuh setelah ini, ia hanya ingin mengeluarkan semua amarahnya pada Kaisar di depannya tersebut.
Sasuke menautkan sebelah alis tipisnya.
Biadab?
Baru kali ini seorang rakyat jelata menghinanya tanpa rasa takut.
Tanpa Sakura sadari, lengkungan tipis terpatri di wajah sang Tenno.
"Aku tidak akan membunuhmu untuk kali ini." pria itu berucap diiringi dengan tubuh tegapnya yang hendak berbalik. Namun, suara dari sang Dara berhasil menghentikannya.
"Dimana adikku?! Izinkan aku untuk bertemu dengannya." karena Sakura rasa, tak ada cara lain selain memohon pada pria ini. Meskipun kemungkinannya kecil, tapi tak ada salahnya untuk mencoba. Ia menatap onyx hitam itu dengan tak sedikitpun rasa takut di hatinya. Tak untuk kali ini.
"Jika kau ingin bertemu dengan mereka, kau harus bekerja untukku."
Alis pinknya menyirit, sebelum sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya, pria di depannya sudah lebih dulu menjawab semua kebingungannya.
"Kau harus melayaniku tanpa penolakan."
Ia terdiam untuk sesaat. Ia memang menginginkan adiknya kembali, tapi gadis itu tak mau jika harus bekerja untuk Uchiha, klan yang telah membunuh dan menawan orang yang ia sayang.
Tapi, tak ada waktu lagi untuk saat ini. Hanya inlah satu-satunya cara agar ia bisa bertemu dengan Saki, adiknya.
"Penawaranku hanya berlaku untuk lima menit."
Ia semakin gusar. Sedetik setelah memantapkan hatinya, Sakura menghela nafas dalam.
Untuk saat ini, adiknya menjadi prioritas utamanya. Ia akan melakukan apapun, termasuk…

"Saya setuju."

… Menjadi budak Uchiha.

Sasuke tersenyum miring. Akhinrnya, awal dari kisah ini telah dimulai.
Ia berbalik dengan tak sedikitpun menghilangkan pesona dan wibawanya.
Bukankah tak ada seorangpun yang bisa menantang perintahnya?

"Ikut aku."

To be Continnued.

Aku usahain up secepatnya ya!

Thx u.

Warm sign,

Ken Ketsuke.