Disclaimer: SS yang punya tentu saja bang Kur, abdi teh hanya minjem karakternya doank~
Warning: Character death in later chapter, shounen-ai, AU
A/N: sebenernya saya… desperate bikin ini *BGM: Zetsubou wa amai wana!* soalnya…. Gue sama sekali tak tahu-menahu tentang penyakit whatsoever daaaann akhirnya pake penyakit anonim gaje gitu deeeh lalalala (kalau ada rekomen saya terima dengan senang hati!). tadinya sih mau dipikin OS aja, tapi ternyata belom selesai aja udah 3000 kata lebih 8D males kan baca segitu-segitunya sekaligus haha.
Dengan berhati-hati Mu berjalan di sepanjang lorong rumahnya, agar nampan makanan yang dipegangnya tak sampai jatuh. Akhirnya ia sampai ke depan sebuah pintu, dan dengan berhati-hati pula dibukanya pintu itu. Mendengar suara pintu yang terbuka, si penghuni kamar, Shaka, pun terbangun.
"Pagi, Mu" ucapnya lembut.
"Pagi, Shaka" jawab yang disapa dengan tersenyum. "Bagaimana keadaanmu hari ini?"
Shaka mengangkat bahunya pelan, "Baik kurasa," jawabnya sambil memberi senyum meyakinkan.
"Baguslah," ujar Mu sambil meletakkan nampan makanan di meja sebelah tempat tidur Shaka. Lalu bagaikan seorang perawat yang terlatih, dia mengecek nadi dan suhu tubuh Shaka dengen cekatan, lalu membantunya duduk di tempat tidur. Diletakkannya sebuah meja kecil diatas paha Shaka untuk menempatkan makanan. Dengan patuh Shaka memakan bubur buatan Mu yang di lidahnya terasa sedikit hambar.
Melihat 'pasien'nya itu, Mu tersenyum sendiri. "Aku punya sebuah kejutan kecil untukmu," ucapnya tersenyum manis. Dia berjalan menuju jendela dan membuka gordennya yang berwarna biru muda, mempersilakan seberkas cahaya matahari masuk. Pemandangan diluar lumayan indah, dengan taman kecil tak jauh dari rumah mereka. Di tengah-tengah taman itu, sepasang pohon sakura kembar berdiri.
"Apa kau bisa melihatnya?" tanya Mu, matanya terfokus pada setitik kecil warna merah muda pada kedua pohon itu.
"Sudah mulai… berbunga?" tanya Shaka terperangah, senyuman mulai melebar di wajahnya.
Mu membalik tubuhnya kembali menghadap Shaka, rambutnya terbuai dengan indah selagi ia melakukannya, dan senyumannya nyaris tak bisa menambah kecantikannya. Dengan bersemangat ia mengangguk, "Ya. Musim semi akhirnya datang. Kurasa kau senang melihat pohon favoritmu berbunga kembali kan?"
Mereka berdua tersenyum bahagia, tanpa mengetahui itu adalah musim semi terakhir bagi salah satu diantara mereka.
.
Dua orang bocah berumur sekitar 6 tahun mengetuk pintu sebuah rumah dengan penuh harap, masing-masing membawa sekantung penuh benih pohon di tangan mereka. Tak lama kemudian seorang wanita berambut pirang membukakan pintu, dan tersenyum ramah pada mereka.
"Mu dan Aiolia ya? Maaf ya, tapi hari ini Shaka dengan sakit, jadi tak bisa bermain dengan kalian," ujarnya.
Mu dan Aiolia saling berpandangan, kekecewaan tampak jelas pada dua pasang mata yang masih lugu itu. "Kalau begitu, maaf mengganggu, tante. Kami permisi dulu," ucap Aiolia sebelum berbalik dan melangkah pergi dari rumah itu.
"Semoga Shaka cepat sembuh ya tante!" tambah Mu sebelum ia berlari mengikuti temannya.
Ibu Shaka memperhatikan mereka sampai mereka menghilang di tikungan sebelum masuk ke rumahnya sendiri dan kembali ke kamar anaknya tercinta untuk merawatnya.
Mu menghela nafas, "Masa' setiap kita ajak main sakit mulu?"
"Aku dengar dari kakaku sih, dai memang sering sakit-sakitan sejak lahir."
"Begitu ya…?" pandangan Mu menerawang jauh.
"Hei…" ucap Aiolia lambat-lambat, "Dia tidak akan… mati kan?"
"Tidak," jawab Mu cepat.
Aiolia menengok ke arahnya, "Bagaimana kau bisa yakin?" tanyanya penasaran.
"Eh?" wajah Mu memerah. "Aku… aku hanya nggak pengen Shaka mati. Itu aja," ujarnya. Tentu saja itu bukan suatu kebohongan, tapi ada suatu rahasia di balik perkataannya itu.
Mereka berjalan dalam diam, sampai tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah taman.
"Mau ditanam dimana nih?" tanya Aiolia pada Mu sambil mengangkat kantung benihnya.
Mu menunjuk kearah rumah Shaka, yang berjarak sekitar 3 rumah dari taman itu. Di tingkat keduanya, terdapat sebuah jendela yang menghadap ke taman itu. Kamar Shaka.
"Di tempat yang gampang dilihat olehnya," kata Mu tegas. "Supaya… dia bisa melihat pohon yang kita tanam untuknya," tambahnya pelan.
Aiolia melihat ke sekelilingnya, "Di atas bukit itu berarti. Tapi… setahuku sih yang boleh ditanamin sembarangan kan pinggir taman doank."
Mu tidak merespon, tapi wajahnya memerah dan memandang ke arah bukit kecil itu. Aiolia menyengir jahil, lalu diraihnya tangan sahabatnya itu, "Ayo!"
.
Pada siang hari, Mu kembali mengetuk pintu kamar Shaka. Perlahan ia membuka pintu, dan didapatinya sahabatnya itu tengah berbaring diatas tempat tidur, kepalanya menoleh ke arah jendela, yang berlawanan dengan arah pintu masuk, sehingga Mu tak bisa melihat wajahnya.
"Kau sudah selesai makan?" tanya Mu.
Shaka mengangguk, ditunjuknya piring yang sudah kosong di nampan di meja tempat tidurnya.
"Baguslah kalau begitu," ujar Mu saat meletakkan segelas air beserta beberapa kapsul obat, menggantikan piring mankanan yang ia ambil. "Ini obatmu untuk siang ini, aku cuci piring dulu ya," ucapnya seraya berjalan menuju pintu.
Tapi saat dia kembali, pil-pil itu belum disentuh sedikit pun, begitu pula dengan airnya. Mu menghela nafas, "Shaka, obatmu," ujarnya mengingatkan.
Shaka menoleh pada Mu, sebuah senyum aneh terlukis pada wajahnya. "Kalau aku tidak mau?"
Dua pasang mata, satu bewarna biru dan satu bewarna hijau, berpandangan dalam diam. Tak ada yang bergerak ataupun bersuara selagi pemahaman samar bertukar diantara mereka, membuat kulit dibawah mata hijau itu memerah.
"Kau harus mau," kata Mu pada akhirnya.
"Kalau aku tetap tidak mau bagaimana?"
Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi tak lama sampai Mu mendesah frustasi, "Kenapa hari ini kau manja sekali sih?"
Senyum kemenangan terukir di wajah Shaka saat Mu berjalan pelan ke arahnya, dan dengan gugup mengambil obat serta minumnya. "Ayolah," ucap Mu memohon, tapi Shaka menggelengkan kepalanya. Perlahan-lahan Mu mengangkat obat itu ke mulutnya, mata Shaka tak pernah meninggalkan matanya. Tapi tepat saat Mu akan memasukkan pil tersebut ke mulutnya, terdengarlah suara ketukan di pintu.
Hampir saja Mu menjatuhkan obat dan gelas itu karena kaget, tapi dengan gerakan sigap ditangkapnya kembali. Ia menoleh ke arah pintu saat sebuah kepala berambut cokelat menyembul dari luar kamar. Aiolia melihat mereka berdua dan tersenyum, memasuki kamar dan menutup pintu di belakangnya.
"Tadaima."
"Okaeri," jawab Mu dan Shaka. "Kau pulang cepat hari ini," tambah Shaka.
Aiolia menggaruk kepalanya, "Yah, habis katanya dosennya nggak ada, jadi aku pulang deh," sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Ngomong-ngomong, ada apa nih? Kau tidak malas minum obat lagi kan, Shaka?" pandangnya curiga ke Mu, yang masih memegang obat Shaka.
Tiba-tiba saja Shaka mengalihkan pandangannya.
Aiolia menghela nafas,"Ayolah, kau harus meminumnya. Atau kau mau aku membuatkan obat yang lebih pahit lagi untukmu?" ujarnya selagi mendekati kedua orang lainnya. Mendengar perkataan itu, Shaka menengok kembali ke Aiolia, ekspresinya seperti anak yang merajuk. Yang ditatap mengambil gelas dan obat itu dari tangan Mu, alisnya terangkat. "Jadi?"
Shaka diam saja, tapi ekspresi dan warna wajahnya sudah cukup menginformasikan apa yang ia inginkan. Aiolia hanya bisa menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti 'dasar manja' sebelum memasukkan salah satu pil ke dalam mulutnya beserta seteguk air. Sedetik kemudian ia menempelkan bibirnya ke bibir Shaka, memaksanya meminum obatnya.
Mu hanya bisa terdiam dan mengalihkan pandangannya dari mereka selagi Shaka menghabiskan obatnya.
Yeah, that's it. Poor Mu, eh? Yaah pokoknya kalo anda mendambakan cerita cinta yang cerah ceria benderang lalalala gak usah kesini lagi haha. Surem ya? Sama kayak authornya yang surem melawan berbagai ujian buat kelas 12 mulai akhir semester 1 nanti ooo! Jadi mungkin ini proyek fic terakhir sebelum hiatus panjaaaaannnggg. Mungkin. Mudah-mudahan aja masih sempet bikin yang lain :)
Sampai berjumpa di chapter selanjutnya!
Next Chapter: The Angel of Death
