Summary:

Orang-orang memandangnya saat mereka berjalan melewatinya. Dia duduk bergeming di tempat dengan wajah tersembunyi dari pandangan. Gaunnya tampak seperti kolam air yang mengelilinginya, cantik sekali. Namun orang-orang itu memandangnya seakan dia monster. Ya, monster. Si gadis salju yang mengerikan.

Disclaimer:

-mengukir-ukir sebatang kayu dengan tampak lesu dan kuyu dan dengan latar belakang suara jangkrik- Bleach… Rukia-chan… Shiro-chan… Ichi-chan… -mendadak berdiri dan berteriak seperti orang gila- SEMUA BUKAN PUNYAKU! BUKAN PUNYAKU! TIDAAAAAK! AAAAH, TIDAAAAK!!!! –teriak-teriak sendiri sambil menari-nari seperti orang kesetanan-

---

Yuki Onna

Chapter 1

Rukia

Angin di musim dingin berhembus keras di antara batang-batang pohon tua raksasa. Ranting-ranting hitam berderak keras terkena tiupan angin namun tak pernah patah. Tanah beku dan keras tertutup oleh lapisan salju yang padat dan keras karena kencangnya tiupan angin. Salju telah berhenti turun. Di antara batang-batang pohon yang besar dan tua karena usia, gadis itu berjalan dengan langkah begitu ringan hingga seakan melayang. Rambutnya hitam panjang, melayang-layang dengan lembut di sekitar wajahnya yang cantik. Matanya berwarna ungu amethyst dengan sorot mata dingin dan tegas di dalamnya. Kimononya putih bersih, terbuat dari sutra yang tipis dan ringan. Obinya putih keperakan, terikat erat di pinggangnya yang ramping. Langkah kakinya tak tampak di atas salju yang sekeras es.

Yuki Onna adalah panggilan orang untuknya. Gadis itu sudah berkeliaran di dalam hutan yang membeku dalam musim dingin selama seratus lima puluh tahun. Begitu banyak cerita yang beredar tentangnya. Dikatakan bahwa sang gadis salju muncul di hadapan para pengembara yang dengan bodoh masuk ke hutan dimana musim dingin selalu terasa seakan takkan pernah berakhir dan memikat mereka mengikutinya masuk ke kedalaman hutan yang nyaris tanpa ujung. Siapapun yang mengikutinya takkan pernah bisa kembali karena si gadis salju akan menjadikan mereka budaknya selamanya di dunia gaib yang tak dikenal oleh para manusia.

Karena itulah, bodoh jika ada orang yang berani memasuki hutan di musim dingin, karena gadis salju siap menunggu di ujung jalan untuk tersenyum pada siapapun yang lewat dan mengajak mereka masuk ke kediamannya di alam kehancuran.

Sungguh bodoh orang-orang yang hidup di dunia. Mereka mempercayai apa yang mereka dengar, bahkan sebelum mereka membuktikan sendiri akan apa yang mereka dengar. Dari satu orang yang memiliki ketidakpahaman, menyebar pada orang-orang lain suatu gosip yang belum jelas keberanannya. Terkadang malah berubah menjadi kebohongan besar yang menyimpang jauh dari kebenaran. Sang gadis salju seringkali tertawa geli mendengar cerita-cerita tentang dirinya dari mulut orang-orang yang masuk ke hutan dan bertemu dengannya. Bodohnya, pikir si gadis salju.

Si gadis salju berhenti tiba-tiba. Dia memalingkan kepalanya ke arah kiri dan mendengarkan. Dari kejauhan, terdengar teriakan samar orang-orang dan ada asap hitam yang membubung ke udara. Secepat angin, si gadis salju berlari ke arah datangnya asap. Kimono putihnya menempel erat di kulit dan rambutnya bertambah acak-acakan, tapi si gadis salju tidak peduli. Saat dia sampai di tepi hutan, dia menghentikan larinya dan memandang pemandangan di depannya dengan badan tersembunyi di balik sebatang pohon tua.

Kota kecil di seberang hutan hancur dalam abu dan api. Rumah-rumah di sepanjang jalan terbakar, beberapa sudah roboh dan beberapa menjadi arang. Orang-orang berlarian panik. Kimono mereka yang biasanya rapi dan mewah tampak kusut dan kotor. Wajah penduduk yang biasanya ceria tampak ketakutan, dan para bangsawan yang pongah tidak lagi berjalan tegap dengan kepala ditinggikan seakan mereka memiliki seluruh dunia. Anak-anak menangis memandangi tempat tinggal mereka yang terbakar. Hewan-hewan ternak berlarian, tidak memedulikan majikan mereka lagi. Hanya berusaha untuk menjauhi api sedapat mungkin.

Kemudian si gadis salju melihat sesuatu yang lain. Dari sela-sela bangunan yang runtuh, muncul lima, sepuluh, selusin, dua lusin, tiga puluh orang militer. Mereka memakai gi dan hakama berwarna hitam dengan pedang di tangan atau di pinggang mereka. Si gadis salju mengenali siapa mereka: shinigami. Prajurit penjaga Raja Soul Society. Si gadis salju pernah bertemu mereka sebelum ini dan berharap agar tidak bertemu dengan mereka lagi.

Sediam batu, si gadis salju berbalik dan melangkah pergi. Kekacauan di kota bukanlah urusannya. Mereka tak memiliki hubungan apapun dengannya, dan dia tak memiliki hubungan apapun dengan mereka. Apapun yang terjadi, dia tak peduli.

---

Si pemuda memandang ke arah dimana gadis berkimono putih tadi menghilang. Dipanggilnya salah satu anak buahnya dan diperintahkannya sebagian pasukan untuk ikut dengannya masuk ke hutan dan menangkap gadis itu sementara sisa pasukannya yang lain menangkapi orang-orang kota yang selamat dari kebakaran. Begitu lima belas orang pasukannya siap, si pemuda membawa mereka masuk ke hutan dimana tanah tertutup oleh lapisan salju keras yang licin. Kalau bukan karena latihan selama bertahun-tahun, si pemuda dan pasukannya pasti sudah terpeleset begitu pertama kali menginjakkan kaki di sana.

Sungguh aneh betapa berbedanya hutan dengan kota yang terbakar itu. Di hutan, segalanya sunyi kecuali suara angin yang berhembus. Tapi si pemuda tidak bisa memikirkan itu. Ada tugas yang harus diselesaikannya, jadi dia menyuruh dua pelacaknya yang terbaik untuk berjalan di depan dan mencari jejak si gadis berkimono putih. Perintah yang diberikan kepada si pemuda jelas: semua orang harus ditangkap tanpa kecuali.

---

Si gadis salju bisa mendengar langkah kaki di atas es di belakangnya dan ada rasa tidak nyaman di hatinya. Ada yang mengikutinya. Tidak hanya satu orang. Dengan wajah tanpa ekspresi, si gadis salju berpaling. Tidak ada apa-apa di belakangnya kecuali pohon tua, salju, angin dan kehampaan. Tapi si gadis salju tahu, orang-orang itu akan mencapai tempatnya sebentar lagi. Menghindar akan sia-sia karena mereka memiliki pelacak bersama mereka, dan karena itu, akan menemukannya dengan cepat. Bodoh kalau berpikir kalau orang-orang itu tidak membawa pelacak bersama mereka. Bagaimana lagi mereka akan menemukan seseorang dalam hutan penuh pohon-pohon raksasa yang nyaris semua pemandangannya tampak sama?

Dalam waktu kurang dari semenit, si gadis salju dikelilingi oleh empat belas orang shinigami, semuanya mengenakan kimono hitam dan membawa pedang. Wajah mereka menunjukkan keseriusan dan keheranan. Si gadis salju juga melihat dua orang lainnya. Dua orang itu juga shinigami, namun pakaian mereka berbeda. Seorang mengenakan haori putih dengan tepian bawah berhiaskan berlian hitam dan nomor kanji empat belas tertulis di baliknya. Rambut orang itu berwarna orange, membuat si gadis salju mengangkat sebelah alis karena heran. Namun saat si gadis salju mengalihkan perhatian pada wajah si orang asing, dia melihat kerutan permanen di atas wajah tampan seorang pemuda yang tampak tak lebih dari delapan belas tahun, seakan dunia telah membuatnya marah. Orang asing yang satu mengenakan seragam shinigami yang biasa, namun dengan sebuah lencana berlambang empat belas dan bunga yang si gadis salju tak tahu namanya. Orang itu berambut hitam dan mengenakan kacamata yang didorongnya ke atas setiap beberapa detik sekali. Wajahnya tampak serius dan ada ekspresi menilai yang tersembunyi dengan baik di wajahnya, namun masih sempat tertangkap oleh si gadis salju.

"Siapa namamu?" tanya orang asing berambut orang yang memakai haori putih. Si gadis salju mengalihkan pandangannya pada orang itu.

"Rukia," jawab si gadis salju dengan tenang. Siapapun akan terpaksa memuji ketenangannya, mengingat dia dikelilingi oleh empat belas orang shinigami terlatih, dan si gadis salju tidak memiliki senjata apa-apa.

"Nama keluargamu?" tanya orang asing itu lagi.

"Shirayuki," jawab si gadis salju. "Shirayuki Rukia."

Orang asing itu mengangguk dan berkata pada para pengawalnya, "Bawa dia." Seseorang berjalan maju, hendak mengenakan sebuah borgol pada Rukia, tapi si gadis salju memberi orang itu pandangan dingin memperingatkan, membuat orang itu takut dan membatalkan niat untuk memborgolnya. Rukia mengikuti orang-orang itu dengan tenang dan dalam diam.

Mereka tidak berjalan ke arah kota yang terbakar untuk bergabung dengan sisa pasukan. Mereka berjalan ke arah Barat Daya. Shinigami yang mengenakan haori menyambar lengan Rukia dan membawanya pergi dengan teleportasi, cepat sekali sehingga Rukia nyaris tidak punya waktu untuk menarik napas.

"Maaf," gumam si shinigami berambut orange begitu mereka berhenti. "Kalau tidak dengan teleportasi, akan makan waktu lama sekali untuk sampai kemari."

Segera, Rukia mengamati sekeliling dan memicingkan mata karena menahan rasa sebal yang menumpuk. Dia tidak lagi berada di pinggir hutan, melainkan di sebuah lapangan latih tanding sebuah bangunan. Ada lusinan bangunan yang tersebar di tempat itu. Semuanya memiliki nomor kanji empat belas di atas setiap pintu.

"Kemana kau membawaku?" desis Rukia.

"Barak Divisi Keempat Belas Seireitei," jawab si shinigami singkat. Sebelum shinigami itu sempat mencerna ekspresi yang tiba-tiba melintas di wajah Rukia, dia sudah terbungkuk-bungkuk dengan perut terasa seperti baru saja diseruduk badak. "WHAT THE HELL-" dia berteriak kesakitan, tapi sebuah suara feminine menyelanya.

"Dengar, kau sialan, aku ingin kau mengantarku kembali ke hutan! Sekarang juga! Apa hakmu membawaku kemari tanpa seizinku? Kembalikan aku!" bentak Rukia dengan suara keras dan tampang marah, sesuatu yang sudah bertahun-tahun tak pernah terjadi. Sebelah alis si shinigami berkedut dan, menghiraukan protes otot-otot perutnya, dia menegakkan diri dengan begitu cepat untuk membalas bentakan Rukia.

"Dan apa hakmu memukulku, bocah? Tunjukkan sedikit rasa hormat! Bukan keinginanku membawamu kemari dan jelas bukan keinginanku kau sekarang menjadi tanggung jawabku! Kalau kau mau protes, protes pada Yamamoto-Soutaicho!" si shinigami balas membentak dengan sama geramnya. Selama semenit penuh, mereka melotot pada satu sama lain dengan benci sampai akhirnya shinigami dengan lencana menginterupsi mereka.

"Aku benci menginterupsi suasana penuh cinta ini," ejek si shinigami berkacamata itu. "tapi Yamamoto-Soutaicho ingin kita bertiga datang ke ruang pertemuan Divisi Pertama."

"Bagus! Sekarang aku bisa menjauhkan bocah ini dariku," geram si shinigami berambut orange. Rukia menendang tulang kering shinigami itu sekuat tenaga, membuatnya menjerit kesakitan. "OWW! APA MASALAHMU SEKARANG, HAH???" teriak si shinigami berambut orange.

"JANGAN PANGGIL AKU BOCAH, MORON!" Rukia balas berteriak. Kemudian perhatiannya dialihkan oleh suara tawa. Rukia menoleh dan melihat si shinigami berkacamata tertawa terbahak-bahak hingga kacamatanya melorot sampai ke ujung hidung.

"Oh, hahaha! Shirayuki-san, kau benar-benar hebat! Belum pernah aku me-melihat I-Ichigo kalah dari perempuan seperti itu! Oh, hahaha!" gelak si shinigami. Shinigami moron berambut orange yang dipanggilnya Ichigo memandangnya dengan pandangan yang sanggup membunuh. "Oh, dan namaku Ishida Uryu, Shirayuki-san," si shinigami berkacamata memperkenalkan diri begitu sesi tawa histerisnya berhenti.

"Senang bertemu denganmu, Ishida-san," ujar Rukia. Walaupun tumbuh besar di dalam hutan, Rukia diajarkan sopan santun dan bisa bersikap amat berwibawa seperti setiap bangsawan terbesar.

"Dan Kaptenku yang bodoh ini adalah Kurosaki Ichigo, Kapten Divisi Keempat Belas Seireitei," tambah Ishida seraya mengendikkan kepalanya ke arah shinigami moron yang tampak berang.

"Ishida…" Ichigo menggeram, tapi Ishida tidak memedulikannya.

"Ayo cepat berangkat kalau kau tidak ingin terkena amarah Yamamoto!" ajak Ishida. Dengan shunpo, shinigami itu pergi meninggalkan Ichigo dan Rukia sendirian.

"Sialan dia itu," geram Ichigo. Sebelum Rukia bisa berkata-kata, dia menyambar pinggang Rukia dan berkata, "pegangan!"

Sekali lagi, udara seakan dihempaskan keluar dari paru-paru Rukia. Tanpa sadar, dia berpegangan pada jubah Ichigo erat-erat seakan takut jatuh. Tanah bergerak begitu cepat di bawahnya dan bangunan-bangunan tampak seperti kelebatan-kelebatan tak berarti. Entah berapa bangunan yang mereka lewati, Rukia tidak tahu dan tidak peduli. Saat Ichigo berhenti dan berdiri tegak di depan sebuah bangunan besar, susah payah Rukia melepaskannya.

"Eh, maaf. Shunpo yang pertama memang menyebalkan," ujar Ichigo seraya memandang sosok Rukia yang gemetaran. Rukia mengacuhkannya karena dia masih berusaha untuk mengisi kembali paru-parunya yang kosong.

Mereka berjalan memasuki pintu kembar raksasa dengan lambang satu. Bagian dalamnya adalah sebuah ruangan amat luas dengan dua baris pria dan wanita. Di kepala barisan, berdiri sebuah singgasana dengan seorang pria tua berjanggut panjang dan berjubah putih duduk di atasnya. Kedua tangannya bertumpu pada sebuah tongkat kayu besar di tangannya. Dua puluh empat orang berdiri saling berhadapan di depan orang tua itu, sebagian mengenakan haori dan sebagian mengenakan lencana. Ishida berdiri di sebelah seorang pria berambut putih panjang. Ichigo berjalan maju dengan Rukia berjalan agak di belakangnya.

"Yamamoto Taicho," sapa Ichigo begitu dia tiba di hadapan si orangtua berjanggut putih panjang.

"Kurosaki Taicho, aku sudah menerima laporanmu mengenai penghapusan distrik Inuzuri," kata orangtua itu dengan suara berwibawa. "Apakah ini berarti kau telah melakukan perintah spesifik yang kuberikan padamu?" tanyanya. Sampai saat itu, Rukia tersembunyi dari pandangan Yamamoto karena tubuh tinggi Ichigo, tapi saat Ichigo melangkah ke samping, sosoknya bisa dilihat oleh siapapun di dalam ruangan.

---

Hehehe, cliffhanger! Sorry bagi yang mikir kalo aku udah update! Berhubung liburan udah nyampe, chapter 2 bakal diupdate secepatnya (itu kalo ada yang mau ngasih saran aku bikin ceritanya kayak apa)! Okay, kasih tau pendapat kalian, folks! Sorry, ya! Bikin cerita baru tapi cuma sampe satu chapter… sekali lagi, gomenasai!

Ciao!

Oh, n pencet tombol ijo di bawah ini, ya! Please, please, please!!!!!