"Hyung hanya bisa berpesan padamu, Sehun."

"Hyung―"

"Jika suatu saat nanti Hyung harus pergi―"

"Hentikan ini, Hyung."

"―kau harus bisa mengurus peninggalan keluarga kita dengan baik dan buatlah semua orang bangga terhadap kerja kerasmu."

"Jangan berbicara seolah-olah kau hanya punya waktu hingga matahari terbenam!"

Pria yang berbaring lemah di atas ranjangnya itu mengukir senyuman damai. "Kematian itu misteri. Kita bahkan tidak tahu, berapa lama waktu yang akan Tuhan berikan pada kita."

"Sejak kapan kau berubah menjadi sereligius ini, Hyung?" Pria lainnya yang terlihat lebih muda itu memasang wajah datar sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.

Pria yang lemah itu masih mempertahankan senyumannya. "Dan aku memiliki satu permintaan terakhir untukmu, Hun-ah."

Pria yang lebih muda masih tetap pada wajah datarnya, namun telinganya menyimak baik-baik pesan dari pria yang dipanggilnya hyung itu.

"Tolong jagalah Jongin untukku."

Raut wajah yang lebih muda berubah murung―seolah bertanya 'kenapa harus dia?'

"Kumohon, Hun-ah. Ini adalah permintaan terakhirku."

rappicasso

presents

an alternate univere fanfiction

angel without wings

.: chapter 1 :.

starring

Kim Jongin | Oh Sehun | Wu Yifan

Sehun bukanlah pria yang taat agamaapalagi percaya pada keberadaan malaikat. Namun saat hatinya disentuh oleh Jongin, semua pandangannya berubah. Ia tahu bahwa pemuda yang menemani hari-harinya itu adalah salah satu dari sekian banyak malaikat yang sudah kehilangan sayapnya.

Musim gugur di Seoul berlalu sangat cepat. Angin musim dingin sudah mulai bertiupan―menghembuskan dedaunan yang rontok ke atas tanah ke tempat-tempat yang lebih jauh. Tak lama setelah ini, salju pasti akan berjatuhan dan menutupi hampir separuh Seoul. Namun beruntunglah, Seoul jarang terkena badai salju seperti kebanyakan wilayah di dataran Eropa.

Sehun senang, setidaknya ia sudah menginjakkan kakinya di Seoul, tepat sebelum salju turun. Ia selalu menyukai momen-momen seperti itu. Sehun mungkin memang seorang pria dewasa yang sudah berusia 24 tahun, bahkan semua orang sudah memanggilnya dengan sebutan 'Bos' atau 'Tuan' yang menandakan bahwa ia memiliki jabatan yang cukup penting dan bermartabat. Oh, tentu saja. Ia adalah salah satu dari dua pewaris keluarga Oh―atau sebentar lagi, ia akan menjadi pewaris tunggal. Meski dengan usia yang matang dan embel-embel jabatan yang tak perlu diragukan, namun Sehun tetaplah Sehun. Dia hanyalah seorang anak lelaki yang selalu haus kasih sayang keluarganya.

Anak-anak di luar sana mungkin iri dengan nasib Sehun yang terlahir sebagai konglomerat. Pria itu hanya perlu belajar agar menjadi penerus perusahaan yang baik dan tidak perlu memikirkan apa yang akan ia makan keesokan harinya, saat hampir separuh lebih anak di Seoul harus membanting tulang untuk mencari sesuap nasi. Namun Sehun hanyalah manusia biasa―kehidupannya bahkan jauh dari kata sempurna. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya yang ketahuan selingkuh pun membuat Ibunya muak dan mengajukan gugatan perceraian. Sehun masih ingat betul saat usianya masih 8 tahun dan ia harus diminta menghadiri persidangan perceraian kedua orang tuanya sebagai saksi. Miris memang. Namun itulah fakta yang harus Sehun terima. Hak asuh Sehun jatuh pada sang Ayah yang jelas-jelas memiliki pengaruh yang besar―tentu saja, Ayahnya adalah direktur utama Oh Corporation saat itu. Sehun menjalani sekitar setahun dalam hidupnya tanpa figur seorang ibu―meski sesungguhnya, ia sudah terbiasa hidup tanpa kedua orang tuanya, namun tetap saja rasanya berbeda. Hingga suatu ketika, Ayahnya datang dan memperkenalkan seorang wanita cantik berdarah China dan pemuda berkulit pucat yang kira-kira berusia beberapa tahun lebih tua darinya. Sejak saat itu, Sehun sadar bahwa ia akan memiliki keluarga yang baru―bersama Ayah, Ibu tirinya dan saudara tirinya. Untung saja, nasib Sehun tidaklah seburuk Cinderella atau Puteri Salju. Ibu dan saudara tirinya itu memperlakukannya dengan sangat baik. Ia juga sangat akrab dengan Yifan―nama saudara tirinya―dan menganggapnya sebagai kakak kandungnya.

Sayang sekali, Sehun seolah tak dibiarkan untuk mengecap rasa bahagia dalam kurun waktu yang lama. Kakak laki-lakinya yang sudah beranjak remaja diharuskan mendalami dunia bisnis untuk masa depannya kelak. Meski darah keluarga Oh tidak mengalir dalam nadi Yifan, namun Ayahnya yakin bahwa Yifan cukup berkompeten sebagai penggantinya―sekalian menunggu Sehun hingga dewasa, pikirnya. Sehun mulai kesepian. Ia merasa kehilangan. Keduanya masih bisa berkomunikasi melalui telepon, namun rasanya tetap saja berbeda. Sejak saat itu, Sehun lebih sering menyendiri dan menjadi sosok yang tak banyak bicara.

Tak lama setelah kepergian Yifan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, Sehun pun menyusulnya. Ia juga memperdalam dunia bisnis, meski di sekolah yang berbeda dengan Yifan. Dan Sehun masih menjadi pribadi yang sama―pendiam dan penyendiri. Tempaan yang kuat di sekolahnya membuat Sehun menjadi sosok yang kaku, keras, dingin dan sulit bersosialisasi. Ia hanya bisa berkawan dengan orang-orang yang akan membicarakan masalah bisnis dan pekerjaan. Selebihnya, ia tetap menjadi pria yang irit bicara.

Saat Sehun masih menempuh pendidikannya dan Yifan baru saja menyelesaikan sekolahnya, Ayah mereka dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan seolah sudah menyiapkan garis waktu yang tepat. Sepeninggal sang Ayah, Yifan menggantikan posisi beliau.

Dan kejadian itu seolah terulang kembali. Tak berapa lama setelah Sehun merampungkan studinya, Yifan justru mengalami kecelakaan parah yang membuatnya harus lebih lama berbaring di atas tempat tidur dan menjalani terapi-terapi khusus untuk kesembuhannya. Selama Yifan menjalani masa penyembuhannya, Sehun yang akan menggantikan seluruh tugas sang Kakak.

"Aku yakin, kau pasti masih bisa sembuh, Hyung." Sehun ingat betul bagaimana ia tetap bersikukuh bahwa kakaknya akan sembuh dan kembali seperti sedia kala.

"Aku mungkin bisa sembuh, tapi aku tak yakin bahwa kondisiku akan sebaik sebelumnya." Sehun tahu betul bahwa Yifan bukanlah orang yang pesimis dan mudah menyerah hanya dengan kondisinya yang seperti itu. Hanya saja, kali ini rasanya sungguh berbeda.

"Yang penting, kau harus sembuh dulu, Hyung." Sehun meremas pelan tangan sang Kakak yang berada dalam genggamannya.

Detik berikutnya, Yifan tak lagi menjawab. Ia hanya tersenyum tipis.

Sehun tak tahu apa yang sebenarnya sedang ada di dalam pikiran Yifan. Sekalipun dokter mengatakan bahwa harapan Yifan untuk kembali ke kondisi semula sangatlah kecil, kakaknya tidak seharusnya berkecil hati seperti ini.

Sehun menatap keluar jendela ruang kerjanya. Ia bisa menangkap dengan jelas dedaunan di halaman Mansion Oh yang luas itu berterbangan kesana kemari. Musim dingin sudah datang, namun Sehun bisa memastikan bahwa ia akan melewatkannya seorang diri tahun ini. Ia ingat betul masa kecilnya bersama Yifan, saat keduanya selalu menantikan salju pertama yang turun, lalu mereka akan bermain bola salju atau membuat boneka salju di halaman rumah. Ia rindu masa-masa dimana ia bisa tertawa dengan lepas. Untuk tersenyum pun sekarang terasa sangat sulit bagi Sehun. Sekian tahun sudah Sehun lewati dengan bersembunyi di balik topeng angkuhnya. Apalagi dengan kondisi dimana Yifan sedang sakit seperti sekarang. Ia benar-benar tak tahu lagi apa definisi kebahagiaan baginya.

Apakah Tuhan memang tak mengijinkan dirinya untuk berbahagia?

"Yifannie―"

KRIET

Suara pintu kayu ruang kerja milik Yifan terdengar. Sehun yang sedang berada di dalam ruangan tersebut untuk mengambil beberapa berkas pun terpaksa menghentikan kegiatannya, lalu membalik tubuhnya untuk melihat sosok yang sudah membuka pintu.

Seorang pemuda berkulit tan dengan rambut berwarna hitam kelam yang terlihat acak-acakan, serta wajah khas orang yang baru saja terjaga dari tidurnya itu muncul dari balik pintu. Kepalanya menyembul dan tertoleh kesana kemari―mencari-cari sosok yang dipanggil namanya.

Raut wajah Sehun mendadak berubah―tak terbaca. Ia meletakkan sebuah map yang sempat dibacanya ke atas meja kerja Yifan, kemudian melangkah menuju pintu. "Ada perlu apa kau kemari?" tanyanya ketus.

Pemuda tan itu nampak belum menyadari keberadaan Sehun. Ia masih celingukan.

Sehun mempercepat langkah kakinya.

"Whoa!" Pemuda berkulit tan itu terkejut. Tubuhnya mundur beberapa langkah―untung saja, ia tidak terjungkal ke belakang.

Sehun berkacak pinggang sambil berdecak pelan. "Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya sekali lagi.

Pemuda itu menundukkan kepalanya, lalu memainkan ujung piyama yang sedang dikenakannya. Jemarinya memelintir kain berwarna baby blue itu. "Jonginnie sedang mencari Yifannie." Suaranya lebih terdengar sebagai cicitan.

"Yifan Hyung tidak ada disini," balas Sehun dingin.

Pemuda yang memanggil dirinya Jonginnie itu mendongak untuk menatap Sehun. "Yifannie kemana? Dia pasti sedang membelikan anak anjing untuk Jonginnie ya?" Matanya yang berwarna kecoklatan itu terlihat berbinar-binar penuh harap.

"Ya," balasnya singkat. Sehun terpaksa berbohong. Ia malas menghabiskan waktunya hanya untuk berbincang dengan orang tak penting macam pemuda itu. Akan jauh lebih baik, jika ia memeriksa berkas-berkas kerja sama yang sudah dilakukan oleh pemimpin perusahaan terdahulu―Yifan.

"Asyik!" Pemuda berkulit tan itu memekik girang dan langsung membalik tubuhnya―berlarian kecil entah kemana.

Sehun menggeleng tak percaya. Ia tak mau ambil pusing dengan apa yang dilakukan oleh pemuda itu. Bahkan jika ia tewas tertabrak trus sekalipun, Sehun tidak peduli―ia justru berbahagia, setidaknya beban hidupnya akan berkurang satu.

Sehun melangkah kembali menghampiri meja kerja Yifan, setelah ia memastikan pintu ruangan tersebut terkunci―ia tak ingin diganggu sekali lagi. "Sebenarnya, darimana Hyung bisa mendapat orang gila seperti dia?"

Namanya Kim Jongin.

Sehun tidak mau tahu―dan tidak akan pernah ingin―terlalu jauh tentang Jongin. Ia hanya mendengarkan seadanya saat Yifan bercerita panjang lebar tentang Jongin padanya.

Jongin sama sekali bukanlah anggota keluarga Oh―kerabat saja bukan. Setahu Sehun, Jongin dibawa ke keluarga Oh saat Yifan sudah menjabat sebagai Presiden Direktur Oh Corporation selama beberapa bulan. Yifan menemukan Jongin di salah satu panti sosial di Seoul, saat ia sedang melakukan kegiatan donasi. Sehun tidak tahu secara persis, bagaiama Yifan bisa memiliki ketertarikan pada pemuda itu, hingga Yifan membawanya dan mengajak Jongin tinggal di Mansion Oh. Sehun pikir, normal saja jika Yifan ingin mengadopsi seseorang sebagai adiknya―yah, hitung-hitung untuk pencitraan, mungkin? Namun Sehun bersumpah ingin meneriaki kakaknya dengan kata 'bodoh' saat ia tahu sosok Jongin yang sesungguhnya. Jongin bukanlah seperti orang normal kebanyakan. Ia seperti menderita keterbelakangan mental―atau semacamnya. Usianya sudah menginjak 18 tahun, namun ia bersikap seperti anak yang masih berusia 8 tahun.

Sehun benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran kakak tirinya itu.

Apalagi, saat Yifan memintanya untuk menjaga Jongin sebagai permintaan terakhirnya. Apakah Yifan sebegitu sayangnya pada Jongin? Sehun masih belum mengerti.

"Ng, ng."

Sehun mendengar gumaman pelan di sekitarnya, saat ia sedang menikmati makan malamnya dengan khidmat. Ia melirik ke arah sisi kanan. Pandangannya jatuh tepat pada dinding yang membatasi ruang makan. Dilihatnya sosok Jongin yang sedang berdiri di balik tembok, sambil mencuri pandang ke arahnya. Secara sekilas, Jongin terlihat normal-normal saja. Tapi tetap saja, tingkahnya terlihat abnormal untuk lelaki seusianya.

"Ehem." Sehun berdeham cukup keras.

Jongin nampak terlonjak pelan. Tangannya mencengkram erat boneka anjing dalam pelukannya. "S-snowie."

Sehun menaikkan sebelah alisnya. Apa dia bilang? Snowie?

"Snowie, ayo lihat salju turun!" pekik Jongin sambil menunjuk ke arah jendela.

Sehun bergidik ngeri. Jongin sedang bicara dengan siapa sih? Snowie? Apakah itu nama hantu yang berkeliaran di mansionnya? "Kau bicara pada siapa?" Sehun bersuara cukup keras―memecah keheningan di dalam ruang makan.

"S-snowie." Jongin menunjuk-nunjuk takut ke arah Sehun.

"Kau bicara padaku?" Kening Sehun berkerut―bingung. Jadi, Jongin memanggilnya dengan nama Snowie? Siapa yang mengajarinya untuk memanggilnya dengan sebutan seperti itu? Yifan-kah?

Jongin mengangguk lucu. "Ayo melihat salju! Salju turun sudah!" Pemuda itu kembali memekik senang.

Sehun mendesah pelan. Ini adalah salah satu dari sekian banyak kekurangan Jongin. Pemuda itu kadang kesulitan menggunakan kata yang tepat dan juga merangkai kalimat. Entah atas dorongan apa, Sehun justru mendorong kursinya mundur dan bangkit berdiri. Ia berjalan menghampiri Jongin dengan wajah stoicnya.

Jongin menatap Sehun penuh harap, sekaligus ketakutan.

"Ayo lihat salju."

Sehun tidak tahu apa yang terjadi padanya. Hati dan otaknya sungguh tidak bisa diajak bekerja sama. Otaknya memerintah untuk menolak Jongin, namun hatinya berkata lain. Kaki-kakinya bahkan sudah terseret mendekat ke arah Jongin. Bibirnya sendiri telah mengkhianatinya―ia mengiyakan ajakan Jongin.

Dan disanalah mereka berada. Di bawah hamparan langit malam tanpa bintang, ditemani butiran-butiran kecil salju yang jatuh. Sehun dan Jongin sudah mengenakan jaket tebal―berjaga-jaga agar keduanya tidak terserang demam atau flu, bahkan saat musim dingin baru saja dimulai.

"Salju dingin sekali. Hihihi." Jongin tertawa cekikikan. Tangannya terangkat ke atas untuk merasakan salju yang jatuh mengenai telapak tangannya yang telanjang. Matanya menyipit manis, saat ia tertawa lepas.

Sehun melirik Jongin sekilas. Ia mengangkat tangan kanannya sedikit dan ikut merasakan salju yang turun untuk pertama kalinya di Seoul. Otak Sehun memutar kenangan saat ia bermain-main bersama Yifan di antara salju dulu. Kini, ia merasakan posisi sebagai Yifan―menemani sang Adik bermain-main.

Eh, tunggu. Itu berarti Sehun menganggap Jongin sebagai adiknya?

Oh, tidak. Mana mungkin Sehun memiliki adik yang cacat seperti Jongin?

Di tengah lamunannya, Sehun mendengar sayup-sayup suara Jongin.

"Salju dingin, seperti Snowie."

to be continued...

dee's note:

maaf saya nambah ff baru buat event ini. jadi saya mau curcol dulu ya hehe. hari ini, sebenernya saya sibuk banget―ngurusin adik kelas, ada masalah intern di ekskul saya, dan tugas kelompok yang mendadak harus saya handle berdua saja dengan teman saya. saya sudah menyelesaikan plot untuk le fiance ideal dan sedang dalam tahap penulisan (thanks a lot for nam. makasih banyak udah bantu saya bikin plotnya ;-;). dan saat saya lagi santai-santaian di kamar setelah nyelesaikan tugas, saya dengerin lagunya Utada Hikaru - First Love. tiba-tiba kepikiran plot lengkap untuk nulis ff ini hehehe. alhasil saya langsung buka laptop dan ngetik ff ini. dan saya cuma butuh waktu sekitar 2 jam mungkin hehehe

saya nggak begitu yakin kalo yang saya tulis di atas cukup bagus. karena pada dasarnya, saya nggak pernah percaya diri buat nulis narasi yang terlalu panjang―atau percakapan yang terlalu banyak. saya selalu menginginkan proporsi yang seimbang. tapi tak apalah, hitung-hitung buat nambah kepercayaan diri saya hehe

saya cuma berharap kalian tertarik pada plot ceritanya. saya ngebayanginnya nyesek sendiri sampe pingin nangis. entahlah, apakah kalian akan tersentuh dengan hasil tulisan saya nanti hehe

tolong tuliskan pendapat kalian tentang ff ini. review kalian benar-benar sangat membantu dan bisa menjadi penyemangat bagi saya ^^

oh ya, lanjutan le fiance ideal mungkin akan saya post lusa hehe

xoxo,

rappicasso